Kasih setia Tuhan tak pernah terlambat

Dari Katolisitas : Kekaguman dan syukur akan kasih dan penyelenggaraan Tuhan yang luar biasa, telah menggerakkan Benedictus Widi Handoyo, untuk membagikan pengalamannya akan kuat kuasa kasih Tuhan di dalam hidupnya. Setelah mengalami sakit hingga koma dan diberikan kesembuhan sempurna, dengan dukungan keteguhan iman ibunya yang sangat setia berdoa dan berharap pada Tuhan dalam saat yang tergelap sekalipun, Widi menyadari bahwa justru Tuhan hadir sangat dekat dengan manusia dan menyapa dengan kasihNya yang luar biasa di dalam penderitaan dan cobaan hidup. Kesadaran indah itu kini telah menjadi milik Widi selamanya baik dalam suka maupun duka hidupnya selanjutnya. Dan dengan rindu ia ingin membagikan kekayaan itu kepada pembaca Katolisitas untuk dapat turut menyemangati kita semua berteguh dalam pengharapan kepada Tuhan. Pengharapan yang pasti tak akan pernah sia-sia sebab dialamatkan kepada Sang Penyelenggara Hidup yang penuh kerahiman, cinta, dan belaskasihan kepada anak-anakNya, sekalipun hidup terkadang memang masih selalu penuh misteri bagi kita. Serahkanlah segala kekuatiranmu kepadaNya, sebab Ia yang memelihara kamu.” (1 Petrus 5 : 7). Terimakasih Widi, atas kasih dan kerinduanmu untuk berbagi kisah hidupmu yang penuh kuat kuasa penyelenggaraan kasih setia Tuhan ini. Semoga kasihNya yang nyata semakin dapat dirasakan dan dialami oleh kita semua. Dan kiranya hidup di dalam Dia menjadi sumber kekuatan kita di dalam suka duka kehidupan ini.


Jakarta, 25 Mei 2010, ditulis dalam keheningan hati di kamar kost.


Perhatikanlah burung-burung gagak yang tidak menabur dan tidak menuai dan tidak mempunyai gudang atau lumbung, namun demikian diberi makan oleh Allah.  Betapa jauhnya kamu melebihi burung-burung itu (Lukas 12 : 24)

Saya, panggil saja Widi, putera pertama dari seorang keluarga orang cacat. Bapak saya (almarhum) merupakan penyandang cacat karena sejak SMP tangan kanannya diamputasi akibat kecelakaan ketika kecil. Saya lahir dan besar di kota Jogja. Tepatnya di kampung Bausasran. Lahir di keluarga yang serba pas-pasan, bahkan kalau boleh dibilang kekurangan. Ibu asli Solo, seorang yang tidak pernah berhenti berharap akan kasih Tuhan. Tekun dalam doa dan kuat prihatin.

Saat itu Bapak saya bekerja sebagai karyawan di Yayasan Kanisius Cabang Jogja di bagian administrasi surat menyurat. Itu adalah karena karya ajaib Tuhan, sehingga Bapak diperkenalkan pada Pastur (Wie Cen) yang membantunya mendapat perawatan dan rehabilitasi di Panti Rehabilitasi orang cacat di Solo sampai bisa bekerja di Yayasan Kanisius.

Tuhan menguji keteguhan iman keluarga saya.

Kejadian ini saya alami ketika saya duduk di SMP kelas 2, sekitar tahun 1999. Setelah selesai pengambilan raport catur wulan II, saya (waktu itu masih bersepeda ontel) minta ijin ke Bapak untuk pulang ke rumah di Wates (kebetulan rumah kami ada di Wates, sedangkan Bapak sering tinggal dan menitipkan saya untuk tinggal bersama nenek di Bausasran, Jogja). Itulah hari terakhir saya dalam kondisi sehat…

Esok harinya, saya terkena demam tinggi, dan muntah-muntah.  Langsung saja Bapak dikabari oleh tetangga yang kebetulan bekerja di Jogja (tiap hari pulang balik Wates-Jogja) bahwa saya sakit parah. Entah kenapa saya juga tidak tahu. Yang jelas malam itu saya benar-benar menggigil dan merasakan kehausan yang amat dahsyat.

