Kurban, kurban, dan kurban
Di tahun 2000, seusai mengikuti Live in the Spirit Seminar di Manila, Filipina, saya dan Stef terdorong untuk membaca Kitab Suci mulai dari awal sampai akhir. Saat itu ada rasa penyesalan di hati, sebab sepertinya kami lebih rela membuang waktu untuk membaca bermacam buku bacaan sekular, tetapi kami belum pernah membaca Kitab Suci sampai selesai. Memang kami sering mendengar orang berkata, bahwa tak penting membaca Kitab Suci sampai habis, yang lebih penting adalah membaca perikop atau ayat-ayat tertentu lalu merenungkannya dan melaksanakannya. Ya, memang benar, bahwa hal yang terpenting adalah Sabda Tuhan menjadi nyata kita laksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Namun demikian, tidak ada salahnya membaca Kitab Suci, cover to cover, sebab bukankah itu yang umumnya kita lakukan jika kita menyukai suatu kisah dalam buku? Saat kita membaca novel yang seru, misalnya, bukankah kita tidak membaca hanya bagian akhirnya saja? Sedangkan Kitab Suci tidak dapat dibandingkan dengan buku novel. Sebab Kitab Suci adalah Sabda Allah, surat cinta Allah kepada manusia.
Singkat kata, akhirnya bulatlah tekad kami untuk membaca keseluruhan Kitab Suci. Saat membaca bagian awal yaitu Kitab Kejadian, kami cukup menikmatinya. Ini seperti kilas balik mengingat kembali kisah-kisah yang sering kami dengar semasa kecil dulu. Namun, baru saja menjelang selesainya kitab Keluaran dan lalu dimulainya kitab Imamat, kami terhenyak. Seolah cerita-cerita yang ‘seru’ ini terhenti. Selanjutnya, lembar demi lembar diisi dengan topik ini: kurban. Kurban bakaran. Kurban sajian. Kurban keselamatan. Kurban penghapus dosa. Kurban penebus salah…. dan banyak ketentuan lain yang menyangkut kurban dan imam -sebagai wakil umat- yang mempersembahkannya kepada Allah. Selanjutnya tema kurban dan imam, senantiasa muncul di kitab-kitab berikutnya, seiring dengan jatuh bangunnya bangsa Israel. Kurban menjadi ungkapan penyembahan, syukur, namun juga ungkapan pertobatan manusia kepada Allah. Sungguh, tema ‘kurban’ yang sarat ditemukan di lembaran Perjanjian Lama, merupakan pendahuluan yang mengarahkan kita kepada penggenapannya di dalam kurban Kristus dalam Perjanjian Baru. Tema kurban menjadi ‘benang merah’ yang membantu kita memahami bahwa puncak rencana keselamatan Allah dicapai oleh kurban Kristus: Sang Putera Allah yang menyerahkan nyawa-Nya untuk menjadi kurban penebus dosa segenap umat manusia.
Kurban: Apakah artinya?
Kurban dari kata qurbān (bahasa Ibrani), atau sacrifice (bahasa Inggris) artinya adalah persembahan, atau sesuatu yang dikuduskan/ “something made sacred“, ((Lawrence G. Lovasik, The Basic Book of the Eucharist, (Manchester, New Hampshire: Sophia Institute Press, 2001), p.55)) dalam hal ini, konteksnya adalah persembahan yang ditujukan kepada Allah. Maka kurban yang dipersembahkan oleh imam -yaitu orang yang juga dikuduskan bagi Allah- merupakan tanda bahwa segala yang dipersembahkan itu, dan orang- orang yang mempersembahkannya adalah milik Allah. Mereka mau taat kepada ketetapan-Nya; dan mau memohon penebusan dosa kepada-Nya. Oleh karena itu, kurban mempunyai empat makna yang tak terpisahkan, yaitu: penyembahan, ucapan syukur, ungkapan tobat, dan permohonan kepada Allah.
Persembahan yang kelihatan dari luar menandai persembahan hati ataupun penyerahan hidup manusia kepada Tuhan. Sejak awal mula sejarah manusia, manusia telah memberikan persembahan kepada Allah; hal ini dapat dilihat bahkan di dalam hampir semua agama; dan ini menandakan bahwa kurban merupakan ciri-ciri dari hubungan antara manusia dengan Allah Sang Pencipta. Persembahan kepada Allah ini terdiri dari dua jenis, yaitu pertama, persembahan berupa hasil bumi yang tidak berdarah, seperti roti, buah dan sayuran hasil pertama kebun ataupun ladang, minyak, dst; kedua, persembahan berupa hewan, seperti domba, anak domba, lembu, kambing, dst. Persembahan ini melambangkan hidup manusia itu sendiri, dan dengan mempersembahkan kurban, manusia mau menyatakan bahwa mereka menyerahkan kembali kehidupan yang mereka terima dari Allah. Demikianlah kita memaknai persembahan Kain dan Habel, Nabi Nuh, Abraham, Melkisedek, Musa, Raja Salomo, Nabi Elia, dan para nabi/ imam yang lain.
