Dari Yerikho ke Yerusalem
Saya masih ingat ada lagu tentang perikop Orang Samaria yang baik hati, yang liriknya dimulai dengan kalimat, “Dari Yerikho ke Yerusalem, ada jalan belas kasih ….” Ya, belas kasih. Itulah yang diajarkan oleh Tuhan Yesus dalam perikop ini. Mengapa? Sebab Tuhan Yesus ingin mengajarkan kepada kita bahwa hukum Allah yang terutama bukanlah “Jangan berbuat ini…. jangan berbuat itu” yang kesannya negatif, berupa larangan. Sebaliknya, hukum Tuhan yang terutama adalah sangat positif yaitu, “Kasihilah….” yang berupa perintah untuk berbuat kebaikan. Kasih ini terutama ditujukan kepada Tuhan, dan kemudian, demi kasih kita kepada Tuhan, kita diajarkan untuk mengasihi sesama. Perikop ini selanjutnya menjabarkan tentang siapakah sesama yang harus kita kasihi.
Bacaan Injil Luk 10:25-37
25 Pada suatu kali berdirilah seorang ahli Taurat untuk mencobai Yesus, katanya: “Guru, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?”
26 Jawab Yesus kepadanya: “Apa yang tertulis dalam hukum Taurat? Apa yang kaubaca di sana?”
27 Jawab orang itu: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.”
28 Kata Yesus kepadanya: “Jawabmu itu benar; perbuatlah demikian, maka engkau akan hidup.”
29 Tetapi untuk membenarkan dirinya orang itu berkata kepada Yesus: “Dan siapakah sesamaku manusia?”
30 Jawab Yesus: “Adalah seorang yang turun dari Yerusalem ke Yerikho; ia jatuh ke tangan penyamun-penyamun yang bukan saja merampoknya habis-habisan, tetapi yang juga memukulnya dan yang sesudah itu pergi meninggalkannya setengah mati.
31 Kebetulan ada seorang imam turun melalui jalan itu; ia melihat orang itu, tetapi ia melewatinya dari seberang jalan.
32 Demikian juga seorang Lewi datang ke tempat itu; ketika ia melihat orang itu, ia melewatinya dari seberang jalan.
33 Lalu datang seorang Samaria, yang sedang dalam perjalanan, ke tempat itu; dan ketika ia melihat orang itu, tergeraklah hatinya oleh belas kasihan.
34 Ia pergi kepadanya lalu membalut luka-lukanya, sesudah ia menyiraminya dengan minyak dan anggur. Kemudian ia menaikkan orang itu ke atas keledai tunggangannya sendiri lalu membawanya ke tempat penginapan dan merawatnya.
35 Keesokan harinya ia menyerahkan dua dinar kepada pemilik penginapan itu, katanya: Rawatlah dia dan jika kaubelanjakan lebih dari ini, aku akan menggantinya, waktu aku kembali.
36 Siapakah di antara ketiga orang ini, menurut pendapatmu, adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?”
37 Jawab orang itu: “Orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya.” Kata Yesus kepadanya: “Pergilah, dan perbuatlah demikian!”
Telaah teks
Perikop ini seolah terbagi menjadi dua bagian. Bagian yang pertama menyampaikan tentang apakah perintah Tuhan yang utama, dan bagian yang kedua menyampaikan tentang siapakah sesama manusia.
