Nasihat terhadap Percabulan (1Kor 6:12-20)

Di dalam kehidupan masyarakat sekarang ini, nampaknya dosa percabulan adalah dosa yang semakin marak dilakukan. Hal ini sebetulnya memprihatinkan, sebab sepertinya zaman ini masih mirip dengan zaman di abad pertama, saat Rasul Paulus juga menghadapi situasi serupa dalam kehidupan masyarakat di Korintus. Sejarah manusia yang sudah melewati masa 2000 tahun setelah zaman Yesus Kristus nampaknya masih belum beranjak dari dosa yang satu ini. Marilah kita bersama melihat, apakah sebenarnya yang diajarkan oleh firman Tuhan tentang hal ini. Berikut ini adalah keterangan mengambil sumber utama dari penjelasan The Navarre Bible, tentang perikop tersebut: ((The Navarre Bible, Corinthians, ed. Jose Maria Casciaro, (Dublin: Four Courts Press, 1981), p. 80-84))

Latar belakang

Di perikop ini Rasul Paulus membahas tentang beratnya dosa percabulan/ ketidakmurnian. Kemerosotan moral yang terjadi di masyarakat sebelum kedatangan Yesus (lih. Rom 1:18-22) telah mengakibatkan beberapa bangsa pagan kehilangan perasaan berdosa dalam hal dosa seksual. Oleh sebab itu Rasul Paulus kerap mengingatkan beratnya dosa ini kepada orang-orang Kristen yang dilahirkan sebagai bangsa pagan (lih. Kis 15:29; 1 Tes 4:3-5).

Situasi di Korintus juga cukup serius. Sebagai kota pelabuhan, kota ini terkenal sebagai tempat persinggahan dan marak dengan dosa seksual. Banyak orang di Korintus menyembah dewi Aphrodite, dan pelacuran dipandang sebagai konsekrasi terhadap dewi tersebut. Itulah sebabnya Rasul Paulus mengingatkan kepada jemaat Korintus yang berasal dari masyarakat pagan ini, akan seriusnya dosa percabulan, dan menolak alasan apapun untuk membenarkannya (ay. 12-14). Rasul Paulus menjelaskannya mengapa dosa tersebut menentang Kristus (ay. 15-18) dan Roh Kudus (ay. 19-20).

Renungan

ay. 12-14. “Segala sesuatu halal bagiku.” Rasul Paulus menggunakan ekspresi ini untuk menjelaskan tentang kemerdekaan Kristiani, jika dibandingkan dengan ketentuan hukum Taurat Yahudi tentang kenajisan menurut hukum, makanan, pelaksanaan Sabat, dst, untuk menekankan kemerdekaan yang diperoleh Kristus bagi manusia melalui wafat-Nya di salib (lih. Gal 4:31). Kemerdekaan ini maksudnya adalah umat Kristen tidak lagi menjadi hamba dosa, -dan dengan mengambil bagian dalam Baptisan Kristus yang adalah Raja- telah memperoleh kuasa juga atas hal-hal duniawi. Namun banyak orang mengartikan ini dan menggunakan kebebasan mereka sebagai “excuse“/ pembenaran untuk hidup tanpa mengindahkan perintah-perintah Tuhan. Rasul Paulus menjelaskan bahwa apa yang tidak menentang hukum-hukum Tuhan adalah sesuatu yang diizinkan, dan apa yang menentang hukum Tuhan artinya adalah jatuh kembali kepada perbudakan yang lama [yaitu perbudakan dosa].

Bapa Gereja, Origen di abad ke 2 menjelaskan, “Tidaklah dapat terjadi, bahwa jiwa harus berjalan tanpa siapapun yang membimbingnya; itulah sebabnya mengapa jiwa yang telah dibebaskan dengan Kristus sebagai Raja-nya; mengalami bahwa beban-Nya mudah dan ringan (lih. Mat 11:30)- berbeda dengan iblis yang menguasai dengan jalan yang membebani/ memberatkan. (Origen, In Rom. Comm., V.6). Janji Kristus bahwa Ia akan menyertai kita untuk melaksanakan hukum-hukum-Nya, seharusnya menjadi penyemangat bagi kita. Sebab oleh bantuan rahmat-Nya, apa yang nampaknya sulit ataupun mustahil di mata dunia, akan mampu kita laksanakan dengan gembira, contohnya, untuk tetap setia dalam perkawinan bagi pasangan suami istri, dan hidup selibat bagi kaum religius.