Ketentuan persembahan di dalam Perjanjian Lama (PL) ditentukan oleh Allah sendiri dan Allah berkenan jika persyaratan kurban itu dipenuhi (lih. 1Raj 8:62-9:9). Allah menghendaki bangsa Israel mempersembahkan kurban bakaran pada pagi maupun petang hari, pada hari- Sabat, dan hari hari raya (lih. 2 Taw 2:4). Kurban yang paling utama dalam PL adalah kurban anak domba Paska yang merupakan kurban yang merupakan peringatan akan pembebasan bangsa Israel dari perbudakan Mesir (lih. Kel 12). Kurban inilah yang selalu diperingati oleh bangsa Israel sampai di zaman Yesus, sebagai peringatan akan peristiwa penyelamatan mereka dari penjajahan Mesir, dan pembaharuan perjanjian mereka dengan Tuhan.
Kurban Kristus: Apakah artinya?
Umat Yahudi memperingati Paska Yahudi dengan mengurbankan anak domba untuk memperingati peristiwa Tuhan yang membebaskan umat Israel dari perbudakan Mesir (Kel 12:3-14). Pembebasan ini merupakan gambaran dari Paska Kristus, yang menebus umat manusia dari perbudakan dosa oleh kurban salib-Nya (lih. Yoh 1:29). Itulah sebabnya mengapa perayaan Paska Yahudi merupakan saat yang tepat yang dipilih oleh Tuhan Yesus untuk menetapkan perayaan Paska bagi umat Kristen yang baru. Paus Benediktus XVI mengajarkan bahwa Perjamuan Terakhir diadakan Kristus pada saat memperingati Paska Yahudi, di mana Allah membebaskan umat Israel dari penjajahan Mesir. Perjamuan ritual ini -yang mensyaratkan kurban anak domba- adalah peringatan masa lalu namun juga merupakan peringatan nubuat akan suatu pembebasan di masa yang akan datang. Sebab orang-orang Yahudi menyadari bahwa pembebasan yang terjadi di masa yang lalu bukanlah pembebasan yang sifatnya definitif dan sudah selesai, sebab sejarah mereka terus diwarnai dengan perbudakan dan dosa. Dalam konteks inilah Kristus memperkenalkan karunia yang baru, yaitu sakramen Ekaristi, di mana Ia mengantisipasi dan menghadirkan kurban Salib-Nya dan kemenangan kebangkitaan-Nya. Ia juga menyatakan kepada para rasul-Nya bahwa Ia-lah anak domba sejati yang dikurbankan, sesuai dengan rencana Allah Bapa (lih. 1Pet 1:18-20) ((lih. Paus Benediktus XVI, Ekshortasi Apostolik, Sacrament Caritatis, 10)).
Maka Kristus dalam Perjanjian Baru tidak sama sekali menghapuskan makna kurban yang telah dengan panjang lebar diajarkan di dalam Perjanjian Lama. Sebab jika tidak, bagaimana mungkin dikatakan bahwa kurban Perjanjian Baru menggenapi dan menyempurnakan kurban Perjanjian Lama?
Kurban- kurban tersebut, yang dilakukan oleh bangsa Yahudi maupun bangsa-bangsa lain, memang dengan sendirinya tidak dapat menebus dosa, tetapi kurban itu menunjukkan betapa manusia pada dasarnya merindukan penebusan dosa. Sebab setelah kejatuhan Adam dan Hawa ke dalam dosa, maka semua umat manusia, termasuk kita, telah menerima Dosa Asal itu dari mereka. Kita manusia mempunyai kecenderungan untuk berbuat dosa, dan mudah jatuh ke dalam dosa, sehingga, bantuan dari Surga diperlukan untuk menebus dosa-dosa umat manusia di dunia ini. “Seseorang” dari Surga perlu turun ke dunia untuk menyelamatkan kita manusia; dan karena itulah Kristus datang ke dunia.
Dengan menjadi manusia, Kristus ‘mewakili’ kita dan menjadi kurban tebusan bagi dosa kita; sedangkan karena Ia Allah, maka Ia dapat mempersembahkan kurban yang nilainya tiada terbatas. Sebab begitu besarlah dosa- dosa manusia, sehingga mensyaratkan penebusan yang hanya Tuhan-lah yang dapat melakukannya. Namun lebih besarlah kasih Allah jika dibandingkan dengan dosa-dosa manusia, sebagaimana ada tertulis, “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” (Yoh 3:16) Sebab, “Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita.” (1 Yoh 4:10)
Maka, kurban dalam Perjanjian Baru adalah Kristus, yang dengan wafat-Nya di salib, mempersembahkan diri-Nya kepada Allah Bapa demi menebus dosa-dosa kita. Kristus menyerahkan Tubuh dan Darah-Nya. Nabi Musa memerciki bangsa Israel dengan darah kurban bakaran setelah peneguhan Perjanjian Lama, sambil berkata, “Inilah darah perjanjian yang diadakan TUHAN dengan kamu, berdasarkan segala firman ini.” (Kel 24:8). Kristus menyempurnakan kurban ini dengan mencurahkan darah-Nya sendiri, sebagaimana dikatakan-Nya, “Sebab inilah darah-Ku, darah perjanjian, yang ditumpahkan bagi banyak orang untuk pengampunan dosa.” (Mat 26:28). Maka darah Kristus menjadi meterai Perjanjian Baru antara Allah dan manusia, dan setiap perayaan Ekaristi merupakan peringatan akan kurban Kristus ini. Rasul Paulus berkata, “Sebab setiap kali kamu makan roti ini dan minum cawan ini, kamu memberitakan kematian Tuhan sampai Ia datang.” (1Kor 11:26)
Dengan mempersembahkan Tubuh dan Darah-Nya yang tercurah di kayu salib, Kristus menjadi tebusan bagi semua manusia (lih. 1 Tim 2:6). Kristus memberikan hidup-Nya sendiri kepada semua umat manusia; secara khusus kepada Gereja, yaitu perkumpulan manusia di dalam Kristus yang mengambil bagian di dalam kehidupan ilahi-Nya, agar memperoleh kehidupan kekal. ((lih. Katekismus Gereja Katolik/ KGK 760)) Sungguh, hidup kekal itulah yang diberikan oleh Kristus kepada kita yang percaya kepada-Nya, yang menyantap Tubuh dan Darah-Nya (lih. Yoh 6:54).
