Indah dan Dalamnya Makna Sakramen Perkawinan Katolik

Pendahuluan

Teman kuliah sekelas saya ada yang lulusan sekolah pendeta, sebelum menjadi seorang Katolik. Ketika saya bertanya apa yang membuatnya menjadi Katolik, dia menjawab, “…. many things, but I should say, first and foremost, is the Church teaching regarding Marriage” (Banyak hal, namun yang terutama, adalah ajaran Gereja tentang Perkawinan). Ia adalah satu dari banyak orang -termasuk di antaranya adalah Kimberly dan Scott Hahn- yang melihat kebenaran ajaran Gereja Katolik melalui pengajaran hal Perkawinan.

Ini adalah sesuatu yang layak kita renungkan, karena sebagai orang Katolik, kita mungkin pernah mendengar ada orang mempertanyakan, mengapa Gereja Katolik menentang perceraian, aborsi dan kontrasepsi, mengapa Gereja umumnya tidak dapat memberikan sakramen Perkawinan (lagi) kepada wanita dan pria yang sudah pernah menerima sakramen Perkawinan sebelumnya, atau singkatnya, mengapa disiplin mengenai perkawinan begitu ‘keras’ di dalam Gereja Katolik. Agar kita dapat memahaminya, mari bersama kita melihat bagaimana Tuhan menghendaki Perkawinan sebagai persatuan antara suami dan istri, dan sebagai tanda perjanjian ilahi bahwa Ia menyertai umat-Nya.

Sakramen Perkawinan menurut Kitab Suci

Dari awal penciptaan dunia, Allah menciptakan manusia pertama, laki-laki (Adam) dan perempuan (Hawa), menurut citra Allah (Kej 1:26-27). Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam agar laki-laki itu mendapatkan teman ‘penolong’ yang sepadan dengannya (Kej 2:20), sehingga mereka akhirnya dapat bersatu menjadi satu ‘daging’ (Kej 2:24). Jadi persatuan laki-laki dan perempuan telah direncanakan oleh Allah sejak awal mula, sesuai dengan perintahnya kepada mereka, “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu….” (Kej 1:28).

Walaupun dalam Perjanjian Lama perkawinan monogami (satu suami dan satu istri) tidak selalu diterapkan karena kelemahan manusia, kita dapat melihat bahwa perkawinan monogami adalah yang dimaksudkan Allah bagi manusia sejak semula. Hal ini ditegaskan kembali oleh pengajaran Yesus, yaitu: “Laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya sehingga menjadi satu daging (Mat 19:5), dan bahwa laki-laki dan perempuan yang telah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia (lih. Mat 19:5-6, Mrk 10:7-9). Yesus menegaskan surat cerai pada jaman Perjanjian Lama itu diizinkan oleh nabi Musa karena ketegaran hati umat Israel, namun tidak demikian yang menjadi rencana Allah pada awalnya (Mat 19:8). Allah menghendaki kesetiaan dalam perkawinan, sebab Ia membenci perceraian (lih. Mal 2:15,16).

Jadi, perkawinan antara pria dan wanita berkaitan dengan penciptaan manusia menurut citra Allah. Allah adalah Kasih (1 Yoh 4:8,16), dan karena kasih yang sempurna tidak pernah ditujukan pada diri sendiri melainkan pada pribadi yang lain, maka kita mengenal Allah yang tidak terisolasi sendiri, melainkan Allah Esa yang merupakan komunitas Tiga Pribadi, Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus (Trinitas). Kasih yang timbal balik, setia, dan total tanpa batas antara Allah Bapa dengan Yesus Sang Putera ‘menghasilkan’ Roh Kudus. Walaupun demikian, tidak dapat dikatakan bahwa hubungan antara Allah Bapa dan Putera itu seperti hubungan suami dengan istri. Kasih di dalam diri Trinitas merupakan misteri yang dalamnya tak terselami, namun misteri ini direncanakan Allah untuk digambarkan dalam hubungan suami dan istri, agar dunia dapat sedikit menyelami misteri kasih-Nya. Maksudnya adalah, manusia diciptakan sesuai gambaran Allah sendiri untuk dapat menggambarkan kasih Allah itu.

Kasih Allah, yang terlihat jelas dalam diri Trinitas, adalah kasih yang bebas (tak ada paksaan), setia, menyeluruh/ total, dan menghasilkan buah. Lihatlah Yesus, yang mengasihi Bapa dengan kasih tak terbatas, atas kehendak bebas-Nya menjelma menjadi manusia, wafat di salib untuk melaksanakan rencana Bapa menyelamatkan manusia. Allah Bapa mengasihi Yesus dengan menyertaiNya dan memuliakan-Nya; dan setelah Yesus naik ke surga, Allah Bapa dan Yesus mengutus Roh KudusNya. Kasih inilah yang direncanakan Allah untuk digambarkan oleh kasih manusia, secara khusus di dalam perkawinan antara laki-laki dan perempuan.

Perkawinan juga direncanakan Allah sebagai gambaran akan hubungan kasih-Nya dengan umat-Nya. Pada Perjanjian Lama, kita dapat membaca bagaimana Allah menjadikan Yerusalem (bangsa Israel) sebagai istri-Nya (Yeh 16:3-14; Yes 54:6-dst; 62:4-dst; Yer 2:2; Hos 2:19; Kid 1-dst) untuk menggambarkan kesetiaanNya kepada umat manusia.

Pada Perjanjian Baru, Yesus sendiri menyempurnakan nilai perkawinan ini dengan mengangkatnya menjadi gambaran akan hubungan kasih-Nya kepada Gereja-Nya (Ef 5:32). Ia sendiri mengasihi Gereja-Nya dengan menyerahkan nyawa-Nya baginya untuk menguduskannya (Ef 5:25). Maka para suami dipanggil untuk mengasihi, berkorban dan menguduskan istrinya, sesuai dengan teladan yang diberikan oleh Yesus kepada Gereja-Nya; dan para istri dipanggil untuk menaati suaminya yang disebut sebagai ‘kepala istri’ (Ef 5:23), seperti Gereja sebagai anggota Tubuh Kristus dipanggil untuk taat kepada Kristus, Sang Kepala.

Kesatuan antara Kristus dan Gereja-Nya ini menjadi inti dari setiap sakramen karena sakramen pada dasarnya membawa manusia ke dalam persatuan yang mendalam dengan Allah. Puncak persatuan kita dengan Allah di dunia ini dicapai melalui Ekaristi, saat kita menyambut Kristus sendiri, bersatu denganNya menjadi ‘satu daging’. Pemahaman arti Perkawinan dan kesatuan antara Allah dan manusia ini menjadi sangat penting, karena dengan demikian kita dapat semakin menghayati iman kita.