Kesetiaan ini nampaknya sulit dicapai, jika kita memakai kacamata dunia, yang menganggap bahwa dosa ketidakmurnian adalah kebutuhan yang wajar bagi tubuh, seperti halnya makanan. Rasul Paulus menolak anggapan ini, dengan menjelaskan bahwa hubungan antara makanan dan perut tidak sama dengan antara tubuh dan percabulan. Bahkan tubuh-pun tidak harus diarahkan untuk perkawinan, sebab walaupun perkawinan diperlukan untuk meneruskan generasi manusia, namun perkawinan tidak mutlak  bagi setiap orang (lih. St. Pius V Catechism, II, 8,12). Rasul Paulus menempatkan tubuh di ranah yang lebih tinggi: “Tubuh untuk Tuhan dan Tuhan untuk tubuh”, dan adalah kehendak Tuhan untuk mengangkat tubuh -melalui kebangkitan badan- agar hidup kembali di Surga kelak (lih. Rom 8:11), di mana makanan atau apapun sehubungan dengan kebutuhan jasmani tidak lagi dibutuhkan oleh tubuh.

Dengan mengarahkan keseluruhan pribadi manusia- jiwa dan tubuh- kepada Tuhan, maka kebajikan kemurnian mempunyai sifat positif yang tinggi. Dengan kebajikan ini kita mempunyai kecenderungan untuk mengisi hati kita dengan kasih kepada Tuhan, yang telah memanggil kita bukan untuk melakukan kecemaran, melainkan untuk hidup di dalam kekudusan (lih. 1 Tes 4:7). Jose Maria Escriva Yang Terberkati mengatakan, “Jika seseorang mempunyai Roh Allah, kemurnian bukanlah merupakan suatu beban yang sukar dan memalukan, tetapi suatu peneguhan yang menggembirakan… Untuk menjadi murni, kita perlu menundukkan perasaan di bawah akal budi, tetapi untuk maksud yang murni, yaitu demi menanggapi tuntutan Kasih…. Kebajikan kemurnian ini seumpama sayap yang memampukan kita untuk membawa ajaran Tuhan, perintah-perintah-Nya, ke manapun di dunia ini, tanpa takut bahwa kitapun akan menjadi tercemar di dalam prosesnya. Sayap, bagi burung, adalah sebuah beban…. Tetapi tanpa sayap, burung tak dapat terbang…. [Ingatlah], jangan menyerah ketika kamu merasakan sengat pencobaan, dengan anggapan bahwa kemurnian adalah suatu beban yang tak dapat dipikul. Tabahlah! Terbanglah yang tinggi, menuju matahari, untuk mencapai Sang Kasih.” (Blessed Jose Maria Escriva, Friends of God, 177)

ay. 15-18. Rasul Paulus menjelaskan betapa besar pelanggaran dosa percabulan di mata Tuhan Yesus. Seorang Kristiani telah menjadi anggota Tubuh Kristus melalui Baptisan. Ia harus hidup dalam hubungan yang erat dengan Kristus, dengan mengambil bagian/ menerima hidup dari Kristus itu sendiri (lih. Gal 2:20), menjadi “satu Roh dengan Dia” (lih. Rom 12:5; 1Kor 12:5). Ketidakmurnian seksual (percabulan) adalah dosa yang berat karena dengan dosa ini, seseorang memutuskan hubungannya dengan tubuh Kristus, untuk menjadi satu tubuh dengan pelacur (lih. ay.16). Oleh karena itu, dosa percabulan adalah dosa melawan tubuh sendiri yang adalah bagian dari Tubuh Mistik Kristus, dan juga dosa melawan Kristus yang menghendaki kemurniannya.

“Jauhkanlah dirimu dari percabulan” adalah jalan yang harus ditempuh ketika kita sedang dicobai dalam hal kemurnian. Pencobaan melawan kebajikan yang lain dapat diatasi dengan menempatkan penahan, tetapi dalam hal ini, St. Thomas Aquinas mengajarkan, “seseorang tidak akan menang dengan menempatkan penahan, sebab semakin seseorang memikirkan tentang hal tersebut, semakin ia akan terpengaruh olehnya. Ia akan menang jika ia lari daripadanya – yaitu dengan menghindari pikiran-pikiran yang cemar itu sepenuhnya dan dengan menghindari semua kesempatan untuk berbuat dosa” (St. Thomas Aquinas, Commentary on 1 Cor, ad loc.) St. Yohanes Vianney memberikan tips serupa untuk melaksanakan kemurnian, demikian, “Pertama, waspadalah terhadap apa yang kita lihat, dan apa yang kita pikirkan, kita katakan dan kita lakukan; kedua, berlindunglah pada kekuatan doa; ketiga, seringlah menerima sakramen dengan pantas; keempat, larilah dari apapun yang dapat mencobai kita terhadap dosa ini, kelima, milikilah devosi kepada Perawan Maria yang terberkati. Jika kita melakukan semua ini, maka, tak peduli apapun yang dilakukan oleh musuh-musuh kita (si Jahat), dan tak peduli apakah kebajikan yang kita miliki masih sangat rapuh, namun kita dapat yakin bahwa kita sedang bertahan di dalamnya [dalam kebajikan kemurnian tersebut].” (St. John Mary Vianney, Sermon on the seventeenth Sunday after Pentecost, II).