Misteri Paskah Kristus: Puncak Rencana Keselamatan Allah
Hidup kekal itu diberikan Kristus melalui Misteri Paska-Nya, yaitu melalui sengsara, wafat, kebangkitan Kristus dan kenaikan-Nya ke Surga. “Allah tidak menyayangkan Yesus Putera-Nya sendiri untuk menyelamatkan kita” (Rom 8:32), para pendosa. Maka, alasan Kristus untuk datang ke dunia adalah untuk wafat dan menjadi tebusan atas dosa-dosa kita. Paus Benediktus XVI mengatakan, “Kematian Kristus di Salib adalah puncak… dimana Tuhan memberikan diri-Nya sendiri agar mengangkat manusia dan menyelamatkannya.” ((Paus Benediktus XVI, Deus Caritas est, 12, Sacramentum Caritatis, 9)) Karena itu, layaklah jika Ia mewariskan kenangan wafat-Nya itu, yang menjadi Perjanjian Baru dan Kekal antara kita manusia dengan Tuhan. Perjanjian ini menandai pemberian diri dalam hubungan kasih, yang berlaku untuk selamanya. Sejak kejatuhan Adam sampai kedatangan Kristus, Allah telah membuat perjanjian dengan bangsa Israel (bangsa pilihan Allah) melalui para bapa bangsa dan para nabi. Perjanjian ini yang disebut Perjanjian Lama ditandai dengan kurban penyembahan terhadap Tuhan dan kurban penebus dosa (Im 9:23) yang dipersembahkan melalui para imam (Kel 10:25-26). Melalui kurban ini, manusia diampuni dan dimampukan kembali untuk mengasihi Allah. Kurban inilah yang diteruskan dalam kurban Ekaristi- oleh Gereja, yaitu bangsa pilihan Allah yang baru- sebagai kurban Perjanjian Baru dan Kekal, yang menjadi tebusan dosa manusia sampai akhir zaman. Gereja lahir dari Misteri Paska Kristus, sehingga oleh karena itu Ekaristi yang merayakan Misteri Paska Kristus, berada di pusat kehidupan Gereja. ((lih. Paus Yohanes Paulus II, Ecclesia de Eucharistia, 3))
Maka Perayaan Ekaristi (Kurban Misa kudus) merupakan kurban Tubuh dan Darah Yesus Kristus, yang sungguh hadir di altar di dalam rupa roti dan anggur, yang dipersembahkan kepada Tuhan demi pengampunan dosa umat manusia. Kurban Misa adalah kurban yang satu dan sama dengan kurban Kristus di kayu salib, di mana dulu Kristus mempersembahkan Diri-Nya sebagai kurban yang berdarah, kepada Allah Bapa, dan kini Ia terus mempersembahkan Diri-Nya dengan cara yang tidak berdarah di altar, melalui pelayanan para imam-Nya, untuk mendatangkan keselamatan bagi umat-Nya. ((lih. KGK 1367)) Perayaan Ekaristi juga merupakan sebuah peringatan akan Sengsara, Wafat dan Kebangkitan Tuhan Yesus. Perayaan ini dilakukan oleh Gereja karena Gereja menaati kehendak Yesus sendiri yang berpesan, “Lakukanlah ini sebagai peringatan akan Aku.” (Luk 22:19). Pada setiap perayaan Ekaristi, kita, secara rohani dibawa kepada Triduum Paska, yaitu sejak Perjamuan Terakhir, sengsara-Nya di Taman Getsemani, jalan salib-Nya dan wafat-Nya di salib di Golgota, sampai dengan kebangkitan-Nya di hari raya Paska. ((Paus Yohanes Paulus II, Ecclesia de Eucharistia, 3-5))
Selain sebagai Kurban, Kristus juga sebagai Imam
Selain sebagai penggenapan kurban Paska Perjanjian Lama, Kristus juga adalah penggenapan Imam menurut peraturan Melkisedek (lih. Ibr 5:6; Mzm 110:4). Di Perjanjian Lama, Melkisedek adalah Raja Salem yang mempersembahkan kurban dalam rupa roti dan anggur kepada Allah. Dengan demikian dalam rupa roti dan anggur (lih. Kej 14:18) inilah juga kurban Yesus dinyatakan, dengan Kristus sendiri bertindak sebagai imam-Nya. “Sebab Imam Besar yang demikianlah yang kita perlukan: yaitu yang saleh, tanpa salah, tanpa noda, yang terpisah dari orang-orang berdosa dan lebih tinggi dari pada tingkat-tingkat sorga, yang tidak seperti imam-imam besar lain, yang setiap hari harus mempersembahkan korban untuk dosanya sendiri dan sesudah itu barulah untuk dosa umatnya, sebab hal itu telah dilakukan-Nya satu kali untuk selama-lamanya, ketika Ia mempersembahkan diri-Nya sendiri sebagai korban.” (Ibr 7:26-27)
Demikian pula nubuat nabi Maleakhi mengatakan, “Aku [Allah] tidak suka kepada kamu [para imam Yahudi], firman TUHAN semesta alam, dan Aku tidak berkenan menerima persembahan dari tanganmu. Sebab dari terbitnya sampai kepada terbenamnya matahari nama-Ku besar di antara bangsa-bangsa, dan di setiap tempat dibakar dan dipersembahkan korban bagi nama-Ku dan juga korban sajian yang tahir; sebab nama-Ku besar di antara bangsa-bangsa, firman TUHAN semesta alam.” (Mal 1:10-11)
Kedua nubuat ini digenapi di dalam kurban Perjanjian Baru, yaitu kurban Kristus yang dipersembahkan dalam rupa roti dan anggur, yang dipersembahkan di antara bangsa- bangsa di seluruh dunia. Dalam Ekaristi, selain sebagai Kurban, Kristus juga bertindak sebagai Imam yang mempersembahkan Kurban. Dalam hal inilah kita mengatakan bahwa di dalam Perayaan Ekaristi, para imam/ pastor menjadi “in persona Christi“, bertindak sebagai Kristus.
