Semuanya itu Kukatakan kepadamu, supaya kamu beroleh damai sejahtera dalam Aku. Dalam dunia kamu menderita penganiayaan, tetapi kuatkanlah hatimu, Aku telah mengalahkan dunia.” (Yoh. 16:33)
Seorang gadis kecil lucu berusia sekitar satu setengah tahun sedang asyik bermain dan berlari-larian di ruang tunggu praktek dokter yang saya kunjungi malam itu. Ruang tunggu yang luas itu memang dibuat nyaman. Disediakan pula beberapa alat permainan anak-anak di salah satu sudutnya yang dindingnya dilukis dengan gambar tokoh-tokoh kartun. Si balita kecil itu begitu menikmati kegiatan bermainnya tanpa sepenuhnya menyadari mengapa ibunya membawanya ke situ. Ketika tiba giliran si anak itu untuk diperiksa oleh dokter, ibunya segera menggendongnya masuk ke ruang periksa. Kontan si kecil yang tadinya bergembira ria itu menangis meronta-ronta, bukan hanya karena keasikannya bergembira diinterupsi, tetapi juga karena ia melihat ibunya sedang membawanya ke ruangan lain yang lebih kecil dengan alat-alat kedokteran yang asing dan menakutkan baginya. Andai saja gadis kecil itu dapat mengerti dan melihat ke depan melampaui keseraman ruang praktek itu, bahwa ibunya membawanya ke situ supaya ia lebih sehat dan sembuh, mungkin ia bisa tenang dan mengatasi rasa takutnya.
Saat sedang menikmati kehidupan dengan berbagai keindahannya, keunikannya, dinamikanya, keceriaannya, kemungkinan dan kesempatannya, saya juga kadang-kadang terhenyak dikejutkan oleh berita kesedihan, bencana alam, penyakit orang-orang yang sangat kita sayangi, atau terpukul menerima kabar sedih tentang hidup diri kita sendiri. Tuhan, bisik saya, mengapa hidup ini tidak Engkau buat mudah dan isinya senang terus saja, mengapa harus ada sakit penyakit, usia lanjut yang meremukkan badan fisik, bencana alam, dan perbuatan-perbuatan keji manusia kepada sesamanya? Saya ingin terus berlari-larian dalam sukacita keceriaan hidup, bermain-main dengan aneka keindahan yang sudah Engkau sediakan dalam kehidupan yang Engkau ciptakan ini.
Mengikuti perjalanan hidup Yesus Kristus Tuhan kita yang memasuki Yerusalem penderitaan dengan penuh kerelaan, perlahan saya menyadari bahwa Tuhan juga tidak menginginkan kepedihan dan kesakitan. Apalagi kalau itu menimpa manusia yang sangat dikasihiNya dan yang sedang selalu dibelaNya sampai tetes darah penghabisan di kayu salib yang ngeri.
Dalam karya pelayanan publik yang Yesus jalani selama tiga tahun terakhir hidup-Nya di dunia, Yesus tak henti-hentinya menyembuhkan orang yang sakit (lih. Mat. 15:30). Ia selalu menghibur orang yang berdukacita, bahkan membangkitkan pemuda dari Nain (lih. Luk.7:14) dan Lazarus (lih. Yoh. 11:43) dari kematian. Yesus juga mengusir setan-setan yang mengganggu manusia (lih. Mark. 5:8). Ia memberi makan orang yang lapar (lih. Luk.9:17), dan mengajarkan hidup yang berbuah (lih. Mat. 5:3-12). Di manapun Ia menjumpai atau mendengar ada orang yang sakit, Yesus segera menyembuhkan mereka, bahkan di hari Sabat sekalipun, Ia menyembuhkan sakit punggung seorang wanita tua (lih. Luk. 13:12), padahal Yesus tahu hal itu pasti akan segera mengundang reaksi keras dari kaum Farisi. Tapi tetap diambilNya resiko itu, demi supaya wanita sakit itu sembuh. Ketika seorang wanita yang perdarahan menyentuh jubah-Nya dengan iman, wanita itu pun sembuh (Luk. 8:44). Jadi bahkan pakaian yang Ia kenakan pun membawa kesembuhan, saking kuatnya daya kesembuhan yang ingin Dia bawa ke dalam dunia. Sikap Yesus memberikan pesan yang jelas bahwa Tuhan tidak suka melihat manusia yang dikasihiNya sakit dan menderita. Penyakit dan derita bukanlah rencana Allah. Justru penderitaan itu ditanggung-Nya sendiri , supaya manusia sembuh dan selamat. Tuhan Yesus mau menyongsongnya dengan rela, supaya semua jenis derita dan maut yang melekat pada manusia terkalahkan seluruhnya sampai ke akar-akarnya.
Malam itu para murid tertidur dalam rasa takut dan rasa tidak enak yang mencekam. Injil Lukas 22 :45 menceritakan bahwa mereka tidur karena dukacita. Seolah-olah ingin melupakan kematian dan penderitaan yang sudah di ambang pintu, ingin tidur saja, supaya tidak usah melihat dan mengalami semua itu dan berharap ketika bangun, semua kepedihan itu hanyalah mimpi.
