Tidak menghakimi

Refleksi Kerahiman Allah oleh Pst Felix Supranto, SS.CC

ā€œTidak Menghakimiā€ merupakan salah satu niat dalam kehidupan Paus Fransiskus. ā€œTidak menghakimiā€ dapat juga diterjemahkan sebagai wajah kerahiman Allah. Wajah kerahiman Allah adalah wajah yang senantiasa menampilkan belas kasih. Belas kasih akan memikat hati sehingga orang dapat melepaskan dosa dan kesalahannya.

Sikap ā€œtidak menghakimiā€ ini dapat diterangkan dengan peribahasa ā€œtak ada gading yang tak retakā€. Artinya adalah setiap orang itu tidak pernah luput dari kesalahan. Tak ada manusia yang sempurna! Sebaik-baiknya manusia pasti ada kesalahan atau kekurangan. Hal itu sering dinyatakan dengan ungkapan ini: ā€œPastor/ayah/ibu/boss/ kan manusiaā€.

Orang mudah menghakimi karena merasa diri yang paling benar dan paling baik. Orang yang merasa paling benar dan paling baik adalah munafik. Kemunafikan itu diungkapkan dalam pepatah ini: ā€œGajah di pelupuk mata tidak terlihat, semut di seberang lautan nampak jelasā€. Artinya: kesalahan atau aib sendiri yang besar tidak tampak. Tapi kesalahan atau aib orang lain meskipun sedikit namun tampak jelas. Orang yang merasa diri paling benar dan paling baik ini mudah menjadikan orang lain sebagai terdakwa. Sebagai contoh: Ketika ada saudara yang mengalami pergumulan berat dan sakit tak kunjung sembuh kita langsung berkata, “Wah… dia terlalu banyak dosanya, makanya Tuhan menimpakan masalah berat kepadanya”. Orang mudah menghakimi karena tidak mengetahui alasan orang lain dalam melakukan suatu tindakan. Padahal tidak seorang pun mengetahui beratnya pergumulan orang lain dalam menghadapi sesuatu. Menghakimi orang lain adalah dosa di hadapan Tuhan karena penghakiman adalah hak Allah: “Hanya ada satu Pembuat hukum dan Hakim, yaitu Dia yang berkuasa menyelamatkan dan membinasakan. Tetapi siapakah engkau, sehingga engkau mau menghakimi sesamamu manusia?” (Yakobus 4:12). Kita tidak memiliki kuasa untuk menghakimi, karena apa yang kita pandang baik dan benar menurut ukuran kita belum tentu demikian. Tuhan adalah satu-satunya yang tahu akan kebenaran. Itulah sebabnya firman-Nya berkata, “Pembalasan adalah hak-Ku. Akulah yang akan menuntut pembalasanā€ (Ibrani 10:30). Bentuk hukuman dari dosa menghakimi sesama adalah kita akan dihakimi oleh Tuhan sesuai dengan ukuran yang kita pakai untuk mengakimi sesama kita: “…dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu.” (Matius 7:2).

Peringatan Tuhan Yesus terhadap kita yang mudah menghakimi sangat keras karena akibatnya sangat buruk. Dampak dari mudah menghakimi sesama:

1. Menyebabkan perpecahan dalam umat.

Menghakimi membuat umat Allah tidak merasa aman satu sama lain karena adanya kecenderungan saling menjatuhkan. Ketika terjadi perpecahan dalam diri umat, gereja tidak menarik lagi bagi orang-orang yang belum mengenal Tuhan. Pendek kata, sikap saling menghakimi dalam diri murid Tuhan membuat gereja tidak lagi menjadi pewartaan sukacita Injili.

2. Membuat orang lain sakit hati dan menjadi pahit.

Menghakimi membuat orang yang terhakimi merasa dipermalukan dan semakin terpuruk.

Bagaimana kita bisa menghentikan kebiasaan mudah menghakimi sesama? Kita harus melatih diri membentuk sikap reflektif. Artinya: kesalahan dan kekurangan orang lain menjadikan kita mawas diri/berkaca karena mungkin kesalahan dan kekurangan mereka merupakan kesalahan dan kekurangan kita, bahkan kita mungkin lebih parah daripada mereka. Ada sebuah cerita menerangkan hal ini. Pada suatu hari ada seorang bapak menghadap seorang pastor dengan keluhan: ā€œRomo, istri saya sudah tuli. Saya lelah karena saya harus bicara berkali-kali padanya, barulah ia mengerti”. Pastor tersebut memberi usul: “Bicaralah dengannya dari jarak sepuluh meter. Jika tak ada respons, coba dari jarak lima meter, lalu dari jarak satu meter. Dari situ kita akan tahu tingkat ketuliannya”. Si suami itu mencobanya. Dari jarak sepuluh meter, ia bertanya pada istrinya, “Kamu masak apa malam ini, sayang?” Tak terdengar jawaban. Ia mencoba dari jarak lima meter, bahkan satu meter, tetap saja tak ada respons. Akhirnya ia bicara di dekat telinga istrinya, “Masak apa kamu malam ini, sayang?” istrinya menjawab: “Sudah empat kali aku bilang: sayur asam!” Rupanya, sang suamilah yang tuli dan bukannya istrinya.