ay. 19-20. Percabulan bukan hanya adalah pencemaran terhadap Tubuh Kristus, tetapi juga pencemaran terhadap bait Roh Kudus – sebab Tuhan berdiam/ tinggal di dalam jiwa, melalui rahmat sebagaimana di dalam kenisah (lih. 1 Kor 3:16-17). “Doa kontemplatif akan naik di dalam dirimu, ketika kamu merenungkan kenyataan yang sangat mengesankan ini: ‘Sesuatu yang bersifat material seperti tubuhku telah dipilih oleh oleh Roh Kudus untuk menjadi tempat kediaman-Nya ….. Aku tidak lagi menjadi milik diriku sendiri …. Tubuh-ku dan jiwa-ku, keseluruhan diriku, adalah milik Tuhan ….’ Dan doa ini mempunyai banyak konsekuensi praktis, yang berasal dari konsekuensi besar yang diajarkan oleh Rasul Paulus: “muliakanlah Tuhan dengan tubuhmu” (1 Kor 6:20). (Blessed Jose Maria Escriva, Conversations, 121).

“Kamu telah dibeli dan hargamu telah dibayar”: Penebusan kita oleh Kristus, yang diperoleh dari wafat-Nya di salib, adalah harga yang dibayar untuk menebus umat manusia dari dosa dan kematian. “Sebab kamu tahu, bahwa kamu telah ditebus dari cara hidupmu yang sia-sia yang kamu warisi dari nenek moyangmu itu bukan dengan barang yang fana, bukan pula dengan perak atau emas, melainkan dengan darah yang mahal, yaitu darah Kristus yang sama seperti darah anak domba yang tak bernoda dan tak bercacat.” (1Pet 1:18-19; Ef 1:7). Itulah sebabnya, kita bukanlah lagi milik diri kita sendiri, kita sekarang adalah milik Kristus. Kita semua adalah anggota Kristus, bait Allah Roh Kudus. Permenungan akan kebenaran ini seharusnya senantiasa memimpin umat Kristiani untuk hidup sesuai dengan panggilannya, sebagai anak-anak angkat Allah.

Paus Leo Agung mengatakan, “Umat Kristiani, ingatlah akan siapa dirimu; kamu telah mengambil bagian dalam kodrat Tuhan. Maka, jangan berpikir untuk kembali kepada perbuatan jahatmu yang dahulu. Ingatlah akan Siapa kepalamu sekarang, dan yang tubuh-Nya kamu adalah anggotanya. Jangan lupa bahwa kamu telah dibebaskan dari kuasa kegelapan dan dibawa kepada terang, kepada Kerajaan Allah. Terima kasih kepada sakramen Baptis, engkau telah menjadi bait Allah Roh Kudus. Jangan berpikir untuk mengusir Sang Tamu Agung dengan berbuat kejahatan; jangan berpikir untuk menundukkan dirimu kepada perbudakan setan, sebab harga yang telah dibayar untukmu adalah darah Kristus” (St. Leo the Great, First Nativity Sermon).

ay. 20. “Maka muliakanlah Allah dengan tubuhmu”. Ajaran ini adalah konsekuensi logis dari ajaran Rasul Paulus lainnya yang mengatakan, “Kemurnian sebagai sebuah kebajikan, adalah kemampuan untuk menguasai tubuh sendiri di dalam kekudusan dan penghormatan (lih. 1 Tes 4:4). Sejalan dengan kurnia kemurnian sebagai buah dari berdiamnya Roh Kudus dalam tubuh bagaikan kenisah, menghasilkan martabat yang sedemikian tinggi dalam hubungan yang erat dengan Tuhan sendiri, sehingga Allah dimuliakan dalam tubuh kita. Kemurnian adalah kemuliaan tubuh manusia di mata Tuhan. Kemurnian adalah kemuliaan Tuhan di dalam tubuh manusia” (Paus Yohanes Paulus II, General Audience, 18 March 1981).