1. Perintah Tuhan yang utama: Kasihilah Tuhan
Mengapa perintah Tuhan yang utama adalah agar kita mengasihi Tuhan? Khotbah St. Yohanes Maria Vianney (1786-1859) mungkin dapat membantu kita memahami, mengapa demikian:
“Ya, pekerjaan kita satu- satunya di dunia ini adalah perbuatan mengasihi Tuhan- yaitu mulai melakukan pekerjaan yang akan kita lakukan kelak di dalam kekekalan. Mengapa kita musti mengasihi Tuhan? Sebab kebahagiaan kita diperoleh dari mengasihi Tuhan; dan bukan dari hal yang lain. Jadi, jika kita tidak mengasihi Tuhan, kita akan selalu tidak bahagia; dan jika kita berharap untuk menikmati penghiburan dan kelepasan dari kesakitan kita, kita akan mencapainya hanya jika kita mengasihi Tuhan. Jika kamu ingin menjadi yakin akan hal ini, pergilah dan temukanlah seseorang yang paling bahagia menurut ukuran dunia ini; jika ia tidak mengasihi Tuhan, kamu akan menemukan bahwa ternyata ia adalah orang yang tidak bahagia. Dan sebaliknya, jika kamu menemukan seseorang yang tidak bahagia menurut ukuran dunia, kamu akan melihat, bahwa karena ia mengasihi Tuhan ia bahagia di dalam segala sesuatu. O Tuhan! Bukalah mata hati kami, dan kami akan mencari kebahagiaan di mana kami sungguh dapat menemukannya.” ((St. John Mary Vianney, Sermons, Twenty- second Sunday after Pentecost as quoted in The Navarre Bible, St. Luke, Jose Maria Casciaro, ed., (Dublin, Ireland: Four Court Press, 1997 reprint), p. 140))
Jika kita membaca berita tentang tokoh selebriti baik di dalam negeri maupun di luar negeri, sedikit banyak kita dapat mengetahui bahwa apa yang ditulis oleh St. Yohanes Maria Vianney benar adanya. Sebab ada banyak orang yang nampak bahagia dari luar, namun hatinya kosong, sebab mereka tidak mengenal dan mengasihi Allah. Tak jarang, ada di antara mereka yang memutuskan untuk mengakhiri hidupnya sendiri, karena merasa hidupnya tak berarti. Namun sebaliknya, ada juga orang- orang yang nampaknya tidak berkelebihan di mata dunia, namun mereka hidup bahagia, sebab Tuhanlah yang menjadi sumber suka cita mereka. Kita dapat menyebutkan sendiri, orang- orang semacam ini yang Tuhan ijinkan untuk hadir dalam kehidupan kita, untuk membuka mata kita, bahwa bukan kemewahan duniawi yang menentukan kebahagiaan seseorang, tetapi hubungan kasih yang erat dengan Tuhan.
2. Sesama manusia= siapapun yang membutuhkan pertolongan
Perikop ini sesungguhnya jelas mengajarkan kepada kita bahwa sesama bagi kita adalah siapapun -tidak terbatas oleh ras ataupun golongan- yang membutuhkan pertolongan kita. Maka belas kasihan tidak hanya berarti merasa kasihan, tetapi kasih itu harus diwujudkan dalam bentuk yang nyata. Kita sebagai murid- murid Kristus diajak untuk membagikan belas kasih kita kepada sesama. Sesama di sini bukan hanya teman kita, tetapi juga mereka yang bukan teman kita, bahkan musuh/ orang yang membenci kita. Perumpamaan ini menjelaskan perintah Kristus, “Kasihilah musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu… “(Luk 6:27; lih. Mat 5:43). Sebab kasih yang tulus sifatnya memberi, tanpa mengharapkan balasan; menolong karena mengetahui bahwa orang tersebut membutuhkan pertolongan.
Penjelasan The Navarre Bible tentang perikop ini mengatakan bahwa perbuatan belas kasih ada empat belas macam, tujuh bersifat rohani dan tujuh lainnya bersifat jasmani. Perbuatan kasih yang bersifat rohani adalah: membawa orang yang berdosa kepada pertobatan, mengajar mereka yang tidak tahu, menasehati orang yang bimbang, menghibur orang yang berduka, menerima kesalahan dengan sabar, mengampuni kesalahan orang lain, mendoakan orang- orang yang masih hidup dan yang sudah meninggal. Sedangkan tujuh perbuatan kasih yang bersifat jasmani adalah: memberi makan orang yang lapar, memberi minum orang yang haus, memberi pakaian kepada orang yang tidak berpakaian, memberi tumpangan kepada yang tidak mempunyai tempat tinggal, mengunjungi orang sakit, mengunjungi para tahanan di penjara, dan mengubur orang yang meninggal dunia. ((The Navarre Bible St. Luke, ibid., p. 141))