Melihat keagungan makna perkawinan ini tidaklah berarti bahwa semua orang dipanggil untuk hidup menikah. Kehidupan selibat demi Kerajaan Allah bahkan merupakan kesempurnaan perwujudan gambaran kasih Allah yang bebas, setia, total dan menghasilkan banyak buah (lih Mat 19:12,29). Oleh kehendak bebasnya, mereka menunjukkan kesetiaan dan pengorbanan mereka yang total kepada Allah, sehingga dihasilkanlah banyak buah, yaitu semakin bertambahnya anak-anak angkat Allah yang tergabung di dalam Gereja melalui Pembaptisan, dan tumbuh berkembangnya mereka melalui sakramen-sakramen dan pengajaran Gereja.

Akhirnya, akhir jaman-pun digambarkan sebagai “perjamuan kawin Anak Domba” (Why 19:7-9). Artinya, tujuan akhir hidup manusia adalah persatuan dengan Tuhan. Misteri persatuan ini disingkapkan sedemikian oleh Sakramen Perkawinan, yang membawa dua akibat: pertama, agar kita semakin mengagumi kasih Allah dan memperoleh gambaran akan kasih Allah Tritunggal, dan kedua, agar kita mengambil bagian dalam perwujudan kasih Allah itu, seturut dengan panggilan hidup kita masing-masing.

Makna Sakramen Perkawinan

Melihat dasar Alkitabiah ini maka sakramen Perkawinan dapat diartikan sebagai persatuan antara pria dan wanita yang terikat hukum untuk hidup bersama seumur hidup.[1] Katekismus Gereja Katolik menegaskan persatuan seumur hidup antara pria dan wanita yang telah dibaptis ini, sifatnya terarah pada kesejahteraan suami-istri, pada kelahiran dan pendidikan anak. (KGK 1601) Hal ini berkaitan dengan gambaran kasih Allah yang bebas (tanpa paksaan), setia, menyeluruh dan ‘berbuah’.

Hubungan kasih ini menjadikan pria dan wanita menjadi ‘karunia‘ satu bagi yang lainnya, yang secara mendalam diwujudkan di dalam hubungan suami-istri. Jadi, jika dalam Pembaptisan, rahmat Tuhan dinyatakan dengan air, atau Penguatan dengan pengurapan minyak, namun di dalam Perkawinan, rahmat Tuhan dinyatakan dengan pasangan itu sendiri. Inilah artinya sakramen perkawinan: suami adalah tanda rahmat kehadiran Tuhan bagi istrinya, dan istri adalah tanda rahmat kehadiran Tuhan bagi suaminya. Tuhan menghendaki perkawinan yang sedemikian sejak masa penciptaan, dengan memberikan rasa ketertarikan antara pria dan wanita, yang harus diwujudkan di dalam kesetiaan yang tak terpisahkan seumur hidup; untuk menggambarkan kesetiaan kasih Allah yang tak terpisahkan dengan manusia, seperti ditunjukkan dengan sempurna oleh Kristus dan Gereja-Nya sebagai mempelai-Nya. Karena itu harusnya setiap hari suami selalu merenungkan: “Sudahkah hari ini aku menjadi tanda kasih Tuhan kepada istriku?” demikian juga, istri merenungkan, “Sudahkah hari ini aku menjadi tanda kasih Tuhan kepada suamiku?”

Sakramen Perkawinan juga mengangkat hubungan kasih antara suami dengan istri, untuk mengambil bagian di dalam salah satu perbuatan Tuhan yang ajaib, yaitu penciptaan manusia. Dengan demikian, persatuan suami dengan istri menjadi tanda akan kehadiran Allah sendiri, jika di dalam persatuan itu mereka bekerjasama dengan Tuhan untuk mendatangkan kehidupan bagi manusia yang baru, yang tubuh dan jiwanya diciptakan atas kehendak Allah. Dalam hal ini penciptaan manusia berbeda dengan hewan dan tumbuhan, karena hanya manusia yang diciptakan Tuhan seturut kehendakNya dengan mengaruniakan jiwa yang kekal (‘immortal’). Sedangkan hewan dan tumbuhan tidak mempunyai jiwa yang kekal seperti manusia. Jadi peran serta manusia dalam penciptaan manusia baru adalah merupakan partisipasi yang sangat luhur, karena dapat mendatangkan jiwa manusia yang baru, yang diinginkan oleh Allah.

Kemudian, setelah kelahiran anak, sang suami dan istri menjalankan peran sebagai orang tua, untuk memelihara dan mendidik anak mereka. Dengan demikian mereka menjadi gambaran terbatas dari kasih Tuhan yang tak terbatas: dalam hal pemeliharaan/ pengasuhan (God’s maternity) dan pendidikan/ pengaturan (God’s paternity) terhadap manusia. Di sini kita lihat betapa Allah menciptakan manusia sungguh-sungguh sesuai dengan citra-Nya. Selain diciptakan sebagai mahluk spiritual yang berkehendak bebas, dan karena itu merupakan mahluk tertinggi dibandingkan dengan hewan dan tumbuhan, selanjutnya, manusia dikehendaki Allah untuk ikut ambil bagian di dalam pekerjaan tangan-Nya, yaitu: penciptaan, pemeliharaan dan pengaturan manusia yang lain.

Setiap kali kita merenungkan dalamnya arti Perkawinan sebagai gambaran kasih Allah sendiri, kita perlu bersyukur dan tertunduk kagum. Begitu dalamnya kasih Allah pada kita manusia, betapa tak terukurnya rencanaNya bagi kita. Melalui Perkawinan kita dibawa untuk memahami misteri kasih-Nya, dan mengambil bagian di dalam misteri itu. Di dalam Perkawinan kita belajar dari Kristus, untuk memberikan diri kita (self-giving) kepada orang lain, yaitu kepada pasangan kita dan anak-anak yang dipercayakan kepada kita. Dengan demikian, kita menemukan arti hidup kita, dan tak dapat dipungkiri, inilah yang disebut ‘kebahagiaan’, dan dalam ikatan kasih yang tulus dan total ini, masing-masing anggota keluarga menguduskan satu sama lain.