Ekaristi adalah Kurban Kristus: Tubuh dan Darah-Nya
Maka dalam Perayaan Ekaristi, Misteri Paska Kristus yang satu dan sama itu dihadirkan kembali oleh kuasa Roh Kudus. Artinya kurban Kristus di salib dibuat selalu hadir ((lih. Ibr 7:25-27, KGK 1364)) dan dengan demikian karya penebusan kita terus dilaksanakan oleh Allah. Jadi perayaan Ekaristi adalah kurban salib Kristus sebab dalam perayaan itu kita mengenangkan Paska Kristus, yang ditandai dengan perkataanNya: “Inilah tubuh-Ku yang diserahkan bagi kamu”, dan “cawan ini adalah perjanjian baru oleh darah-Ku, yang ditumpahkan bagi kamu” (Luk 22:19-20). Dalam Ekaristi, Kristus menyerahkan tubuh-Nya untuk kita, dan darah-Nya, “yang ditumpahkan bagi banyak orang untuk pengampunan dosa.” (Mat 26:28) ((KGK 1366))
Apakah artinya dengan merayakan Ekaristi kita menyalibkan Kristus berkali-kali? Tentu tidak. Sebab yang dihadirkan kembali adalah kurban yang satu dan sama, yaitu kurban Kristus ((lih. KGK 1367)). Oleh karena Kristus telah bangkit dan maut tidak menguasai-Nya lagi, maka penghadiran kembali kurban Kristus ini terjadi tidak dengan cara yang sama dengan kejadian 2000 tahun yang lalu. Di kayu salib-Nya dulu, Kristus secara fisik mencurahkan darah-Nya, namun kini di dalam Ekaristi, kurban tersebut dihadirkan secara sakramental, sehingga kita yang hidup terpisah 2000 tahun dengan zaman Kristus, dapat berdiri di bawah kaki salib-Nya. Dengan kehadiran secara sakramental ini, makna kurban-Nya tetap sama, hanya cara pengorbanannya yang berbeda. Kurban Kristus dalam Ekaristi tetap mendatangkan buah- buahnya yaitu pengampunan dosa-dosa kita. Sebab Kristus tidak terbatas oleh ruang dan waktu dan imamat-Nya tidak berakhir pada kematian-Nya; maka Ia meninggalkan bagi Gereja, suatu kurban yang kelihatan -yaitu kurban-Nya sendiri- untuk dikenang sampai akhir zaman dan agar kekuatan yang menyelamatkan yang mengalir daripadanya dapat dipergunakan untuk pengampunan dosa kita manusia ((lih. KGK 1366)); agar manusia dapat dipersatukan kembali dengan Allah dan memperoleh hidup ilahi.
“Pemisahan konsekrasi” antara roti dan anggur merupakan peringatan bahwa dahulu darah Kristus begitu banyak tercurah, seolah terpisahkan dari tubuh-Nya ketika Ia wafat disalib. Namun demikian, kini dalam perayaan Ekaristi, darah Kristus tidak terpisahkan dari tubuh-Nya. Sebab Kristus yang hadir melalui perkataan konsekrasi adalah Kristus yang telah bangkit mulia. Maka Kristus hadir seutuhnya baik dalam rupa roti saja, atau anggur saja. ((lih. KGK 1390))
Tradisi Suci mengajarkan tentang Ekaristi sebagai Kurban Kristus
Para Bapa Gereja sejak abad- abad awal telah mengajarkan perayaan Ekaristi sebagai peringatan kurban Kristus:
1. St. Irenaeus (120- 202)
“…. Ia [Kristus] mengambil…roti, dan dan mengucap syukur dan mengatakan, “Inilah Tubuh-Ku” (Mat 26:26). Dan demikian juga piala itu,…Ia mengakuinya menjadi darah-Nya, dan mengajarkan persembahan yang baru bagi Perjanjian Baru; yang oleh Gereja, yang menerima dari para Rasul, mempersembahkan kepada Tuhan di seluruh dunia ….., yang tentangnya Maleakhi, di antara kedua belas Nabi menubuatkan: “…..Aku tidak berkenan menerima persembahan dari tanganmu. Sebab dari terbitnya sampai kepada terbenamnya matahari nama-Ku besar di antara bangsa-bangsa, dan di setiap tempat dibakar dan dipersembahkan korban bagi nama-Ku dan juga korban sajian yang tahir; sebab nama-Ku besar di antara bangsa-bangsa, firman TUHAN semesta alam….” (Mal 1:10-11), menunjukkan… bahwa bangsa yang terdahulu [bangsa Israel] harus berhenti membuat persembahan kepada Tuhan, tetapi bahwa di setiap tempat kurban yang murni satu-satunya itu [yaitu kurban Kristus] harus dipersembahkan kepada-Nya; dan nama-Nya dimuliakan di antara semua bangsa.” ((St. Irenaeus, Against Heresies, Bk 4, Chap 17))
2. St. Siprianus (Cyprian) (w 258)
