Kemurnian di luar perkawinan

I. Apa pentingnya kemurnian (chastity)?

Mungkin ada banyak dari kita merasa bahwa ‘kemurnian’ itu suatu hal yang aneh untuk dibicarakan, sepertinya ‘muluk- muluk’ dan terlalu idealis. Apa sih perlunya? Mengapa Gereja repot- repot mengajarkannya? Mungkin jawabannya singkat saja: karena kemurnian berhubungan erat dengan kebahagiaan kita. Tuhan menciptakan kita sesuai dengan gambaran-Nya untuk maksud yang mulia: yaitu agar kita berbahagia bersama-Nya, tanpa cacat dan cela (lih. Ef 1:3-6). Caranya adalah dengan mengasihi, dan memberikan diri. “Manusia dapat sepenuhnya menemukan jati dirinya, hanya di dalam pemberian dirinya yang tulus.” ((Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes, 24)). Seseorang yang selalu berpusat pada diri sendiri dan tak pernah memberikan dirinya kepada orang lain, tidak akan hidup bahagia. Sedangkan seseorang yang mau memberikan dirinya bagi orang lain akan menemukan arti hidupnya.  Nah, pemberian diri yang tulus  yang dikehendaki Tuhan ini, adalah pemberian kasih yang murni. Itulah sebabnya kita perlu mengetahui dan melaksanakan kebajikan kemurnian, karena hanya dengan menerapkannya, maka kita dapat sungguh berbahagia dan kelak dapat memandang Allah di surga. “Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah” (Mat 5:8).

II. Apa itu kemurnian?

Kalau kita mendengar kata emas murni atau air murni, yang terbayang di pikiran kita adalah suatu zat dalam kondisi awal yang semestinya, yang tidak terkontaminasi oleh zat-zat lain yang buruk. Demikian juga,  Tuhan menghendaki kemurnian kita, artinya Tuhan menginginkan agar kita menjadi sempurna, tubuh dan jiwa, seperti pada awalnya saat Ia menciptakan manusia yang sungguh sangat baik adanya (lih. Kej 1:31). Pertanyaannya kemudian adalah: Apakah saat kita memandang tubuh kita sendiri di depan kaca cermin, kita dapat berkata, “Terima kasih Tuhan, Engkau telah menciptakan tubuhku dengan sangat baik?” Atau selanjutnya, sudah cukupkah kita memperhatikan dan menjaga kecantikan rohani kita di samping menjaga kecantikan jasmani?

Manusia diciptakan sebagai mahluk rohani yang mempunyai tubuh; yang berakal budi dan berkehendak bebas. Inilah yang menjadikan manusia dapat mengenal dan mengasihi Allah, dan menemukan arti hidupnya dengan melakukan kasih. Pertanyaannya adalah, kasih seperti apa? Jawaban yang sederhana, namun tak terkira dalam maknanya adalah: kasih yang seperti kasih Yesus; yaitu kasih yang melibatkan tubuh dan jiwa, seperti yang dinyatakan-Nya di kayu salib. Inilah kemurnian kasih yang Tuhan ajarkan kepada kita.

Maka tak mengherankan jika Gereja Katolik mendefinisikan kemurnian, demikian:

1. Kemurnian = keutuhan seksualitas secara jasmani dan rohani

KGK 2337    Kemurnian berarti keutuhan seksualitas yang membahagiakan di dalam pribadi dan selanjutnya kesatuan batin manusia dalam keberadaannya secara jasmani dan rohani. Seksualitas, yang di dalamnya nyata, bahwa manusia termasuk dalam dunia badani dan biologis, menjadi pribadi dan benar-benar manusiawi ketika pribadi ini digabungkan ke dalam hubungan antara satu orang dengan yang lainnya, di dalam penyerahan timbal balik secara sempurna dan tidak terbatas oleh waktu, antara seorang laki- laki dan seorang perempuan.
Dengan demikian kebajikan kemurnian melibatkan keutuhan pribadi dan kesempurnaan penyerahan diri.

Jika kita menghayati makna keutuhan tubuh dan jiwa ini, maka kita dapat melihat bahwa tubuh kita diciptakan Tuhan untuk maksud yang ilahi, dan dengan tubuh ini kita dapat memuliakan Tuhan. Dengan penghayatan ini, kita tidak mudah dibingungkan oleh kedua pandangan ekstrim yang ada di dunia ini: 1) mengagungkan hal- hal rohani sampai menolak segala sesuatu yang bersifat jasmani/ seksual dan menganggapnya dosa; 2) mengagungkan hal- hal jasmani dan seksual sampai ke tingkat yang tidak semestinya, dan menolak segala yang bersifat rohani. Kedua pandangan ekstrim ini keliru karena memisahkan tubuh dan jiwa.

2. Kemurnian = pengendalian diri yang mengacu kepada kelemahlembutan dan kesetiaan Allah

Kemurnian menjadi penting, karena kasih yang sempurna mensyaratkan kemurnian dalam cara menyampaikannya. Nah, seorang yang murni adalah seorang yang dapat mengendalikan dirinya, pada saat menyerahkan dirinya pada orang lain; sehingga dapat menjadi saksi bagi orang lain tentang kesetiaan dan kelemahlembutan kasih Allah.

KGK 2346     Kasih adalah bentuk semua kebajikan. Di bawah pengaruhnya, kemurnian tampak sebagai latihan penyerahan diri. Pengendalian diri diarahkan kepada penyerahan diri. Kemurnian menjadikan orang yang hidup sesuai dengannya, seorang saksi bagi sesamanya tentang kesetiaan dan kasih Allah yang lemah lembut.

3. Kemurnian = peneguhan dan pemberian diri yang tidak diwarnai cinta diri/ mementingkan diri sendiri.

“Kemurnian adalah peneguhan penuh sukacita dari seseorang yang mengetahui bagaimana ia hidup dengan memberikan dirinya, yang tidak dibatasi oleh segala bentuk perbudakan cinta diri.” ((The Pontifical Council of the Family, The Truth and Meaning of Human Sexuality, 17))

Hal pemberian diri yang murni ini memang tidak mudah dilakukan, terutama karena manusia cenderung memiliki rasa cinta diri. Kasih kita kepada sesama secara umum dapat diuji dengan pertanyaan ini: Apakah dalam berelasi dengan sesama, fokus saya adalah menyenangkan diri sendiri atau menyenangkan orang lain? Apakah dalam berelasi dengan orang lain saya membantunya untuk hidup kudus/ murni atau malah menjerumuskannya? Paus Yohanes Paulus II mengajarkan, “Para pria dan wanita yang ber-relasi satu sama lain dengan kemurnian sungguh memuliakan Allah dengan tubuh mereka.” ((lih. Pope John Paul II, Theology of the Body 57:3))

II. Dasar kemurnian

Paus Yohanes Paulus II mengajarkan agar kita dapat memahami makna kemurnian, kita harus melihat keadaan pada saat awal mula manusia diciptakan oleh Tuhan. Dalam khotbahnya, Theology of the Body, Paus mengajarkan adanya tiga pengalaman dasar yang dapat membantu kita membayangkan keadaan tersebut:

1. Kesendirian Asali (Original Solitude)

Pada saat awal mula penciptaan, Adam mengalami kesendirian di tengah dunia ciptaan Tuhan; sebab ia menyadari bahwa ia tidak sama dengan ciptaan lainnya (lih. Kej 2:20). Kesadaran ini timbul dari pengalaman tentang tubuhnya. Kesendirian ini memanggilnya untuk bersekutu dengan Tuhan Sang Pencipta dan dengan mahluk lain yang ‘sejenis’ dengannya (lih. Kej 2:23).

2. Kesatuan Asali (Original Unity)

Ayat Kej 2:24 “…. dan keduanya menjadi satu tubuh”… merupakan dasar akan adanya kesatuan asali. Kesatuan ini mengatasi kesendirian manusia; dan kesatuan antar seorang laki- laki dan perempuan yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah ini, sungguh berbeda dengan persetubuhan binatang. Kesadaran akan kesatuan asali ini memberikan dasar bagi kemampuan seseorang untuk memberikan dirinya kepada orang lain dan menghargai orang lain, sebagai “saudara laki- laki dan saudara perempuan di dalam kesatuan umat manusia” (lih. Pope John Paul II, Theology of the Body 18:5))

3. Ketelanjangan Asali (Original Nakedness)

Ketelanjangan asali merupakan pengalaman telanjang namun tanpa rasa malu (Kej 2:25), namun bukan maksudnya bahwa kemudian orang boleh telanjang dan tidak perlu malu. Maksudnya di sini adalah, kita harus mempunyai kesadaran penuh akan makna tubuh kita seperti pada saat awal diciptakan Tuhan, sebagai pernyataan keseluruhan pribadi kita sebagai manusia. Sebab, “Sesungguhnya tubuh,  hanya tubuh saja, yang mampu memperlihatkan misteri Allah yang tidak kelihatan…” (TOB 96:6, 19:4). Itulah sebabnya Kristus Sang Firman menjadi daging (Yoh 1:14) mengambil tubuh manusia (Ibr 10:5), dan akhirnya mengorbankan Tubuh-Nya itu sebagai tebusan bagi dosa manusia, agar kita semua dapat memahami besarnya kasih Tuhan kepada kita manusia (lih. Yoh 3:16). Itulah sebabnya,  Tuhan Yesus memerintahkan kepada para rasul untuk mengenangkan-Nya dengan melakukan perjamuan kudus, di mana Ia akan hadir dalam rupa roti dan anggur. “Inilah Tubuh-Ku….. inilah Darah-Ku” (lih. Mat 26:20-29; Mrk 14:17-25; Luk 22:14-23).

Maka jika kita memahami makna ketelanjangan asali ini, maka kita akan melihat bagaimana rahmat Allah yang tidak kelihatan itu disampaikan kepada manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Kekudusan yang melibatkan cara memandang seseorang sebagai ciptaan Tuhan yang baik adanya, inilah yang memampukan manusia menyatakan diri mereka melalui pemberian diri yang tulus (the sincere gift of self). Dengan perkataan lain, dengan menyadari kasih yang Tuhan sampaikan kepada kita melalui tubuh kita ini, maka kita dapat mempergunakan tubuh ini untuk mengasihi dan melayani sesama.