Jadi secara garis besar, sakramen perkawinan mempunyai tujuan untuk mempersatukan suami istri, menjadikan suami istri dapat mengambil bagian dalam karya penciptaan Allah, dan akhirnya dengan sakramen perkawinan ini suami dan istri dapat saling menguduskan, sampai kepada tujuan hidup yang sebenarnya, yaitu kebahagiaan sejati dalam Kerajaan Surga.

Syarat Perkawinan Katolik yang sah

Sebelum mencapai kebahagiaan perkawinan, perlulah kita ketahui beberapa syarat untuk menjadikan Perkawinan sebagai perjanjian yang sah, baru kemudian kita melihat apa yang menjadi ciri-cirinya.

Syarat pertama Perkawinan Katolik yang sah adalah perjanjian Perkawinan yang diikat oleh seorang pria dan wanita yang telah dibaptis, dan kesepakatan ini dibuat dengan bebas dan sukarela, dalam arti tidak ada paksaan, dan tidak dihalangi oleh hukum kodrat atau Gereja.[2] Kesepakatan kedua mempelai ini merupakan syarat mutlak untuk perjanjian Perkawinan; sebab jika kesepakatan ini tidak ada, maka tidak ada perkawinan. (KGK 1626) Kesepakatan di sini berarti tindakan manusiawi untuk saling menyerahkan diri dan menerima pasangan, dan kesepakatan ini harus bebas dari paksaan atau rasa takut yang hebat yang datang dari luar. (KGK 1628) Jika kebebasan ini tidak ada, maka perkawinan dikatakan tidak sah.

Syarat kedua adalah kesepakatan ini diajukan dan diterima oleh imam atau diakon yang bertugas atas nama Gereja untuk memimpin upacara Perkawinan dan untuk memberi berkat Gereja. Oleh karena kesatuan mempelai dengan Gereja ini, maka sakramen Perkawinan diadakan di dalam liturgi resmi Gereja, dan setelah diresmikan pasangan tersebut masuk ke dalam status Gereja, yang terikat dengan hak dan kewajiban suami istri dan terhadap anak-anak di dalam Gereja. Juga dalam peresmian Perkawinan, kehadiran para saksi adalah mutlak perlu. (KGK 1631)

Syarat ketiga adalah, mengingat pentingnya kesepakatan yang bebas dan bertanggung jawab, maka perjanjian Perawinan ini harus didahului oleh persiapan menjelang Perkawinan. (KGK 1632) Persiapan ini mencakup pengajaran tentang martabat kasih suami-istri, tentang peran masing-masing dan pelaksanaannya.

Beberapa syarat penting di atas, terutama syarat pertama, mendasari pihak Gereja menentukan suatu sah atau tidaknya perkawinan. Lebih lanjut tentang sah atau tidaknya perkawinan, pembatalan perkawinan (‘annulment‘) dan mengenai perkawinan campur (antara pasangan yang berbeda agama) akan dibahas pada artikel yang terpisah.

Ciri-ciri Perkawinan Katolik

Sebagai penggambaran persatuan ilahi antara Kristus dengan Gereja-Nya, Perkawinan Katolik mempunyai tiga ciri yang khas, yaitu (1) ikatan yang terus berlangsung seumur hidup, (2) ikatan monogami, yaitu satu suami, dan satu istri, dan (3) ikatan yang tidak terceraikan.[3] Sifat terakhir inilah yang menjadi ciri utama perkawinan Katolik. Di dalam ikatan Perkawinan ini, suami dan istri yang telah dibaptis menyatakan kesepakatan mereka, untuk saling memberi dan saling menerima, dan Allah sendiri memeteraikan kesepakatan ini. Perjanjian suami istri ini digabungkan dengan perjanjian Allah dengan manusia, dan karena itu cinta kasih suami istri diangkat ke dalam cinta kasih Ilahi. (KGK 1639) Atas dasar inilah, maka Perkawinan Katolik yang sudah diresmikan dan dilaksanakan tidak dapat diceraikan. Ikatan perkawinan yang diperoleh dari keputusan bebas suami istri, dan telah dilaksanakan, tidak dapat ditarik kembali. Gereja tidak berkuasa untuk mengubah penetapan kebijaksanaan Allah ini. (KGK 1640)

Karena janji penyertaan Allah ini, dari ikatan perkawinan tercurahlah juga berkat-berkat Tuhan yang juga menjadi persyaratan perkawinan, yaitu berkat untuk menjadikan perkawinan tak terceraikan, berkat kesetiaan untuk saling memberikan diri seutuhnya, dan berkat keterbukaan terhadap kesuburan akan kelahiran keturunan.[4] Kristus-lah sumber rahmat dan berkat ini. Yesus sendiri, melalui sakramen Perkawinan, menyambut pasangan suami istri. Ia tinggal bersama-sama mereka untuk memberi kekuatan di saat-saat yang sulit, untuk memanggul salib, bangun setelah jatuh, saling mengasihi dan mengampuni.

Maka, apa yang dianggap mustahil oleh dunia, yaitu setia seumur hidup kepada seorang manusia, menjadi mungkin di dalam Perkawinan yang mengikutsertakan Allah sebagai pemersatu. Ini merupakan kesaksian Kabar Gembira yang terpenting akan kasih Allah yang tetap kepada manusia, dan bahwa para suami dan istri mengambil bagian di dalam kasih ini. Betapa kita sendiri menyaksikan bahwa mereka yang mengandalkan Tuhan dalam perjuangan untuk saling setia di tengah kesulitan dan cobaan, sungguh menerima penyertaan dan pertolonganNya pada waktunya. Hanya kita patut bertanya, sudahkah kita mengandalkan Dia?

Sakramen Perkawinan menurut para Bapa Gereja

Ajaran para Bapa Gereja mendasari pengajaran Gereja tentang Perkawinan. Sejak jaman Kristen awal, Perkawinan merupakan gambaran dari kasih Kristus kepada GerejaNya, sehingga ia bersifat seumur hidup, monogami, dan tak terceraikan.