3. Mengapa Yesus menggunakan perumpamaan dalam mengajarkan tentang belas kasihan ini?
Kemungkinan Yesus mengajar dengan perumpamaan dengan maksud mengkoreksi kebiasaan kesalehan yang palsu yang dilakukan oleh orang- orang pada jaman itu. Menurut hukum Taurat, persentuhan dengan jenazah menjadikan seseorang najis secara hukum, sehingga perlu menjalani ritual pemurnian (lih. Bil 19:11-22, Im 21:1-4, 11-12). Hukum- hukum ini bukan dimaksudkan untuk mencegah orang- orang menolong orang yang terluka; tetapi hukum itu ditujukan untuk alasan kesehatan dan penghormatan kepada orang mati. Penyimpangan para imam dan orang Lewi pada perumpamaan ini adalah, mereka yang tidak tahu apakah orang yang dirampok itu sudah mati atau belum, sengaja memilih untuk menerapkan interpretasi yang keliru terhadap hukum ritual -yang merupakan hukum yang sekunder- dan malah mengabaikan hukum yang lebih utama, yaitu mengasihi sesama dan memberikan bantuan yang diperlukannya. ((lih. The Navarre Bible St. Luke, ibid., p. 142))
Dengan demikian Yesus mengajarkan kita bahwa hukum kasih merupakan hukum yang terutama, dan ini mengatasi hukum- hukum yang lainnya. Hukum kasih mengatasi batas ras/ golongan, seperti yang ditunjukkan dalam perumpamaan ini. Sebab yang terluka karena dirampok itu adalah seorang Yahudi, sehingga sesungguhnya seorang imam Yahudi dan seorang Lewi yang lewat di sana mempunyai kewajiban yang lebih besar untuk menolongnya, karena mereka sebangsa, namun juga karena kedudukan mereka sebagai pemuka umat. Sebaliknya, akan lebih mudah dimengerti jika orang Samaria itu memilih untuk tidak menolongnya, sebab saat itu bangsa Yahudi tidak bergaul dengan orang Samaria (lih Yoh 4:9). Namun demikian, yang terjadi dalam perumpamaan itu adalah sebaliknya: sesama orang Yahudi yang seharusnya menolong malah tidak menolongnya, sedangkan orang Samaria yang tidak dianggap teman itulah yang menolongnya. Kisah ini seharusnya membuka pemikiran kita tentang apakah kita sudah menjadi ‘orang Samaria yang baik hati’ bagi orang yang membutuhkan pertolongan, terutama jika itu adalah saudara kita sendiri?
4. Makna allegoris dari perumpamaan ini
Dikisahkan bahwa orang yang jatuh ke tangan penyamun itu sedang dalam perjalanan dari Yerusalem ke Yerikho. Secara geografis, ketinggian Yerusalem dari air laut lebih tinggi daripada ketinggian Yerikho, sehingga jalan dari Yerusalem menuju Yerikho adalah jalan menurun. Yerusalem sering disebut sebagai kota yang kudus/ surgawi, sedangkan Yerikho, kota duniawi. Maka secara simbolis, penurunan ini menggambarkan jatuhnya seseorang dari keadaan rahmat.
St. Agustinus mengajarkan bahwa orang Samaria ini menggambarkan Kristus sendiri, dan orang yang jatuh ke tangan penyamun itu adalah Adam, yang menggambarkan keseluruhan umat manusia yang jatuh dalam dosa oleh jebakan si Jahat. ((St. Augustine, De verbis Domini sermones, 37)) Terdorong oleh belas kasihan, Kristus turun ke dunia untuk menyembuhkan luka-luka manusia, dan menjadikan luka-luka tersebut sebagai luka-luka-Nya sendiri (lih. Yes 53:4; Mat 8:17, 1 Pet 2:24, 1 Yoh 3:5). Kristus merawat luka- luka itu dan mengolesinya dengan minyak dan anggur, yang menggambarkan sakramen; sedangkan tempat penginapan itu menggambarkan Gereja. Perumpamaan ini menggambarkan kisah belas kasihan Kristus kepada umat manusia, sejalan dengan banyak ayat lain di dalam Injil yang menunjukkan betapa Ia berbela rasa dengan sesama-Nya yang menderita (lih. Mat 9:36, Mrk 1:41, Luk 7:13).