“Sebab jika Yesus Kristus, Tuhan dan Allah kita, adalah imam agung Allah Bapa, dan telah pertama- tama mempersembahkan diri-Nya sebagai kurban kepada Allah Bapa, dan telah memerintahkan ini untuk dilakukan sebagai peringatan akan diri-Nya, tentunya bahwa imam sungguh-sungguh melaksanakan jabatan Kristus, yang melakukan apa yang telah dilakukan Kristus, dan karena itu ia telah mempersembahkan kurban yang benar dan penuh di dalam Gereja kepada Allah Bapa….” ((St. Cyprian, Letters, 63:14))
3. St. Sirilus (Cyril) dari Yerusalem (315-386)
“Lalu, setelah kurban rohani, ibadah penyembahan yang tidak berdarah (bloodless) itu selesai, yang atas kurban pemulihan itu kita memohon kepada Tuhan untuk kedamaian bersama bagi Gereja- gereja; untuk kesejahteraan dunia; untuk raja-raja, untuk para prajurit dan sekutunya; untuk orang- orang sakit: dan pendek kata, untuk semua orang yang membutuhkan pertolongan, kita semua berdoa dan mempersembahkan kurban.” ((St. Cyril, Catecheses, 23:8))
4. St. Yohanes Krisostomus (347-407)
“Hormat, sekarang, o, hormatilah altar ini, yang atasnya kita semua mengambil bagian! Kristus yang dikurbankan bagi kita, kurban yang ditempatkan di altar itu.” ((St. John Chrysostom, Epistle to the Romans, 8))
“Kita selalu mempersembahkan Anak Domba yang sama, bukan satu hari ini dan satu yang lainnya di esok hari, tetapi selalu [Anak Domba] yang satu dan sama. Untuk alasan ini, kurban nya selalu hanya satu …. Bahkan sekarang kita mempersembahkan kurban yang dulu pernah dipersembahkan dan yang tidak pernah akan habis.” ((St. John Chrysostom, In Epistolam ad Hebraeos Homiliae, Hom, 17.3: PG 63, 131))
5. St. Agustinus dari Hippo (354- 430)
“Siapa yang mempersembahkan syukur sebagai korban, ia memuliakan Aku; siapa yang jujur jalannya, keselamatan yang dari Allah akan Kuperlihatkan kepadanya.” (Mzm 50:23) Sebelum kedatangan Kristus, tubuh dan darah kurban ini digambarkan oleh hewan-hewan yang dikurbankan, di dalam kisah sengsara Kristus, gambaran ini dipenuhi oleh kurban [Kristus] yang sejati itu; setelah kenaikan Kristus ke surga, kurban ini diperingati di dalam sakramen.” ((St. Augustine, Reply to Faustus the Manicahean, 21:20))
6. St. Gregorius Agung (540-604)
“Kurban ini sendiri mempunyai kuasa untuk menyelamatkan jiwa dari kematian kekal, sebab kurban ini menghadirkan kepada kita kematian Sang Putera Allah yang tunggal secara mistik/ rahasia. Meskipun Ia sekarang telah bangkit dari mati dan tidak mati lagi, ‘dan maut tidak mempunyai kuasa atas-Nya’ (Rom 6:9), namun, dalam keadaan hidup yang tidak dapat mati dan tidak dapat rusak di dalam Diri-Nya sendiri, Ia dipersembahkan lagi bagi kita di dalam misteri Kurban yang kudus ini. Ketika Tubuh-Nya dimakan, di sana Daging-Nya dibagi-bagikan di antara umat bagi keselamatan. Darah-Nya tidak lagi menodai tangan-tangan orang yang tidak bertuhan, tetapi mengalir ke dalam hati para pengikut-Nya. Karena itu, lihatlah, betapa mulianya Kurban yang dipersembahkan bagi kita, yang selalu menghasilkan di dalam dirinya sendiri, kisah sengsara Sang Putera Allah yang tunggal demi penghapusan dosa-dosa kita.” ((St. Gregory I the Great, Dialogues, Bk 4, 58))
Kita mengambil bagian di dalam Kurban Kristus
Umumnya kita mengetahui bahwa dengan menyambut Ekaristi kita menerima Kristus yang telah mengurbankan Diri bagi kita. Namun tak banyak dari kita yang sungguh menyadari bahwa kitapun mengambil bagian di dalam kurban Kristus itu. Artinya, bahwa sebagai anggota-anggota Kristus, kita diundang untuk menggabungkan kurban diri kita (segala ucapan syukur, pergumulan, penderitaan, sakit penyakit) bersama dengan kurban Kristus Sang Kepala kita. Jika kita menghayati hal ini maka kita akan semakin dapat berpartisipasi aktif dan mempunyai sikap batin yang benar dalam mengikuti Perayaan Ekaristi. Dan sikap batin yang benar ini mengakibatkan kita menerima buah- buah perayaan Ekaristi ini dengan lebih berlimpah.
