Mengapa Mau Menjadi Imam?

Pengantar dari Editor:
Romo Yohanes Dwi Harsanto, Pr atau yang dikenal dengan Romo Santo, adalah salah seorang dari tim para romo di situs Katolisitas, yang sudah banyak dikenal pembaca melalui berbagai tulisan dan pencerahan yang diberikannya dengan hikmat dan pengetahuan, khususnya dalam bidang pembinaan OMK, serta secara unik dalam kaitan pengalamannya dengan eksorsisme, yang sudah dimuat pula dalam rubrik ini. Kali ini Romo Santo berkenan berbagi kisah perjalanan panggilan hidupnya hingga menjadi seorang imam diosesan. Sebuah pengalaman panggilan yang membumi, kuat, dan nyata, yang diuraikan dengan jenaka dan kerendahan hati. Semoga pengalaman panggilan hidup yang sarat dengan kasih penyertaan Tuhan yang indah ini, meneguhkan perjalanan panggilan hidup kita masing-masing sebagai orang beriman, dan semakin menyuburkan benih-benih panggilan di kalangan kaum muda, untuk ditanggapi dengan kegembiraan dan semangat iman, menjadi pekerja-pekerja yang tangguh di kebun anggur-Nya. Terima kasih Rm Santo, kiranya Allah Bapa senantiasa meneguhkan rahmat imamat-Nya dalam seluruh karya pelayanan Rm Santo bagi Kerajaan-Nya.

Keluarga

Saya lahir dan tinggal di desa yang tenang di Dusun Jogonalan Lor, Desa Tirtonirmolo, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, sekitar 1 km dari perbatasan kota Yogyakarta sisi selatan, pada bulan Mei tahun 1972. Ayah saya menjadi Katolik ketika pemuda, dan ibu kandung saya menjadi Katolik sebelum menikah. Kakek nenek dari pihak ibu beragama Islam. Kakek nenek dari pihak ayah beragama Katolik. Saya dibaptis pada tahun 1972 pula oleh pastor Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran, Romo FX. Wiyono, Pr.

Waktu itu, pembaptisan saya berlangsung di rumah kakek dari pihak ibu. Walaupun mereka Muslim, namun perayaan Ekaristi pembaptisan bayi saya itu berlangsung meriah dengan diiringi instrumen musik tradisional Jawa (gamelan). Kakek nenek saya dari pihak ibu memang berpandangan luas dalam hal keagamaan. Saya ialah cucu pertama mereka. Mungkin karena itu pula kakek nenek mengistimewakan pembaptisan saya.

Saya terlahir premature pada tahun 1972. Pada usia kandungan 7 bulan, ibu melahirkan saya. Begitu kecil saya ketika bayi, dan harus selalu dihangati. Ayah saya mengatakan “seperti tikus saja kamu waktu lahir”, dan memang tahun itu bershio tikus juga, jadi agak pantaslah ..he..he. Sebenarnya saya anak kedua. Setahun sebelum saya lahir, ibu melahirkan kakak perempuan saya yang meninggal dunia pada usia lima hari. Setelah saya, terlahir empat adik saya, dua perempuan, dua lelaki. Kini mereka sudah berkeluarga.

Pengalaman Iman Dalam Keluarga

Kisah ini sebenarnya “post factum”. Karena sudah terjadi bahwa saya menjadi imam, maka jadi teringat kisah ini. Pada tradisi Jawa, ada kebiasaan membuat upacara “tedhak siten” (“menginjak bumi”) yaitu upacara yang manandai anak balita mulai berjalan. Harapannya, tapak kaki pertama kali itu semoga membawa rahmat dan keselamatan sampai tua nanti. Waktu itu saya berkesempatan melakukannya. Karena cucu pertama, maka segala tradisi saya alami. Selain “tedhak siten”, waktu saya berumur 8 tahun (sewindu) diadakan upacara pelarungan plasenta saya yang sudah selama 8 tahun disimpan dalam kendhil dan digantung di ruang paling sakral pada rumah tradisional Jawa. Maksudnya ialah agar langkah hidup selanjutnya lancar. Pada upacara adat “tedhak siten”, balita itu harus berjalan di atas jadah (makanan yang dibuat dari beras ketan), sampai sekitar satu meter di depannya. Di ujung, ada kurungan ayam dari bambu, yang di dalamnya diletakkan aneka barang dan mainan. Jika nanti si anak mengambil atau meraih barang tertentu, maka mungkin penghidupannya tak kan jauh dari apa yang disimbolkan oleh barang tersebut. Saya sudah mengalami beberapa kali melihat upacara adat ini, juga setelah dewasa. Dan biasanya secara berkelakar saja semua itu dilaksanakan, dengan suasana gembira. Banyak yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan orangtua. Ada anak yang ketika “tedhak siten” meraih mobil-mobilan, eh di masa dewasanya bahkan tidak punya usaha yang berhubungan dengan mobil, bahkan mobil pun tidak punya selain hanya sering mengendarai mobil umum. Jadi, sebenarnya upacara ini hanyalah simbol harapan orangtua terhadap anaknya. Jika anak meraih rumah-rumahan atau mobil-mobilan atau uang-uangan maka diharapkan ia kelak akan sejahtera duniawi. Benda apakah yang kuraih pada waktu itu? Pada waktu itu, saya meraih seuntai rosario! Itu karena nakalnya ayah saya saja, karena tiba-tiba beliau meletakkan seuntai rosario di dalam kurungan. Mungkin karena refleks melihat ayah menaruhnya, maka saya raihlah rosario ayah. Mungkin saja nenek kakek dan hadirin lain kecewa, kok yang saya raih rosario. Calon masa depan tidak cerah nih, karena pada masa itu belum banyak pengusaha rosario dan toko barang rohani.. he..he. Tapi dari sisi positif, mereka memaknainya bahwa bisa saja nanti anak ini menjadi ulama.

Saya mendengar dari cerita orangtua, bahwa almarhumah nenek buyut saya dari jalur ayah telah dibaptis Katolik pada era 1960an. Alasan beliau sederhana: jika meninggal nanti, beliau ingin jenazahnya dirias dan berpakaian pantas untuk Tuhan, serta didoakan anak cucu dan orang banyak. Beliau tahu dari melayat bahwa jenazah orang Katolik diberkati, arwahnya didoakan dan penampilan jenazah itu tampak tenang damai, tidak menakutkan. Karena motivasi hidup kekal bahagia itu, tiap dini hari nenek buyut saya berjalan kaki dari rumah ke gereja Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran untuk mengikuti misa pagi. Bahkan sebelum pintu gereja dibuka, nenek buyut saya sudah bersimpuh, berdoa Rosario di depan pintu itu, menunggu dibuka pukul 05.00 WIB.

Walaupun keluarga kami tidak sempurna, namun ada sauh yang kuat bagi saya pribadi yaitu kebiasaan doa bersama. Setiap sore bapak ibu mengajak kami berlima berdoa, baik dari buku doa “Madah Bakti”, maupun yang berbahasa Jawa “Padupan Kencana”. Kami pun didorong aktif di lingkungan kami, lingkungan Emmanuel, dan wilayah Santo Yusuf Padokan untuk ikut doa bersama, kegiatan Sekolah Minggu, Putra Altar, Legio Mariae. Mereka sendiri aktif, maka kami anak-anaknya pun mau tak mau ikut aktif.

Ayah ibu rutin mengajak saya ikut Ekaristi. Saya ingat ketika pertama kali saya melihat lampu tabernakel yang berkelip berwarna merah, saya tertarik lalu berjalan menuju lampu itu, ingin menyentuhnya. Lampu itu selalu menarik perhatian saya. Begitu terus. Sampai suatu malam ketika ikut adorasi Sakramen Mahakudus di gereja, saya mulai bisa bertanya kepada ibu sambil menunjuk ke monstrans, “apa itu”, dan jawaban ibu saya ingat sampai sekarang: “Kae Gusti Yesus” (“Itu Tuhan Yesus”).