Segera saya dibawa ke Rumah Sakit Panti Rapih. Masuk di taksi, saya sudah hampir tidak sadarkan diri. Waktu itu saya sempat pamit ke Ibu saya, ” Ibu…Widi njaluk ngapuro nggih…nek kathah lepat… (Ibu, Widi minta maaf kalau banyak salah..) Widi sudah nggak kuat…”

Koma selama 17 hari

Ini menurut penuturan ibu saya setelah saya siuman dari koma… Ternyata saya koma selama 17 hari. Terbaring dengan kondisi labil dan tidak pasti. Bahkan beberapa kali saya di full check up dan EKG, denyut jantung saya tidak stabil. Kondisi cairan tubuh drop, ureum sangat tinggi. HB turun, dan tensi darah berada pada kondisi yang sangat rendah. Menurut Bude, yang mendampingi bapak dan ibu saya, saya sempat diberi Sakramen Minyak Suci dua kali, oleh pastor dari Paroki Kota Baru, Jogja.  Saking tidak kuatnya, Bapak sempat drop kesehatannya dan jatuh pingsan berkali-kali melihat tubuh saya tergolek dengan peralatan medis di sana sini.

Ingatan terakhir saya hanya masuk ke taksi yang mengantar ke RS itu, sehabis itu saya sudah tidak ingat apa-apa… Dari penuturan Bude juga, hanya Ibu yang paling tabah, paling kuat…. dan paling bisa bertahan dalam kondisi seperti itu. Pagi, siang, dan malam, Ibu sering keluar dari kamar ICU untuk berdoa rosario di gua maria di RS Panti Rapih. Mulai-mula Bapak tidak mau, karena toh juga tidak ada hasilnya juga, sudah berdoa lebih dari 9 hari tidak ada kemajuan…

Namun di hari ke 12, akhirnya Bapak mau (ini menurut penuturan Ibu). Berdua berdoa rosario. Memohon kekuatan… Menurut keterangan Bude, hari ke 15 saya malah sangat drop, bahkan EKG sempat hilang di monitornya. Sempat tidak ada denyut selama beberapa detik.  Dan ketika itu pula Sakramen Minyak Suci kedua diberikan kepadaku.

Bahkan saudara Bapak (yang Muslim) sudah menyiapkan peti dan beberapa kali mengadakan “tahlilan” untuk saya. Banyak temen-temen SMP dan SD, juga tetangga yang pesimis setelah pulang dari membesuk saya. Mereka bilang ” Widi hanya menunggu waktu saja…, mbok ya diikhlaskan saja to… ” Bapak yang menangis ketika ada yang mengatakan seperti itu… (ini menurut Ibu).

Namun Ibu tidak pernah berhenti berdoa… tidak pernah berhenti berharap, bahkan dia jalani puasa Rabu dan Jumat serta Misa harian pagi di kapel RS Panti Rapih. Praktis selama 17 hari itu baik Bapak dan Ibu tidak pulang ke rumah. Adik saya dititipkan di rumah Bude. Semua harta benda yang Bapak kumpulkan habis. Mulai dari TV, rumah, tabungan, bahkan cincin pernikahan pun lenyap sudah. (Terakhir saya cek di berkas-berkas pembiayaan, saat itu perhari habis sekitar Rp. 9 juta).