Dalam penjelasan tentang ayat ini, St. Yohanes Krisostomus mengingatkan tentang apa yang dikatakan Tuhan Yesus dalam Mat 5:16- “agar mereka dapat melihat perbuatanmu yang baik, dan memuliakan Bapamu yang di Surga”- untuk menunjukkan bahwa kehidupan seorang Kristen yang murni harus mengarahkan mereka yang hidup di sekitarnya kepada Tuhan. “Ketika mereka melihat seorang yang kudus melaksanakan kebajikan yang tertinggi, mereka diharuskan untuk merefleksi [diri mereka sendiri] dan mereka akan tersipu melihat perbedaan antara hidup mereka dengan hidup seorang murid Kristus yang sejati. Sebab ketika mereka melihat seseorang yang sama-sama mempunyai kodrat yang sama, namun dapat menjadi lebih ‘tinggi’ di atas mereka [karena kebajikan kemurnian tersebut]… bukankah mereka diharuskan percaya bahwa sebuah kekuatan ilahi telah bekerja di sini, untuk menghasilkan kekudusan itu?” (Hom. on 1 Cor 18, ad. loc.).

Jika kita melihat begitu banyak orang kudus dalam sejarah Gereja, yang memiliki kasih yang sempurna kepada Allah dan sesama, selayaknya kita tunduk mengakui akan betapa besarnya rahmat Tuhan yang dapat dicurahkan kepada mereka yang sungguh mau bekerja sama dengan rahmat-Nya untuk mewujudkan rencana Tuhan dalam hidup mereka. Tiada yang mustahil bagi Allah, untuk membantu setiap orang yang mau berjuang untuk hidup lebih baik, lebih murni dan lebih kudus setiap hari.

Bagi para religius, kebajikan kemurnian dinyatakan dengan kesetiaan menjaga kemurnian jiwa dan tubuh, yang nyata dalam kaul hidup selibat, demi Kerajaan Allah. Bagi suami istri kebajikan kemurnian ini terutama dinyatakan dengan kesediaan untuk memberikan kasih yang total tanpa syarat kepada pasangan, dalam hubungan kasih suami istri yang selalu terbuka kepada kemungkinan kehidupan baru.

Selanjutnya tentang kemurnian dalam kehidupan perkawinan, klik di sini, sedangkan kemurnian di luar kehidupan perkawinan, klik di sini.

4.5 6 votes
Article Rating
27 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
Romo pembimbing: Rm. Prof. DR. B.S. Mardiatmadja SJ. | Bidang Hukum Gereja dan Perkawinan : RD. Dr. D. Gusti Bagus Kusumawanta, Pr. | Bidang Sakramen dan Liturgi: Rm. Dr. Bernardus Boli Ujan, SVD | Bidang OMK: Rm. Yohanes Dwi Harsanto, Pr. | Bidang Keluarga : Rm. Dr. Bernardinus Realino Agung Prihartana, MSF, Maria Brownell, M.T.S. | Pembimbing teologis: Dr. Lawrence Feingold, S.T.D. | Pembimbing bidang Kitab Suci: Dr. David J. Twellman, D.Min.,Th.M.| Bidang Spiritualitas: Romo Alfonsus Widhiwiryawan, SX. STL | Bidang Pelayanan: Romo Felix Supranto, SS.CC |Staf Tetap dan Penulis: Caecilia Triastuti | Bidang Sistematik Teologi & Penanggung jawab: Stefanus Tay, M.T.S dan Ingrid Listiati Tay, M.T.S.
top
@Copyright katolisitas - 2008-2018 All rights reserved. Silakan memakai material yang ada di website ini, tapi harus mencantumkan "www.katolisitas.org", kecuali pemakaian dokumen Gereja. Tidak diperkenankan untuk memperbanyak sebagian atau seluruh tulisan dari website ini untuk kepentingan komersial Katolisitas.org adalah karya kerasulan yang berfokus dalam bidang evangelisasi dan katekese, yang memaparkan ajaran Gereja Katolik berdasarkan Kitab Suci, Tradisi Suci dan Magisterium Gereja. Situs ini dimulai tanggal 31 Mei 2008, pesta Bunda Maria mengunjungi Elizabeth. Semoga situs katolisitas dapat menyampaikan kabar gembira Kristus. 
27
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x