Dalam konteks perkawinan, maka penghayatan pengalaman kesatuan asali dan ketelanjangan asali ini diwujudkan dalam hubungan seksual suami istri yang maknanya adalah:

“Aku memberikan diriku sepenuhnya kepadamu, segalanya, tanpa ada yang kusimpan sendiri. Setulusnya. Tanpa paksaan. Selamanya. Dan aku menerima pemberian dirimu yang engkau berikan kepadaku. Aku memberkati engkau. Aku mendukung/ meneguhkan engkau. Segala yang ada padamu, tanpa syarat. Selamanya.” ((Christopher West, Theology of the Body Explained (Boston: Pauline Books anda Media, 2007), p.137)).

Bukankah pernyataan serupa ini dinyatakan oleh Kristus kepada Mempelai-Nya yaitu Gereja, di kayu salib? Kristus memberikan Diri-Nya sehabis- habisnya kepada Gereja, dan pemberian diri serupa ini yang menjadi teladan bagi suami untuk memberikan dirinya kepada istrinya.

Sedangkan hubungan seksual di luar perkawinan yang hanya berfokus untuk memuaskan keinginan tubuh, cenderung tidak total, tidak didasari oleh komitmen kesetiaan selamanya, dan tidak didasari oleh persekutuan rohani di dalam Kristus. Dan karena hubungan ini tidak dilakukan sesuai dengan kehendak Allah, maka hal ini adalah dosa, dan tak heran jika kemudian mengakibatkan hal- hal buruk yang dapat merusak hubungan pasangan itu sendiri.

III. Tujuan kemurnian

Telah disampaikan bahwa kemurnian membawa manusia kepada keselamatan kekal. Mengapa? Karena kemurnian menunjukkan arti penciptaan manusia sebagai pria dan wanita: yaitu bahwa kita dipanggil untuk mengambil bagian dalam kasih persekutuan Allah dalam Trinitas di dalam Kristus. Hubungan kasih suami istri yang dapat melahirkan kehidupan baru, merupakan gambaran samar- samar akan kesatuan kasih Allah Trinitas, yaitu kasih persekutuan Allah Bapa dan Allah Putera yang menghembuskan Roh Kudus.  Tentu saja persekutuan ketiga Pribadi Allah ini bukan karena ada perkawinan di  dalam Pribadi Allah, namun demikian kesatuan mereka merupakan sesuatu yang seharusnya digambarkan dalam setiap perkawinan Kristiani. Ini adalah salah satu makna, bahwa manusia diciptakan menurut gambar Allah (Kej 1:27).

Inilah sebabnya mengapa hubungan jasmani suami istri memiliki makna yang luhur. Karena kasih suami istri tidak saja melibatkan tubuh, tetapi juga jiwa. Dalam hal ini, persekutuan tubuh tidak terlepas dari persatuan jiwa. Persatuan ini terjadi ketika pasangan tersebut telah dipersatukan oleh Kristus, karena hanya di dalam Kristuslah manusia menemukan makna luhur perkawinan. Demikian juga, dengan penghayatan akan makna perkawinan, kita dapat semakin menghargai kehidupan para religius yang memilih untuk mempersembahkan keseluruhan kasih mereka yang total kepada Allah, sehingga kehidupan mereka di dunia ini menjadi tanda yang lebih jelas tentang persekutuan kekal antara Allah dan manusia dalam “perjamuan Anak Domba” yang tidak melibatkan perkawinan secara jasmani.

IV. Bentuk- bentuk kemurnian

Sebagai umat beriman, kita semua dipanggil untuk hidup murni, entah seseorang hidup  sebagai seorang religius, atau mereka yang menikah maupun yang tidak menikah. Kita semua dipanggil untuk hidup kudus (lih. Konsili Vatikan II, Lumen Gentium Bab V), sebab tubuh kita ini adalah bait Allah Roh Kudus (lih. 1 Kor 6:19). Maka mereka yang sudah menikah dipanggil untuk hidup dalam kemurnian pernikahan, sedangkan yang tidak menikah, kemurnian dengan tidak melakukan aktivitas seksual.  Maka ada tiga bentuk kemurnian, yaitu yang menyangkut kemurnian pasangan suami istri, kemurnian para janda/ duda, dan kemurnian para perawan/ selibat. ((lihat. St. Ambrose, De viduis 4, 23: PL 16, 255A)). Mereka yang selibat untuk Kerajaan Allah merupakan tanda yang jelas  di dunia ini tentang makna persekutuan dengan Allah pada akhir jaman nanti, sebab mereka tidak kawin dan dikawinkan namun menjaga kemurnian kasih dalam kesatuan dengan Allah.

Lalu, bagaimana untuk orang-orang yang sedang bertunangan? Katekismus mengajarkan:

KGK 2350,     Mereka yang terikat/bertunangan dan akan menikah dihimbau agar hidup murni dalam suasana berpantang. Mereka harus melihat waktu percobaan ini sebagai waktu, di mana mereka belajar, saling menghormati dan saling menyatakan kesetiaan dengan harapan, bahwa mereka dianugerahkan oleh Allah satu untuk yang lain. Mereka harus menghindari pernyataan cinta kasih yang merupakan cinta kasih suami isteri, sampai pada waktu mereka menikah. Mereka harus saling membantu agar dapat tumbuh dalam kemurnian.

Dengan demikian waktu berpacaran/ bertunangan merupakan waktu yang harus digunakan untuk mengenal pribadi pasangan, terutama secara rohani. Ini penting, karena hal persekutuan rohani sesungguhnya yang mendasari persekutuan jasmani, dan tidak terpisahkan darinya. Jika pasangan mendahulukan keintiman jasmani, misalnya dengan hubungan seksual sebelum menikah, maka sebenarnya keduanya mengambil sesuatu sebelum waktunya, kesatuan yang ingin dilambangkan sebenarnya belum ada, dan kemurnian jiwa dan tubuh mereka menjadi korbannya.

Namun percabulan tidak hanya disebabkan oleh hubungan seksual sebelum perkawinan. Yesus mengajar, “Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya…. ” (Mat 5:28). Hal perzinahan di pikiran sudah termasuk dalam dosa melawan kemurnian. Nampaknya, kemurnian menjadi sesuatu yang sulit dijalankan, terlebih dengan adanya banyak propaganda yang seolah mengumbar hal- hal seksual. Mengapa ada kecenderungan manusia jatuh ke dalam dosa seksual ini?

V. Dosa menjadikan manusia berjuang dalam kekudusan dan kemurnian

1. Dosa mengubah persepsi manusia akan kondisi asali

St. Thomas Aquinas mengajarkan bahwa manusia pertama (Adam dan Hawa) diciptakan dengan rahmat pengudusan Allah (sanctifying grace) dan karunia preternatural gifts yaitu 1) keabadian atau tidak dapat mati, 2) tidak dapat menderita, 3) mempunyai pengetahuan akan Tuhan atau ‘infused knowledge’ dan 4) berkat keutuhan atau ‘integrity’ maksudnya, adalah harmoni atau tunduknya nafsu kedagingan pada akal budi. Namun sejak manusia pertama jatuh dalam dosa, mereka kehilangan karunia-karunia tersebut. Adam dan Hawa menurunkan dosa asal dan akibatnya kepada keturunan mereka, termasuk kita, sehingga kita sebagai manusia memang selalu mempunyai kecenderungan untuk berbuat dosa.

Salah satu dokumen Vatikan II, Gaudium Et Spes menuliskan tentang dosa asal dan bagaimana manusia senantiasa berjuang dalam kekudusan di tengah-tengah kecenderungan untuk berbuat dosa.

Akan tetapi manusia, yang diciptakan oleh Allah dalam kebenaran, sejak awal mula sejarah, atas bujukan si Jahat, telah menyalahgunakan kebebasannya. Ia memberontak melawan Allah, dan ingin mencapai tujuannya di luar Allah. Meskipun orang-orang mengenal Allah, mereka tidak memuliakan-Nya sebagai Allah; melainkan hati mereka yang bodoh diliputi kegelapan, dan mereka memilih mengabdi makhluk dari pada Sang Pencipta[10]. Apa yang kita ketahui berkat Perwahyuan itu memang cocok dengan pengalaman sendiri. Sebab bila memeriksa batinnya sendiri manusia memang menemukan juga, bahwa ia cenderung untuk berbuat jahat, dan tenggelam dalam banyak hal-hal buruk, yang tidak mungkin berasal dari Penciptanya yang baik. Sering ia menolak mengakui Allah sebagai dasar hidupnya. Dengan demikian ia merusak keterarahannya yang sejati kepada tujuan yang terakhir, begitu pula seluruh hubungannya yang sesungguhnya dengan dirinya sendiri, dengan sesama manusia, dan dengan segenap ciptaan.

Oleh karena itu dalam batinnya manusia mengalami perpecahan. Itulah sebabnya, mengapa seluruh hidup manusia, ditinjau secara perorangan maupun secara kolektif, nampak sebagai perjuangan, itu pun perjuangan yang dramatis, antara kebaikan dan kejahatan, antara terang dan kegelapan. Bahkan manusia mendapatkan dirinya tidak mampu untuk atas kuasanya sendiri memerangi serangan-serangan kejahatan secara efektif, sehingga setiap orang merasa diri ibarat terbelenggu dengan rantai. Akan tetapi datanglah Tuhan sendiri untuk membebaskan dan meneguhkan manusia, dengan membaharuinya dari dalam, dan dengan melemparkan keluar penguasa dunia ini (lih. Yoh 12:31), yang menahan manusia dalam perbudakan dosa[11]. Adapun dosa yang merongrong manusia sendiri dengan menghalang-halanginya untuk mencapai kepenuhannya.

