“Tante and Oom, please keep this rock, so you will remember me.” Ini adalah pesan dari Nicholas, keponakan dan anak baptis kami, sebelum kami berpisah dengannya di tahun yang lalu. Kami memang cukup dekat dengan Nicholas, sebab selama empat tahun kami tinggal bersamanya saat menumpang di rumah keluarga sepupu kami, sewaktu kami menempuh studi teologi di Amerika Serikat. Tahun lalu, kami berkesempatan bertemu kembali dengan Nicholas, yang saat itu berumur 6 tahun. Sebelum kami berpisah, ia memberikan hadiah batu kesayangannya itu kepada kami. Rupanya sewaktu liburan di gunung, Nicholas mengambil dua buah batu, yang kemudian menjadi barang kesayangannya. Ia mengantongi kedua batu ini ke manapun ia pergi, saat ke sekolah, maupun di rumah, saat bermain dan bahkan saat tidur. Sepasang batu itu menjadi semacam harta miliknya yang istimewa. Kini salah satunya diberikan kepada kami, karena kasihnya kepada kami. Ia ingin kami mengenangnya setiap kali kami memandang batu itu, sama seperti ia mengenang kami saat ia memandang batu pasangannya.
Aku memandang batu itu… tak ada yang istimewa. Namun kisah cinta di balik batu itu membuatku mengenangnya secara istimewa. “Simpan ini, sebagai kenangan akan aku”. Pikiranku menerawang jauh…. Betapa perkataan sederhana ini mengingatkan aku pada pesan Yesus Tuhanku, sesaat sebelum sengsara-Nya. “Inilah Tubuh-Ku…. Inilah Darah-Ku…. Kenangkanlah Aku dengan merayakan peristiwa ini“ (lih. Luk 22:19). Tuhan Yesus tidak memberikan benda milik-Nya kepada kita, melainkan memberikan diri-Nya sendiri. Tuhan Yesus telah memberikan segalanya bagi kita yang dikasihi-Nya, agar kita dapat diampuni dan diselamatkan. Agar suatu saat nanti kita dapat bertemu kembali dengan-Nya, menikmati kebahagiaan tanpa akhir, dalam kehidupan kekal. “Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawa-nya untuk sahabat-sahabat-nya” (Yoh 15:13). Kasih yang terbesar inilah yang kita rayakan secara istimewa dalam Pekan Suci ini, yang mencapai puncaknya pada hari Raya Paskah. Tuhan Yesus memberikan diri-Nya sehabis-habisnya untuk kita: Ia rela menderita, wafat dan bangkit bagi kita, agar kita dapat memiliki hidup yang baru bersama Dia. Kenangan Misteri Paska Kristus menjadi kenangan cinta Tuhan tanpa batas yang selalu hidup, karena Ia senantiasa hadir dalam setiap perayaan Ekaristi. Maka kenangan ini bukan sekedar pengulangan kata-kata seperti dalam drama, namun oleh kuasa Roh-Nya, menjadi kurban Kristus sendiri bagi kita. Sejauh mana aku menghargai dan mensyukuri pemberian Tuhan ini, yang melampaui segala sesuatu?
Jarak dan waktu dapat memisahkan kita dengan orang-orang yang kita kasihi, dan kita tak kuasa mengubahnya. Namun Tuhan kita Maha Kuasa, tak terbatas oleh ruang dan waktu, dan karena dengan pengorbanan-Nya, Kristus telah mengalahkan kuasa dosa dan maut. Maka oleh kuasa Roh-Nya, Kristus menghadirkan kembali Misteri Paska-Nya di tengah kita, sebagai bukti penyertaan-Nya atas Gereja-Nya sampai akhir zaman. Maka perayaan Tri-hari Suci maupun perayaan Ekaristi bukan merupakan perayaan di mana Yesus dikorbankan lagi secara berulang-ulang. Namun Korban Yesus yang satu dan sama itu (lih. Ibr 7:27) dihadirkan kembali secara sakramental oleh kuasa Roh Kudus, agar kita yang hidup 2000 tahun terpisah dari zaman Yesus tetap dapat memperoleh buah-buahnya (lih. KGK 1366). Dalam setiap perayaan Ekaristi, misteri Paska Kristus, yaitu sengsara, wafat, kebangkitan dan kenaikan-Nya ke surga, dihadirkan kembali agar kita dapat mengambil bagian di dalamnya, dan dikuatkan olehnya. Ibaratnya, Misteri Paska Kristus itu seumpama aliran listrik yang sama yang selalu menyala, sedangkan sakramen-sakramen Gereja adalah semacam kabel, yang menghubungkan kita dengan aliran listrik itu, agar kita dapat terus ‘menyala’ dan dikuatkan dalam semangat kasih yang dari Tuhan. Betapa selayaknya kita bersyukur kepada Tuhan atas kasih-Nya dan atas karunia Gereja dan sakramen-sakramennya yang telah menghubungkan kita dengan kekayaan rohani yang melampaui segala sesuatu, yaitu Kristus sendiri: Tubuh-Nya, Darah-Nya, Jiwa-Nya dan ke-Allahan-Nya. Dengan cara inilah Tuhan menghendaki kita mengenang-Nya sampai Ia datang kembali, yaitu agar kita mengambil bagian di dalam kurban Tubuh dan Darah-Nya. Demikianlah yang diajarkan oleh Rasul Paulus, “Sebab setiap kali kamu makan roti ini dan minum cawan ini, kamu memberitakan kematian Tuhan sampai Ia datang.“ (1 Kor 11:26)
Aku memandang batu pipih lonjong itu, pemberian dari Nicholas keponakanku terkasih. Aku mengucap syukur dalam hati, “Terima kasih Tuhan, atas kehadiran Nicholas dalam hidupku”. Melintas di pikiranku hari-hari indah bersamanya, saat aku menatap matanya yang jenaka dan saat aku membelai punggungnya sebelum tidur. Semoga Tuhan menjaganya selalu, dan kudaraskan doa Salam Maria untuknya. Namun kini, setelah kudaraskan doa singkat baginya, kutambahkan lagi sepotong doa, “Terima kasih Tuhan Yesus, atas kehadiran-Mu dalam hidupku. Semoga Kau-tambahkan di hatiku, rasa syukur dan cinta kasih kepada-Mu setiap kali aku mengenangkan Engkau yang telah memberikan diri-Mu seutuhnya dalam Ekaristi.”
Renungan yg sungguh bagus. Analoginya sungguh sangat tepat dan membantu.
Terima kasih bu Ingrid
terima kasih atas renungan pagi ini,
Tuhan memberkati..
Terima kasih Tuhan atas segala rahmat yang Kau beri pada kami selama ini,ampunilah aku Tuhan atas segala dosa dosaku.. Ampunilah aku yang selalu merasa kurang… Tambahkanlah rasa syukur dan cinta kasih kepadaMu dan kepada sesama dalam hidupku.. Amin..