5. Pengajaran Magisterium tentang perumpamaan Orang Samaria yang baik hati
a. Katekismus Gereja Katolik
KGK 1825 Kristus telah wafat karena kasih terhadap kita, ketika kita masih “musuh” (Rm 5:10). Tuhan menghendaki agar kita mengasihi musuh-musuh kita menurut teladan-Nya (Mat 5:44), menunjukkan diri kita sebagai sesama kepada orang yang terasing (Bdk. Luk 10:27-37), dan mengasihi anak-anak (Bdk. Mrk 9:37) dan kaum miskin (Bdk. Mat 25:40, 45).
Santo Paulus melukiskan gambaran mengenai kasih yang tidak ada tandingannya: Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri: Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu” (1 Kor 13:4-7).
b. Paus Yohanes Paulus II
Dalam surat ensikliknya, Christifideles laici, Salvifici doloris, seperti dikutip dalam khotbahnya di peringatan ke delapan World Day of the Sick, di Roma 11 Februari 2000.
“Gereja, “dari abad ke abad…. telah membuat perumpamaan Injil Orang Samaria yang baik hati menjadi nyata kembali dan menyampaikan kasihnya yang menyembuhkan dan penghiburan Yesus Kristus….Ini terjadi melalui komitmen yang tak kenal lelah dari komunitas Kristiani dan mereka semua yang merawat para orang sakit dan yang menderita …. bersama dengan pelayanan yang ahli dan murah hati dari para petugas kesehatan.” ((Paus Yohanes Paulus II, Christifideles laici, 53)).
“Teladan Kristus, Sang Orang Samaria yang baik hati, harus menjadi inspirasi bagi sikap orang beriman, mendorongnya untuk “dekat” kepada saudara dan saudarinya yang menderita, melalui penghormatan, pengertian, penerimaan, kelemahlembutan, belas kasihan dan kesediaan tanpa pamrih. Adalah masalah memerangi ketidakpedulian yang membuat tiap-tiap orang dan kelompok dengan egonya menarik diri ke dalam diri mereka sendiri. Sampai akhir, “keluarga, sekolah dan institusi- institusi pendidikan harus, jika untuk alasan-alasan kemanusiaan, bekerja keras demi membangunkan kembali dan menyempurnakan rasa peduli terhadap sesama dan penderitaannya.” ((Paus Yohanes Paulus II, Salvifici doloris, 29)).