Kesimpulan: Kurban Kristus, kurban yang tak ternilai harganya: sudahkah kita sambut dengan sikap yang layak?
Di dalam Ekaristi, Kristus menyatakan kasih-Nya yang tak terbatas, yang sehabis- habisnya kepada manusia, sebab Ia rela menyerahkan Tubuh dan Darah-Nya untuk menjadi tebusan bagi dosa-dosa kita. Kristus menjadi kurban yang sempurna, yang menggenapi dan mengatasi segala kurban dalam Perjanjian Lama. Sebab di dalam Ekaristi, Kristus yang adalah Tuhan sendiri mengurbankan diri bagi kita, memberikan hidup-Nya kepada kita supaya kita diselamatkan dan memperoleh hidup yang kekal di dalam Dia. Kristus juga bertindak sebagai Sang Imam Agung, yang bertindak sebagai Pengantara bagi kita manusia kepada Allah Bapa. Maka kurban ini nilainya ilahi dan menjadi bekal bagi kita untuk menuju kepada kebahagiaan kita yang tertinggi yaitu persatuan dengan Allah dan sesama dalam Kerajaan Surga.
Appendix:
Bagaimana sikap kita di dalam liturgi
Jika kita secara pribadi diundang pesta oleh Bapak Presiden, tentu kita akan mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Kita akan berpakaian yang sopan, bersikap yang pantas, dan tidak datang terlambat. Mari kita memeriksa diri, sudahkah kita bersikap demikian di dalam ‘pertemuan’ kita dengan Tuhan di dalam liturgi, khususnya dalam perayaan Ekaristi? Karena Tuhan jauh lebih mulia dan penting daripada Presiden, seharusnya persiapan kita jauh lebih baik daripada persiapan bertemu dengan Presiden.
Langkah #1: Mempersiapkan diri sebelumnya dan mengarahkan hati sewaktu mengikuti liturgi
Untuk menghayati liturgi, kita harus sungguh mempersiapkan diri sebelum mengambil bagian di dalamnya. Contohnya ialah: membaca dan merenungkan bacaan Kitab Suci pada hari itu, hening di sepanjang jalan menuju ke gereja, datang lebih awal, berpuasa (1 jam sebelum menyambut Ekaristi dan terutama berpuasa sebelum menerima sakramen Pembaptisan dan Penguatan), memeriksa batin, jika dalam keadaan dosa berat, melakukan pengakuan dosa dalam sakramen Tobat sebelum menerima Ekaristi.
Lalu, sewaktu mengikuti liturgi, kitapun harus selalu mempunyai sikap hati yang benar. Jika terjadi ‘pelanturan’, segeralah kembali mengarahkan hati kepada Tuhan. Kita harus mengarahkan akal budi kita untuk menerima dengan iman bahwa Yesus sendirilah yang bekerja melalui liturgi, dan Roh KudusNya yang menghidupkan kata-kata doa dan Sabda Tuhan di dalam liturgi, sehingga menguduskan tanda-tanda lahiriah yang dipergunakan di dalamnya untuk mendatangkan rahmat Tuhan.
Sikap hati yang baik ini juga diwujudkan dengan berpakaian sopan, tidak ‘ngobrol’, dan tidak menggunakan handphone ataupun ber-BBM di gereja. Sebab jika demikian dapat dipastikan bahwa hati kita tidak sepenuhnya terarah pada Tuhan.
Langkah #2: Bersikap aktif: tidak hanya menerima tapi juga memberi kepada Tuhan
St. Thomas Aquino mengajarkan bahwa penyembahan yang sempurna mencakup dua hal, yaitu menerima dan memberikan berkat-berkat ilahi. ((lih. St. Thomas Aquinas, Summa Theology, III, q.63, a.2.)) Di dalam liturgi, penyembahan kepada Tuhan mencapai puncaknya, saat Kristus bersama dengan kita mempersembahkan diri kepada Bapa dan pada saat kita menerima buah penebusan Kristus melalui Misteri Paska-Nya. Puncak liturgi adalah Ekaristi, di mana di dalamnya Kristus menjadi Imam Agung, dan sekaligus Kurban penebus dosa. ((KGK 1348, 1364,1365))
Dalam perayaan Ekaristi, kita seharusnya tidak hanya menonton atau sekedar menerima, tetapi ikut mengambil bagian di dalam peran Kristus sebagai Imam Agung dan Kurban tersebut. Caranya adalah dengan turut mempersembahkan diri kita, beserta ucapan syukur, suka duka, pergumulan, dan pengharapan, untuk kita persatukan dengan kurban Kristus ((lih. Lawrence G. Lovasik, The Basic Book of the Eucharist, (Sophia Institute Press, New Hampshire, 1960), p.73)). Setiap kali menghadiri misa, kita bawa segala kurban persembahan kita untuk diangkat ke hadirat Tuhan, terutama pada saat konsekrasi -saat roti dan anggur diubah menjadi Tubuh dan Darah Yesus. Saat itu kurban kita disatukan dengan kurban Yesus. Liturgi menjadi penyembahan yang sempurna, sebab Kristus, satu-satunya Imam Agung dan Kurban yang sempurna, menyempurnakan segala penyembahan kita. Bersama Yesus di dalam liturgi, kita akan dapat menyembah Allah Bapa di dalam roh dan kebenaran (Yoh 4:24), karena di dalam liturgi Roh Kudus bekerja menghadirkan Kristus, Sang Kebenaran itu sendiri.