Dalam terang Perwahyuan itulah baik panggilan luhur maupun kemalangan mendalam, yang dialami oleh manusia, menemukan penjelasannya yang terdalam.” ((Gaudium et Spes, 13))

Rahmat pengudusan dipulihkan oleh rahmat yang mengalir dari misteri Paskah Kristus, sehingga manusia dapat tetap mengambil bagian di dalam kehidupan Tuhan. Sebaliknya, berkat keutuhan (gift of integrity) tidak terpulihkan, namun dipakai oleh Tuhan sebagai cara sehingga manusia dapat membuktikan kasihnya kepada Tuhan. Oleh karena itu, walaupun telah dibaptis – yang berarti telah menerima rahmat pengudusan, tiga kebajikan ilahi (iman, pengharapan dan kasih), karunia Roh Kudus, dan karunia menjadi anak-anak Allah – manusia senantiasa mempunyai kecenderungan berbuat dosa (concupiscence). Katekismus Gereja Katolik mendefinisikan concupiscence / tinder of sin / kecenderungan berbuat dosa sebagai berikut:

KGK, 1264. Tetapi di dalam orang-orang yang dibaptis tetap ada beberapa akibat sementara dari dosa: penderitaan, penyakit, kematian, kelemahan yang berhubungan dengan kehidupan (seperti misalnya kelemahan tabiat), serta kecondongan kepada dosa, yang tradisi namakan concupiscentia [keinginan tak teratur] atau, secara kiasan, “dapur dosa” [fomes peccati]. Karena keinginan tak teratur “tertinggal untuk perjuangan, maka ia tidak akan merugikan mereka, yang tidak menyerah kepadanya dan yang dengan bantuan rahmat Yesus Kristus menantangnya dengan perkasa. Malahan lebih dari itu, siapa yang berjuang dengan benar, akan menerima mahkota (2 Tim 2:5)” (Konsili Trente: DS 1515).

Dari pemaparan di atas, maka kita dapat melihat bahwa sampai akhir hayatnya, manusia akan senantiasa berjuang dalam kekudusan, termasuk dalam menjaga kemurnian.

2. Kebajikan penguasaan diri dan hubungannya dengan kemurnian

Sehubungan dengan kemurnian (chastity), kita akan membahas secara khusus tentang kebajikan penguasaan diri. Katekismus Gereja Katolik mendefinisikan sebagai berikut:

KGK 1809     Penguasaan diri adalah kebajikan moral yang mengekang kecenderungan kepada berbagai macam kenikmatan dan yang membuat kita mempergunakan benda-benda duniawi dengan ukuran yang tepat. Ia menjamin penguasaan kehendak atas kecenderungan dan tidak membiarkan kecenderungan melampaui batas-batas yang patut dihormati. Manusia yang menguasai diri mengarahkan kehendak inderawi-nya kepada yang baik, mempertahankan kemampuan sehat untuk menilai, dan berpegang pada kata-kata: “Jangan mengikuti setiap kecenderungan walaupun engkau mampu, dan jangan engkau mengikuti hawa nafsumu” (Sir 5:2, Bdk. Sir 37:27-31) Kebajikan penguasaan diri sering dipuji dalam Perjanjian Lama: “Jangan dikuasai oleh keinginan-keinginanmu, tetapi kuasailah segala nafsumu” (Sir 18:30). Dalam Perjanjian Baru ia dinamakan “kebijaksanaan” atau “ketenangan”. Kita harus hidup “bijaksana, adil, dan beribadah di dalam dunia sekarang ini” (Tit 2:12).
“Hidup yang baik itu tidak lain dari mencintai Allah dengan segenap hati, dengan segenap jiwa, dan dengan segenap pikiran. (Oleh penguasaan diri) orang mencintai-Nya dengan cinta sempurna, yang tidak dapat digoyahkan oleh kemalangan apa pun (karena keberanian yang hanya mematuhi Dia (karena keadilan) dan yang siaga supaya menilai semua hal, supaya jangan dikalahkan oleh kelicikan atau penipuan (inilah kebijaksanaan)” (Agustinus, mor. Eccl. 1,25,46).

Penguasaan diri dapat diterapkan dalam makanan, minuman dan juga dalam seksualitas. Penguasaan diri bukan berarti meniadakan sama sekali keinginan yang menjadi bagian darinya, namun memakainya dengan ukuran yang tepat dan sesuai dengan akal budi yang benar. ((ST, II-II, q. 154, a. 1.)) Contohnya, bagi pasangan yang belum menikah, adalah wajar untuk ingin saling berdekatan, namun jangan sampai melakukan melakukan hubungan intim yang hanya diperbolehkan untuk suami dan istri. Sedangkan suami istri walaupun diperbolehkan untuk melakukan hubungam intim, namun jangan sampai hubungan tersebut hanya didasari oleh nafsu belaka, sehingga menjadikan pasangan hanya sebagai obyek pelampiasan semata.

3. Berlatih kemurnian adalah seperti berlatih mendidik anak-anak

Pertanyaannya adalah, bagaimana kita dapat mengendalikan kecenderungan-kecenderungan ini, sehingga kita dapat hidup murni? Kata kemurnian (chastity) menurut St. Thomas adalah memurnikan kecenderungan berbuat dosa (concupiscence) dengan akal budi. Aristoteles membandingkan hal ini seperti proses pendidikan anak-anak. ((ST, II-II, q. 151, a. 1. See Aristotle, Nich. Ethics 3.12. 1119a33.)) Seperti anak-anak yang dibiarkan untuk berbuat apa saja, maka akan semakin sulit untuk dikontrol. Namun, semakin anak-anak dilatih dan dididik, maka dia akan semakin menurut, sampai akhirnya pendidikan tersebut menjadi bagian dari dirinya, sehingga pendidikan tersebut bukan menjadi sesuatu yang mengekang namun menjadi sesuatu yang membebaskan.

VI. Pelanggaran terhadap kemurnian

Setelah kita mengetahui kemurnian dan hubungannya dengan kebajikan, serta menyadari perlunya untuk mengarahkan dorongan kodrati (sensitive appetite), maka kita akan melihat beberapa hal yang dipandang sebagai pelanggaran terhadap kemurnian:

1. Nafsu/ ketidakmurnian

KGK 2351     Nafsu adalah hasrat yang menyimpang akan, ataupun kenikmatan yang tidak teratur akan kesenangan seksual. Keinginan seksual itu tidak teratur secara moral, apabila ia dikejar karena dirinya sendiri dan dengan demikian dilepaskan dari tujuan batinnya untuk melanjutkan kehidupan (procreative) dan untuk hubungan cinta kasih (unitive).

2. Masturbasi

KGK 2352    Masturbasi adalah rangsangan alat-alat kelamin yang disengaja dengan tujuan membangkitkan kenikmatan seksual. “Baik Wewenang Mengajar Gereja dalam tradisinya yang tidak berubah maupun perasaan susila umat beriman telah tidak pernah meragukan, untuk mencap masturbasi sebagai satu tindakan yang sangat menyimpang”. “Penggunaan kemampuan seksual dengan sengaja, dengan alasan apa pun, yang dilakukan di luar hubungan suami isteri yang normal, bertentangan dengan hakikat tujuannya”.  Sebab di sini, kenikmatan seksual dicari di luar “hubungan seksual yang diatur oleh hukum moral/ kesusilaan dan yang di dalamnya dicapai arti sepenuhnya dari penyerahan diri secara timbal balik dan juga suatu pembuahan manusiawi di dalam cinta yang sejati” ((CDF, Perny. Persona humana 9)).

Walaupun ada pandangan psikologis yang menyetujui masturbasi sebagai suatu cara ‘penyaluran’ dorongan seksual, namun Gereja tidak pernah membenarkan tindakan tersebut. Masturbasi adalah tindakan didasari motif mengagungkan kenikmatan seksual di atas segalanya, dan ini dapat beresiko menjadikan seseorang kecanduan seksual, di mana seseorang menempatkan kenikmatan badani sebagai tuhannya.

Maka harus dicari jalan yang positif untuk menyalurkan dorongan- dorongan seksual, agar fokusnya bukan menyalurkan dorongan tersebut dengan melakukan aktivitas seksual, tetapi mengarahkannya kepada aktivitas lain yang membangun tubuh dan jiwa.

3. Percabulan

KGK 2353    Percabulan adalah hubungan badan antara seorang pria dan seorang wanita yang tidak menikah satu dengan yang lain. Ini adalah satu pelanggaran besar terhadap martabat orang-orang ini dan terhadap seksualitas manusia itu sendiri, yang dari kodratnya diarahkan kepada kebahagiaan suami isteri serta kepada melahirkan keturunan dan pendidikan anak-anak. Selain itu ia juga merupakan skandal berat, karena dengan demikian moral anak-anak muda dirusakkan.

Termasuk di sini adalah hidup bersama sebelum menikah, karena umumnya mereka yang melakukannya mempunyai kecenderungan untuk melakukan dosa percabulan. Percabulan ini juga tidak terbatas dengan tindakan nyata, sebab seseorang dapat jatuh dalam dosa percabulan dengan pikirannya (lih. Mat 5:28; KGK 2528).
Bagaimana agar tidak jatuh dalam dosa percabulan sebelum menikah? Demikian adalah anjuran dari Johann Christoph Arnold, dalam bukunya A Plea for Purity:

“Pelukan yang lama, saling bercumbu, ciuman bibir dan segala yang lain yang dapat mendorong hasrat seksual harus dihindari. Hasrat untuk berdekatan secara fisik antara sepasang kekasih adalah sesuatu yang wajar, namun daripada membangkitkan hasrat seputar keintiman ini, pasangan tersebut harus memfokuskan diri untuk lebih mengenal pasangan secara lebih akrab secara rohani, dan saling membangun kasih kepada Yesus dan Gereja-Nya.” ((Johann Christoph Arnold, A Plea for Purity, (Farmimgton: The Plough Publishing House of the Bruderhof Foundation, 1998, reprint), 102))

Ketika Tuhan Yesus berbicara tentang percabulan di hati, maksudnya adalah seorang pria tidak boleh memandang seorang wanita dengan nafsu. Paus Yohanes Paulus II mengatakan, “Percabulan di hati dilakukan bukan hanya karena laki-laki melihat dengan cara sedemikian kepada seorang perempuan yang bukan istrinya, tetapi karena ia melihat dengan cara sedemikian kepada seorang perempuan…. Meskipun laki- laki itu melihat dengan cara sedemikian kepada perempuan yang adalah istrinya, ia tetap melakukan percabulan di hatinya.” (TOB 43:2). Maka di sini Paus mengajarkan bahwa hubungan suami istri tidak boleh direduksi artinya hanya sebagai pemuasan kebutuhan seksual, namun sebagai ungkapan kasih yang total antara suami istri sesuai dengan kehendak Tuhan.