Awal Ketertarikan Menjadi Imam

Sejak usia balita saya sudah kenal dengan imam-imam paroki Pugeran yang suka berkunjung atau mampir ke rumah. Yang saya ingat ialah almarhum Romo Alexander Sandiwan Broto Pr, alm. Rm J.S. Tjokroatmodjo Pr, Rm FX Wiyono Pr yang membaptis saya, Rm Y. Harjoyo Pr yang padanya saya menerima komuni pertama dan mengaku dosa pertama kali. Selain para pastor paroki, juga alm. Rm Jan Weitjen SJ suka mengunjungi kampung kami dan mencatat nama-nama umat. Memang Romo Jan Weitjens suka masuk ke kampung-kampung naik sepeda kayuh, dengan tas kulit besar berwarna coklat dan hitam di bagasi dan di batang besi sepedanya. Dari mulutnya sering terdengar dendang lagu-lagu. Kami anak-anak suka sekali jika beliau datang. Kami dorong sepedanya, kami bawakan tas beliau. Kami suka beliau dengan badan yang tinggi besar dan hidung mancung membagi-bagikan gambar-gambar kudus, mencatati nama-nama kami dan saudara-saudara kami, berbincang dengan bahasa Jawa yang sangat fasih melebihi kami, lalu memberkati kami. Dengan jubah putih yang dihiasi benang tisikan di sana sini bahkan ada tambalannya, saya mengalami sosok yang damai dan penuh suka cita. Para pastor itu berpenampilan sederhana namun terasa tenteram dan gembira berada di dekat mereka. Para imam / pastor ini secara berkala memberikan “wulangan agama” yaitu pelajaran/pengajaran iman Katolik”, perayaan Ekaristi, serta kunjungan umat dari rumah ke rumah, mendoakan yang sakit, mendengarkan pengakuan dosa / Sakramen Tobat dan memberikan Sakramen Pengurapan Orang Sakit. Di kawasan pedesaan kami waktu itu, kebiasaan ini membuat kami semua merasa “Katolik banget”, dalam arti, iman kami teguh dan kami makin mantap mempraktekkan iman Katolik. Kami mengasihi para imam kami yang mendedikasikan diri sepenuhnya untuk keselamatan jiwa-jiwa umat yang dikasihi Kristus. Itulah benih panggilan yang pertama.

Benih yang kedua ialah kebiasaan doa dan kekaguman pada otoritas Gereja dalam imamat. Kebiasaan doa keluarga dan pribadi, serta berkala mengikuti Ekaristi, keaktifan sebagai putra altar dan legioner Maria, membuat saya sejak kecil mengalami keakraban dengan Gereja, imamat, sakramen. Karena itu, ketika melanjutkan sekolah di SMP negeri dan SMA negeri, saya mengalami pula bahwa tantangan pluralitas di sekolah negeri itu justru membuat kami dan teman-teman seiman terdorong untuk membuat persekutuan doa, retret angkatan, Natalan, dan Paskahan sekolah. Pendek kata, harus berdoa bersama. Kesukaran dan hambatan justru menantang kami waktu itu. Sewaktu SMA, saya rajin setiap malam setelah pk 21.00 bersama seorang teman bersepeda dari rumah ke gua Maria di kompleks gereja Pugeran. Kami berdoa Rosario dengen intensi masing-masing. Waktu itu intensi saya hanya satu: Jika Allah berkenan, saya ingin masuk seminari dan ingin menjadi imam. Sedangkan teman saya yang usianya lebih tua itu ingin bekerja dan memiliki pasangan hidup Katolik yang baik. Setiap Jumat pertama saya dan teman saya ke makam Romo Sandjaja di Muntilan, dan membuat doa yang sama. Saya kira Bunda Maria tahu bagaimana memperbincangkan permohonan kami kepada Kristus, sehingga Kristus tak bisa menolak. Nyatanya kini saya menjadi imam, dan teman saya menjadi kepala keluarga Katolik yang baik.

Pada waktu SMP, saya menerima Sakramen Krisma dari Mgr Julius Darmaatmadja SJ (1985). Untuk pertama kali saya berjumpa dengan uskup, yang selama ini hanya saya sebut namanya dalam doa dan saya lihat gambarnya. Ketika saya SMA, Paus kita waktu itu, Bapa Suci Yohanes Paulus II, berkunjung ke Indonesia termasuk ke Yogyakarta (Oktober 1989). Jadi, saya berjumpa dengan uskup sekaligus paus di wilayahku pula. Para anggota misdinar di wilayah dan paroki se kevikepan DIY, dikerahkan untuk ikut ambil bagian dalam perjumpaan iman dengan Sang Gembala utama ini, wakil Kristus di dunia. Bukan kebetulan, dengan jelas saya berada di belakang panggung tempat Bapa Suci memimpin Ekaristi di lapangan dirgantara kompleks TNI-AU Yogyakarta. Saya melihat beliau dengan jelas, mencermati setiap kata beliau, dan mengalami suka cita. Inilah artinya menjadi Gereja, berada dalam otoritas kegembalaan yang dibuat oleh Tuhan Yesus sendiri. Saya berkenalan dengan nyata, apa arti hierarki Gereja. Saya menjadi tahu, mengapa kakek saya menjadi begitu taat pada romo. Mengenai hierarki ini saya terinspirasi pula oleh pengalaman remeh namun esensial. Pada suatu hari, alm. Romo Sandiwan Broto datang berkunjung ke rumah kami. Waktu itu saya belum masuk SD. Saya ingat peristiwa ini dengan baik. Kakek mengajak saya menemui romo. Sambil saya dipangku kakek, saya dipeganginya dan saya terpaksa mengikuti pembicaraan dua orang tua ini. Saya bosan, ingin lepas dari pangkuan kakek, namun takut. Di mata saya, kakek memang menakutkan, apalagi kalau marah. Mungkin karena melihat saya gelisah, Romo Sandiwan meminta kakek agar jika cucunya ini ingin bermain biarlah saja bermain. Karena perintah itu, maka kakek melepaskan saya, yang dengan lega segera berlari sambil berteriak “Maturnuwun, Romo” (Terima kasih, Romo). Pikir saya, jika kakek yang kepadanya saya takut saja taat pada imam, apalagi terhadap uskup dan paus dan Tuhan Yesus. Kalau nanti saya jadi imam, tentu kakek akan takut pula pada saya… ha..ha..ha. Kakek dipanggil Tuhan pada bulan September tahun 1984, jauh sebelum saya masuk seminari pada tahun 1991 dan ditahbiskan di tahun 2000, sehingga saya tidak bisa berlagak di hadapan beliau ..ha..ha..ha. Ternyata hierarki itu indah. Karena dengan ketaatannya pada perintah Rm Sandiwan, kakek melepaskan saya dari kebosanan untuk hadir dalam urusan yang tak kuketahui.

Benih ketiga ialah ketika saya ingat ingin menerima komuni padahal belum saatnya, yaitu sewaktu saya berumur sekitar 5 atau 6 tahun. Saya merengek-rengek minta komuni. Waktu itu tahun akhir era 1970an belum ada kebiasaan “komuni dahi” alias pemberkatan anak-anak pra komuni pertama. Maka saya begitu iri melihat orang-orang dewasa antre menerima komuni. Saya tahu dari keterangan ibu bahwa itu Tuhan Yesus. Maka menyentuh pun anak kecil tidak boleh. Padahal saya lihat imam di altar menyentuh pertama kali Tubuh Kristus. Saya ingin menjadi imam, agar bisa pertama kali menyentuh Tubuh Kristus dan menyantap-Nya. Kelak, setelah saya imam, saya akan makin tahu lebih mendalam kebenaran kata-kata Tuhan “Inilah Tubuh-Ku… Inilah Darah-Ku” bahkan dengan kata-kata saya sendiri Tuhan mau mengubah roti dan anggur menjadi Tubuh dan Darah-Nya. Saya tertegun ketika mengenangkan bahwa sejak kecil saya sudah ingin menyentuh rahasia yang teramat agung ini.

“Gunung Besar” dan “Among Sukma”

Pada usia SMP, saya membongkar gudang kakek. Saya menemukan sebuah buku stensilan tipis, tua, kumal, milik salah satu paman saya, berjudul “Gunung Besar – Pemandangan tentang Imamat”, terbitan Ende tahun 1950an. Di situ saya membaca mengenai imam-imam yang bekerja di antara suku Indian, yang disebut “Gunung Besar”, karena gunung yang besar selalu memberi petunjuk jalan di padang luas. Ketertarikan saya menjadi imam semakin membesar karena buku tersebut. Di situ ditulis antara lain betapa dunia membutuhkan imam-imam, sejak di samudera, di puncak gunung, di kutub, di kota besar, di pelosok hutan, semua ada jejak-jejak para imam Tuhan yang kudus untuk membawakan Kristus pada jiwa-jiwa dan membawa jiwa-jiwa pada Kristus. Buku kedua yang saya temukan ialah buku berbahasa Jawa, “Among Sukma”, (mungkin bisa diterjemahkan “Bimbingan Jiwa”) karangan AMDG, terbitan Kanisius Jogja tahun 1950an, yang berisi arahan untuk apa hidup di dunia, semacam katekismus dan doa-doa. Di situ dikatakan mengenai kebenaran Kristus dan bahwa tujuan di dunia ini harus menuju surga. Karena itu, diperlukan Tuhan sendiri dalam sakramen-sakramen. Saya menyimpulkan bahwa untuk itulah imam-imam diperlukan, karena tanpa imam yang menerima Sakramen Imamat, tiada Sakramen tanda kehadiran Kristus. Dan saya merasa “wow” dengan kedua buku kumal itu. Menjadi imam? Hhmm… ini bukan hanya profesi seperti halnya notaris, fisikawan, ahli teknik, yang setelah mati akan menghadapi pertanyaan Yesus: “Apa gunanya kamu memperoleh seluruh dunia jika kehilangan nyawamu sendiri?” Imam ialah panggilan untuk keselamatan kekal. Bagaimana Tuhan bisa berkarya jika tidak ada orang yang menyediakan diri menyambut rahmat-Nya dan dibimbing menuju keselamatan? Ketika saya kelak bertugas di paroki Kebon Dalem (2005-2008), umat menjuluki saya “Tan Thay San” yang artinya mirip dengan buku yang pernah saya baca ketika SMP: “gunung yang besar”.