Kesembuhan saya, keteguhan iman Ibu, dan kasih setia Tuhan

Namun Tuhan berkehendak lain.
Doa Ibu dan Bapak saya dikabulkan. Waktu itu tepat pukul 12.00. Saya mendengar sayup-sayup suara nyanyian lagu Bapa Kami di telinga saya, pelan namun pasti. Dan waktu itulah saya pertama kali membuka mata, dan menoleh sebelah kiri…. ada Ibu yang sedang menyanyikan lagu Bapa Kami ke telinga saya…
Sontak, seluruh dokter dan perawat datang semua, Bapak juga datang ke ruangan ICU itu, dan proses check-up pun dilakukan. Saya masih ingat waktu itu pertama kali saya kembali bisa merasakan sakit ketika saya disuntik di tangan saya sebelah kanan. Proses recovery pun berjalan sekitar sebulan, mulai dari belajar berjalan lagi, belajar mengenal uang, belajar minum memakai sedotan. Praktis saya jadi seperti linglung. Bahkan teman-teman SMP pun saya sudah tidak hapal lagi. Hanya Ibu dan Bapak yang saya kenal waktu itu… ketika mereka jauh dari tempat tidur, saya merasa kesepian dan ketakutan…

PUJI TUHAN, DIA tidak pernah melalaikan doa umatnya, dan doa Ibu adalah doa yang paling tulus dari hati untuk anaknya… Saat ini saya merasakan benar-benar hidup itu adalah sebuah anugerah, dan setiap tarikan nafas itu sesungguhnya benar-benar hadiahNya. Kini kami tinggal terpisah, Ibu pulang ke Solo setelah Bapak meninggal tahun 2005 yang lalu. Saya menjadi tulang punggung keluarga, bekerja di Jakarta Selatan, dan adik saya masih kuliah di UGM, Jogja.

“Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu.” (Matius 7 : 7). Ya, ketoklah pintu, maka akan dibukakan, DIA yang memberimu kehidupan tidak pernah akan membiarkan kita jatuh dalam kesengsaraan dan keputusasaan….. asal kita mau datang kepadaNya. Datanglah kepadaNya….bawalah DIA dalam segala hidupmu.

Kekuatan kasih dan penyelenggaraan Tuhan yang terus menopang saya

Kenangan akan pertolongan Tuhan dan kesetiaan kasih Ibu dan Bapak saya dalam mendampingi saya dengan penuh pengharapan kepada Tuhan ketika saya koma itu selalu membekas di dalam hati saya. Menemani perjalanan iman saya selanjutnya dalam mengarungi hidup pemberian Tuhan ini. Ada nilai-nilai keutamaan yang selalu saya ingat dan saya bawa di dalam hati saya.

Yang pertama adalah keuletan ibu saya untuk tetap percaya pada Tuhan Jesus apapun kondisinya. Hal ini sudah terasa jauh sebelum saya sakit. Ibu adalah seorang yang ulet, yang benar-benar menerima dengan sabar segala sesuatu. Ayah saya adalah seorang cacat. Dengan gemblengan di Panti Rehabilitasi, beliau sangat keras dan cenderung diktator, walaupun niatnya baik untuk memberi bekal ke anak-anaknya agar tidak mudah cengeng dan lembek mentalnya, terlebih menjadi anak seorang cacat yang dimana-mana diremehkan.

Saya sendiri merasakan hal itu. Ketika Ayah mendidik saya dengan keras, dengan tegas dan aturan yang ketat, Ibu hadir dengan kata-kata yang saat ini masih teringat benar di benak saya:

“Le, nduk, Bapak kui ndidik koe ngunu kui ben koe tatag athine, tabah lan ora gampang lembek, neng opo ae kui wujude nek ora dikantheni nyenyuwun karo Gusti kui ora bakal tekan”
(“Nak, Bapak itu mendidik kamu supaya kamu tegar hati, tabah dan tidak mudah lembek, tetapi apa saja wujudnya kalau tidak diimbangi dengan memohon berkah dari Tuhan semua itu tidak ada gunanya”)

Sebelum kejadian saya sakit itu, kami tinggal di Bausasran dengan kondisi yang sangat terbatas. Rumah dari dinding kayu reot, tempat tidur hanya satu, itu pun dipakai bertiga: saya, Adek, dan Bapak. Ibu sendirian yang setiap malam tidur di kursi reot di muka pintu. Hal yang saya tidak pernah bisa mengerti, Ibu bisa tabah menjalani itu semua hingga lebih dari lima tahun. Saya masih ingat ketika Ibu sedih luar biasa karena rosario kesayangannya rusak digigit tikus ketika jatuh dilantai. Dengan bergumam beliau berkata…”Duh Gusti, mbok nek mundut saking kulo niku boten rosario… niku rencang kulo kang ngancani kulo nyenyuwun ing sampeyan dalem…(” Duh Gusti, jika Engkau menghendaki janganlah ambil rosario itu… karena itu teman saya yang menemani saya berdoa memohon kepadaMu… )