Yesus berdoa seorang diri dalam keheningan malam di Bukit Zaitun itu. Saat itu saya kembali menyadari bahwa Yesus tidak menyukai penderitaan, dan sama seperti saya yang merasa gemetar dan kecut saat berhadapan dengan penderitaan, Yesus merasakannya juga. Walaupun sebagai Tuhan, Ia tahu kepenuhan rencana Bapa, namun sebagai manusia Ia sangat ketakutan, dan Yesus menjadi makin sungguh-sungguh berdoa. Peluh-Nya menjadi seperti titik-titik darah yang bertetesan ke tanah (lih. Luk.22 :44). Di situlah saya melihat seluruh ketakutan saya sedang dipikul oleh Yesus. Di taman itu, dalam gelapnya malam, Tuhan Yesus menggantikan tempat saya, yang seharusnya berada di dalam hukuman penderitaan kekal itu karena perbuatan kejahatan dan dosa-dosa saya. “Ya BapaKu, jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini dari padaku, tetapi bukanlah kehendakKu, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi”. (Luk. 22:42)
Walaupun penderitaan itu demikian terasa ngeri dan tak terelakkan, Yesus melihat jauh ke depan, kepada rencana Bapa yang indah. Karena senantiasa berdoa mengandalkan Bapa, Yesus menjadi tabah dan berani. Dan Ia sekali-sekali tidak dibiarkan sendirian, karena malaikat Allah dari langit datang memberi kekuatan kepadaNya (lih. Luk. 22 :43). Dalam mengutamakan kehendak Bapa di atas rasa takut-Nya sendiri, Yesus memandang jauh ke depan, kepada rencana Bapa yang ada di balik penderitaan amat sangat yang akan dijalani-Nya.
Jadi hanya sampai di sini akhir dari semua keindahan hidup dan semua kemungkinan itu? Hanya sampai pada usia lanjut dan kematian, kebersamaan keluarga yang selama ini kita alami harus berujung? Pesan keputusasaan itu juga yang Setan sedang terus sampaikan kepada kita. Bersama para murid yang kocar kacir ke segala penjuru menyelamatkan diri meninggalkan Yesus seorang diri, saya pun merasa pahit dan menarik diri. Tetapi Yesus maju, menerima semua derita itu, dan menyelesaikannya bersama kekuatan dari Allah Bapa. Ia membuktikan bahwa harapan dalam Dia itu tidak dimaksudkan untuk “sampai di sini saja”, ada kelanjutannya, dan kelanjutannya itu kekal, yaitu kemuliaan hingga selama-lamanya di Rumah Bapa.
Bersama para malaikat yang berjaga di depan pintu kubur yang kosong itu, dalam cahaya surgawi yang berkilauan, Yesus berkata dengan senyum-Nya yang penuh cinta,” Tidak, tidak berakhir sampai di sini. Melalui derita dan salib-Ku, semuanya menjadi baru kembali, dan sukacita hidup itu akan kalian temukan selamanya, di dalam Aku dan di Rumah Bapa-Ku, tempat di mana kalian berada, di situ pun Aku.” (lih. Yoh. 14:3)
Doa: Ya Yesus sahabat dan guru kami, terima kasih atas pengurbanan-Mu yang tak terperi bagi keselamatan kami. Bimbing kami untuk menimba kekuatan dari pengurbanan cinta-Mu dan selalu rindu membalas kasih-Mu dengan segenap hidup dan usaha kami. Dalam penderitaan hidup ini, kami ingin membiarkan diri kami ditemukan dan disembuhkan oleh-Mu, diubahkan agar siap untuk bersama-sama dengan-Mu memasuki Yerusalem baru. Dalam kegelapan malam derita hidup, buatlah kami memandang jauh ke depan, ke mana Engkau sedang terus menyertai kami menyelesaikan perjalanan salib kami dan menantikan kami bersama-Mu di kekekalan Rumah Bapa yang indah. Jangan biarkan kami menjadi takut. Karena apa yang bagi kami terasa gelap atau sedih, sakit atau jahat, dalam kemenangan salib-Mu, diubahkan menjadi sarana kepada pemurnian dan kemuliaan, bersama-Mu selalu, dan selamanya. Amin.
If you look at a window you see flyspecks, dust, and the cracks where Junior’s Frisbee hit it. If you look through a window you see the world beyond. – Frederick Buechner
(Jika engkau melihat kepada jendela, engkau melihat goresan, debu, dan retakan bekas mainan anak-anak yang membenturnya. Jika engkau melihat melalui jendela, engkau melihat dunia yang luas di baliknya – Frederick Buechner)
Ibu Triastuti, Banyak terima kasih atas renungan yang sangat pas buat saya ini. Bagi saya, “malam gelap” itu adalah saat anak sakit. Saat anak sakit saya paling merasa sedih/khawatir (bahkan kadang saya “menyesal” punya anak karena saya paling sedih kalau melihat anak sakit). Makanya saya bisa mengerti sekarang mengapa Bunda Maria dapat gelar Ratu para Martir. Itu karena hatinya pasti tersayat sayat saat melihat Putranya disalib dgn keji. Renungan ini akan dapat sedikit menghibur saya saat anak saya sakit. Sedikit menghibur, karena saya tahu saya akan tetap sedih dan kalut saat anak saya sakit. Itu karena saya teramat sayang pada… Read more »