Pada September 1989, sebulan sebelum Bapa Suci Yohanes Paulus II datang ke Yogyakarta, ibu kandung saya dipanggil Tuhan. Suatu kehilangan besar setelah beberapa lama beliau menderita sakit oleh karena kanker. Sebelum ibu meninggal, dalam keadaan sakitnya, saya mengatakan pada beliau bahwa saya mau masuk seminari. Hanya satu yang saya ingat sebagai pesan beliau: “Mau masuk seminari? Apa bisa kamu? Romo-romo itu kebanyakan perutnya gendut. Mungkin karena kebanyakan minum anggur. Tapi kalau nanti jadi imam, perutmu jangan gendut”. Beliau meninggal sebelum saya masuk seminari. Saya tahu, ibu selalu mendoakan saya dan kami semua dari surga. Ketika dalam sakitnya yang sangat parah di malam hari, terdengar ibu menyanyikan lagu “nDherek Dewi Mariyah”, yang membuat saya di kamar sebelah meneteskan air mata dan turut berdoa. Kini terbukti, sampai sekarang perut saya tidak gendut. Mungkin ibu khawatir dengan kesehatan saya sehingga selalu mendoakan saya agar jadi imam yang sehat.

Tahun berikutnya, seorang ibu yang baik menggantikan posisi ibu kandung saya. Beliau menjadi pendamping sambungan bagi ayah saya, sekaligus pembimbing kami yang waktu itu masih kecil-kecil. Ibu sambung saya ini luar biasa. Beliau setiap hari mengikuti misa harian dan aktif di berbagai kegiatan Gereja dan masyarakat. Beliau dekat dengan para romo dan keluarganya sebagian besar Katolik, bahkan ada beberapa imam pula. Saya merasa bahwa Tuhan tidak pernah lalai, jika mengincar orang agar jangan sampai lepas. Saya yang sebenarnya rapuh dan pendosa, justru dikelilingi oleh orang-orang kuat yang dikirimkan Tuhan sendiri agar saya dikuatkan untuk menanggapi kepentingan Tuhan saja. Salah seorang oom saya menasihati: “Kalau niat kuat, pasti jadi karena niat kuat itu pun rahmat Tuhan”. Tapi seorang oom lain yang beragama Islam mengatakan: “Kamu mau jadi romo? Apa bisa?” Kakek saya yang Muslim mengatakan: “Cucunya kakek ya pasti bisa”. Saya tertawa saja dan gembira mendengar dukungan mereka dengan kalimat yang berbeda-beda itu. Sebelum masuk seminari, saya telah pernah mengunjungi seminari menengah Mertoyudan Magelang ketika ada program kunjungan ke Biara OCSO Rawaseneng dan Seminari Mertoyudan yang diadakan paroki dan program agama Katolik di SMP negeri itu. Karena itu saya sudah melatih diri, tidur di papan tanpa kasur, belajar berefleksi dan menuliskan pengalaman. Saya pun memiliki koleksi “Aquila”, bulletin Seminari Mertoyudan yang entah dari mana kutemukan di gudang oom saya. Katanya, dia mendapatkan dari temannya yang eks seminaris.

Tahun 1991, saya mendaftarkan diri ke seminari dan maju menghadapi testing. Ujian tertulis saya lalui dengan baik. Pada pertanyaan wawancara, Rm Gustawan SJ menanyai saya: “Mengapa mau menjadi imam?” Saya menjawab dengan mantap: “Karena ingin”. Sahut beliau: “Ingin apa?” Saya jawab “Ingin menjadi imam”. Beliau tersenyum, lalu meminta saya membaca Injil dalam bahasa Inggris yang beliau sodorkan sekaligus meminta saya menerjemahkannya. Saya tidak tahu apakah jawaban saya itu masuk akal. Namun ternyata sebulan kemudian alm. Romo JS Tjakraatmadja Pr menggamit saya setelah misa di wilayah, lalu memberikan surat dari seminari bahwa saya diterima. Saya bersyukur pada Allah.

Menanggapi Panggilan Tuhan

Saya menjalani masa seminari menengah program KPA (Kelas Persiapan Atas) di Mertoyudan selama satu tahun (1991-1992). Kemudian melanjutkan di Seminari Tahun Rohani Keuskupan Agung Semarang di seminari “Sanjaya” Jangli, Karangpanas, Semarang (1992-1993). Selanjutnya menempuh pendidikan filsafat-teologi di Fakultas Teologi Kepausan Wedhabakti Yogyakarta (1993-2000) dan tinggal di rumah pembinaan Seminari Tinggi St Paulus Jl Kaliurang KM 7, diselingi Tahun Orientasi Pastoral di Paroki St Yohanes Rasul Wonogiri (1996-1997), dan Semester Diakonat di Paroki St Maria Fatima Sragen (2000), sebelum ditahbiskan menjadi imam 12 Juli 2000 oleh Mgr Ignatius Suharyo di gereja St. FX Kidul Loji Yogyakarta.

Yang menarik dari proses pendidikan itu ialah selain ilmu filsafat dan teologi yang memaksa kita berpikir logis, runtut dan berdasar, juga mengenal dan bersikap terhadap pemikiran filsafat yang mendasari ilmu-ilmu, serta kebiasaan refleksi iman. Selain itu, hidup bersama sebagai komunitas asrama membuat kami semua mengenal diri dengan lebih baik, serta belajar memahami sesama. Yang tak kalah penting ialah pembiasaan belajar dan merefleksikan tradisi Katolik dalam praktek, di mana di dalamnya kami disertai Allah sendiri. Terlalu banyak yang istimewa dalam masa pendidikan ini. Yang terpenting ialah motivasi untuk imamat dimurnikan sampai sungguh-sungguh hanya untuk Kristus dalam Gereja-Nya. Yang motivasinya akhirnya berbalik untuk berkeluarga, akan keluar dari seminari dan membangun keluarga Katolik yang baik. Teman-teman saya baik yang terus bersama sampai imamat maupun yang kini menjadi bapak rumah tangga, semua merasakan bahwa pendidikan di seminari oleh para staf seminari dengan segala dinamikanya memungkinkan kami bertumbuh dewasa sebagai orang beriman yang manusiawi. Saya bersyukur atas mereka dan mendoakan para staf seminari, semoga mereka selalu tabah dan gembira dalam mendampingi dan membina para seminaris. Tentu saja pengalaman seorang imam di paroki, lain pula dengan pengalaman imam di kantor KWI seperti saya saat ini, lain pula dengan pengalaman para imam yang mendampingi para calon imam.

Saya memiliki pembimbing rohani yang baik, yang selalu menanyakan hal ihwal perkembangan rohani saya. Pengakuan dosa rutin dan percakapan rohani rutin selalu kami buat, agar perkembangan terpantau dengan benar. Saya pernah mengalami krisis karena tuntutan studi yang berat dan kejenuhan. Namun manakala dibicarakan dengan pembimbing menjadi jelas lagi untuk apa aku mempelajari filsafat dan teologi yang berat, untuk apa dipanggil, dan karenanya mau bersemangat lagi. Aku dipanggil untuk imamat yang menghadapi dunia yang tak dipungkiri, penuh penyesatan untuk menolak kasih Allah. Maka ilmu-ilmu itu penting untuk membekali diri, dan juga untuk membimbing diriku sendiri agar sampai pada kebenaran.