  1. The Shepherd of Hermas (80): Mengajarkan jika seorang suami mendapati istrinya berzinah, dan istrinya itu tidak bertobat, maka sang suami dapat berpisah dengan istrinya, namun suami itu tidak boleh menikah lagi. Jika ia menikah lagi, maka ia sendiri berzinah.”Lalu apakah yang dilakukan seorang suami, jika istrinya tetap dalam disposisi ini [perzinahan]? Biarlah ia [suaminya] menceraikan dia, dan biarlah suaminya tetap sendiri. Tetapi jika ia menceraikan istrinya lalu kawin dengan perempuan yang lain, ia juga berbuat zinah.” (The Shepherd of Hermas, 4:1:6)
  2. St. Ignatius dari Antiokhia (35-110), dalam suratnya kepada St. Polycarpus, mengajarkan kesetiaan antara suami istri, dan bahwa suami harus mengasihi istrinya seperti Tuhan Yesus mengasihi Gereja-Nya.[5] Perkawinan sebagai lambang persatuan antara Kristus dan Gereja ditekankan kembali oleh St. Leo Agung (440-461).
  3. St. Yustinus Martyr (151): “Yesus berkata begini: “Barangsiapa melihat dan menginginkan seorang wanita, ia telah berbuat zinah di dalam hatinya di hadapan Tuhan.” Dan, “Barangsiapa kawin dengan seseorang yang telah dicerikan suaminya, berbuat zinah.” Menurut Guru kita, seperti mereka yang berdosa karena perkawinan kedua…, demikianlah juga mereka berdosa karena melihat dengan nafsu kepada seorang wanita. Ia menentang bukan saja mereka yang telah berbuat zinah namun mereka yang ingin berbuat zinah; sebab bukan hanya perbuatan kita yang nyata bagi Tuhan tetapi bahkan pikiran kita (St. Justin Martyr, First Apology 15)
  4. St. Ignatius dari Antiokhia (35-110), dalam suratnya kepada St. Polycarpus, mengajarkan kesetiaan antara suami istri, dan bahwa suami harus mengasihi istrinya seperti Tuhan Yesus mengasihi Gereja-Nya.[6] Perkawinan sebagai lambang persatuan antara Kristus dan Gereja ditekankan kembali oleh St. Leo Agung (440-461).
  5. Tertullianus (155-222) mengajarkan bahwa perkawinan yang diberkati Tuhan dapat menjadi perkawinan yang berhasil, meskipun menghadapi kesulitan dan tantangan, sebab perkawinan tersebut telah menerima dukungan rahmat ilahi.[7] “Bagaimana saya mau melukiskan kebahagiaan Perkawinan, yang dipersatukan oleh Gereja, dikukuhkan dengan persembahan, dimeteraikan dengan berkat, diwartakan oleh para malaikat dan disahkan oleh Bapa?….” Pasangan itu mempunyai satu harapan, satu cara hidup, satu Mereka yang adalah anak-anak dari satu Bapa, dan satu Tuhan. Mereka tak terpisahkan dalam jiwa dan raga, sebab mereka menjadi satu daging dan satu roh.[8] Karena persatuan ini, maka seseorang tidak dapat menikah lagi selagi pasangan terdahulu masih hidup, sebab jika demikian ia berzinah.
  6. St. Klemens dari Aleksandria (150-216):
    Mengajarkan maksud ajaran Yesus pada ayat Mat 5:32, 19:9, “Setiap orang yang menceraikan istrinya kecuali karena zinah…” Zinah di sini artinya adalah perkawinan antara mereka yang sudah pernah menikah namun bercerai, padahal pasangannya yang terdahulu itu belum meninggal.[9] (Jadi, dalam hal ini, Yesus mengakui perkawinan yang pertama sebagai yang sah, dan perkawinan kedua itulah yang harusnya diceraikan agar pihak yang pernah menikah secara sah dapat kembali kepada pasangan terdahulu).”Maka bahwa Kitab Suci menasihati perkawinan, dan tidak pernah mengizinkan lepasnya ikatan tersebut, telah nyata dalam hukum: ‘Kamu tidak dapat menceraikan istrimu, kecuali karena alasan zinah.’ Dan dianggap sebagai perzinahan, perkawinan dari sebuah pasangan, di mana pihak yang diceraikan oleh salah satu dari pasangan itu, masih hidup. ‘Barangsiapa menceraikan istrinya, berbuat zinah,’ …; sebab ‘barangsiapa menceraikan istrinya, ia… memaksa istrinya itu untuk melakukan perzinahan. Tidak saja ia [suaminya yang terdahulu] yang menceraikannya menjadi sebab dari hal ini, tetapi juga ia [pria yang kemudian mengawininya] yang mengambil wanita itu, dengan memberikan kepadanya kesempatan untuk berbuat dosa; sebab jika ia tidak mengambilnya, wanita itu akan kembali kepada suaminya.’ (St. Clement of Alexandria, The Stromata 2:23)
  7. Athenagoras (133-190) dan Theophilus dari Antiokia(169-183), keduanya mengajarkan monogami, bahwa seseorang harus menikah hanya sekali, karena ini yang dikehendaki Allah yang pada awalnya telah menciptakan seorang pria dan seorang wanita, dan yang menciptakan persatuan daging dengan daging untuk membentuk bangsa umat manusia.[10]
  8. Origen (185-254) mengajarkan bahwa Tuhanlah yang mempersatukan sehingga suami dan istri bukan lagi dua melainkan ‘satu daging’. Pada mereka yang telah dipersatukan Allah terdapat ‘karunia’, sehingga Perkawinan menurut Sabda Tuhan adalah ‘karunia’, sama seperti kehidupan selibat adalah karunia.[11]“Seperti seorang wanita adalah pezinah, meskipun nampaknya ia menikah dengan seorang pria, sementara suaminya yang terdahulu masih hidup, maka pria itu yang sepertinya telah menikahi wanita yang telah bercerai itu, sesungguhnya tidak menikahinya, tetapi, menurut pernyataan Penyelamat kita, ia berbuat zinah dengan wanita itu.” (Origen, Commentaries on Matthew 14:24)
  9. Konsili Elvira (300):
    “Demikianlah para wanita yang telah meninggalkan suami mereka tanpa sebab sebelumnya, dan telah menyatukan diri dengan orang lain, tidak dapat menerima Komuni saat wafatnya” (Kanon 8)….”Dengan demikian, seorang wanita yang beriman, yang telah meninggalkan suami yang telah berbuat zinah, dan menikah dengan orang lain, maka perkawinan wanita yang sedemikian dilarang. Jika toh ia telah menikah, ia tidak dapat menerima Komuni, kecuali jika suami yang telah ditinggalkannya telah meninggal dunia.” (Kanon 9).
  10. St. Yohanes Krisostomus (347-407), menjelaskan bahwa di dalam ayat, “Apa yang telah dipersatukan Tuhan, janganlah diceraikan manusia” (Mat 19:6), artinya adalah bahwa seorang suami haruslah tinggal dengan istrinya selamanya, dan jangan meninggalkan atau memutuskan dia.[12]
  11. St. Ambrosius dari Milan (387- 389): “Tak seorangpun diizinkan untuk bersetubuh dengan seorang wanita, selain dengan istrinya sendiri. Hak perkawinan telah diberikan kepadamu untuk alasan ini; supaya kamu tidak jatuh ke dalam dosa dengan wanita asing. ‘Jika kamu terikat dengan seorang wanita, jangan bercerai; sebab kamu tidak diizinkan untuk menikah dengan orang lain, selagi istrimu masih hidup.” (St. Ambrosius, Abraham 1:7:59)”Dengarkanlah hukum Tuhan, yang bahkan mereka yang mengajarkannya harus juga mematuhinya: “Apa yang dipersatukan Allah, jangan diceraikan manusia” (Commentary on Luke 8:5)
  12. St. Hieronimus (396): “… Sepanjang suami masih hidup,… meskipun ia berzinah.. atau terikat kepada berbagai kejahatan, jika ia [sang istri] meninggalkannya karena perbuatan jahatnya, ia [suaminya itu] tetaplah adalah suaminya dan ia [sang istri] tidak dapat menikah dengan orang lain.” (St. Jerome, Letters 55:3).
  13. St. Paus Innocentius I (408): “Praktek ini dilakukan oleh semua: tentang seorang wanita, yang dianggap sebagai orang yang berbuat zinah jika ia menikah kedua kalinya sementara suaminya masih hidup, dan izin untuk melakukan penitensi tidak diberikan kepadanya sampai salah satu dari pria itu meninggal dunia.” (Pope Innocentius I, Letters 2:13:15).
  14. St. Agustinus (354-430), berkat Perkawinan adalah: keturunan, kesetiaan, ikatan sakramen. Ikatan sakramen ini sifatnya tetap selamanya, yang tidak dapat dihilangkan oleh perceraian atau zinah, maka harus dijaga oleh suami dan istri dengan sikap bahu-membahu dan dengan kemurnian.[13]“Seorang wanita tidak menjadi istri suami berikutnya, jika masih menjadi istri dari suami yang terdahulu. Ia tidak lagi menjadi istrinya, jika suaminya itu meninggal dunia, dan bukan jika ia [suaminya] berbuat zinah. Maka, seorang pasangan secara hukum boleh dilepaskan, pada kasus perzinahan, tetapi ikatan untuk tidak menikah lagi, tetap berlaku. Itulah mengapa, seorang laki-laki berbuat zinah, jika ia menikahi seorang wanita yang telah dilepaskan [oleh suaminya], justru karena alasan perzinahan ini.” (St. Augustine, Adulterous Marriages 2:4:4)”Tak diragukan lagi hakekat perkawinan adalah ikatan ini, sehingga ketika seorang laki-laki dan perempuan telah dipersatukan dalam perkawinan, mereka harus tetap tidak terpisahkan sepanjang hidup mereka, atau tidak boleh bagi salah satu pihak dipisahkan dari yang lain, kecuali karena alasan perzinahan. Sebab ini dilestarikan dalam kasus Kristus dan Gereja…, sehingga tidak ada perceraian, tidak ada perpisahan selamanya.” (St. Augustine, (Marriage and Concupiscence 1:10:11)