Dalam surat ensikliknya Evangelium Vitae:
“Selanjutnya, bagaimana kita gagal untuk menyebutkan semua tanda sehari- hari tentang keterbukaan, pengorbanan dan perawatan yang tak memikirkan diri sendiri yang dibuat oleh orang- orang yang tak terhitung banyaknya di dalam keluarga, rumah sakit, panti asuhan, panti jompo dan pusat- pusat lain atau komunitas lainnya yang mendukung kehidupan? Dipimpin oleh teladan Yesus, “Orang Samaria yang baik hati” (lih Luk 10:25-37) dan ditopang oleh kekuatan-Nya, Gereja telah selalu berada di garis depan dalam hal memberikan pelayanan kasih: begitu banyak putera puterinya, terutama para religius, dalam bentuk tradisional ataupun baru, telah membaktikan dirinya dan terus membaktikan hidup mereka kepada Tuhan, memberikan diri mereka secara cuma-cuma demi kasih kepada sesama, terutama mereka yang lemah dan membutuhkan pertolongan. Perbuatan- perbuatan ini memperkuat dasa “masyarakat kasih dan kehidupan” yang tanpanya kehidupan setiap orang dan kelompok kehilangan kualitas manusiawi yang paling asli. Bahkan jika perbuatan- perbuatan tersebut tidak nampak di hadapan kebanyakan orang, iman menjamin kita bahwa Allah Bapa “yang melihat yang tersembunyi” (Mat 6:6) tidak hanya akan memberi penghargaan akan perbuatan- perbuatan ini, tetapi telah di sini dan sekarang membuat mereka menghasilkan buah yang kekal demi kebaikan semua orang. ((Paus Yohanes Paulus II, Evangelium vitae, 27))
Seorang asing bukan lagi orang asing bagi orang yang harus menjadi sesama bagi yang membutuhkan pertolongan, sampai pada titik menerima tanggung jawab bagi kehidupannya, seperti ditunjukkan jelas dalam perumpamaan Orang Samaria yang baik hati (lih. Luk 10:25-37). Bahkan musuh berhenti menjadi musuh bagi orang yang wajib untuk mengasihinya (lih. Mat 5:38-48; Luk 6:27-35), untuk melakukan kebaikan kepadanya (lih. Luk 6:27, 33, 35) dan untuk segera menanggapi kebutuhan-kebutuhannya yang genting dan tanpa pengharapan untuk dibayar kembali (lih. Luk 6:34-35). Keluhuran kasih ini adalah untuk berdoa bagi musuhnya. Dengan melakukan hal itu, kita mencapai kesesuaian dengan kasih Tuhan yang memelihara: “Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar.” (Mat 5:44-45; lih. Luk 6:28, 35) ((Paus Yohanes Paulus II, Evangelium vitae, 41))
c. Paus Benediktus XVI
Dalam surat ensikliknya, Deus Caritas est:
“Perumpamaan Orang Samaria yang baik hati (lih. Luk 10:25-37) memberikan dua penjelasan yang sangat penting. Sampai saat itu, konsep “sesama” dimengerti sebagai mengacu secara mendasar kepada saudara-saudara sebangsa dan kepada orang-orang asing yang sudah menetap di Israel; dengan perkataan lain, kepada komunitas suatu bangsa yang sudah terjalin erat. Batasan ini sekarang dihapuskan. Siapapun yang membutuhkan saya, dan yang dapat saya bantu adalah sesama saya. Konsep: “sesama” sekarang menjadi universal, tetapi tetap konkret. Walaupun telah diluaskan kepada semua umat manusia, ‘sesama’ ini tidak direduksi menjadi sesuatu yang generik, abstrak dan tidak menyatakan kasih; tetapi yang meminta komitmen praktis saya, di sini dan sekarang….” ((Paus Benediktus XVI, Deus Caritas est, 15))
Perumpamaan Orang Samaria yang baik hati tetap menjadi patokan yang menekankan kasih yang universal kepada mereka yang membutuhkan yang kita temui “secara kebetulan” (lih. Luk 10:31), siapapun dia. Tanpa menyimpang dari perintah mengasihi yang universal ini, Gereja juga mempunyai tanggungjawab yang khusus: di dalam keluarga gerejawinya tidak seorang anggotapun harus menderita kekurangan. Ajaran dari surat kepada jemaat di Galatia cukup tegas: “Karena itu, selama masih ada kesempatan bagi kita, marilah kita berbuat baik kepada semua orang, tetapi terutama kepada kawan-kawan kita seiman.”