4. Pornografi

KGK 2354    Pornografi mengambil persetubuhan yang sebenarnya atau yang dibuat-buat dengan sengaja dan keintiman para pelaku dan menunjukkannya kepada pihak ketiga. Ia menodai kemurnian, karena ia meyimpangkan makna hubungan suami isteri, penyerahan diri yang intim antara suami dan isteri. Ia sangat merusak martabat semua mereka yang ikut berperan (para aktor, pedagang, dan penonton), karena mereka ini menjadi obyek kenikmatan primitif dan sumber keuntungan yang tidak diperbolehkan. Pornografi menenggelamkan semua yang berperan di dalamnya dalam sebuah dunia semu. Ia adalah suatu pelangaran berat. Pemerintah berkewajiban mencegah pengadaan dan penyebarluasan bahan-bahan pornografi.

Sayangnya, dewasa ini pornografi ini marak di mana- mana dan mudah diakses oleh kalangan luas termasuk anak- anak. Diperlukan kehendak yang kuat dan konsistensi untuk menolak pornografi.

5. Prostitusi

KGK 2355    Prostitusi menodai martabat orang yang melakukannya dan orang dengan demikian merendahkan diri sendiri dengan menjadikan diri obyek kenikmatan semata-mata bagi orang lain. Siapa yang melakukannya, berdosa berat terhadap diri sendiri; ia memutuskan hubungan dengan kemurnian yang telah ia janjikan pada waktu Pembaptisan, dan menodai tubuhnya, kenisah Roh Kudus (Bdk. 1 Kor 6:15-20). Prostitusi adalah satu bencana untuk masyarakat. Sebagaimana, biasa ia menyangkut para wanita, tetapi juga para pria, anak-anak, atau orang muda (kedua kelompok terakhir melibatkan dosa tambahan karena penyesatan)…..

6. Perkosaan

KGK 2356    Perkosaan adalah satu pelanggaran dengan kekerasan dalam keintiman seksual seorang manusia. Ia adalah pelanggaran terhadap keadilan dan cinta kasih. Perkosaan adalah pelanggaran hak yang dimiliki setiap manusia atas penghormatan, kebebasan, keutuhan fisik, dan jiwa. Ia menyebabkan kerusakan besar, yang dapat membebani korban seumur hidup. Ia selalu merupakan suatu perbuatan yang pada dasarnya/ dengan sendirinya jahat. Lebih buruk lagi, apabila orang-tua atau para pendidik memperkosa anak-anak yang dipercayakan kepada mereka.

7. Homoseksualitas

KGK 2357     Homoseksualitas adalah hubungan antara para pria atau wanita, yang merasa diri tertarik dalam hubungan seksual, semata-mata atau terutama, kepada orang sejenis kelamin….. Berdasarkan Kitab Suci yang melukiskannya sebagai penyelewengan besar (Bdk.Kej 19:1-29; Rm 1:24-27; 1 Kor 6:10; 1 Tim 1:10) tradisi Gereja selalu menjelaskan, bahwa “perbuatan homoseksual itu sangat menyimpang” ((CDF, Perny. “Persona humana” 8)). Perbuatan itu melawan hukum kodrat, karena kelanjutan kehidupan tidak mungkin terjadi waktu persetubuhan. Perbuatan itu tidak berasal dari satu kebutuhan benar untuk saling melengkapi secara afektif dan seksual. Bagaimanapun perbuatan itu tidak dapat dibenarkan.

VII. Bagaimana jika sudah terlanjur tidak murni?

Jika karena satu dan lain hal, (entah karena ketidaktahuan, ataukah karena kesalahan) seseorang tidak sepenuhnya menjalankan ajaran kemurnian di masa yang lalu, janganlah berputus asa. Tuhan Yesus datang untuk mengampuni dosa- dosa manusia. Asalkan ia dengan tulus menyesali segala dosa dan kesalahannya, maka Tuhan akan mengampuninya. Seperti Yesus mengampuni perempuan yang berdosa (Maria Magdalena), dan pengampunan ini mengubah kehidupan perempuan ini; Yesuspun dapat mengampuni kita dan mengubah kehidupan kita. Alkitab mencatat, bahwa kepada perempuan ini Tuhan Yesus menampakkan diri  pada hari kebangkitan-Nya. Semoga kitapun dapat menjadi saksi- saksi kebangkitan-Nya dan karya penyelamatan-Nya dalam hidup kita.

Maka, kisah pertobatan Maria Magdalena ini harus mendorong kita untuk bertobat; dan selalu tidak ada kata terlambat untuk bertobat. Selanjutnya usahakanlah untuk menjaga kemurnian ini, dan mengajarkannya kepada anak- anak kita; agar mereka dapat mengetahui kabar gembira tentang kemurnian ini, dan melaksanakannya dalam kehidupan mereka.

VIII. Mengusahakan kemurnian tubuh dan jiwa secara praktis.

Berikut ini adalah langkah- langkah praktis untuk mengusahakan kemurnian tubuh dan jiwa:

1. Mengenal diri sendiri

Kita harus mengenal diri sendiri, sehingga kita tahu di area mana kita harus memperbaiki diri. Untuk itu, kita minta agar Roh Kudus menyingkapkan apa yang tersebunyi, yang ada di dalam diri kita.

2. Mohon rahmat Tuhan

Kita memohon kepada Tuhan agar membersihkan hati kita dari pikiran- pikiran dan kecenderungan yang tidak semestinya.

3. Melatih pengendalian diri

Selanjutnya, kita harus melatih pengendalian diri, dan mempraktekkan ajaran kemurnian ini, dalam pikiran, perkataan dan perbuatan.

KGK 2530 Perjuangan melawan keinginan daging terjadi melalui pembersihan hati dan latihan menjaga batas dalam segala hal.

KGK 2532 Untuk pembersihan hati dibutuhkan doa, mempraktekkan kemurnian, mempunyai maksud dan pandangan yang murni.

Pedoman praktis: jauhi segala kesempatan yang mendorong kita untuk berpikir atau melakukan hal- hal yang tidak sopan. Jauhilah pembicaraan yang ‘nyerempet’ ke arah hal yang porno. Carilah kesibukan yang lebih bermanfaat dan membangun.

4. Kemurnian hati mensyaratkan sikap bersahaja (modesty):

KGK 2533 Kemurnian hati menuntut sikap yang bersahaja, yang terdiri dari kesabaran, kerendahan hati, dan kehati-hatian (discretion). Sikap yang bersahaja melindungi jati diri seseorang.

KGK 2522 Sikap bersahaja (modesty) melindungi rahasia pribadi dan cinta kasihnya. Ia mengundang untuk bersabar dan mengekang diri dalam hubungan cinta kasih. Sikap bersahaja mensyaratkan bahwa prasyarat-prasyarat untuk ikatan definitif dan penyerahan timbal balik dari suami dan isteri dipenuhi. Dalam sikap tersebut termasuk pula sikap kepantasan/ kelayakan. Ia mempengaruhi pemilihan busana. Ia diam atau menahan diri jika ada resiko ingin tahu yang tidak sehat. Ia bijaksana dalam menghormati privacy orang lain.

“Sikap yang pantas dan bersahaja (modesty) dalam perkataan, perbuatan dan cara berpakaian adalah sangat penting untuk menciptakan atmosfir yang cocok untuk pertumbuhan kemurnian…. Orang tua perlu waspada sehingga mode- mode pakaian yang tidak sopan dan sikap- sikap yang tidak pantas tidak melanggar keutuhan sebuah rumah tangga, terutama karena salah penggunaan mass media.” ((Pontifical Council for the Family, The truth and meaning of human sexuality, 56))

IX. Kesimpulan: Kemurnian = mengasihi dengan jiwa dan tubuh

Sebagai mahluk yang diciptakan Tuhan sesuai dengan gambaran Allah, yang adalah Kasih, manusia diciptakan untuk mengasihi. Maka setiap manusia diberi kemampuan oleh Tuhan untuk mengasihi dengan memberikan dirinya dengan tulus, yang melibatkan tubuh dan jiwa, dan inilah yang membedakan manusia dengan ciptaan lainnya. Oleh karena itu, seksualitas manusia adalah sesuatu yang baik, sebab manusia ber- relasi satu sama lain dengan tubuhnya. Maka tujuan akhir seksualitas adalah kasih, yaitu kasih yang melibatkan kegiatan memberi dan menerima.

Jadi, bagi pasangan yang menuju jenjang perkawinan harus mempraktekkan kemurnian, sehingga dapat menghormati pasangan dan mengasihi pasangan lebih dari sekedar tubuh pasangan, namun terutama mengasihi pasangan sebagai seseorang / pribadi. Dengan demikian, pasangan ini dapat saling mengenal satu sama lain, dapat saling memberi dan menerima secara lebih mendalam dan spiritual.

Dalam perkawinan, pemberian dan penerimaan kasih terjadi sedemikian rupa, sehingga menggambarkan kasih yang total sebagaimana kasih Kristus kepada Gereja-Nya. Hubungan kasih ini mengatasi hubungan kontrak ataupun perjanjian, sebab yang mengikat adalah Kristus sendiri, yaitu ketika pasangan suami istri dipersatukan oleh Allah untuk mengambil bagian di dalam kehidupan Allah sendiri, dan dalam karya penciptaan-Nya. Oleh sebab itu hubungan suami istri memiliki makna luhur dan suci, dan karena itu tidak dapat diartikan dan dilakukan sekehendak hati manusia. Kebajikan kemurnian adalah segala upaya untuk menggunakan berkat seksualitas sesuai dengan rencana Tuhan. Hanya dengan mempraktekkan kebajikan kemurnian inilah maka kita dapat sungguh berbahagia.

Catatan: Bahan ini diberikan untuk session 4 (tanggal 2 November 2010) dari 9 session, seminar tentang “kabar baik tentang seks dan perkawinan” yang diselenggarakan oleh Seksi Kerasulan Keluarga Paroki Stella Maris.