Kesimpulan

Sejak awal mula Allah menghendaki persatuan antara pria dan wanita, yang diwujudkan secara mendalam di dalam Perkawinan. Perkawinan ini dimaksudkan Allah untuk menggambarkan kasih-Nya, yaitu kasih dalam kehidupan-Nya sendiri sebagai Allah Tritunggal, dan kasih-Nya kepada manusia yang tak pernah berubah. Keluhuran Perkawinan juga dinyatakan oleh Kristus, yang mengangkat nilai Perkawinan dengan menjadikannya gambaran akan kasih-Nya kepada Gereja-Nya. Karena itu Perkawinan Katolik bersifat tetap seumur hidup, setia, monogami, dan terbuka terhadap kelahiran baru. Dengan memiliki ciri-ciri yang demikian, Perkawinan merupakan ‘sakramen’, yaitu tanda kehadiran Allah di dunia, sebab sesungguhnya Allah menggabungkan kasih suami istri dengan kasihNya sendiri kepada umat manusia. Jadi tepat jika dikatakan bahwa sakramen Perkawinan melibatkan tiga pihak, yaitu, suami, istri dan di atas segalanya, Kristus sendiri. “Marriage takes three to make a go… and when Christ is at the center, it will prevail until the end, and even now on earth, receive a foretaste of the wedding feast of the Lamb!”

 

[1] Lihat The Roman Catechism (Catechism of Trent), Part 2, The Sacrament, Matrimony, The Definition of Matrimony.

[2] Lihat KGK 1625. Hukum kodrat atau ketetapan Gereja yang dapat menghalangi perkawinan misalnya adalah perkawinan antar saudara kandung, perkawinan anak-anak dibawah umur, ataupun perkawinan yang melibatkan satu atau keduanya masih terikat perkawinan yang sah dengan pasangan terdahulu.

[3] Lihat Catechism of Trent, Ibid., Marriage is Indissoluble by Divine Law, Unity of Marriage and Three Blessings of Marriage. Lihat juga KGK 1638, 1605, 1614, 1615, 1640, 1641, 1643, 1644, 1659

[4] Lihat Ibid., Three Blessings of Marriage. Lihat juga KGK 1641, 1642, 1644, 1646, 1648.

[5] Lihat St. Ignatius of Antioch, Letter to St. Polycarp, seperti dikutip oleh John Willis, S.J, The Teaching of the Church Fathers, (Ignatius Press, San Francisco, 2002, reprint 1966), p. 438

[6] Lihat St. Ignatius of Antioch, Letter to St. Polycarp, seperti dikutip oleh John Willis, S.J, The Teaching of the Church Fathers, (Ignatius Press, San Francisco, 2002, reprint 1966), p. 438

[7] Lihat Tertullian, To His Wife, Bk 2:7, seperti dikutip oleh John Willis, S.J., Ibid., p. 438

[8] Lihat Tertullian, ux 2,9, seperti dikutip KGK 1642.

[9] Lihat St. Clement of Alexandria, Christ the Educator, Bk. 2, Chap.23, seperti dikutip oleh John Willis, S.J, Ibid., p.442.

[10] Lihat Athenagoras, A Plea for Christian, Ch. 33, St Theohilus of Antioch, To Autolycus, Bk 3:15, seperti dikutip oleh John Willis, S.J, Ibid., p.445.

[11] Lihat Origen, Commentary on Mathew, Bk 14, Chap 16, seperti dikutip oleh John Willis, S.J., Ibid., p. 439.