Kehadiran Yesus tidak hanya terjadi di dalam Ekaristi, tetapi juga di dalam liturgi yang lain, yaitu Pembaptisan, Penguatan, Pengakuan Dosa, Perkawinan, Tahbisan suci, dan Pengurapan orang sakit. Dalam liturgi tersebut, kita harus berusaha untuk aktif berpartisipasi agar dapat sungguh menghayati maknanya. Partisipasi aktif ini bukan saja dari segi ikut menyanyi, atau membaca segala doa yang tertulis, melainkan terutama partisipasi mengangkat hati dan jiwa untuk menyembah dan memuji Tuhan, dan meresapkan segala perkataan yang diucapkan di dalam hati.
Langkah #3: Jangan memusatkan perhatian pada diri sendiri tetapi pada Kristus
Jadi, untuk menghayati liturgi, kita harus memusatkan perhatian kepada Kristus, dan kepada apa yang telah dilakukan-Nya bagi kita, yaitu: karena kasih-Nya kepada kita, Kristus rela wafat untuk menghapus dosa-dosa kita. Yesus sendiri hadir di dalam liturgi dan berbicara kepada kita. Dengan berfokus kepada Kristus, kita akan memperoleh kekuatan baru, sebab segala pergumulan kita akan nampak tak sebanding dengan penderitaan-Nya. Kitapun akan dikuatkan di dalam pengharapan karena Roh Kudus yang sama, yang telah membangkitkan Kristus dapat pula membangkitkan kita dari dosa dan segala kesulitan kita.
Jika kita memusatkan hati dan pikiran kepada Kristus, maka kita tidak akan terlalu terpengaruh dengan musik atau koor yang kurang sempurna, khotbah yang kurang bersemangat, hawa panas ataupun banyak nyamuk -walaupun tentu saja, idealnya semua itu diperbaiki. Kita bahkan dapat mempersembahkan kesetiaan kita di samping segala ketidaksempurnaan itu sebagai kurban yang murni bagi Tuhan. Langkah berikutnya adalah, apa yang dapat kita lakukan untuk turut membantu memperbaiki kondisi tersebut. Inilah salah satu cara menghasilkan ‘buah’ dari rahmat Tuhan yang kita terima melalui liturgi.
Perhatian kepada Kristus akan mengarahkan kita untuk bersikap dan berpakaian yang pantas di gereja. Kita tidak akan berpakaian minim dan sexy, seperti dengan rok mini, baju tanpa lengan atau bahkan tank top, dengan potongan leher rendah yang ‘how low can you go‘ atau dengan celana leggings. Atau, pemikiran yang terpusat pada diri sendiri mengakibatkan kita lebih memikirkan kenyamanan kita berpakaian, terutama kalau sehabis ke gereja kita kita mau pergi ke mall atau ke tempat santai lainnya. Jadilah banyak orang ke gereja dengan pakaian seadanya, dengan sandal jepit ataupun celana pendek atau kaus oblong. Berpakaian sedemikian menunjukkan bahwa kita tidak sungguh menghayati, kepada Siapakah sebenarnya kita datang menghadap. Jangan sampai cara berpakaian kita malah menjadi batu sandungan bagi orang lain yang ingin memusatkan perhatian kepada Tuhan. Para orang tua sesungguhnya bertugas untuk memberikan contoh yang baik dan mendorong anak- anak agar berpakaian yang sopan ke gereja. Semoga hal ini dapat menjadi permenungan bagi kita semua. Sudah selayaknya kita ingat bahwa penghayatan iman di dalam hati akan terpancar ke luar dengan sendirinya. Jika kita tidak bisa berpakaian dengan sopan dan hormat, bagaimana kita dapat mengatakan bahwa kita mempunyai sikap batin yang baik di hadapan Tuhan?
Tahap selanjutnya adalah, mari belajar untuk sungguh berdoa pada saat kita mengucapkan doa dalam liturgi. Jangan sampai kata-kata yang kita ucapkan merupakan kata-kata kosong, artinya hanya di mulut saja, tetapi tidak sungguh keluar dari hati. Kita perlu memohon rahmat Tuhan untuk hal ini, namun juga kita harus mengusahakannya dengan mengarahkan hati, dan mempersiapkan diri dengan lebih sungguh, sebagaimana telah disebut di atas.
Demikianlah, mari kita memberikan sikap batin yang lebih baik di dalam liturgi. Mengapa ini penting? Sebab dengan sikap batin yang baik, kita akan menerima efek yang penuh dari liturgi. Konsili Vatikan II mengajarkan, “… Supaya liturgi dapat menghasilkan efek yang penuh, adalah penting bahwa umat beriman datang menghadiri liturgi suci dengan sikap-sikap batin yang serasi. Hendaklah mereka menyesuaikan hati dengan apa yang mereka ucapkan, serta bekerja sama dengan rahmat surgawi, supaya mereka jangan sia-sia saja menerimanya (lih. 2 Kor 6:1).” ((Konsili Vatikan II, Sacrosanctum Concilium 11)) Tentu tak ada satupun dari kita yang mau menerima rahmat Tuhan dengan sia-sia. Kita semua ingin menerima buah-buah liturgi suci di dalam hidup kita. Maka, mari kita datang dengan sikap batin yang baik, terutama dalam perayaan Ekaristi yang setiap minggu atau bahkan setiap hari kita hadiri.