Imamat : Disponibilitas untuk Pengudusan Diri, Komunitas, dan Masyarakat

Sewaktu tahbisan, kakek dan nenek saya yang Muslim seperti biasa selalu mendukung saya. Mereka hadir dalam perayaan Ekaristi tahbisan itu. Saya merasa diteguhkan oleh doa dan perhatian mereka. Kakek saya memeluk saya…”Cucuku, Nak, Romo hehehe”, katanya dengan haru. Kakek dan nenek dengan pakaian kopiah dan jilbab mendampingi saya berfoto dengan pakaian imamat saya. Kini kakek saya yang Muslim ini sudah meninggal. Namun dalam doa-doa saya, saya selalu mengingat beliau bersama almarhumah ibu kandung saya. Bagaimanapun, saya merasakan dukungan keluarga dalam menanggapi panggilan imamat ini. Tugas pertama saya setelah tahbisan ialah menjadi pastor pembantu (pastor rekan) di Paroki SPM Bunda Penasehat Baik, Wates, Kulonprogo (2000-2004), SPM Tak Bercela, Kumetiran, Yogya (2004-2005), St. FX Kebon Dalem, Semarang (2005-2008), dan KWI (2008 – sekarang) . Saat saya di paroki-paroki itu saya merangkap tugas sebagai Ketua Komisi Kepemudaan Kevikepan DIY (sampai th 2005), kemudian merangkap Ketua Penghubung Karya Kerasulan Kemasyarakatan Keuskupan Agung Semarang (ini sama dengan komisi Kerawam di keuskupan lain), serta moderator Pemuda Katolik Jawa Tengah. Ketika sedang asyik dengan tugas di Kebon Dalem, saat itu bulan Januari 2008 menjelang tahun baru Imlek, uskup meminta saya pindah ke Jakarta untuk bertugas di Komisi Kepemudaan KWI. Bagi saya yang sudah berjanji di hadapan uskup agar taat, tidak ada kata lain selain “siap laksanakan”. Walaupun hati galau, namun nanti pasti Tuhan mengirimkan kekuatan dan gairah baru di tempat dan jenis perutusan yang baru.

Teman-teman imam lain pun sebenarnya mengalami banyak perkara baik yang mirip satu sama lain maupun yang unik. Jika mereka mau berbagi, sebenarnya akan makin kaya Gereja kita dengan pengalaman iman akan panggilan imamat. Bagi saya, disponibilitas (kesiapsediaan) untuk berganti tempat perutusan, bahkan berganti bentuk perutusan, tetaplah mutlak harus dihayati, karena sebenarnya tugas panggilan terakhir ialah beralih dari dunia ini menuju Dia yang memanggil kita.

Ada kisah yang memalukan namun membuat saya makin sadar akan arti dan tujuan hidup. Tuhan tak kekurangan cara untuk mendidik anak-anak-Nya. Ketika SMA, beberapa kali klab voli kampung saya bertandang ke kampung-kampung sebelah untuk pertandingan persahabatan maupun kompetisi antar desa. Saya adalah supporter fanatik klab voli kampung saya. Pada suatu sore, klab voli kampung saya bertandang ke kampung sebelah untuk bertanding. Saya menonton. Saya berboncengan dengan seorang tetangga, naik sepeda saya menuju lapangan voli kampung sebelah. Pertandingan berlangsung seru. Entah karena apa, di tengah laga, emosi pemain dan supporter tersulut. Dengan gaya kampung(an), terjadilah perkelahian antar supporter dan antar pemain. Dalam suasana huru-hara antar supporter itu, kami terdesak. Saya ikuti tetangga saya lari, karena memang “pasukan” kami kocar-kacir. Kami lari dikejar dan dilempari batu dan kayu. Sambil berlari, kami lihat ada sebuah sepeda tergeletak di tepi jalan. Teman saya segera menaikinya dan saya turut mendorong lalu membonceng. Laju sepeda lebih cepat dari kecepatan para pengejar. Kami selamat sampai di rumah. Barulah di rumah saya tersadar, sepeda saya masih tertinggal di “wilayah musuh”. Wah, bingung. Sore harinya, saya mencoba nyantai di teras rumah sambil menenangkan diri. Tiba-tiba ada seorang polisi dari Polsek Kecamatan Kasihan mendatangi dengan sepeda motor. Tetangga saya diboncengkannya. Saya diminta ikut dalam boncengan. Saya bingung tapi ikut saja. Kami dibawa ke ke tahanan polsek. Bapak polisi menanyai kami satu per satu. Saya dituduh mencuri sepeda atau setidaknya membantu pencurian sepeda. Aduh! Ternyata pemiliknya lapor ke pak polisi. Kami dimasukkan dalam sel. Berpintu besi dan gelap serta pesing. Saya sedih sekali. Untung saya tidak disakiti oleh bapak-bapak polisi itu. Saya memang mengakui menumpang naik sepeda itu. Tapi sepeda saya sendiri ketinggalan. Pak Polisi tidak mau berargumen. Saya tetap di sel. Dalam keadaan seperti itu, saya teringat kisah St Paulus dan Silas ketika di penjara. Saya membaca kisah itu di komik Alkitab karangan HA Opusunggu yang dibelikan ayah waktu SD dulu. Maka saya ajak tetangga saya itu berdoa, agar dibebaskan seperti Paulus dan Silas dulu. Saya berdoa Bapa kami dan Salam Maria tiada henti. Wah, mengalami dalam sel, seperti rasul St Paulus, hanya berbeda sebab, beliau karena Injil, saya karena tuduhan mencuri sepeda. Tak sampai satu jam di sel, pintu sel dibuka, kami diminta keluar. Ternyata ada tetangga kami yang polisi mengeluarkan kami. Kami diboncengkan pulang. Sampai di rumah, ibu saya memarahi saya habis-habisan. Keesokan harinya sepeda saya sudah dibawa ke rumah oleh warga kampung sebelah.

Dari situ saya merenungkan tujuan hidup manusia. Sel tahanan yang pengap itu dipakai Tuhan untuk menyadarkan saya, betapa dunia ini tidak pasti dan rapuh sekali. Hanya satu yang pasti dan kuat ialah Kasih Tuhan, pertolongan-Nya, kehendak-Nya yang pasti. Tinggal saya sendiri mau ikut Dia atau ikut keinginan sendiri. Terimakasih Pak Polisi, Anda membuat saya sadar akan bahaya-bahaya dalam kehidupan, syukur kepada Allah pertolongan-Nya tepat waktu.

Kini saya suka menanggapi tawaran kelompok pelayanan penjara untuk mengunjungi para warga binaan di penjara. Waktu bertugas di Wates, tetangga pastoran ialah penjara dan kami layani sakramen Ekaristi dan tobat. Di Semarang saya diajak melayani warga binaan di penjara Kedungpane dan Bulu. Di Jakarta saya mengunjungi LP Cipinang, Salemba, Pondok Bambu. Karena peristiwa masuk sel satu jam, saya menjadi punya hati untuk pelayanan ini, menanggapi sabda Kristus: “Ketika Aku dalam penjara, kamu mengunjungi Aku”.

Uniknya, menerima tahbisan imamat tidak mengubah kepribadian dan watak, namun sangat membantu untuk mewartakan Injil dan menjadi saksi Kristus. Maka tugas saya dan para imam lainnya ialah, menyesuaikan perilaku kami dengan status imamat yang kami terima. Hal ini banyak dibantu oleh doa-doa umat dan keluarga. Tidak mudah, namun hal inilah yang menantang dan menggairahkan saya untuk terus hidup dalam imamat, termasuk dalam semua yang saya alami: kerapuhan, kesepian dan kegagalan, keberhasilan dan sanjungan. Dalam tugasnya, imam bersinggungan dengan masyarakat dan tokoh agama-agama lain, demikian pula saya. Yang saya rasakan ialah bahwa imam Kristus ini kendati sama-sama tokoh agama bersama tokoh agama lain, toh memiliki kekhasan. Dalam acara doa bersama, saya tidak mau hanya berdoa. Tidak segan saya memberkati semua yang hadir, karena bagi saya, hanya imam Kristus dengan tahbisan yang diturunkan sejak Kristus melalui para rasul hingga kini dan selamanya, berhak memberikan berkat dan Tuhan berkenan memberikan berkat-Nya jika imam–Nya memberikan berkat. Dalam berkat itulah ketahuan mana hadirin yang Katolik, yaitu mereka yang menandai diri dengan tanda salib, sehingga saya pun meneguhkan iman mereka pula. Saya sendiri pun diteguhkan dengan berkat Allah itu.