[12] Lihat St. John Chrysostom, Homilies on St. Matthew, 62:1, seperti dikutip oleh John Willis, S.J., Ibid., p. 439.

[13] Lihat St. Augustine, On Marriage and Concupiscence, Bk 1, Ch. II, seperti dikutip oleh John Willis, S.J., Ibid., p. 438

4.1 7 votes
Article Rating
232 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
imanuel sumarwan
imanuel sumarwan
15 years ago

father,

bagaimana dengan seorang istri yg dapet suami suka memukul, mabuk dan sudah tidak bisa diperbaiki lagi?
bagaimana dgn suami yang mendapat seorang istri yg suka selingkuh dan suka bertualang dgn bergonta-ganti pasangan?
dan, pertanyaan saya yg terakhir, tapi ini butuh kejujuran dari bapa,, bagaimana cara bapa menahan nafsu/menyalurkan birahi bapa selama ini. (tolong bapa bicara jujur dan apa adanya)

Romo Wanta, Pr.
Reply to  imanuel sumarwan
15 years ago

Sdr Imanuel Yth Sebelum menjawab pertanyaan anda, saya bertanya pada anda, apakah ini persoalan orang lain atau yang anda alami sendiri lalu dalam hubungan dengan apa? Proses anulasi perkawinan atau apa? Tidak jelas. Tapi baik, secara akal sehat dan ilmiah, maka dikatakan bahwa seorang yang suka memukul, mabuk-mabuk dan suka selingkuh, gonta-ganti pasangan dapat dikategorikan ke dalam anomali (ketidakwajaran). Apalagi bagi mereka yang telah berkeluarga. Bila penyakit tsb yang dalam ilmu psikologi atau dalam kodeks disebut "natura psychica" telah diderita sebelum perkawinan, perkawinan tsb meskipun sudah berjalan lama dapat dianulir perkawinannya (bdk. kan. 1095 no.3). Jika anda memroses ke tribunal… Read more »

Caecilia
Caecilia
15 years ago

Salam dalam kasih Yesus, Puji dan syukur dengan adanya web ini yang secara tidak sengaja saya temukan sebagai “sarana” yang sangat saya butuhkan saat ini karena banyak pertanyaan2 seputar perkawinan katolik yang agak membingungkan buat saya yang awam, dan kalau ada orang non katolik yang bertanya kita hanya bisa menjawab: kayaknya…. karena kadang tidak yakin, takut salah info, dll. Beberapa pertanyaan yang ingin saya tanyakan: 1. Apakah ada buku panduan untuk awam sehubungan dengan perkawinan katolik, perkawinan campur, dispensasi, dll selain Kitab Hukum Kanonik? 2. Apakah ada buku/info yang menjelaskan tentang apa saja yang menyebabkan seorang katolik tidak boleh menerima… Read more »

Romo Wanta, Pr.
Reply to  Caecilia
15 years ago

Caecilia Yth Menjawab pertanyaan anda tentang buku hukum gereja tentang perkawinan campur dan lainnya ada di toko buku katolik seperti Obor, Dioma, Kanisius, dan Nusatama. silakan membeli buku perkawinan campur sangat banyak karanagan rama Piet Go, O.Carm, Rama Catur Raharso, Pr, dan rama lainnya. Perihal tanya jawab iman karangan rama Pietdyarto O’Carm dan bermacam buku tentang persiapan komuni silahkan membuka web.kanisius: http://www.kanisiusmedia.com. Perihal perkawinan katolik dengan kristen yang tanpa kanonik tidak sah maka perlu convalidatio. Setiap orang katolik wajib hukumnya mengikuti perkawinan kanonik terutama dalam hal ini forma canonica (depan Pastor dan 2 orang saksi). Dia tidak diekskomunikasi bagi yang… Read more »

Caecilia
Caecilia
Reply to  Romo Wanta, Pr.
15 years ago

Rm Wanta Yth

Terima kasih atas jawaban2nya, sangat membantu saya dalam belajar iman katolik secara lebih sungguh.

Syalom,

Caecilia

imel
imel
15 years ago

pagi romo, 12 des 2009 ini sy akan menikah, yang jadi pertanyaan saya bacaan ap yang sesuai dengan saat itu?terus terang saya bingung menentukan bacaannya..mohon bantuannya..trims

Imelda
Imelda
Reply to  Ingrid Listiati
14 years ago

Kebetulan nama saya juga Imel, tetapi akan menerima sakramen pernikahan tanggal 21 Nov 2009 :) Rekomendasi bacaan dari Alkitab yang ibu Ingrid berikan ini sangat membantu saya dan pasangan dalam menentukan bacaan mana yang akan kami tampilkan di buku misa.

Thx buat Imel & Bu Ingrid.

Tuhan selalu memberkati.

agung
agung
15 years ago

Mo…. saya mau curhat ni. say dah nikah selama 8 tahun. dah dikaruniai anak sekarang umur 5 thn. Ceritanya begini: Saya nikah thun 2001 dan dikaruniai anak tahun 2004. setelah anak saya lahir istri saya selingkuh dengan mantan pacar. Dari tahun 2004 dan ketahuan saya tahun 2006. waktu itu saya sebagai manusia tidak berbuat banyak. Marah tiada guna karena tidak bisa mengembalikan semuanya akhirnya saya memaafkan istri saya yg hampir tiap hari berduaan dengan mantan pacarnya itu. Padahal mantan pacarnya itu dah saya anggap saudara dan saya tidak pernah punya pikiran selingkuh. tanggal 22 november 2008 sang mantan pacar datang… Read more »

Romo Wanta, Pr.
Reply to  agung
15 years ago

Bapak Agung Yth, Pertama saya ikut prihatin dengan keadaan anda, dan semoga anda bisa tetap tabah menghadapi kehidupan ini. Kedua saya ingin mencoba memberikan jalan keluar persoalan yang anda hadapi. Saya ajukan pertanyaan kepada bapak Agung apakah anda masih mau tetap hidup bersama dalam keluarga katolik yang harmonis dengan istri anda? Jika ya, maka dimana sekarang istri anda bisa ditemui untuk diajak dialog tentu harus ada usaha dari pihak istri apakah mau rujuk berdamai dengan anda? Jika ya sama-sama mau, maka pertemuan dapat dilakukan. Pengandaian saya bahwa istri anda sudah tidak lagi diganggu oleh mantan pacarnya, artinya dia hidup dengan… Read more »

semang
semang
15 years ago

Shalom Father wanta dan Ingrid, 1.Saya sangat seronok membaca artikel dan soal jawab khasnya diskusi anda dengan Tormento dan ia memberi pengalaman dan pengetahuan baru untuk saya(saya bujangan sebenarnya).Bila membaca artikel serta soal jawap ini khasnya diskusi anda dengan Tormento akhirnya saya membuat satu kesimpulan yang mudah bahawa betapa indahnya perkahwinan Katolik(biar pun saya belum melaluinya)tetapi dalam masa yang sama ia sedikit menghadirkan perasaan takut di jiwa ini untuk berkahwin.Saya takut bila mungkin perkahwinan saya gagal(dan tidak ada sebab untuk bersatu semula biar pun mungkin sudah melalui sesi kaunseling dan sebagainya) maka proses untuk membatalkannya melalui jalan yang maha panjang.… Read more »