((Paus Benediktus XVI, Deus Caritas est, 25))
Kesimpulan
Tuhan Yesus mengajarkan kepada kita, bahwa hanya dengan mengasihi Tuhan-lah kita dapat hidup bahagia. Kasih kepada Tuhan itu diikuti dan diwujudkan oleh kasih kepada sesama, sebab kita percaya Tuhan hadir di dalam sesama kita yang membutuhkan pertolongan (lih. Mat 25:40). Kisah orang Samaria yang baik hati mendorong kita untuk mengasihi tanpa memandang bulu, tanpa membeda- bedakan ras dan golongan, dan tanpa mengharapkan balasan. Kristus sendiri telah memberikan teladan kepada kita, sebab Ia-lah yang digambarkan sebagai orang Samaria yang baik hati itu. Kristus telah menolong kita, menyembuhkan luka-luka kita akibat kejatuhan kita ke dalam dosa. Setelah mengalami pertolongan Tuhan ini, kitapun dipanggil oleh Kristus untuk melakukan hal yang sama, yaitu menolong sesama kita yang juga membutuhkan pertolongan, baik itu adalah teman kita, ataupun orang yang membenci kita. Setelah kita memenuhi tugas kewajiban kita di dalam keluarga dan pekerjaan kita, kita perlu juga berkarya bagi orang lain dengan menjadi “Orang Samaria yang baik hati” bagi mereka yang membutuhkan. Dengan melakukan hal ini, kita membagikan kasih Tuhan, dan hati kita akan memperoleh suka cita.
Mari kita tanyakan kepada diri kita sendiri: kepada siapakah kita dapat menjadi “orang Samaria yang baik hati” pada hari ini?
tuhan yesus memberkati kita semua
tugas agama aku selesai tanpa tuhan yesus yang membimbing aku pasti tugas agama aku tdk selsai
gbu…..:)
namae: anas m zainuddin
kelas: VII.2
sekolah: smp negeri 34 makassar
alamat: btn mangga tiga blok c
Dear Katolisitas,
1. Siapakah orang Samaria itu, dan mengapa mereka dianggap kafir oleh orang Yahudi?
2. Apakah maksud dari Yoh 21:22? Tentang murid yang dikasihi?
Trimakasih.
Shalom Johanes, 1. Tentang bangsa Samaria Bangsa Samaria sering dianggap kafir oleh bangsa Yahudi, sebab bangsa Samaria adalah keturunan dari suku-suku Israel yang kemudian bercampur dengan suku-suku lain non- Israel yaitu bangsa Khaldea, Kuthea, Syria dan Arab, dan kemudian membentuk suatu agama baru yang merupakan campuran antara agama mereka dengan tahyul yang mereka peroleh dari bangsa-bangsa tersebut. Dengan demikian, bangsa Yahudi yang mengklaim bahwa mereka meneruskan ajaran murni nenek moyang mereka, membenci kaum Samaria. Sekilas tentang sejarah bangsa Samaria, silakan membaca di link ini, silakan klik. 2. Tentang Yoh 21:22 Jawab Yesus: “Jikalau Aku menghendaki, supaya ia tinggal hidup sampai… Read more »
apakah agama Yesus? dalam Luk 10:25-37
Shalom Helmyda, Memang Kristus lahir dan takluk kepada Hukum Taurat (lih. Gal 4:4) – yang intinya adalah mengajarkan kasih kepada Allah dan kepada sesama. Namun demikian, Kristus adalah Firman yang menjadi manusia dan Firman ini adalah Allah (lih. Yoh 1:1). Karena Kristus adalah Allah dan Allah adalah kasih (lih. 1Yoh 4:8), maka Kristus juga mengatakan agar kita mengikuti Dia dan meninggalkan segala sesuatu (lih. Mrk 10:29), yang berarti mengikuti Kristus yang adalah Allah sesungguhnya adalah merupakan manifestasi dari kasih kepada Allah yang melebihi segala sesuatu. Kalau Kristus kemudian mendirikan Gereja-Nya (lih. Mat 16:16-19) dan Gereja-Nya adalah Gereja Katolik – lihat… Read more »
Dear Katolisitas,
Boleh tanya mengapa pada zaman Tuhan Yesus, kaum Samaria seperti kasta kelas dua, dikatakan bahwa orang mereka tidak bergaul dengan orang Samaria (di Injil Lukas).
Apa latar belakang sejarah ini. Bukankah Samaria pernah menjadi ibukota kerajaan Israel, setelah terpecah dengan Yehuda?