Pesan bagi OMK dan Orangtua

Saya teringat buku lama “Gunung Besar: Pemandangan tentang Imamat” bahwa dunia membutuhkan imam-imam, untuk menguduskan komunitas, masyarakat, dan diri sendiri. Semoga sharing saya yang sederhana saja ini menggugah banyak orang muda, untuk berani menempuh jalan menuju imamat walaupun berliku dan tidak mudah. Tuhan memanggil kita bukan untuk bermudah-mudah, namun Dia akan menguatkan. Tuhan tidak menunggu kita sempurna untuk mewartakan damai dan suka cita-Nya sebagai imam, nabi dan raja. OMK beranilah memutuskan untuk mendaftarkan diri ke seminari-seminari, juga ke biara-biara, tidak usah menunggu sempurna dulu baru mau dipanggil.

Semoga para orangtua mendoakan dan mempercayai anaknya jika mereka mau menjadi imam. Banyak orangtua khawatir jika anaknya masuk asrama seminari, bagaimana nasibnya nanti? Percayalah, Tuhan akan beri 100 kali lipat sesuai janji-Nya. Bagaimana nanti jika orangtua sakit, siapa yang akan perhatikan? Menurut pengalaman saya, saya bisa lebih bebas mengunjungi orangtua karena bisa atur waktu lebih leluasa daripada adik-adik saya yang berumah tangga dan juga bekerja di luar kota dan di luar negeri. Jika anak Anda menjadi imam, janganlah khawatir, Anda justru mengalami rahmat berlimpah dalam persahabatan dan damai di hati. Sabda Tuhan “Jangan khawatir” tetap berlaku di sini.

Pada beberapa kali kesempatan “Minggu Panggilan”, ayah dan ibu saya diminta memberikan sharing di gereja di hadapan umat yang hadir. Pertanyaan moderator biasanya ialah: “Apa resepnya sehingga anak Anda menjadi imam?” Ayah saya biasa menjawab: “Tidak tahu. Berjalan begitu saja dan saya melakukan tugas yang bisa saya lakukan sebagai ayah Katolik, lalu tiba-tiba dia mau masuk seminari, yah.. bagaimana mungkin ada resep? Itu urusan Yang memanggil dan dia sendiri!”. Dan dalam hal ini beliau jujur, karena saya tertarik menjadi imam bukan karena ayah saya mendorong. Saya ingin menjadi imam karena mengenal imam-imam dan mengasihi mereka. Ayah saya hanya tidak mau menghalangi kemauan saya menjadi imam, juga tidak mau membebani saya dengan idealismenya sendiri mengenai imamat. Itu saja peran dia. Pertanyaan moderator berikutnya: “Apa kekhawatiran Anda ketika anak Anda masuk seminari dan menjadi imam”. Ayah saya lagi-lagi menjawab dengan tanggapan yang tidak sesuai dengan keinginan moderator dan hadirin: “Saya tidak khawatir. Itu urusannya sendiri dan Tuhan kita. Saya pun tidak khawatir dengan anak-anak saya yang lain yang menikah. Biarlah mereka urus sendiri urusannya. Tentu saja saya mendoakan mereka, dan imam-imam, namun saya berdoa bukan karena khawatir apapun tentang mereka. Saya percayakan saja pada Yang memanggil”. Jika boleh menambahkan, bahkan almarhumah ibu saya hanya khawatir jika perut saya gendut, suatu hal yang tak ada hubungannya dengan imamat. Saya setuju dengan sikap orangtua saya yang mempercayai anak-anaknya, memberi ruang bagi anak-anak untuk bertumbuh sehat secara jasmani, psikis, sosial, intelektual, dan rohani, dan membiasakan kami bergaul dengan imam-imam. Wajar saja, tidak dibuat-buat. Jika imam memiliki kelemahan, itu pun wajar saja. Jika ia “berprestasi” maka apa sih “prestasi” tertinggi seorang imam selain kesetiaan dalam panggilan dan perutusan sehari-hari? Sesuatu yang sebenarnya bukan “prestasi” namun yang memang sudah seharusnya. Orangtua saya tidak menuntut apapun dari saya, selain doa dan berkat, karena memang saya tidak bisa membantu apa-apa selain doa dan berkat. Yang saya ingat ialah, ayah dan ibu suka menceritakan kegembiraan dan kelucuan imam-imam yang mereka jumpai, yang membuat kami tertawa gembira. Selebihnya pasti Tuhan sendiri yang memanggil, mengutus, dan menyempurnakan.

Persaudaraan Imam-Imam

Setelah jadi imam, saya tergabung dalam UNIO Keuskupan Agung Semarang. Setelah pindah Jakarta, Agustus tahun 2011 di Sintang, saya dipercaya teman-teman menjadi sekretaris Unio Indonesia. Unio ialah asosiasi imam-imam diosesan atau keuskupan atau disebut juga imam-imam “praja”. Silahkan klik http://unio-indonesia.org/. Saya makin diteguhkan dalam panggilan imamat oleh persaudaraan ini. Dalam pelayanan sakramen dan doa-doa ibadat harian, kami saling mendoakan satu sama lain. Kami imam-imam keuskupan taat pada uskup dalam melayani umat keuskupan. Namun imam-imam diosesan yang bertugas di luar keuskupannya sendiri taat pada uskup di keuskupan di mana mereka tinggal. Mengapa saya memilih menjadi imam “praja” Keuskupan Agung Semarang? Pertama-tama karena saya hanya ingin menjadi imam, yang bahasa Yunaninya Presbyter, atau dalam bahasa Inggris Priest atau sering disingkat Pr. Saya tidak ingin menjadi biarawan. Lagi pula, saya waktu itu ingin bertugas di paroki saja yang dekat dengan rumah dan keluarga, melayani umat sekitar saya di keuskupan saya sendiri, menjadikan Gereja keuskupan saya menjadi berkat bagi masyarakat. Namun kehendak Tuhan sementara ini ialah saya harus bertugas di KWI, berlokasi di Jakarta, dan karenanya harus meninggalkan keuskupan saya untuk tinggal di Jakarta. Ternyata peristiwa ini membuka perspektif iman saya akan arti ketaatan imamat dan arti imamat itu sendiri yang universal. Saya merasa bersyukur bahwa imamat itu satu sumber dan menuju ke tujuan yang sama. Saya sebagai imam diosesan, berjumpa pula dengan imam-imam yang sekaligus biarawan. Mereka sebenarnya biarawan, namun ditahbiskan menjadi imam. Maka baik imam diosesan maupun biarawan, semuanya satu dalam ketaatan pada Satu Tubuh Kristus yaitu Gereja Katolik.

Doa
“Ya Allah, Bapa Maharahim. Sepanjang sejarah, Engkau memanggil para nabi, raja-raja dan para imam sesuai kehendak-Mu. Engkau bahkan mengutus Yesus Kristus Putera-Mu menjadi manusia, wafat dan bangkit bagi kami, dengan demikian Dia menjadi imam agung kami. Panggilah orang-orang muda seturut kehendak-Mu, dan bukalah hati para orangtua, agar mau berserah akan kehendak-Mu yang pasti. Biarlah atas kuat kuasa-Mu, di seluruh dunia muncul imam-imam dan uskup-uskup yang kudus, yang bergembira dan bersemangat untuk mengembangkan Gereja , untuk menghadirkan Kristus dalam Roh Kudus demi tercapainya tujuan hidup manusia yaitu bahagia abadi dalam Dikau. Dengan pengantaraan Kristus imam agung kini dan selama-lamanya. Amin.”