Romo Wanta, Pr.
Reply to  semang
15 years ago

Semang Yth, Saya memahami betapa pedihnya perasaan cousinmu, dan sekarang harus menghadapi situasi baru. Peristiwa hidup perkawinan terjadi pada umumnya karena hal-hal kecil sampai besar, maka waspadailah persoalan dalam rumah tangga mulailah dengan mengatasi hal-hal kecil. Perkara cousin anda besar dan harus diatasi dengan usaha yang besar pula. Pertama Semang bisa membantu cousinmu membuat libellus dan ditujukan kepada Tribunal dimana anda bisa memohonnya (di luar Kuala lumpur juga bisa namun harus ada syarat dan alasannya lihat kan. 1673). Seandainya, kedua pihak yang digugat tidak mau datang dalam panggilan tribunal, namun proses perkara tetap berjalan. Ketiga, bila tidak ada dokumen perkawinan,… Read more »

semang
semang
Reply to  Romo Wanta, Pr.
15 years ago

Terima kasih Father di atas nasihatnya.

Andit
Andit
15 years ago

Romo. kira-kira 2 th lalu saya bertemu dg seorang pria. Singkat cerita, dari awalnya berteman, kami akhirnya saling dekat,cocok dan pacaran. Masa pacaran awal, memang saya belum dikenalkan ke keluarga/teman2nya. Awalnya saya pikir krn dia introvert. Tp kami makin saling cocok, sayang, cinta. Akhirnya kurang lebih 9 bulan kemudian, lama2 terungkap pengakuan bhw dia sudah pernah menikah secara Katolik sejak 10 th yang lalu. Saya cukup shock awalnya krn tidak pernah menduga. Tp saya dengarkan ceritanya. Rupanya dia punya masalah dalam perkawinannya : menurut pengakuannya sejak awal menikah istrinya tidak dpt berhubungan intim. Juga terungkap ternyata istrinya tergantung obat2an krn… Read more »

Romo Wanta, Pr.
Reply to  Andit
15 years ago

Ibu Andit Yth.   Saya mau menjawab langsung saja pertanyaan anda. 1) Pandangan Gereja Katolik ttg isteri yang tidak dapat menjalankan fungsinya. Sebelum perkawinan selalu diberikan instruksi ttg tugas dan kewajiban suami dan istri, orang tua pada anak, tujuan perkawinan dan sifat hakiki perkawinan, dll. Istri yang tidak mampu menjalankan hak dan kewajiban hakiki perkawinan merupakan ketidakmampuan yang menggagalkan sahnya perkawinan. 2) Setiap perkawinan diarahkan pada kelahiran dan pendidikan anak. Maka hubungan intim suami isteri adalah suatu hak bagi keduanya tentu secara manusiawi (bdk. kan 1055, 1057) Maka calon penganten yang hendak menikah harus tahu dan mempunyai akal budi yang… Read more »

Intan
Intan
15 years ago

Romo. Saya menikah karena alasan orang tua. Sebelum menikah saya menyadari bahwa saya tidak mencintai calon suami saya, dan sdah saya sampaikan ke ortu sya bbrapa hari mnjelang hari H. Tetapi karena saat itu keuangan keluarga sya sedang tidak baik dan saya tidak mau menambah masalah (kalau pihak saya membatalkan berarti keluarga sya hrus mengganti seluruh biaya yg sudah keluar), akhirnya saya terpaksa melanjutkan pernikahan saya. Dan memang ternyata pernikahan yg tidak dilandasi cinta membuat hidup saya tertekan. U melakukan hubungan suami istri pun saya tidak bisa, karena tubuh saya tidak bisa membohongi perasaan saya. Bagaimana pendapat romo ? apakah… Read more »

Romo Wanta, Pr.
Reply to  Intan
15 years ago

Intan Yth Perkawinan yang sedang berjalan diandaikan sah kecuali dapat dibuktikan bahwa perkawinan itu tidak sah. Memang perkawinanmu tidak didasarkan oleh cinta (menurut pengakuanmu) namun tanyakan pada suamimu apakan dia juga tidak mencintaimu? Kalau mencintaimu bagaimana reaksimu? Adakah Intan bersedia tetap mempertahankan perkawinanmu ini dengan dia kalau dia mencintaimu sungguh-sungguh dan luar biasa (misalnya). Mengapa saya anjurkan ini dan tidak tergesa-gesa untuk mengajukan pembatalan? Karena pembatalan adalah jalan terakhir dari pertikaian pihak-pihak yang menikah. Untuk itu, usaha untuk mempertahankan perkawinan menjadi pilihan utama. Coba renungkan dan jawab pertanyaan saya tadi. Kata orang cinta itu akan tumbuh oleh karena kesetiaan dan… Read more »

Agie
Agie
15 years ago

Kepada romo Wanta. Romo, saya sudah menikah selama 11 tahun dan dikarunia seorang anak. Sakramen perkawinan dilakukan di Malang dan sekarang saya berdomisili di Jakarta. Permasalahnnya Romo, Pernikahan kami berdasar keinginan orang tua, karena dijodohkan, jadi kami tidak pernah merasakan pacaran dan mengenal pribadi satu sama lain. Dan kami pun sebenarnya juga tidak saling cinta. Setelah menikah, ternyata suami tidak bertanggung jawab. Semua harus saya yang menanggung, walaupun keadaan saya saat itu pas pas an. Suami lebih banyak berfoya-foya. Bahkan jarang di rumah. Bisa dibilang sejak menikah dulu, kalau mau dihitung, dia tidak lebih dari 30 hari (1 bulan) berada… Read more »