(Saya benar-benar menangis saat saya menulis bagian ini sembari mengingat saat itu…)

Rosario baru pun coba saya belikan di Puskat Kota baru. Setelah diberkati, saya hadiahkan ke beliau pada saat ulang tahunnya 14 Desember 1998. Beliau senang sekali. Hampir tiap tengah malam beliau berdoa rosario. Hingga saat ini pun masih. Rosario baru itu pun yang saya jumpai ketika saya siuman tahun 1999 di RS Panti Rapih. Beliau melilitkan rosario ditangannya… sambil menyanyikan lagu Bapa Kami ditelinga saya…

Bapak yang berkali-kali ingin meninggalkan Jesus

Karena himpitan ekonomi, Bapak pun berkali-kali sering marah, dan mudah emosi. Beliau berkali-kali tidak mau diajak ke gereja. Bahkan untuk berdoa rosario. Beliau tetap pada keyakinannya, kalau mau usaha pasti dapat. Orang cacat tidak butuh hanya doa, namun usaha dan mental yang kuat, begitu prinsip beliau.

Namun Tuhan merubah semuanya, ketika saya sakit itu. Menurut penuturan Ibu, saat saya sakit itulah, Bapak mau menemani Ibu dan ikut berdoa rosario. Beliau akhirnya kembali ke Jesus sang pemberi kehidupan. Setelah berbagai usaha dokter dan obat tidak kunjung membuat saya siuman. Bahkan beliaupun akhirnya merelakan saya diberi Sakramen Minyak Suci hingga dua kali.  Hingga Tuhan memanggil Bapak tanggal 9 Desember 2005, beliau rajin berdoa, rajin ke gereja dan sangat dekat dengan Tuhan dalam bacaan alkitab hariannya.

Kasih setiaNya terbukti di setiap perjuangan hidup saya

Keutamaan yang kedua yang selalu tertanam di hati saya adalah anugerah dan sapaan Tuhan yang begitu dahsyat dalam hidup saya melalu berbagai cobaan dan ujian hingga saat ini.
Keutamaan ini bertitik tolak setelah ayah saya meninggal. Ketika itu situasi ekonomi keluarga kami down kembali, praktis kami tidak ada pemasukan sama sekali. Pensiun ayah cuma Rp 150 ribu/bulan. Sedangkan saya sudah terlanjur duduk di semester 3 UGM. Adek baru kelas 1 SMA.

Goncangan yang dahsyat mengguncang keluarga kami. Benar-benar habis sudah. Rumah semua dijual, hutang rumah sakit saya masih menumpuk. Adek masih membutuhkan biaya sekolah, sedangkan saya masih bingung mau membayar kuliah dengan apa.

Berbagai cobaan datang di keluarga kami. Bahkan datang dari ketua lingkungan kami di Bausasran yang mengucilkan kami karena saya tidak kuat mengadakan misa arwah 40 hari, 100 hari. Waktu itu saya diinterograsi, kenapa Mas Widi tega dengan Bapak dengan tidak mengadakan misa arwah? Yah saya jawab dengan jujur, “Pak saya tidak punya uang lagi, kebutuhan kami untuk sekolah” (karena pesan terakhir almarhum bapak saya adalah tetap sekolah hingga S1 selesai untuk semua anak-anaknya). Jadi ya saya hanya berdoa bertiga menyalakan lilin dan berkumpul tengah malam. Lalu paginya saya mengajukan permohonan ujud Misa di gereja. Waktu itu benar-benar saya down. Merasa pengen teriak kenapa Tuhan tidak henti-hentinya memberikan cobaan ini. Ibu cuma bilang, Gusti kui ora sare … (Tuhan tidak pernah tidur). Nyuwuno mesti bakalan diparingi.Gusti mesti paring kang awake dewe perlu (mintalah, pasti Tuhan kasih apa yang kita butuhkan). Itulah semangat Ibu yang setia dengan rosarionya. Bahkan sehari sampai dua kali, pagi dan malam setelah ditinggal Bapak menghadapNya.