Jakarta, 5 Maret 2012.
Yohanes Dwi Harsanto Pr

5 1 vote
Article Rating
50 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
xellz
xellz
11 years ago

syalom katolisitas dan romo. saya pernah mendengar dari beberapa orang yang pernah menjalani hidup di seminari, maksudnya adalah orang yang tadinya hendak menjadi pastor/imam namun batal karena merasa adanya berbagai penyimpangan yang terjadi diseminari. beberapa yang saya dengar adalah bahwa para seminaris juga menjalin asmara dengan calon suster, bahwa di seminari, para romo yang mngajar juga berpacaran atau minimal menaruh hati dengan para suster, bahwa di seminari para romo pilih kasih dengan para calon suster yang cantik, dan bahwa di seminari para romo dan suster ada yang saling bermusuhan dengan romo atau suster yang lain. Yang ingin saya tanyakan-terutama kepada… Read more »

Romo Yohanes Dwi Harsanto
Romo Yohanes Dwi Harsanto
Reply to  xellz
11 years ago

Salam xellz, Saya berbicara berdasarkan pengalaman saya dan teman-teman imam yang bertugas di Seminari, maupun para biarawan-biarawati. Saya sendiri selama masa pendidikan tidak mengalami hal-hal yang Anda dengar itu. Seminari berbeda dari biara baik biara perempuan maupun biara pria. Seminari ialah tempat pendidikan calon imam, calon pemimpin Gereja Katolik, calon anggota Hierarki. Sedangkan biara ialah biara, tempat orang memusatkan diri dalam pengudusan dengan doa dan karya demi membantu karya Kristus dalam Gereja. Jadi, lain. Jika ada kasus-kasus seperti yang Anda ceritakan, Hukum Kanonik dan Regula Hidup Membiara telah mengaturnya dan memberi sanksi tegas, sejak sanksi ringan sampai terberat tak terkecuali… Read more »

xellz
xellz
Reply to  Romo Yohanes Dwi Harsanto
11 years ago

Terimakasih Romo atas tanggapanya. Jadi yang saya tangkap adalah bahwa ada perbedaaan antara seminari dan biara (memang belum jelas) untuk itu saya mecari dari wikipedia kesannya bahwa hidup diseminari tidak dipastikan untuk dapat hidup selibat-yang artinya setelah lulus dari seminari orang tidak wajib menjadi imam, tetapi boleh memilih profesi lain, jadi hampir sama dengan sekolah teologi? maka penjelasan romo “Seminari ialah tempat pendidikan calon imam, calon pemimpin Gereja Katolik, calon anggota Hierarki.” terkesan sedikit berbeda bahwa mereka (murid seminari) memang setelah lulus akan menjadi imam. Jadi mengenai “program “live-in”,”…. bagi saya secara pribadi kurang akurat, karena biasanya lembaga (dimanapun) jika… Read more »

Romo Yohanes Dwi Harsanto
Romo Yohanes Dwi Harsanto
Reply to  xellz
11 years ago

Salam xells, Seminari itu lembaga milik keuskupan atau tarekat, yang mendidik para siswa dan mahasiswa calon imam. Imam ialah orang yang ditahbiskan untuk pelayanan sakramen dan tugas pengudusan. Mereka yang di seminari ialah para calon orang yang setelah ditahbiskan akan memimpin Gereja, di bawah wewenang uskup. Mereka disiapkan dengan belajar berdoa, belajar filsafat dan teologi sampai S1 dan S2, mempelajari khasanah iman Gereja, dan bersosialisasi dengan sesama. Pada tingkat seminari menengah, mereka bersekolah di SMA. Pada seminari Tinggi, mereka kuliah di Fakultas Filsafat dan/atau Teologi, sedangkan tempat tinggalnya di seminari. Semen+arium (bahasa Latin) berarti tempat penyemaian tanaman agar bertumbuh dengan… Read more »

Edwin ST
Edwin ST
Reply to  xellz
11 years ago

Shalom Xelis, Saya ijin nimbrung lagi. Mengenai definisi seminari dari Wikipedia, nampaknya tidak khusus membahas artian Seminari dalam Gereja Katolik. Sehingga tidak heran anda menjadi bingung. Penjelasan yang bisa dipegang seperti yang dijabarkan oleh Romo Santo. Tidak salah kalau dikatakan para seminaris adalah calon imam, sama halnya seperti calon gubernur belum tentu ybs menjadi gubernur. Karena harus ada proses yang dilalui. Si calon imam harus terus menjawab “Ya” terhadap panggilan Tuhan dan kalau ternyata mereasa ini bukan jalannya, ya tidak masalah. Gereja berterima kasih kepada mereka – mereka yang setidaknya sudah pernah mencoba. Kalau untuk biarawan/wati mereka punya proses yang… Read more »

Edwin ST
Edwin ST
Reply to  xellz
11 years ago

Shalom Xeliz, Untuk referensi saja mungkin baik kalau anda membaca buku Saat Jubah Bikin Gerah, saya lupa karangan romo siapa. Buku tersebut nampaknya diperuntukkan untuk para romo dan biarawan/wati. Kasus2 yang anda sebutkan mungkin memang ada dan terjadi tetapi tidak bisa menggenarilisir hal itu. Sama seperti ada kasus romo yang melakukan pelecehan seksual bukan berarti semua romo demikian. Masih lebih banyak romo dan biarawan/wati yang baik dan menjalani panggilannya dengan setia. Pada akhirnya kita semua dipanggil untuk meneladani pribadi Yesus sendiri bukan untuk meneladani para Romo dan biarawan/wati karena mereka belum sempurna. Saya sendiri melihat ada suster2 dr kongregasi tertentu… Read more »

xellz
xellz
Reply to  Edwin ST
11 years ago

terimakasih romo atas tanggapanya, kiranya menjadi lebih jelas tentang perbedaan seminari dan biara. Edwin ST,, memang tidak menjadi ukuran bagi saya bahwa kesalahan individu adalah juga kesalahan kelompok. Misal, jika di indonesia banyak kasus kriminal, bukan berarti di indonesia tidak ada sanksi/hukum atas tindakan kriminal, juga bukan berarti kriminalitas diizinkan. saya percaya bahwa (lebih)banyak romo dan suster yang hidup lurus, tidak menyimpang. Saya setuju bahwa segala penyimpangan yang terjadi adalah karena individunya sendiri, bukan ajaran-makanya disebut menyimpang. saudara “melihat ada suster2 dr kongregasi tertentu yang mata duitan mengelola sekolah di jakarta dan hal ini membuat anak didiknya tdk ada yg… Read more »

Edwin ST
Edwin ST
Reply to  xellz
11 years ago

Shalom Xeliz, Mengenai suster2 yang mata duitan itu sudah banyak diketahui orang, tetapi tentunya mereka bisa berdalih bahwa pendidikan memang mahal. Orang tua pun banyak yang tidak mempermasalahkan hal itu karena dianggap sekolahnya bergengsi. Memang dalam beberapa kasus, untuk keluarga yang tidak mampu dikasih keringanan. Tetapi yang pasti saya bicara banyak dengan lulusan dari sekolah tersebut dan tidak ada satupun yang merasa tertarik untuk mengambil jalan hidup itu. Karena para susternya pun lebih menekankan ke anak didiknya kesuksesan itu dicapai dengan karir yang baik. Menjadi romo atau biarawan/wati nampaknya tidak dianggap sebagai kesuksesan. Untuk hal ini saya rasa warga Jakarta… Read more »

Anastasia Rafaela
Anastasia Rafaela
Reply to  xellz
11 years ago

Salam kasih saudara Xellz,

Bila berkenan di hati, saudara dapat membaca tulisan di situs ini http://www.imankatolik.or.id/homili_mgr_hadisumarta_ocarm_hari_raya_kristus_raja_c_2012.html

Semoga kedamaian di pikiran dan hati saudara terpenuhi, sebab kami sungguh saling mengasihi dan berupaya keras setulus hati untuk saling memperhatikan dan melayani sesuai dengan kapasitas kami masing-masing, selebihnya biarlah Kristus Raja yang berhak memberikan keadilan dan belas kasih-Nya sebagai kebenaran sejati.

Peace and Best Wishes
Anastasia Rafaela

Adit
Adit
11 years ago

Romo yang terhormat, dimana saya bisa mengikuti misa yang dipimpin romo.?

Romo Yohanes Dwi Harsanto
Romo Yohanes Dwi Harsanto
Reply to  Adit
11 years ago

Salam Adit,

Saya bukan imam yang sedang ditempatkan di paroki tertentu. Saya bertugas di kantor KWI di kota Jakarta. Saya diperintahkan oleh uskup agar tinggal di pastoran Unio Indonesia di kota Jakarta. Karena itu, saya lebih sering misa di kapel rumah pastoran Unio Indonesia. Hanya pada beberapa kesempatan, pastor paroki-paroki dan umat dari berbagai komunitas meminta saya membantu merayakan ekaristi atau menerimakan sakramen-sakramen lain di tempat mereka di Jakarta dan sekitarnya. Karena itu, sebelum saya dibenum di paroki tertentu, saya hanya bisa menjawab bahwa pasti saya merayakan ekaristi di kapel pastoran Unio Indonesia, Jakarta Pusat.