Terima kasih atas penjelasannya.
Shalom Roberts, Kota Samaria dibangun oleh Raja Israel yang bernama Omri (900 BC). Nama ‘Samaria’ diambil dari nama Semer, pemilik gunung (2 Sam 16:24). Anak Raja Omri, Raja Ahab, menikah dengan Ratu Jezebel dan memperkenalkan penyembahan berhala kepada Baal (1Raj 16:32). Sesudah itu terjadi tiga tahun masa kelaparan. Sejarah Samaria berkaitan dengan beberapa episode hidup Nabi Elia. Samaria kemudian mengalami masa jatuh bangun sejak zaman Raja Ahab sampai Raja Salmanasar IV dan jenderalnya Sargon (721 BC), sampai dengan keturunannya, yang ditandai dengan percampuran dengan bangsa-bangsa pagan dan skismatik. Di Samaria terdapat kuil Baal, yang lebih dulu ada sebelum kuil Agustus… Read more »
Bolehlah kita membedakan kasih yang kita berikan terhadap sesama? Orang yang sudah kita kenal,sering menolong kita di saat kita susah,orang yang mencintai kita,sahabat kita,kelurga kita sendiri bukankah lebih pantas mendapat kasih yang lebih besar daripada musuh kita,orang asing yg belum kita kenal,orang yg pernah membuat kita sengsara,dsb? Misalnya di saat yg sama,seorang sahabat kita membutuhkan donor darah dari kita dan seorang musuh kita yang mengalami kecelakaan juga kebetulan membutuhkan donor darah dari kita.Bukankah kita lebih memilih menyelamatkan sahabat kita daripada musuh kita? Jika kita memilih menyelamatkan musuh kita bukankah kurang adil bagi sahabat kita yg selama ini sering menolong kita?Dan… Read more »
Shalom Tarsisius, Pada dasarnya, untuk melaksanakan perintah-perintah Tuhan diperlukan “prudence“/ kebijaksanaan, sehingga kita dapat melaksanakannya dengan baik sesuai dengan keadaan yang ada dan kemampuan kita. Maka perintah Tuhan untuk mengasihi musuh kita tidak untuk dipertentangkan dengan perintah Tuhan untuk mengasihi sahabat, saudara ataupun orang tua kita. Pada keadaan yang Anda sebutkan itu soal donor darah pada saat sahabat dan musuh (orang yang membenci kita) kita sama-sama mendapat kecelakaan, maka diperlukan kebijaksanaan untuk membantu keduanya, jika kita mau melaksanakan perintah Tuhan. Jika kemampuan kita hanya memungkinkan kita untuk menyumbangkan darah hanya kepada satu orang, tentu kita boleh memilih untuk membantu sahabat… Read more »
Terima kasih Katolisitas,
Saya masih belajar untuk menjadi “Orang Samaria yang baik itu”.
Semoga Tuhan selalu memberkati.
Regard’s,
Lingk. kami St.Michael stasi Kulim Pekanbaru tadi baru saja sukses melaksanakan pertemuan 1 BKSN dengan diwarnai tanggapan dan kesaksian yg nyata dari peserta/umat kring. Beberapa hal yg telah diuraikan dalam ulasan ini juga tercetus dalam pertemuan doa kami. Terima kasih atas lectio divina yg dapat saya renungkan pagi ini. Syaloom
Mari kembali kepada Kitab Suci, karena Kitab Suci merupakan salah satu sumber iman kita, selain Tradisi Suci, dan Magisterium. Kita bersyukur bahwa umat mulai sadar akan pentingnya memahami Kitab Suci. Sekarang ini sudah begitu banyak program memahami Kitab di lingkup Paroki seperti KEP (Kursus Evangelisasi Pribadi). Yang menjadi pertanyaan setelah KEP mau ngapain? KEP itu memang baik, tapi harus ditindaklanjuti untuk tetap bergaul dengan Kitab Suci. Kitab Suci memang harus dibedakan dengan buku-buku yang lain. Ingat Yohanes 1:1:” Pada mulanya Firman, Firman itu bersama-sama dengan Allah, dan Firman itu adalah Allah sendiri”. Jadi membaca Kitab Suci artinya saya mau mendengarkan… Read more »
Shalom.. baik sekali semua yang sudah diuraikan… Tuhan mememang menciptakan kita manusia dengan daya berpikir yang sungguh sangat indah dan luar biasa.. semoga anak-anak Tuhan selalu menjadi inspirasi yang terus menyegarkan hidup.