5 1 vote
Article Rating
62 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
Hendra NS
Hendra NS
11 years ago

tulisan ne sangat amat membantu saya

aku ga bisa berkata apa2 selain syukurku kepada Tuhan karna talh mengenal web ne, saya akui saya memang ga murni lagi tp saya yakin saya ga terlambat tuk berubh menjadi lbh baik
salam damai buat kita semua

Asmin Tana
Asmin Tana
11 years ago

Salam Tim Katolisitas
saya seorang pria, 19 tahun
saya ingin bertanya mengenai sebuah ayat dalam Alkitab (lupa ayat pastinya) yang intinya mengatakan bahwa, Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya. Apakah dengan mengingini seorang wanita (misalnya membayangkan dia akan menjadi pacar atau menjadi pasangan hidup kita dan Ibu dari anak2 kita) sudah merupakan berzinah? Atau Ayat ini harus dipahami jauh lebih dalam dari interprestasi yang saya sebutkan di atas?
Mohon pencerahannya, Tuhan memberkati

Ingrid Listiati
Reply to  Asmin Tana
11 years ago

Shalom Asmin, Mungkin ayat yang dimaksud adalah ayat Mat 5:28, “Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya.” Istilah “menginginkannya” di sini artinya melihat kepada perempuan itu dengan hawa nafsu (to look at a woman with lust). Paus Yohanes Paulus II dalam khotbahnya Theology of the Body menjelaskannya tentang  perzinahan di hati’ demikian: “Percabulan di hati dilakukan bukan hanya karena laki-laki melihat dengan cara sedemikian kepada seorang perempuan yang bukan istrinya, tetapi karena ia melihat dengan cara sedemikian kepada seorang perempuan…. Meskipun laki- laki itu melihat dengan cara sedemikian kepada… Read more »

Ignatius
Ignatius
11 years ago

Salam team Katolisitas, Saya sempat membaca sekilas mengenai Teologi Tubuh dari buku karangan Rm Deshi (Lihatlah Tubuhku). Apa yang saya tangkap adalah manusia awal diciptakan dengan seksualitas yang ‘baik’ (maaf mungkin saya kurang paham bahasa yang tepat untuk ini) tapi karena jatuh dalam dosa sehingga manusia mempunyai nafsu birahi. Nafsu ini yang membuat manusia dapat memandang lawan jenisnya yang (maaf) telanjang dan ‘meninginkannya’, sebagaimana (mungkin) umumnya dalam diri kita manusia modern / beradab. Yang ingin saya tanyakan, bagaimana dengan suku2 pedalaman/primitif? Saya memperhatikan bahwa mereka tidak berpakaian semestinya (telanjang) sebagaimana kita manusia modern. Tapi kok sepertinya mereka tidak memiliki nafsu… Read more »

Ingrid Listiati
Reply to  Ignatius
11 years ago

Shalom Ignatius, Sejujurnya untuk menanggapi pertanyaan Anda ini diperlukan studi khusus yang menyeluruh, untuk memperoleh hasil penelitian yang obyektif. Sebab jika membaca sekilas di internet, nampaknya para ahli statistik kependudukan -yang mengamati hal seksualitas di kelompok masyarakat primitif- mempunyai kesimpulan yang berbeda- beda tentang hal ini. Katolisitas tidak mempunyai keahlian untuk menilai pendapat mana yang benar dalam hal ini, namun kami hanya melihat faktanya saja bahwa banyak kelompok masyarakat primitif cenderung berpoligami (seperti contohnya banyak suku primitif di Afrika) dan dengan demikian juga menunjukkan kecenderungan adanya kesulitan untuk menahan hawa nafsu. Maka, sama seperti orang-orang di peradaban yang sudah maju,… Read more »

Ignatius
Ignatius
Reply to  Ingrid Listiati
11 years ago

Shalom Bu Ingrid.. Terima kasih atas tanggapannya. Saya sudah membaca ulasan link yang ibu berikan. Memang di jaman sekarang bukan hal yang mudah untuk mengerti dan memahami sepenuhnya akan hal ini. Ada satu lagi yang mengganjal di pikiran saya sehubungan dengan ulasan Bu Ingrid mengenai “3. Ketelanjangan Asali (Original Nakedness)” Ketelanjangan asali merupakan pengalaman telanjang namun tanpa rasa malu (Kej 2:25), … Sehubungan dengan pertanyaan saya sebelumnya mengenai fenomena suku2 primitif/pedalaman, sepertinya kok mereka mempunyainya ya ? Kalau kita lihat di televisi misalnya, kaum wanita dari suku2 tsb -maaf- bertelanjang dada tanpa rasa malu. Apakah ini semata2 pengaruh budaya atau… Read more »

Ingrid Listiati
Reply to  Ignatius
11 years ago

Shalom Ignatius, Sejujurnya, kesulitan kita untuk memahami makna ketelanjangan asali ini disebabkan karena kita semua, sebagai keturunan Adam dan Hawa telah kehilangan rahmat yang asali (dalam bahasa teologisnya: ‘preternatural gifts‘) akibat dosa asal yang kita terima dari mereka; sehingga selama hidup kita di dunia kita berada dalam pengaruh kecondongan terhadap dosa (istilah teologisnya: ‘concupiscentia‘) Tertulis dalam Kitab Suci, bahwa setelah Adam dan Hawa jatuh dalam dosa, “terbukalah mata mereka berdua, dan mereka tahu bahwa mereka telanjang” (Kej 1:7) lalu mereka membuat cawat. Maka sudah sejak awal mula, manusia mengenal penutup tubuh, walaupun tentu tidak sebaik penutup tubuh/ pakaian seperti yang… Read more »

Ignatius
Ignatius
Reply to  Ingrid Listiati
11 years ago

Shalom Bu Ingrid,

Terima kasih atas kesabarannya menanggapi..cukup mencerahkan saya.

Tuhan berkati pelayanan Anda & team..

Vincentius Dewan Atmajaya
Vincentius Dewan Atmajaya
11 years ago

Shalom.
Situs katolisitas.org sangat bisa membantu saya. Maka saya ingin tanya. Saya pernah mendengar wacana tentang beberapa pemuda di dunia kemiliteran yang (maaf kalau kurang sopan) “menuntaskan” dorongan biologisnya sebagai lelaki dengan menjepit “milik vital” mereka ke paha mereka, sehingga ada istilah “jepit paha”. Saya ada ingin tahu bagaimana sikap iman Katolik/Tradisi Katolik/Gereja Katolik/Alkitab Katolik atas perbuatan mereka. Dosakah perbuatan itu?
Terima kasih.

Stefanus Tay
Admin
Reply to  Vincentius Dewan Atmajaya
11 years ago

Shalom Vincentius, Seseorang yang melakukan masturbasi dengan cara apapun bertentangan dengan kemurnian. Katekismus Gereja Katolik menjelaskannya sebagai berikut: KGK 2352    Masturbasi adalah rangsangan alat-alat kelamin yang disengaja dengan tujuan membangkitkan kenikmatan seksual. “Baik Wewenang Mengajar Gereja dalam tradisinya yang tidak berubah maupun perasaan susila umat beriman telah tidak pernah meragukan, untuk mencap masturbasi sebagai satu tindakan yang sangat menyimpang”. “Penggunaan kemampuan seksual dengan sengaja, dengan alasan apa pun, yang dilakukan di luar hubungan suami isteri yang normal, bertentangan dengan hakikat tujuannya”.  Sebab di sini, kenikmatan seksual dicari di luar “hubungan seksual yang diatur oleh hukum moral/ kesusilaan dan yang di… Read more »

Indra
Indra
12 years ago

Permisi,
saya ingin bertanya, bagaimana jika orang tua tidak setuju dengan hubungan anaknya dengan pacarnya, dengan alasan berbeda agama. Akan tetapi pacarnya sudah niat mau katakumen, sehingga pindah agama ke Katholik. Tetapi tetap saja dilarang oleh orang tuanya dengan alasan yang tidak jelas.
Apakah perbuatan orang tuanya benar dan tidak dosa??
Apakah di Alkitab ada pembahasan tentang ini???

Ingrid Listiati
Reply to  Indra
12 years ago

Shalom Indra, Nampaknya yang diperlukan adalah dialog dengan orang tuanya, mengapa mereka menentang hubungan sang anak dan pacarnya itu. Sebab mungkin ada alasan lain yang telah diamati oleh orang tua yang dianggapnya sebagai penghalang kecocokan hubungan sang anak dan pacarnya itu (yang bukan perihal agama). Hal itulah yang mungkin perlu dibicarakan dengan orang tua, sebab umumnya orang tua juga menginginkan yang terbaik bagi anaknya. Namun seringkali hal ini tidak dikomunikasikan dengan baik, sehingga menimbulkan salah paham. Adalah baik jika di dalam dialog, kedua belah pihak, baik orang tua maupun anak mempunyai keyakinan bahwa kedua belah pihak bermaksud baik, sehingga dialog… Read more »

monica suciana
monica suciana
12 years ago

Mengapa seks bebas di Katolik dilarang? Bukankah itu wujud dari cinta kepada seseorang?

Stefanus Tay
Admin
Reply to  monica suciana
12 years ago

Shalom Monica,

Saya mengusulkan agar anda dapat membaca terlebih dahulu artikel kemurnian di luar pernikahan di atas – silakan klik. Sebelum saya menjawab pertanyaan anda, maka cobalah anda merenungkan juga, agama mana – yang mempercayai Tuhan yang satu dan mempercayai Sorga dan neraka – yang memperbolehkan seks bebas? Dari sini, mungkin anda dapat melihat bahwa larangan akan seks bebas bukan hanya dari agama Katolik, namun juga hampir semua agama. Seks bebas tidak berhubungan dengan cinta yang sejati, namun erat berhubungan dengan cinta yang hanya memuaskan nafsu dan keinginan diri sendiri. 

