Pengorbanan Yang Bermakna

Hari Minggu jam 12.00 siang, tanggal 16 Maret 2014, aku bertemu dengan seorang ibu bersama kedua anaknya. Ia sedang menjinjing termos-termos besar. Wajahnya yang putih menjadi merah karena sengatan mentari. Ia rupanya baru saja membereskan dagangannya yang dititipkan di kantin WKRI di Gereja Santa Odilia – Tangerang. Aku tahu bahwa ia mengidap penyakit yang sangat serius walaupun dirinya tidak mengungkapkannya kepada siapapun. Aku tumpangkan tanganku di atas kepalanya sambil berdoa. Aku berkata kepadanya: “Ibu harus istirahat supaya tetap kuat”. Ia menjawab sambil memejamkan mata : “Romo, apa saja akan aku lakoni/jalani agar ketiga anakku dapat memperoleh sekolah yang baik. Mo, aku selalu bangun jam 02.00 dini hari untuk mempersiapkan daganganku. Aku memang lelah, tetapi kelelahanku adalah kelelahan yang menyukakan jiwa karena pengorbananku bermakna. Pengorbananku adalah demi masa depan anak-anakku. Semoga kerja kerasku ini menjadi api yang mengobarkan semangat di dalam jiwa anak-anakku untuk mencapai masa depan mereka dengan tetap mengandalkan Tuhan. Karena itu, aku selalu mengajak ketiga anakku ketika berjualan dan ke Gereja”.

Pada malam harinya, setelah Misa malam baru selesai, ia menemuiku di teras Gereja, di belakang tempat koor. Ia meminta kepadaku untuk mendoakan ketiga anaknya. Ia kemudian berkata dengan berlinang air mata : “Kekuatanku pasti ada waktunya, tinggal menunggu saatnya Tuhan. Aku titip anak-anakku supaya dibantu tetap hidup di jalan Tuhan. Aku percaya kepada Allah sehingga aku tidak takut”. Beberapa hari kemudian, tepatnya hari Rabu, tanggal 19 Maret 2014, ia dirawat di rumah sakit. Waktunya begitu cepat. Dalam keadaan sangat sadar, pada hari Kamis, tanggal 27 Maret, pukul 15.00, ia meminta suaminya untuk memanggilku karena ia ingin bertemu denganku. Beberapa menit setelah menyampaikan permintaannya itu, ia tak sadarkan diri dan dirawat di ICU dalam keadaan kritis. Perasaanku campur aduk mendengarkan permintaannya yang terakhir itu. Telingaku terngiang-ngiang kata-katanya kepadaku “Aku percaya kepada Allah sehingga aku tidak takut”. Ternyata kata-katanya itu berasal dari Kitab Mazmur ketika Daud sedang dalam pergumulan: “kepada Allah aku percaya, aku tidak takut. Apakah yang dapat dilakukan manusia terhadap aku?” (Mazmur 56:12). Setelah selesai pengajaran iman, aku berangkat ke rumah sakit dan tiba di sana pukul 22.15. Aku langsung berdiri di samping ibu itu. Setelah berdiam sejenak, aku mendoakannya. Aku yakin dia tahu kedatanganku. Aku melihat sebutir air mata di celah-celah kelopak matanya. Ketika aku meletakkan rosario di samping lehernya, ia langsung menghembuskan nafas terakhirnya. Ia menghadap Allah Bapa dalam usia empat puluh empat tahun dengan iringan doa banyak umat lingkungannya dan keluarganya. Aku yakin bahwa ia memang menantikan kedatanganku untuk mendapatkan berkat dan menimba rahmat dari Bunda Maria sebagai bekal perjalanannya ke surga. Kataku: “Ibu ini adalah orang benar”. Imannya tidak goyah karena senantiasa memandang Allah: “Aku memuji TUHAN, yang telah memberi nasihat kepadaku, ya, pada waktu malam hati nuraniku mengajari aku. Aku senantiasa memandang kepada TUHAN; karena Ia berdiri di sebelah kananku, aku tidak goyah¨(Mazmur 16:7-8) .

Kepergiannya meninggalkan duka yang mendalam bukan saja bagi keluarganya, tetapi juga bagi banyak umat Paroki Santa Odilia. Umat memenuhi ruangan di mana Misa Requem dipersembahkan baginya. Isak tangis tak terbendung dari mata umat yang hadir. Semua terkenang dengan kebaikannya dalam partisipasinya di beberapa kegiatan gerejani, seperti menjadi bendahara sebuah lingkungan dan aktif sebagai anggota WKRI Cabang Paroki Santa Odilia. Yang sangat mengharukan adalah ia merupakan salah satu panitia yang mempersiapkan ziarah lingkungan ke tempat Bunda Maria. Ternyata ia sudah sampai lebih dahulu pada tujuan ziarah kehidupan, yaitu surga.

Pesan bagi kita dari pengalaman ibu tersebut: “Jangan buang harapan dalam jiwa kita. Harapan adalah satu-satunya penghiburan di saat kesusahan. Harapan adalah satu-satunya yang tak akan pernah mati dalam situasi apapun. Harapan adalah bagaikan kabel listrik yang mengalirkan kehadiran Tuhan. Karena itu, harapan pasti akan menunjukkan jalan ketika tiada jalan, membawa cinta ketika terjadi kebencian, membawa pengampunan ketika terjadi penghinaan, dan melahirkan keberanian ketika terjadi ketakutan.

Tuhan memberkati

Oleh Pst Felix Supranto, SS.CC

5 1 vote
Article Rating
19/12/2018
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
Romo pembimbing: Rm. Prof. DR. B.S. Mardiatmadja SJ. | Bidang Hukum Gereja dan Perkawinan : RD. Dr. D. Gusti Bagus Kusumawanta, Pr. | Bidang Sakramen dan Liturgi: Rm. Dr. Bernardus Boli Ujan, SVD | Bidang OMK: Rm. Yohanes Dwi Harsanto, Pr. | Bidang Keluarga : Rm. Dr. Bernardinus Realino Agung Prihartana, MSF, Maria Brownell, M.T.S. | Pembimbing teologis: Dr. Lawrence Feingold, S.T.D. | Pembimbing bidang Kitab Suci: Dr. David J. Twellman, D.Min.,Th.M.| Bidang Spiritualitas: Romo Alfonsus Widhiwiryawan, SX. STL | Bidang Pelayanan: Romo Felix Supranto, SS.CC |Staf Tetap dan Penulis: Caecilia Triastuti | Bidang Sistematik Teologi & Penanggung jawab: Stefanus Tay, M.T.S dan Ingrid Listiati Tay, M.T.S.
top
@Copyright katolisitas - 2008-2018 All rights reserved. Silakan memakai material yang ada di website ini, tapi harus mencantumkan "www.katolisitas.org", kecuali pemakaian dokumen Gereja. Tidak diperkenankan untuk memperbanyak sebagian atau seluruh tulisan dari website ini untuk kepentingan komersial Katolisitas.org adalah karya kerasulan yang berfokus dalam bidang evangelisasi dan katekese, yang memaparkan ajaran Gereja Katolik berdasarkan Kitab Suci, Tradisi Suci dan Magisterium Gereja. Situs ini dimulai tanggal 31 Mei 2008, pesta Bunda Maria mengunjungi Elizabeth. Semoga situs katolisitas dapat menyampaikan kabar gembira Kristus. 
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x