Salam
RD. Yohanes Dwi Harsanto

Oktavianus
Oktavianus
Reply to  Romo Yohanes Dwi Harsanto
11 years ago

Shalowm Romo, numpang cerita. 7 th lalu di Palembang, yg pertama di KM 161 Simpang Tungkal, desa Peninggalan, kab Musi Banyuasin, ada 1 daerah transmigrasi yg beragama Katolik, mereka membangun gereja sederhana di atas bukit. Ekaristi hanya pd minggu ke-3, dilayani oleh Pastor “lansia” dr Jambi berkebangsaan Belanda. Dilayani Pastor dr Jambi kr jaraknya 2 jam dr Jambi, 4 jam dr Palembang (br sampai jalan utamanya, msh hrs masuk ke lokasi trans). Saat di sana, sy tdk pernah merayakan ekaristi, pastor kadang datang kadang tidak, tergantung kesehatan & cuaca, dll. Di tempat lain, di desa Gandus, Musi Dua, Palembang. Ada… Read more »

tarsisius
tarsisius
11 years ago

Romo yg terhormat,
Bagaimana pendapat Anda mengenai imam2 yg naik motor gede sejenis Harley Davidson,bukankah tidak sesuai dengan kaul kemiskinan?
Bagaimana juga bila romo naik mobil?
Terima kasih atas tanggapannya.

Romo Yohanes Dwi Harsanto
Romo Yohanes Dwi Harsanto
Reply to  tarsisius
11 years ago

Salam Tarsisius, Imam-imam mewartakan Injil dan melayani kebutuhan rohani umat dengan mempertimbangkan kebutuhan medan kerja. Di Papua, bepergian dengan pesawat kecil itu pemandangan biasa. Di pedalaman Kalimantan dengan speedboat, dan sebagainya. Sarana kerja disesuaikan dengan situasi setempat, namun juga harus diingat, bahwa sarana itu harus mencerminkan efektivitas dan sesuai beban kerjanya dan sesuai dengan hakikat pelayanan imamat, untuk menghindarkan kesia-siaan. Juga dalam hal hal yang secara moral umum tidak buruk sekalipun, jika tidak sesuai dengan hakikat imamat, maka imam tidak usah memakainya. Jika Anda melihat seorang imam memegang harta benda yang tidak sesuai dengan prinsip tersebut, maka hendaknya mengingatkannya dengan… Read more »

yastoro
yastoro
11 years ago

Salam sejahetara Y.M Romo,saya Yastoro,asli Lampung,orang tua saya beragama Budha namun saya memilih khatolik,jujur dan nggak tahu kenapa saya dalam hati kecil muncul keinginan untuk menjadi biarawan Khatolik, saya gak tahu ini adalah hanya sebatas keinginan atau benar2 panggilan Tuhan dalam hidup saya,usia saya masih 20 tahun mungkin sebab itu saya masih jiwa muda yang perlu bimbingan,tapi romo2 sekarang kayaknya sibuk sekali,mau konsultasi sj susah..terima kasih.GBU

Romo Wanta
Romo Wanta
Reply to  yastoro
11 years ago

Yastoro Yth

Terimakasih atas keinginganmu mau menjadi calon imam. Pertama syarat pokok sudah dibaptis minimal 3 tahun terakhir dan memiliki semangat hidup kekatolikan yang baik. rajin ke gereja dan aktif di paroki. Kemudian kalau bisa kenal dengan seorang rama saya beri nama rama yang bisa anda hubungi Rm Hari Prabowo Pr Vikjen K Tanjungkarang. Tinggal di keuskupan Tanjungkarang Lampung Silakan dicari dulu sampai bertemu. saya tidak memberi nmr hpnya kalau sudah bertemu silakan berkomunikasi. Dia pasti menerima anda.

salam
rm wanta

Roy Padung
Roy Padung
Reply to  Romo Wanta
11 years ago

salam sejahtera romo..saya Roy dari Manado..saya lihat romo menyebut nama romo Hari Prabowo..kebetulan beliau adalah romo yang memberkati saya saat pernikahan dulu..sudah lama saya kehilangan kontak dgn beliau (1998)..kalau boleh, bisakah saya minta no telp/ hp/ email beliau..? saya dan istri saya sangat merindukan beliau..sebelum dan sesudahnya kami ucapkan terimakasih banyak..Tuhan Yesus Memberkati..

RD. Yohanes Dwi Harsanto
RD. Yohanes Dwi Harsanto
Reply to  Roy Padung
11 years ago

Salam Roy Padung,

Jawaban akan disampaikan melalui jalur pribadi. Namun demikian saya salut dan menghargai kerinduan Anda akan seorang imam yang meneguhkan dan mendoakan perkawinan Anda. Berita-berita dari keluarga Anda tentu akan meneguhkan beliau. Relasi umat dan imam demikian itu saya nilai positif, sehat, dan membangun iman serta kesatuan hati kita sebagai warga Gereja Katolik.

Salam
RD. Yohanes Dwi Harsanto

risma
risma
11 years ago

romo bisa minta nomor hpx kah????
aq ingin menanyakan banyak hal tentang iman katolik

[Dari Katolisitas: Jika Anda mempunyai pertanyaan tentang iman Katolik, silakan ditanyakan di sini. Silakan membaca di sini, jika Anda baru pertama kali datang di situs ini, silakan klik]

wandy
wandy
Reply to  risma
11 years ago

pertama2 panggilan adalah rahmat Allah kepada umatnya. Allah lebih dhulu memanggil umat-nya dan kebebasan kita menjawab-Nya.saya senang mendengar seorang pemuda yg tertarik untk mngabdi kepada Gereja-Nya. apapun motivasi awalmu dapt diterima sebagai sentuhan yg terus di pupuk. maka untuk tindak lanjut dr niat ini hubungilah pastor paroki dimana anda berada. mungkin pastor paroki atau pastor yg anda kenal dapat memberi arah dan bersama memupuk panggilan ini. saya menunggu anda untuk bergabung. salam dan doa dr saya..

Wandy

Yohanes
Yohanes
11 years ago

Shalom.. Ytk. Romo – Romo Katolisitas.org Romo Prof. DR. B.S. Mardiatmadja SJ. Romo RD. Dr. D. Gusti Bagus Kusumawanta, Pr Romo Kris, O.Carm Romo Dr. Bernardus Boli Ujan, SVD Romo Yohanes Dwi Harsanto, Pr Romo Dr. Bernardinus Realino Agung Prihartana, MSF Romo F.X. Didik Bagiyowinadi,Pr Maaf.. mau tanya.. ^^ 1. Kalau misalnya Romo didatangi oleh seorang calon seminaris / seminaris dan berkonsultasi (minta saran / tips) mengenai panggilannya, kira2.. tips atau saran apa yang dapat Romo berikan untuk dapat memperteguh Imannya dalam menghayati semangat panggilannya..? 2. Lalu bagaimana sebaiknya dalam me’Manage’ hati / perasaan seorang seminaris yang kelak akan menjadi… Read more »

Rm Yohanes Dwi Harsanto, Pr
Rm Yohanes Dwi Harsanto, Pr
Reply to  Yohanes
11 years ago

Salam Yohanes, 1. Saran sangat tergantung pada kasus atau perkara yang dimintakan saran. Karena itu, saran tak bisa secara umum, namun berdasar pengalaman pribadi orang muda tersebut. Tetapi pertama-tama seorang muda yang menyatakan diri ingin menjadi imam, harus dihargai. Motivasi awal ketertarikan menjadi imam pasti berbagai macam. Selanjutnya dia harus dibantu mengakui motivasi awal itu dan memurnikan motivasi itu dalam tahap-tahap pendidikan sebagai calon imam yang memakan waktu panjang. Pertanyaan Anda berlaku pula bagi Anda sendiri jika ada orang meminta saran Anda sehubungan dengan rencananya untuk menikah. Tentu Anda harus menengetahui informasi selanjutnya mengenai orang tersebut. 2. Pertanyaan Anda ini… Read more »

budi suryanto
budi suryanto
11 years ago

terimakasih romo, renungannya mengingatkan kami bahwa tidak ada “prestasi” yang lebih tinggi selain setia pada panggilan Tuhan sesuai dengan bidang pelayanan kita masing-masing. Matur nuwun romo, selamat berkarya.

yusup sumarno
yusup sumarno
11 years ago

Romo Santo, Terima kasih banyak atas sharing Romo yang sangat lengkap dan kaya pesan (buat ortu, OMK, juga buat para Imam sekarang). Saya sangat senang dg model sharing yang begini. Suatu rahmat bahwa saya pernah ikut Misa Romo di Timika, Papua (di sebuah gereja yang sangat tua di SP 2 Timika). Saat itu Romo menjadi tamu keuskupan Timika. Mungkin Romo masih ingat, di sebelah gereja Katolik itu ada gereja Kristen yang lebih bagus? Anehnya saya tidak pernah “minder” karena saya tetap merasa “kaya” menjadi Katolik. Sekarang kami (stasi St. Cecilia SP )sedang membangun gereja yang cukup besar. Mohon doa dari… Read more »