Kyrie dan Agnus Dei Doa dan atau lagu Kyrie Eleison dan Agnus Dei merupakan dua bagaian / tahap dari keseluruhan tahap upacara Misa / Sakramen Ekaristi. 1. Pada dasarnya Tuhan ( Kyrie ), Kristus ( Christe ) dan Anak Domba Allah ( Agnus Dei ) merujuk kepada ” Dhat/Zat” yang sama. 2. Kedua tahap dalam Misa tersebut intinya memohon belas kasihan Tuhan. 3. Mengapa kalimat permohonan belas kasihan diulangi dua kali dalam Misa? Apa tidak cukup satu kali saja: Kyrie atau Agnus Dei saja , karena inti doanya sama saja. 4. Karena esensi doa Kyrie dan Agnus Dei sama saja,… Read more »
Shalom Herman Jay, Memang doa Kyrie (Tuhan kasihanilah) dan Agnus Dei (Anak Domba Allah) ditujukan kepada Allah untuk memohon belas kasihan Allah; namun keduanya mempunyai penekanan yang berbeda, jika kita melihat kepada urutan perayaan Ekaristi, yang sesungguhnya merupakan suatu rangkaian doa kepada Allah. Kyrie termasuk dalam ritus Pembuka yang merupakan pengantar dan persiapan umat untuk turut mengambil bagian dalam Perayaan Ekaristi. Di awal perayaan ini, sadar akan keadaan kita yang tidak sempurna dan kerap kali masih terikat oleh dosa-dosa ringan yang belum sempat diakui dalam sakramen Tobat, maka kita semua memohon pengampunan dari Tuhan. Setelah memperoleh pengampunan Tuhan, kita melanjutkan… Read more »
Shalom katlisitas. Saya ingin bertanya mengenai beberapa hal yang sudah saya poskan di artikel lain namun tidak/belum dijawab oleh katolisitas karena saya bertanya di artikel yang tidak sesuai 1. Saya kembali bingung dengan konsep penebusan ketika saya membaca artikel mengenai “penal subtitution” di website ini, karena yang saya ketahui selama ini adalah bahwa Yesus menanggung hukuman atas dosa orang-orang yang percaya kepadanya sehingga mereka tidak binasa atau tidak dihukum di kekekalan api neraka. 2. Saya juga bingung mengapa hukuman yang adil atas semua manusia berdosa adalah hukuman kekal di api neraka, dan bukannya dihukum setimpal/seimbang dengan dosa yang mereka perbuat… Read more »
Shalom Pieter, 1. Yang percaya kepada Yesus pasti tidak binasa? Tuhan Yesus memang menanggung hukuman atas dosa-dosa manusia, dengan menjadi korban penebus dosa manusia, untuk mendamaikan kita manusia dengan Allah. Tetapi tidak berarti bahwa dengan Yesus sudah menebus dosa kita, maka manusia tidak perlu lagi bertobat dan menjauhi dosa. Sebab jika diartikan demikian, malah bertentangan dengan ayat-ayat Kitab Suci yang lain, yang menekankan pentingnya pertobatan (lih. Luk 15: 11-32; Mat 18:3; 1Yoh 1:8-9). Maka, memang dikatakan dalam Kitab Suci, bahwa Kristus menebus kita yang percaya kepada-Nya sehingga kita tidak binasa (lih. Yoh 3:16), namun hal itu perlu dipahami sebagaimana Gereja… Read more »
Slmt mlm tim katolisitas, selamat natal dan tahun baru 2013
Saya mau bertanya..
1.Bagaimakah org2 pada perjanjian lama itu berdoa?
2.bagaimanakah Tuhan berbicara pada para2 nabi pada perjanjian lama?
Terima kasih
Shalom Andi, 1. Doa pada Perjanjian Lama Kitab Mazmur adalah salah satu kitab yang menjabarkan tentang doa-doa yang didasarkan dalam masa Perjanjian Lama; yang masih juga relevan didoakan sampai saat ini. Dalam ibadah harian (Liturgy of the Hours/ the Divine Office/ doa brevier) yang didoakan oleh Gereja Katolik secara universal, mayoritas doa-doanya diambil dari kitab Mazmur. Doa dalam Kitab Mazmur tersebut menggambarkan iman dan kepercayaan kepada Allah, pujian kepada-Nya, permohonan akan pertolongan dan perlindungan-Nya, dst, seperti yang juga umumnya kita doakan pada masa ini. Selanjutnya, sebagai kesatuan bangsa pilihan, doa-doa kepada Allah juga disampaikan kepada Allah dengan kurban, melalui perantaraan… Read more »
+bolehkah ukupan/(pembakaran dupa) dibakar pada saat kita beribadah di rumah? terimakasih di tunggu jawabannya
saya sendiri seorang katolik
[Dari Katolisitas: Menurut Rm. Agung Wijayanto SJ (doktor sastra china klasik universitas Sanata Dharma), ketika memberi penerangan pada umat Katolik di Kebon Dalem Semarang pada perayaan Imlek tahun 2006, penghormatan dengan batang dupa bisa dilakukan oleh imam di depan altar saja. Karena fungsi dupa menyala/berasap memang untuk menghormati pribadi yang lebih agung, namun bukan untuk jenazah. Sedangkan jenazah hanya boleh didupai sebagaimana lazimnya liturgi pemberkatan jenazah….
Selanjutnya tentang penghormatan leluhur silakan membaca di sini, silakan klik]