amin
Terima Kasih atas ulasan Bahan Kitab Suci 2011 ini…
Semoga perumpamaan – perumpamaan Tuhan di Bulan Kitab Suci 2011ini dapat membuat kita semakin taat dan setia kepada Allah dan tidak lupa selalu rendah hati kepada Allah dan sesama…
Semoga Tuhan memberkati kita semua….
GBU
Saya ingin menambahkan: Sebaiknya selama masa BKSN ini umat dalam lingkup KBG atau Lingkungan lebih kita ajak untuk menelaah dengan saksama teks KS yang sudah ditentukan saja (tidak perlu dari sumber lain) dan merenungkan ayat demi ayat dari “Cerita-Cerita Tuhan” yang kita dalami, karena pengetahuan teologis atau tafsir alkitab pada tataran umat tidaklah sama atau cenderung “kurang”. Umat akan lebih bergairah kalau diajak untuk menemukan sendiri apa pesan-pesan yang bisa ditangkap langsung dari setiap ayat yang dibacakan (tentunya sambil dipandu). Referensi-referensi yang perlu disampaikan kepada umat pun (kalau diperlukan) sebaiknya diambil dari ayat-ayat lain dalam alkitab, tidak perlu menggunakan sumber… Read more »
Shalom Agust,
Terima kasih atas masukannya yang sangat baik. Memang di bulan Kitab Suci ini, kita diajak melakukan Lectio Divina, yang juga ditekankan oleh Paus Benediktus XVI dalam Verbum Domini. Dan memang tujuan dari tambahan materi ini bukan untuk seluruh umat, namun sebagai tambahan bahan refleksi terutama bagi para pemandu, seperti yang telah kami jelaskan di bagian ini – silakan klik. Semoga umat Katolik semakin mencintai dan tekun melaksanakan Sabda Tuhan.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Bp.Agust .
Appreciate, ulasan yang sangat bagus dan pastinya akan membantu saya dalam acara BKSN di lingkungan saya. Usul saya Pak, bagaimana kalau pertemuan ke II juga bapak bahas atau tambahkan sehingga bisa menambah wacana saya. Terima kasih dan Tuhan Memberkati.
Alhamdulilah, saya mendapatkan materi yang PAS untuk menjadi pembawa renungan Pertemuan Pertama dalam rangka BKSN.
Usul, kalau boleh untuk Pertemuan ke II sampai ke IV juga dibahas, sehingga akan menambah wacana saya di dalam mendalami KS dan menafsirkan Perumpamaan yang dilakukan oleh Yesus.
Tuhan memberkati.
[dari katolisitas: silakan melihat ini – silakan klik]
Terima kasih dan Tuhan memberkati.
Haryo Yudhanto
Bandar Lampung.
Wah sama nih saya juga lagi cari bahan untuk pendalaman iman BKSN di bln Sept.
Terima kasih ibu Ingrid,
Sungguh-sungguh menginspirasi hidup saya kembali…
Semoga Tuhan memberkati karya-karya Ibu selalu..
Shalom, Bu Ingrid…
Wah, artikel ini sungguh sangat berguna, karena secara tidak sengaja hari ini saya buka website untuk mencari tambahan bahan untuk diberikan di lingkungan dalam rangka BKSN bulan depan…e…ternyata pas, karena bahan untuk BKSN di Semarang bahannya salah satunya ya ini, tentang Orang Samaria yang Baik Hati. Terima kasih, ya Bu.