Budhi Harmunanto
Budhi Harmunanto
12 years ago

Kesaksian yang menarik, saya menjadi terbersit mengenai kata PANGGILAN dan PERUTUSAN, meskipun saya bukan imam, saya semakin tertarik untuk mencari PANGGILAN dan PERUTUSAN HIDUP saya sebagai umat biasa…Matur sembah nuwun. Berkah Dalem.

christine
christine
12 years ago

Romo Yohanes Dwi Harsanto,
saya seneng dan terharu membaca sharing romo dipanggil u menjadi Imam.
btw,ternyata kita menerima sakramen Krisma bersama di Gereja Hati Kudus Yesus tahun 1985 oleh Mgr Julius Darmaatmadja SJ.
Puji syukur semoga romo diberi perlindungan dan kekuatan oleh-Nya dlm menjalani panggilan Imam.

salam kasih,
christine

Oktavianus
Oktavianus
12 years ago

Shawlom Romo Ign.Sumarya SJ.
Dalam kesempatan ini sy berterimakasih atas tulisan2 Romo yg banyak membantu pertumbuhan iman sy, terutama yg sy dptkan di imankatolik.or.id & katolik-renungan.blogspot.com.
(btw Romo, kok foton di blog berubah jd tanda seru)

Ign.Sumarya SJ
12 years ago

Refleksi saya: Menjadi imam itu berarti menjadi penyalur rahmat atau berkat Allah kepada manusia dan doa//dambaan/keluh-kesah manusia kepada Allah. Jika Paulus menggambarkan kehidupan menggereja atau beriman itu bagaikan satu tubuh banyak anggota, maka imam bagaikan leher atau dubur/alat kelamin. Semua makanan, minuman, udara segar dst.. masuk melalui leher ke perut/usus, yang kemudian diolah, diambil sarinya untuk seluruh anggota tubuh. Ampas atau ktorannya kemudian dibuang melalui dubur atau alat kelamin (penis atau vagina). Hemat saya semua yang masuk lewat leher tidak ada sedikitpun yang dikorupsi atau diambil, semua yang masuk langsung diteruskan. Dengan kata lain ia tidak melakukan korupsi. Leher juga… Read more »

Budiman
Budiman
Reply to  Ign.Sumarya SJ
12 years ago

Syalom Romo, sedikit menyimpang ya, bolehkah saya bertanya – sehubungan dengan upacara peringatan Trihari suci, yang dimulai dari mulai Kamis Putih, Jumat Agung dan Sabtu Paskah.
Apabila sudah mengikuti upacara cahaya di Sabtu Paskah apakah Misa di Minggu Paskah itu perlu ikut lagi?
Apakah berbeda peringatannya? Mengingat tema untuk Misa Sabtu Paskah dan Minggu Paskah sepertinya sama namun bacaan berbeda ya?
Bila demikian berarti Misa Minggu Paskah “wajib” untuk diikuti? Meski hari Sabtunya sudah ikut Misa?
Mohon penjelasan ya Romo mengingat banyaknya pendapat yang berbeda.
Terima kasih ya Romo sebelumnya.

Yohanes Dwi Harsanto, Pr
Yohanes Dwi Harsanto, Pr
Reply to  Budiman
12 years ago

Salam Budiman,

Sabtu malam menjelang Paskah ada Misa dengan upacara cahaya. Malam ini disebut Malam Paskah Tuhan, saat untuk tuguran (vigili) menantikan kebangkitan Tuhan. Sedangkan Misa pada Minggu pagi ialah Misa Paskah. Jika situasi memungkinkan sangat dianjurkan mengikuti Misa Malam Paskah (Sabtu malam) dan Paskah Pagi (Minggu pagi).

Salam,
Yohanes Dwi Harsanto Pr

Windy
Windy
12 years ago

Pengalaman dan sharing iman yang menarik, termasuk dukungan keluarga walaupun beda agama, tapi nuansa kasih begitu kental sehingga damai tercipta di sana. Pengalaman masuk penjara saya yakin Tuhan adakan untuk bekal mengunjungi saudara di penjara yang bukan kemauannya berada di sana. Terima kasih sudah meneguhkan iman para warga binaan , secara khusus mendampingi kami para misionaris penjara di Komunitas Kasih Tuhan.

FX. Martana
FX. Martana
12 years ago

Sangat menginspirasi Romo, terima kasih.

Yohanes
Yohanes
12 years ago

Fiat Voluntas Tua.. ^^

Edwin
Edwin
12 years ago

Saya setuju sekali dengan Romo Santo !
Kalau saja setiap imam mau membagikan pengalaman panggilannya, akan kaya sekali Gereja kita. Karena panggilan Tuhan untuk setiap orang selalu unik.
Ad Maiorem Dei Gloriam Romo!
Edwin ST

Lia
Lia
12 years ago

Cerita hidup yang sangat menarik, Romo. Saya paling terkesan dengan sikap kakek nenek Romo yang sangat bangga dengan Romo walaupun mereka adalah Muslim. Sangat merindukan kondisi seperti itu di zaman sekarang ini.

Yohanes Dwi Harsanto Pr
Yohanes Dwi Harsanto Pr
12 years ago

Salam Bernardus, Sampai saat ini saya tidak menulis buku rohani selain renungan harian untuk OMK “Oase Rohani” terbitan OBOR. Banyak imam dan awam, biarawan-biarawati menuliskannya, silahkan mencari karya mereka di toko-toko buku. Mengenai asisten imam atau prodiakon sudah beberapa buku terbit pula. Namun inti dari pelayanan asisten imam ialah membantu imam memberikan Tubuh Kristus pada orang Katolik yang sakit, dan di penjara, serta di gereja saat misa. Karena itu, sangat terpujilah pelayanan mereka kaum awam yang mau menjadi asisten imam. Jelaslah spiritualitas mereka, yaitu semangat Ekaristi, Kristus yang memberikan diri pada kita. Jika diberi tugas tambahan untuk memberikan renungan pada… Read more »

pram
pram
12 years ago

wah, sharing iman yang menarik, Romo.

Bernardus Yunaedi
Bernardus Yunaedi
12 years ago

Romo Santo, sy tertarik membaca kesaksian iman dari Romo Santo .
Saya seorang prodiakon di gereja St. Athanasius Agung paroki Karangpanas Semarang,pertanyaan sy : apakah Romo juga menulis buku2 rohani, terlebih tentang “Bagaimana seharusnya hidup seorang Prodiakon, dalam mewartakan Firman Tuhan”, bila Romo punya, mohon sy dikirimi ke alamat rumah Jln. Karangrejo 28_Semarang -50234. Sy bersedia mengganti ongkos cetak dan biaya pengirimannya. Matur nuwun Romo Santo. Berkah Dalem .

Romo pembimbing: Rm. Prof. DR. B.S. Mardiatmadja SJ. | Bidang Hukum Gereja dan Perkawinan : RD. Dr. D. Gusti Bagus Kusumawanta, Pr. | Bidang Sakramen dan Liturgi: Rm. Dr. Bernardus Boli Ujan, SVD | Bidang OMK: Rm. Yohanes Dwi Harsanto, Pr. | Bidang Keluarga : Rm. Dr. Bernardinus Realino Agung Prihartana, MSF, Maria Brownell, M.T.S. | Pembimbing teologis: Dr. Lawrence Feingold, S.T.D. | Pembimbing bidang Kitab Suci: Dr. David J. Twellman, D.Min.,Th.M.| Bidang Spiritualitas: Romo Alfonsus Widhiwiryawan, SX. STL | Bidang Pelayanan: Romo Felix Supranto, SS.CC |Staf Tetap dan Penulis: Caecilia Triastuti | Bidang Sistematik Teologi & Penanggung jawab: Stefanus Tay, M.T.S dan Ingrid Listiati Tay, M.T.S.
top
@Copyright katolisitas - 2008-2018 All rights reserved. Silakan memakai material yang ada di website ini, tapi harus mencantumkan "www.katolisitas.org", kecuali pemakaian dokumen Gereja. Tidak diperkenankan untuk memperbanyak sebagian atau seluruh tulisan dari website ini untuk kepentingan komersial Katolisitas.org adalah karya kerasulan yang berfokus dalam bidang evangelisasi dan katekese, yang memaparkan ajaran Gereja Katolik berdasarkan Kitab Suci, Tradisi Suci dan Magisterium Gereja. Situs ini dimulai tanggal 31 Mei 2008, pesta Bunda Maria mengunjungi Elizabeth. Semoga situs katolisitas dapat menyampaikan kabar gembira Kristus. 
50
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x