Cobaan berikutnya adalah rumah kami di Bausasran yang diminta oleh si pemilik rumah. Karena dulunya Bapak hanya numpang di sana. Jadi ketika Bapak sudah tidak ada, rumah itu pun diminta. Sontak saya panik luar biasa….mau kemana ini… Ibu tidak bekerja, Adek masih sekolah, dan saya pun belum bekerja… Hanya Tuhan waktu itu yang saya pegang… Kalau Tuhan kasih saya nafas esok hari, pasti bakal kasih saya makan, dan tempat berteduh juga…kalau tidak, ambilah kehidupan ini Tuhan..begitu doa saya tiap hari… karena saya yakin Dia yang kasih saya kehidupan ketika sakit dahulu, Dia pasti bertanggung jawab ketika saya didera penderitaan kembali…

Akhirnya tahun 2007 kami boyongan pulang ke Solo. Ibu saya pulang ke rumah nenek di Solo, Adek dan saya puji Tuhan ditampung oleh keluarga kakak kelas KMKATH (Keluarga Mahasiswa Katolik FMIPA UGM) di sebuah rumah di Umbulharjo, Jogja. Sebelum pindahan dari rumah di Bausasran, kami sempat berdoa bertiga, dan bersepakat… walaupun jarak memisahkan Solo- Jogja, kami tetap yakin bersekutu dalam doa malam setiap hari.

Saya dan Adek tinggal di rumah Mas Anton (kakak kelas saya) selama tahun 2007-2008. Sungguh pertolongan Tuhan tidak pernah terlambat. Ada saja orang yang berbaik hati memberikan tumpangan untuk kami tetap tinggal di Jogja. Jadilah kami semi anak kost. Hidup di rumah tumpangan dengan apa-apa sendiri. Waktu itulah saya mulai mencoba bekerja serabutan. Mulai dari penjaga warnet, game center, rental komputer (kebetulan saya kuliah S1 Ilmu Komputer di UGM). Hingga diterima di sebuah ISP (Internet Service Provider) di Jogja.

Saya pun lulus S1 tepat empat tahun, pada bulan Agustus 2008 dengan perjuangan yang benar-benar berat. Tidur tidak pernah cukup, makan kadang hanya bisa sekali sehari, yang penting Adik bisa makan tiga kali dan Ibu bisa ada pegangan uang sedikit di Solo. Sungguh karunia yang berlimpah, berat saat dijalani, namun ketika semuanya dikembalikan ke yang Empunya Kehidupan, semua terasa ringan dan bisa berjalan.

Saat ini Adek saya sudah diterima di S1 Fakultas Peternakan UGM semester empat, dia tinggal di asrama Santikara, Jogja. Ibu tetap di Solo, dan saya pergi merantau ke Jakarta di kantor pusat ISP Jogja tersebut. Hingga saat saya menulis kisah ini. Karena begitu hebatnya kasih Tuhan terutama ketika saya sakit dan ketika ditinggal Bapak meninggal, maka saya sudah bertekad menyelesaikan kuliah Adek hingga tamat S1 tahun 2012 nanti, sebagai silih saya dahulu diberkati lewat kasih keluarga saya. Gaji di Jakarta saya share dengan Ibu dan Adek, hingga saat ini. Untuk kuliah Adek, akomodasi, biaya asrama, uang hidup Adek, buku, juga uang saku untuk Ibu di solo. Saya mengandalkan makan nasi sehari sekali dari makan siang di kantor.