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org

Katarina
Katarina
12 years ago

Shalom bu Inggrid dan pak Stef Saya baru gabung di sini. Saya baca sepintas tentang isi artikel ini dan semua pertanyaan di artikel ini. Yang jadi ganjalan pada diri saya adalah: apabila sudah terlanjur tidak murni, apakah sudah cukup hanya dengan melakukan pengakuan dosa? Tidak adakah tanggung jawab bagi pria dan wanita itu setelah mereka terlanjur tidak murni. Sedikit gambaran, ada sepasang muda mudi melakukan hubungan badan di luar pernikahan, kemudian mereka putus. Wanita ini merasa kotor dan jijik pada dirinya sendiri, yang kemudian harus terpaksa mengemis pada si pria supaya tidak putus. Tapi si pria tidak peduli, karena sejatinya… Read more »

Yohanes Dwi Harsanto Pr
Yohanes Dwi Harsanto Pr
Reply to  Katarina
12 years ago

Salam Katarina, Setiap manusia wajib bertanggung jawab atas perbuatan yang dia lakukan. Tanggung jawab itu bentuknya berbagai macam untuk tiap kasus, namun bertujuan untuk menyembuhkan yang luka, memperbaiki hubungan, membuat kondisi yang rusak dipulihkan seoptimal yang bisa dilakukan, dan sebagainya. Dalam kasus yang Anda ajukan, sebenarnya jika tidak ada komitmen untuk mau menikah, maka perkawinan bukanlah bentuk tanggungjawab yang pas karena menikah hanya boleh dilakukan oleh pria dan wanita dewasa yang mau berkomitmen dengan bebas tanpa rasa terpaksa. Jika karena terpaksa (karena hubungan badan, bahkan karena terlanjur hamil) maka tidak bijaksanalah jika perkawinan menjadi satu-satunya bentuk tanggung jawab. Hanya jika… Read more »

Armand Setiady Liwan
Armand Setiady Liwan
12 years ago

terima kasih bu Ingrid atas penjelasannya…sangat membantu. GBU

Armand Setiady Liwan
Armand Setiady Liwan
12 years ago

Shalom Bu Ingrid dan Pak Stef, mau bertanya : apakah seorang wanita yang sudah Katholik dan sedang hamil di luar nikah boleh menerima pemberkatan di dalam gereja Katholik, baik pasangannya Katholik maupun non-Katholik? Terima kasih sebelumnya. GBU

Ingrid Listiati
Reply to  Armand Setiady Liwan
12 years ago

Shalom Armand, Pertanyaan serupa sudah pernah dijawab oleh Romo Agung di sini, silakan klik. Ketiga hal yang membuat perkawinan tidak sah menurut hukum perkawinan Katolik, adalah sebagai berikut: 1) halangan menikah, klik di sini; 2) cacat konsensus 3) cacat forma kanonika; kedua hal ini, klik di sini. Maka jika pasangannya non- Katolik, harus diadakan kesepakatan terlebih dahulu, agar pasangan setuju diberkati di Gereja Katolik. Jika hal ini tidak memungkinkan karena satu dan lain hal (misalnya pasangan dari gereja non Katolik) maka harus dimintakan terlebih dahulu dispensasi dari pihak ordinaris. Kemungkinan ini akan memakan waktu, padahal mungkin diinginkan agar cepat diadakan… Read more »

Machmud
Machmud
12 years ago

Syalom Katolisitas

Mohon tanya :
Apakah gereja Katolik bisa memberikan pemberkatan nikah kepada pasangan yang “kecelakaan” sehingga hamil lebih dahulu ?
Jika tidak bisa ke mana mereka harus pergi supaya mereka bisa disahkan menjadi suami istri ?

Terima kasih
mac

Stefanus Tay
Admin
Reply to  Machmud
12 years ago

Shalom Machmud, Gereja Katolik dapat memberikan pemberkatan atau sakramen perkawinan kalau salah satu atau keduanya Katolik. Tentu saja dalam kasus ‘kecelakaan’ sehingga hamil terlebih dahulu, maka perlu ada penyelidikan kanonik dan pengakuan dosa dalam Sakramen Tobat. Namun, kalau yang anda maksud pasangan tersebut bukan umat Katolik dan tidak berniat untuk menjadi Katolik, maka pastor tidak dapat memberkati mereka. Kalau mereka umat dari gereja tertentu maka pasangan ini dapat minta pemberkatan kepada pendeta yang bersangkutan. Menurut saya, walaupun kondisinya tidak ideal, seharusnya kehamilan tidak boleh menghalangi pemberkatan pasangan yang ingin mengikat janji perkawinan di hadapan Tuhan, yang tentu saja mensyaratkan pertobatan.… Read more »

vinsensius budi
vinsensius budi
12 years ago

Shalom Angela. Pertama-tama saya ucapkan terima kasih atas tanggapannya bagi tulisan saya. Setelah saya renungkan kembali tulisan awal saya sekaligus saya memposisikan diri dalam posisi bu Ingrid, saya rasa jawaban yang diberikan bu Ingrid cukup tepat. Namun tanggapan anda juga benar bila dilihat dari sisi lain. Pandangan dari perspektif yang berbeda inilah yang membuat saran yang diberikan berbeda juga. Namun dengan sedikit tambahan informasi yang tidak terduga sebelumnya oleh bu Ingrid memberikan keluasan perspektif pula bagi beliau sehingga dengan cepat memberikan ulasan-ulasan tambahan (sejak pkl 6 pagi beliau sudah menghubungi saya karena informasi “kejutan” saya itu). Bagaimanapun, terima kasih banyak… Read more »

vinsensius budi
vinsensius budi
12 years ago

Shalom Pak Stef & Bu Ingrid. Setelah membaca artikel bapak & ibu perihal kemurnian, saya ingin mendapatkan saran untuk hal sebagai berikut: Akibat pergaulan bebas yang semakin marak terjadi saat ini, seorang gadis Katolik (anak seorang teman saya) usia 21 tahun hamil di luar nikah dengan kekasihnya yang seorang Protestant. Bila dilihat dari sisi kesiapan mental maupun perekonomian, mereka berdua belum siap untuk menikah (si gadis mahasiswi dan si pemuda pengangguran lulusan sma usia 21 tahun juga). Orang tua si gadis dari keluarga Katolik sangat marah dan tidak menyetujui hubungan keduanya sehingga tidak setuju untuk menikahkannya, terlebih lagi si pemuda… Read more »

Ingrid Listiati
Reply to  vinsensius budi
12 years ago

Shalom Vinsensius Budi, Hal kehamilan yang tidak direncanakan dan ketidaksiapan mental dan ekonomi untuk menikah memang bukan alasan yang baik untuk melangsungkan perkawinan. Sebab jika dipaksakan kepada yang bersangkutan, sebenarnya malah menjadikan perkawinan tersebut cacat konsensus. Silakan membaca di situs ini, bahwa cacat konsensus adalah satu dari ketiga hal yang membuat perkawinan itu sesungguhnya tidak memenuhi syarat sebagai perkawinan yang sah. Maka keputusan untuk tidak melangsungkan perkawinan kedua remaja itu adalah keputusan yang nampaknya baik, mengingat kenyataan yang ada. Demikian juga keputusan untuk tidak melakukan aborsi, itu adalah keputusan yang baik. Namun hal yang tak kalah penting adalah mengarahkan anak… Read more »

angela
angela
Reply to  Ingrid Listiati
12 years ago

Oh My God! Ibu Ingrid…are u serious??? Membiarkan bayi itu tidak punya ayah??? Bukankah ada pepatah: rejeki bisa dicari…sementara anda menganjurkan sang pemuda tidak menikahi gadis itu…dan bahkan mendoakan agar dia mendapatkan pria lain…. My God! that’s why I really disagree with whatever called CACAT KONSENSUS…we are talking about human…a baby….don’t tell me you are not a pro-lifer….I knew very well…u did not mind to pray in front of abortion homes in US…then why now u changed so much? the guy was willing to marry and be responsible to the girl and the baby…21 yrs is not too young…oh God!… Read more »

Ingrid Listiati
Reply to  angela
12 years ago

Shalom Angela, Silakan membaca komentar lanjutan saya kepada Vinsensius, klik di sini. Harap dipahami, bahwa kami menjawab berdasarkan atas informasi yang diberikan kepada kami, yang memang sangat terbatas sehingga sulit bagi kami untuk mengetahui keadaan sebenarnya yang terjadi. Di pertanyaan Vinsensius itu tidak dikatakan bahwa sang pemuda itu mau menikahi si gadis, malah Vinsensius mengatakan, “mereka berdua belum siap untuk menikah“. Oleh karena itu, saya memberikan masukan sesuai dengan keterangan itu, yaitu bahwa kedua pasangan itu memang secara mental maupun ekonomi tidak siap untuk mengambil tanggung jawab untuk menikah dan menjadi orang tua bagi anak yang dikandung oleh pemudi itu.… Read more »

Della Mari
Della Mari
Reply to  angela
12 years ago

Shalom Angela. Bagaimana jika lain kali kalau mau komentar, baca dulu dan pahami apa persoalannya. Komentar Angela di atas sangat tidak relevan dengan persoalan. Point yang paling penting dalam kasus ini adalah pernyataan bahwa sepasang anak muda ini :”belum siap secara mental dan ekonomi” untuk menikah. Jika menikah hanya karena alasan bertanggung jawab menghamili, itu belum cukup. “Kesiapan Mental untuk mendirikan sebuah keluarga” harus menjadi pertimbangan. Anda menulis : “Don’t tell me you are not pro lifer” sangat …. [dari Katolisitas:diedit, mungkin maksudnya: tidak relevan] Sudah dinyatakan di atas bahwa bayinya nanti akan diadopsi, oleh kakek dan neneknya. Dalam bahasa… Read more »

angela
angela
Reply to  Della Mari
12 years ago

Della Mari, Bagaimana jika lain kali kalau mau komentar, baca dulu dan pahami apa persoalannya. Komentar Della di atas sangat tidak relevan dengan persoalan.

Kalo Della setuju dengan kasus diatas ya silakan, saya tetap tidak setuju and biarpun sedunia bilang setuju, I will say no! thanks.

angela

[dari katolisitas: Tidak ada yang memaksa anda untuk setuju dengan pendapat orang lain maupun pendapat katolisitas. Kami telah menyampaikan pendapat dengan argumentasi-argumentasi. Kalau anda tidak dapat menerimanya, maka itu adalah hak anda dan tidak ada yang dapat memaksakannya kepada anda.]

Yohanes Dwi Harsanto Pr
Yohanes Dwi Harsanto Pr
Reply to  angela
12 years ago

Salam, Angela. Faktanya, banyak orang tidak mau menikah, atau mulai sadar bahwa dalam banyak kasus “kecelakaan” , tidak bijaksana demi anak bisa “tahu ayah biologisnya” lalu dipaksakan adanya perkawinan yang sebenarnya mereka tidak menghendakinya. Biasanya perkawinan yang demikian hanya seumur jagung pula bahkan menorehkan luka baru. Silahkan klik http://www.orangmudakatolik.net/2012/01/pandangan-gereja-terhadap-data-hasil-survei-single-mother-di-keuskupan-agung-jakarta/ Di situ dipaparkan betapa rumitnya persoalan “single mother” sekaligus pendampingan yang bertanggungjawab atas anak-anak dan ayah ibunya yang lahir karena “kecelakaan”. Itulah akibat dosa “ketidakmurnian” di mana dosanya sudah diampuni, namun akibatnya harus ditanggung sebagai konsekuensi logis. Namun, dari banyak sharing para “single mother” yang didampingi oleh Gereja, banyak keajaiban dan… Read more »

angela
angela
Reply to  Yohanes Dwi Harsanto Pr
12 years ago

Romo Santo Yth, apapun dalih yang diberikan mengenai kasus single mother, saya tetap menolaknya. Bagi saya, kasus di atas sangat beda dengan apa yang Romo paparkan sebab udah jelas ayahnya mau tanggung jawab kenapa sih dipermasalahkan terus? Kalo ayahnya tidak mau tanggung jawab ya itu lain cerita.