Pelajaran yang kita dapat peroleh dari ceritera tersebut: kita boleh menilai orang lain secara kritis. Namun, janganlah membesar-besarkan kesalahan orang lain dengan mengabaikan kesalahan diri sendiri. Yang terbaik adalah introspeksi diri terlebih dulu sebelum memberi kritik kepada orang lain. Kita yang mau intropeksi diri/mawas diri akan bertumbuh di dalam kasih dan tidak mudah menghakimi, tetapi menegur sesama dengan sharing perubahan hidup kita sendiri. Ingatlahlah Sabda Tuhan: ā€œMengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui? Bagaimanakah engkau dapat berkata kepada saudaramu: Biarlah aku mengeluarkan selumbar itu dari matamu, padahal ada balok di dalam matamuā€ (Matius 7:3-4). Artinya: Orang yang memiliki balok dalam matanya itu tidak mungkin dapat menolong mengeluarkan selumbar dari mata saudaranya. Pada saat orang ini ingin mengeluarkan selumbar itu, ada balok yang menghalangi dia untuk bisa melihat dengan jelas selumbar itu. Sebelum menolong saudara kita untuk bertobat, kita sendiri harus lebih dulu melepaskan diri dari dosa. Ada sebuah nasihat yang indah: “Orang yang kudus, bukanlah orang yang tidak dapat berbuat dosa lagi, tetapi orang kudus adalah orang yang makin memiliki kepekaan terhadap dosa-dosa diri sendiri, bahkan dosa-dosa yang terkecil sekalipun”.

Kesimpulan dari tema ini terangkum dalam doa di bawah ini. Semoga doa ini mengasah kepekaan hati.

Kepekaan Hati

Tuhan,

Hidupku tlah terjerumus dalam menghakimi sesamaku.

Mereka pun terpuruk,

dan terbebani dengan mimpi-mimpi buruk.

Langkah kehidupan mereka menjadi berat

karena kepahitan hati.

Itu semuanya akibat ketumpulan nurani.

Tuhan,

Aku ingin terbebas dari sikap menghakimi,

karena aku tidak tahu masalah yang membelenggunya.

Aku tidak tahu motivasinya.

Tidak semua orang mau menceriterakan hidupnya.

Daripada menghakimi lebih baik memahami.

Daripada menghakimi lebih baik berdiri di sampingnya,

membantu memperindah masa depannya.

Semoga, kejernihan hati anak kacil menjadi idaman setiap insan ini.

Amin

19/12/2018
Romo pembimbing: Rm. Prof. DR. B.S. Mardiatmadja SJ. | Bidang Hukum Gereja dan Perkawinan : RD. Dr. D. Gusti Bagus Kusumawanta, Pr. | Bidang Sakramen dan Liturgi: Rm. Dr. Bernardus Boli Ujan, SVD | Bidang OMK: Rm. Yohanes Dwi Harsanto, Pr. | Bidang Keluarga : Rm. Dr. Bernardinus Realino Agung Prihartana, MSF, Maria Brownell, M.T.S. | Pembimbing teologis: Dr. Lawrence Feingold, S.T.D. | Pembimbing bidang Kitab Suci: Dr. David J. Twellman, D.Min.,Th.M.| Bidang Spiritualitas: Romo Alfonsus Widhiwiryawan, SX. STL | Bidang Pelayanan: Romo Felix Supranto, SS.CC |Staf Tetap dan Penulis: Caecilia Triastuti | Bidang Sistematik Teologi & Penanggung jawab: Stefanus Tay, M.T.S dan Ingrid Listiati Tay, M.T.S.
top
@Copyright katolisitas - 2008-2018 All rights reserved. Silakan memakai material yang ada di website ini, tapi harus mencantumkan "www.katolisitas.org", kecuali pemakaian dokumen Gereja. Tidak diperkenankan untuk memperbanyak sebagian atau seluruh tulisan dari website ini untuk kepentingan komersial Katolisitas.org adalah karya kerasulan yang berfokus dalam bidang evangelisasi dan katekese, yang memaparkan ajaran Gereja Katolik berdasarkan Kitab Suci, Tradisi Suci dan Magisterium Gereja. Situs ini dimulai tanggal 31 Mei 2008, pesta Bunda Maria mengunjungi Elizabeth. Semoga situs katolisitas dapat menyampaikan kabar gembira Kristus.Ā