Tuhan pasti akan selalu menyertai

Mohon doanya juga, akhir Juni ini kontrak saya bekerja di perusahaan ISP ini berakhir, dan saya masih bergumul dengan Tuhan akan kemana lagi langkah saya bekerja ….tetapi saya tidak membiarkan diri saya khawatir, sebab Tuhan Yesus telah berjanji  kepada kita untuk selalu mencukupkan kebutuhan kita, dan saya akan memegang teguh janjiNya itu, yang juga telah dibuktikanNya selalu dalam hidup saya.

Sebab itu janganlah kamu kuatir dan berkata: Apakah yang akan kami makan? Apakah yang akan kami minum? Apakah yang akan kami pakai? Semua itu dicari bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah. Akan tetapi Bapamu yang di Sorga tahu, bahwa kamu memerlukan semuanya itu. Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu. Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari. (Matius 6 : 31-34)

Sungguh karya Tuhan tidak pernah habis, tidak pernah terburu-buru dan tidak pernah terlambat. Saya percaya itu. Bahkan di Jakarta ini saya tidak khawatir dengan uang yang pas-pasan, karena saya yakin, dulu Tuhan menyembuhkan saya dari koma, saat ini pun Dia hadir menemani saya dalam langkah dan pekerjaan saya. Dia peduli, Dia sayang, dan Dia tidak akan meninggalkan kita.

Semoga sharing ini bisa menguatkan iman pembaca Katolisitas dan memberikan berkah kekuatan untuk tetap bertekun dalam iman akan Jesus. Dia sungguh dahsyat, sungguh hebat. Tidak salah kita memilkiNya, memberi diri dibaptis dalam namaNya.

Semua demi kemuliaanNya, di bumi dan di Surga. Amin.


0 0 votes
Article Rating
19/12/2018
50 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
Martinus Setiabudi
Martinus Setiabudi
10 years ago

Sangat inspiratif. Terima kasih Tuhan.

rudolf
rudolf
10 years ago

Terima Kasih buat sharingnya mas Widi. Sungguh luar biasa.
Tuhan Memberkati

elisabeth
elisabeth
11 years ago

Sungguh kisah yg memberikan pencerahan iman.thx atas sharingnya mas widi.God bless us

Romo pembimbing: Rm. Prof. DR. B.S. Mardiatmadja SJ. | Bidang Hukum Gereja dan Perkawinan : RD. Dr. D. Gusti Bagus Kusumawanta, Pr. | Bidang Sakramen dan Liturgi: Rm. Dr. Bernardus Boli Ujan, SVD | Bidang OMK: Rm. Yohanes Dwi Harsanto, Pr. | Bidang Keluarga : Rm. Dr. Bernardinus Realino Agung Prihartana, MSF, Maria Brownell, M.T.S. | Pembimbing teologis: Dr. Lawrence Feingold, S.T.D. | Pembimbing bidang Kitab Suci: Dr. David J. Twellman, D.Min.,Th.M.| Bidang Spiritualitas: Romo Alfonsus Widhiwiryawan, SX. STL | Bidang Pelayanan: Romo Felix Supranto, SS.CC |Staf Tetap dan Penulis: Caecilia Triastuti | Bidang Sistematik Teologi & Penanggung jawab: Stefanus Tay, M.T.S dan Ingrid Listiati Tay, M.T.S.
top
@Copyright katolisitas - 2008-2018 All rights reserved. Silakan memakai material yang ada di website ini, tapi harus mencantumkan "www.katolisitas.org", kecuali pemakaian dokumen Gereja. Tidak diperkenankan untuk memperbanyak sebagian atau seluruh tulisan dari website ini untuk kepentingan komersial Katolisitas.org adalah karya kerasulan yang berfokus dalam bidang evangelisasi dan katekese, yang memaparkan ajaran Gereja Katolik berdasarkan Kitab Suci, Tradisi Suci dan Magisterium Gereja. Situs ini dimulai tanggal 31 Mei 2008, pesta Bunda Maria mengunjungi Elizabeth. Semoga situs katolisitas dapat menyampaikan kabar gembira Kristus. 
50
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x