Yohanes Dwi Harsanto Pr
Yohanes Dwi Harsanto Pr
Reply to  angela
12 years ago

Salam Angela, Jika memang ayah si anak mau bertanggung jawab, mengapa tidak? Namun tanggung jawab itu harus diperjelas: untuk sepakat menikah dengan ibunya anak itu, atau hanya bertanggungjawab atas membesarkan anak itu. Itu dua hal yang berbeda. Perkawinan (marriage bukan hanya wedding) menuntut kesepakatan dari dalam hakikatnya sendiri. Selama belum ada kesepakatan dari kedua belah pihak untuk menikah, belum bisa dilaksanakan. Jika demikian, maka tanggungjawab itu sementara masih berupa tanggung jawab moral untuk merawat dan membesarkan anak itu. Sedangkan tanggungjawab untuk menikahi ibu anak itu menjadi tantangan bagi semua pihak untuk menyadarkan lelaki itu, agar ia berani mengambil keputusan untuk… Read more »

vinsensius budi
vinsensius budi
Reply to  Ingrid Listiati
12 years ago

Shalom bu Ingrid

Banyak terima kasih atas saran ibu. Saya akan sampaikan segera saran-saran dan pendapat ibu kepada keluarga mereka, karena mereka takut akan melakukan dosa berat dengan memisahkan anaknya dan tidak menikahkannya.
Terbukti memang demikian kaya, luas dan bijaksana nya ajaran Gereja Katolik ya bu.

Sekali lagi thank’s a lot bu.
Tuhan memberkati Ibu, Pak Stef & seluruh Team Katolisitas selalu.

Ingrid Listiati
Reply to  vinsensius budi
12 years ago

Shalom Vinsensius, Pertama- tama saya mohon maaf atas jawaban saya yang kurang lengkap, karena saya menjawab hanya berdasarkan atas informasi yang saya terima dari anda. Anda mengatakan kepada saya bahwa pasangan muda tersebut “belum siap secara mental dan ekonomi untuk menikah“, sehingga saya mengasumsikan memang demikian adanya, dan bahwa pihak keluarga (orang tua masing- masing) sudah membicarakan tentang hal ini dan telah mencapai kesepakatan bahwa kedua anak muda tersebut memang belum siap untuk menikah baik secara lahir maupun batin, karena kedua anak muda itu sendiri menyatakan demikian. Namun di komentar anda kemudian, anda mengatakan bahwa keluarga pihak si gadis merasa… Read more »

Angela
Angela
Reply to  Ingrid Listiati
12 years ago

Bu Ingrid and Vinsensius Sejauh yg saya tangkap di sini, pihak keluarga gadis hanya merasa malu…krn calon suaminya pengangguran, cuma lulusan SMA, dan bukan Katolik, which is very classic….alasan dan peristiwa yg umum terjadi seperti kasus Lili dan Joko yg sy ceritakan ke Bu Ingrid. Namun satu hal di sini, jika anda amati dengan jeli, mereka 21 th, ini bukan kasus di bawah umur..Lili dan Joko waktu itu berusia 17 tahun (baru lulus SMA)…dan kasusnya sama…Lili anak orang kaya, Joko anak orang miskin dan bukan se-agama-Kristen. Maaf jika sy terkesan mengecam sekali pendapat anda, namun sy sangat tidak setuju dengan… Read more »

Ingrid Listiati
Reply to  Angela
12 years ago

Shalom Angela, Apa yang anda dan saya sampaikan di sini hanya merupakan masukan bagi pihak keluarga (dalam hal ini yang disampaikan oleh Vinsensius). Namun pada akhirnya keputusan ada di tangan mereka sendiri. Ketika saya mengatakan, “Semoga ia [gadis] itu mendapatkan suami yang mau menerima dia apa adanya,” itu adalah atas dasar anggapan saya -berdasarkan keterangan yang saya terima dari surat Vinsensius yang pertama- bahwa kondisinya adalah seolah- olah sudah diputuskan bahwa sang pemuda tidak bersedia menikahi gadis itu (karena Vinsensius mengatakan bahwa baik sang pemuda dan pemudi itu tidak siap menikah secara mental maupun ekonomi). Jika ternyata keadaannya tidak demikian,… Read more »

Verry A
Verry A
Reply to  Ingrid Listiati
12 years ago

Kepada Angela

Sudahlah jangan dipersoalkan. Biarlah mereka menjalankan apa yang mereka anggap benar sementara kita mempercayai bahwa Yesus adalah sumber segala kebenaran. Semakin kamu turut campur dalam permasalahan mereka, semakin dipandang tidak baik walau saya memahami mengapa angela bisa berkata begitu namun mereka tidak bisa memahami malah nanti angela bisa dianggap pengikut ajaran sesat. Sudahlah.

Markus 12: 28-32

Kepada pengasuh Katolisitas mohon maaf atas komentar Angela

Love in Christ

Verry A

Stefanus Tay
Admin
Reply to  Verry A
12 years ago

Shalom Verry A, Terima kasih atas komentar anda. Memang menjadi hak setiap orang untuk menyatakan pendapat, memberikan argumentasi yang baik untuk menyatakan ketidaksetujuan. Namun, menjadi hak kami untuk menjawab pertanyaan dan komentar yang masuk. Yang mungkin perlu direnungkan adalah sikap bahwa seolah-olah hanya umat Kristen non-Katolik yang berpegang pada Yesus dan seolah-olah umat Katolik tidak berpegang pada Yesus. Hal ini tercermin dalam komentar seperti yang anda berikan “Biarlah mereka menjalankan apa yang mereka anggap benar sementara kita mempercayai bahwa Yesus adalah sumber segala kebenaran.” Akan lebih baik kalau masing-masing dari kita mencoba melihat dari sisi yang lain, bahwa sebagai umat… Read more »

vinsensius budi
vinsensius budi
Reply to  Ingrid Listiati
12 years ago

Shalom bu Ingrid

Terima kasih atas tambahan saran-sarannya.
Semua saran ibu secara lengkap akan saya sampaikan kepada keluarga mereka.

Salam dalam kasih Yesus dan Maria.

maria
maria
12 years ago

Salam tim Katolisitas Kalo tidak salah bu Inggrid dan pak Stef kuliah di Amerika, tolong sharing tentang umat Katolik di sana. Apa yang jadi kendala umat Katolik di sana terutama para pemudanya. Apakah para pemuda Katolik di sana juga melakukan hub sex tanpa ikatan? Karena yg saya tau dan mohon dikoreksi kalo salah. Di Amerika (ato di negara-negara bule lainnya) hub sex dg yg dicintai ato tinggal serumah tanpa ikatan adalah umum di sana, apakah itu jg berlaku utk umat Katolik di sana. Kalo di sini sex utk after marriage. Saya penggemar sepakbola, banyak pemain sepakbola (kebanyakan dr Amerika Latin)… Read more »

Ingrid Listiati
Reply to  maria
12 years ago

Shalom Maria, Dari informasi di internet, diketahui bahwa sebagian besar orang muda di Amerika telah melakukan hubungan sex sebelum menikah. Ini adalah hal yang memprihatinkan, mengingat bahwa sebagian besar dari mereka adalah umat Kristiani, entah Katolik ataupun Kristen non- Katolik. Fakta ini membuktikan adanya hal yang tidak ‘nyambung’ antara iman dan kehidupan sehari- hari. Oleh karena itu, Gereja Katolik dan bahkan gereja- gereja non- Katolik mempunyai tugas yang sangat besar untuk mengubah fenomena itu (namun terutama para orang tua dari keluarga- keluarga Kristiani itu sendiri), karena memang ajaran Kristiani tidak pernah berubah, yaitu untuk menjaga kemurnian tubuh (chastity), entah dalam… Read more »

Stevanus
Stevanus
12 years ago

Malam redaksi Katolisitas. Nama saya Stevanus dan saya memliki beberapa pertanyaan yang amat sangat saya harapakan untuk bisa di reply oleh katolisitas. Pertanyaan-pertanyaan saya adalah: 1. Bagaimana pandangan Gereja Katolik seluruh dunia mengenai hubungan sex sebelum menikah dengan pasangan-pasangannya (pacar) masing-masing? bukan hubungan dengan PSK, ttm (tidak ada status sama sekali). karena saya pernah mendengar sebuah opini dari pemuda australia yang beragama Katolik dan mereka mengganggap itu bukanlah hal yang tdk wajar atau bertentangan dgn alkitab karena di lakukan bersama pasangan (pacar) masing-masing. Apakah larangan sex sebelum menikah itu hanya sebuah tradisi masyarakat asia yang di campur-adukan oleh aturan-aturan agama… Read more »

Stefanus Tay
Admin
Reply to  Stevanus
12 years ago

Shalom Stevanus, Terima kasih atas pertanyaannya. Penjelasan tentang kemurnian di luar pernikahan telah dijelaskan secara panjang lebar di artikel ini – silakan klik dan pernah dibahas juga di tanya jawab ini – silakan klik. Dari dua artikel tersebut, maka sebenarnya telah jelas bahwa hubungan seks sebelum pernikahan adalah berdosa karena melanggar kemurnian. Hubungan seks walaupun dilakukan dengan pacar adalah berdosa, karena seks harus dilakukan oleh suami istri yang telah diikat dalam perkawinan yang sah. Pacar bukanlah satu jaminan bahwa dia akan menjadi suami atau istri. Tentang pertanyaan kedua: Yesus memang dapat mengetahui akan apa yang terjadi, karena selain Dia sungguh… Read more »

Larasati Shinta Lukito
Larasati Shinta Lukito
13 years ago

Syalom ibu Ingrid Mohon pencerahan tentang : KGK 2351 Nafsu adalah hasrat yang menyimpang akan, ataupun kenikmatan yang tidak teratur akan kesenangan seksual. Keinginan seksual itu tidak teratur secara moral, apabila ia dikejar karena dirinya sendiri dan dengan demikian dilepaskan dari tujuan batinnya untuk melanjutkan kehidupan (procreative) dan untuk hubungan cinta kasih (unitive). Apakah memang benar nafsu sex adalah hasrat yang menimpang atau kenikmatan yang tidak teratur akan kesenangan seksual ? Bukankah Tuhan memberikan pada umat manusia nafsu sex supaya manusia bisa berkembang biak ? Tanpa nafsu sex beban kehidupan manusia menjadi lebih ringan. Nafsu sex tidak diberikan pada malaikat,… Read more »

Ingrid Listiati
Reply to  Larasati Shinta Lukito
13 years ago

Shalom Larasati, Agaknya yang perlu diperhatikan adalah perkataan “hasrat yang menyimpang” akan kesenangan seksual. Sebab jika suami dan istri mempunyai keinginan untuk memberikan dirinya satu sama lain dalam hubungan seksual, yang tidak memisahkan antara hubungan cinta kasih (unitive) dan untuk melanjutkan kehidupan (procreative), maka keinginan itu tidak termasuk dalam katagori nafsu. Suami istri yang melakukan hal ini, tetap tinggal di dalam kemurnian perkawinan dan tidak melakukan kesalahan/ dosa karena nafsu yang disebutkan dalam KGK 2351. Akan menjadi hasrat yang menyimpang, jika kemudian suami dan istri melakukan hubungan seksual, namun memisahkan kedua unsur unitive dan procreative. Silakan membaca selanjutnya dalam artikel… Read more »

Antonius
Antonius
13 years ago

Enam bulan yang lalu saya mulai mengenal situs ini, dan membuat janji dalam hati untuk menghindari diri dari percabulan, termasuk melihat tayangan porno dsb. Saya pun sebelum menikah juga sudah melanggar kemurnian yang diberikan Tuhan pada diri saya dan pasangan saya. Saat ini saya mencoba untuk kembali pada Tuhan. Namun terasa sungguh berat, karena istri saya pun bekerja dengan jadwal berganti-ganti, pagi-siang-malam, sehingga sulit sekali untuk mencapai hubungan suami-istri yang baik dan diharapkan karena keterbatasan waktu. Mohon doa dari Pak Stef & Bu Inggrid beserta pembaca budiman untuk menguatkan saya dalam iman, dan mendoakan supaya kehidupan rumah tangga saya dan… Read more »

Stefanus Tay
Admin
Reply to  Antonius
13 years ago

Shalom Antonius, Terima kasih atas keterbukaannya. Memang dosa percabulan adalah dosa yang terlihat tidak merugikan orang lain. Namun, sebenarnya dosa ini melawan kemurnian, yang berarti merugikan diri sendiri – yang seharusnya menjaga tubuh kita sebagai bait Allah, serta merugikan pasangan kita – yang seharusnya kita kasihi dengan segenap hati. Berikut ini adalah beberapa hal praktis yang dapat dilakukan: 1) Diskusikan dengan istri anda, bahwa anda dan istri anda sudah seharusnya mempunyai kehidupan suami istri yang baik, termasuk dalam kehidupan seks. Diskusikan secara terbuka, sehingga kalau masih memungkinkan dengan berbagai macam kegiatan suami istri, maka anda berdua masih mempunyai waktu dengan… Read more »

Antonius
Antonius
Reply to  Stefanus Tay
13 years ago

Shalom Pak Stef ! Membaca tanggapan dan saran Bapak yang begitu cepat saya terima, rasanya hati ini semakin kuat dan merasa ada yang membantu mendoakan dari jauh :) Mengenai spiritual director ini saya masih ingin mencari seseorang yang kami anggap tepat sebagai tempat mencurahkan isi hati akan kegalauan hidup beriman kristiani yang sering menerpa keluarga beriman katolik. Kadang kala, karena kemajuan jaman, menurut saya pribadi telah banyak pendamping iman, -maaf- dari awam, yang sudah tidak lagi berpijak pada ajaran murni yang diajarkan oleh Kristus sendiri. Tentunya berbeda dengan Pak Stef dan Bu Inggrid yang memang benar-benar saya rasa adalah contoh… Read more »

Stefanus Tay
Admin
Reply to  Antonius
13 years ago

Shalom Antonius, Terima kasih atas dukungan anda untuk karya kerasulan katolisitas. Secara prinsip, menjadi tugas seluruh umat Katolik untuk benar-benar mengerti tentang pengajaran Gereja. Kalau kita bersusah payah untuk belajar begitu banyak hal untuk mendapatkan pekerjaan yang baik, mengapa kita tidak meluangkan waktu untuk belajar tentang iman Katolik? Dan sudah seharusnya, seluruh umat Katolik – baik dari klerus maupun awam – taat kepada pengajaran Gereja. Untuk dapat taat, maka seseorang harus tahu dan mempunyai kerendahan hati untuk dapat menerima pengajaran Gereja Katolik – karena Kristus sendiri telah mempercayakan tugas pengajaran kepada Magisterium Gereja (lih. Mt 16:16-19). Kalau Kristus sendiri telah… Read more »

Andreas
Andreas
13 years ago

Dear Katolisitas,

Bolehkah pasangan kekasih yg belum menikah berciuman bibir atau berpeluk-pelukan mesra? Adakah ajaran resmi Gereja yg mengatur/melarang itu?

Mohon dijawab. Terima kasih.

Stefanus Tay
Admin
Reply to  Andreas
13 years ago

Shalom Andreas, Terima kasih atas pertanyaannya tentang kemurnian antara sepasang kekasih sebelum pernikahan. Anda dapat membaca artikel tentang kemurnian di luar pernikahan di atas – silakan klik. Dan beberapa dokumen yang berhubungan dengan hal ini adalah: KGK 2350, Mereka yang terikat/bertunangan dan akan menikah dihimbau agar hidup murni dalam suasana berpantang. Mereka harus melihat waktu percobaan ini sebagai waktu, di mana mereka belajar, saling menghormati dan saling menyatakan kesetiaan dengan harapan, bahwa mereka dianugerahkan oleh Allah satu untuk yang lain. Mereka harus menghindari pernyataan cinta kasih yang merupakan cinta kasih suami isteri, sampai pada waktu mereka menikah. Mereka harus saling… Read more »

benedict
benedict
13 years ago

Siang Pak Stefan dan Bu Inggrid

saya mau tanya saja, bagaimana pandangan gereja Katolik terhadap gaya pacaran seperti berikut:
gandengan tangan, pelukan, cium pipi dan jidat dan ciuman (mulut antar mulut)

apakah dosa jika dilakukan saat pacaran?

terima kasih

Stefanus Tay
Admin
Reply to  benedict
13 years ago

Shalom Benedict, Terima kasih atas pertanyaannya tentang pacaran. Secara prinsip, Katekismus Gereja Katolik menjelaskan: KGK, 2353.Percabulan adalah hubungan badan antara seorang pria dan seorang wanita yang tidak menikah satu dengan yang lain. Ini adalah satu pelanggaran besar terhadap martabat orang-orang ini dan terhadap seksualitas manusia itu sendiri, yang dari kodratnya diarahkan kepada kebahagiaan suami isteri serta kepada turunan dan pendidikan anak-anak. Selain itu ia juga merupakan skandal berat, karena dengan demikian moral anak-anak muda dirusakkan. Walaupun dalam masa pacaran, mungkin tidak sampai pada hubungan badan, namun seseorang dapat jatuh dalam dosa percabulan dengan pikirannya (lih. Mat 5:28; KGK 2528). Dengan… Read more »

charlene chyllelcarisia
charlene chyllelcarisia
13 years ago

full of spiritual meaning. doa kan saya semoga saya dapat mempertahankan kemurnian itu. dan semoga hanya kasih dan perkhawinan menghalalkan semua itu. Amen

Thomas Vernando
Thomas Vernando
13 years ago

sangat membantu, terutama orang muda seperti saya..
makasih kak Stef dan kak Ingrid
GBU :)

Lukas Cung
Lukas Cung
Reply to  Thomas Vernando
13 years ago

Tulisan yang sangat berarti… Semoga saya bisa mencapainya dengan penuh.
Terima kasih banyak Pak Stef dan Bu Ingrid.

Romo pembimbing: Rm. Prof. DR. B.S. Mardiatmadja SJ. | Bidang Hukum Gereja dan Perkawinan : RD. Dr. D. Gusti Bagus Kusumawanta, Pr. | Bidang Sakramen dan Liturgi: Rm. Dr. Bernardus Boli Ujan, SVD | Bidang OMK: Rm. Yohanes Dwi Harsanto, Pr. | Bidang Keluarga : Rm. Dr. Bernardinus Realino Agung Prihartana, MSF, Maria Brownell, M.T.S. | Pembimbing teologis: Dr. Lawrence Feingold, S.T.D. | Pembimbing bidang Kitab Suci: Dr. David J. Twellman, D.Min.,Th.M.| Bidang Spiritualitas: Romo Alfonsus Widhiwiryawan, SX. STL | Bidang Pelayanan: Romo Felix Supranto, SS.CC |Staf Tetap dan Penulis: Caecilia Triastuti | Bidang Sistematik Teologi & Penanggung jawab: Stefanus Tay, M.T.S dan Ingrid Listiati Tay, M.T.S.
top
@Copyright katolisitas - 2008-2018 All rights reserved. Silakan memakai material yang ada di website ini, tapi harus mencantumkan "www.katolisitas.org", kecuali pemakaian dokumen Gereja. Tidak diperkenankan untuk memperbanyak sebagian atau seluruh tulisan dari website ini untuk kepentingan komersial Katolisitas.org adalah karya kerasulan yang berfokus dalam bidang evangelisasi dan katekese, yang memaparkan ajaran Gereja Katolik berdasarkan Kitab Suci, Tradisi Suci dan Magisterium Gereja. Situs ini dimulai tanggal 31 Mei 2008, pesta Bunda Maria mengunjungi Elizabeth. Semoga situs katolisitas dapat menyampaikan kabar gembira Kristus. 
62
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x