Romo Wanta, Pr.
Reply to  Agie
15 years ago

Ibu Agie Yth
Saya setuju dengan pendapat ibu dan mendukung keputusan Ibu untuk mengajukan gugatan cerai di pengadilan sipil karena usaha untuk rujuk berdamai tidak bisa karena suami lari dari tanggungjawab pokok dalam keluarga. Perkawinan karena paksaan dan menimbulkan ketakutan (bdk. kan 1103) adalah tidak sah. Maka ibu bisa mengajukan pembatalan perkawinan di Tribunal Gereja keuskupan dimana ibu diteguhkan perkawinannya.
Tuhan memberkatimu
salam
Rm Wanta, Pr

Agie
Agie
Reply to  Romo Wanta, Pr.
15 years ago

Terima kasih banyak Romo, saya akan doakan semoga Romo tetap setia dalam panggilan. Tuhan memberkati

victoria
victoria
15 years ago

Yth. Romo Wanta,
Saya ingin bertanya, apabila seorang Kristen telah menikah dengan sesama Kristen juga, & mereka bercerai, apakah hal ini menjadi halangan pernikahan apabila salah satu dari mereka ingin menikah di Gereja Katolik dengan orang Katolik juga?

terima kasih atas jawaban Romo,

Vic

Romo Wanta, Pr.
Reply to  victoria
15 years ago

Vic yth,

Semua orang Katolik (sudah dibaptis) atau diterima di dalamnya dan menjadi anggota Gereja Katolik terikat oleh undang-undang yang semata-mata gerejawi (bdk. kan 11). Orang yang telah menikah beragama kristen dan pembaptisannya itu sah diakui Gereja Katolik terikat juga dengan undang-undang Gereja. Maka perkawinan orang-orang yang terbaptis (Kristen atau Katolik) adalah sah sakramental (tak terceraikan). Kalau dia bercerai dan menikah lagi dengan orang Katolik, terdapat halangan karena ikatan sebelumnya. Perkawinan yang sah dan sakramental apalagi kalau memiliki anak, akan memperteguh ikatan perkawinan yang tidak bisa terceraikan oleh siapapun.
semoga dapat dipahami.

salam
Rm Wanta/Pr

RL
RL
15 years ago

[dari admin: beberapa keterangan detil saya hapus.] Dear Pastor … Saya ingin tanya, hmmm … menyangkut situasi yang saya alami. Terus terang saya ga berani share ke orang-orang yang saya kenal, rasanya ga pernah siap aja untuk share …. Saya dan suami menikah tahun 2003, dua tahun kemudian kami bertengkar, dan akhirnya suami saya pada akhir tahun 2005 mengirimkan selembar surat diantar ke kantor menyatakan sudah diputus cerai, sejak panggilan ketiga, suami saya pergi dari rumah kontrakan. Sejak itu saya hidup sendiri, kebetulan kami belum dikarunai anak, dan akhirnya saya memutuskan untuk pindah tempat tinggal. Tahun 2006, saya dan keluarga… Read more »

Romo Wanta, Pr.
Reply to  RL
15 years ago

RL Yth, Membaca cerita perkawinanmu, saya bisa memahami keadaanmu. Beginilah hidup perlu disikapi dengan perjuangan iman yang tangguh dan kokoh tak tergoyangkan. Sayang bahwa suamimu cepat sekali mengambil keputusan cerai dan menikah yang saya tidak tahu apakah dilakukannya tanpa disertai usaha untuk rujuk, seperti: mencari pastor atau pasutri yang bisa memberi jalan keluar pertengkaran yang dulu terjadi. Tapi semuanya sudah terjadi dan berjalan, maka kita lihat ke depan. Luci masih tetap beriman Katolik dan itu bagus, sekarang datanglah ke Keuskupan Bandung (kalau dulu bersama dengan suami tinggal di Bandung)dan mohon untuk bertemu dengan Romo di Tribunal. Kemukakan semua permasalahannya dan… Read more »

RL
RL
Reply to  Romo Wanta, Pr.
15 years ago

Terima kasih banyak atas tanggapan Pastor … Membaca jawaban Pastor, berbagai perasaan berkecamuk dan saya mengeluarkan air mata (saya memang gampang banget nangis). Setiap kali membahas hal yang satu ini, saya selalu tidak bisa menahan diri, itu sebabnya saya berusaha untuk tidak banyak membicarakannya. Beberapa hari ini saya coba merenung dan berusaha mendengarkan suara Tuhan kepada saya lewat peristiwa-peristiwa di sekitar saya. Saya merasa belum siap untuk menceritakan segala hal dengan rinci, masih sakit aja rasanya. (saya menduga bahwa saya akan diminta untuk menceritakan semua hal, dan saya tidak ingin menjelekkan suami dengan menceritakan peristiwa yang terjadi), tapi mengingat masa… Read more »

Romo Wanta, Pr.
Reply to  RL
15 years ago

RL Yth.

Baik kapan saja anda mengalami kesulitan dan memulai memroses ke tribunal kirim lewat Stef atau Ingrid di katolisitas.org nanti saya jawab. Kita harus bangkit dari keterpurukan hidup dan seperti Yesus meskipun jatuh beberapa kali tapi Dia tetap bangkit berjalan kembali memanggul salib sampai kematianNya di Golgota. Lama proses pada umumnya 1-2 tahun tergantung dari romo Hakim tribunal yang mengerjakannya. Demikian jawaban saya.
Semoga bermanfaat.

Tuhan memberkatimu
Rm Wanta, Pr

irda
irda
15 years ago

Romo, Saya sudah cerai resmi pengadilan 2 th,sebelumnya sudah pisah rumah 4th.Bercerai bukan keinginan saya,tp keinginan mantan suami.Saya dgn terpaksa setuju bercerai setelah melalui 2kali gugatan di pengadilan th 2004 gugatannya tdk dikabulkan oleh pengadilan.Th 2006 dia ajukan gugatan lg akhirnya diputus cerai oleh pengadilan.Waktu itu sudah pernah ajak konsultasi ke gereja,tp mantan sama sekali tidak mau karena tetap mau bercerai.Bgmn status perkawinan kami secara gereja??sedangkan mantan sudah menikah lg.Apakah saya bisa mengajukan pembatalan nikah?Krn saya jg ingin melanjutkan kehidupan saya,dgn mencari pasangan hidup yg baru.Jk perkawinan kami tdk dpt dibatalkan..Bgmn caranya saya akan menikah kembali,tnp meninggalkan iman Katolik saya????Mohon… Read more »

Romo Wanta, Pr.
Reply to  irda
15 years ago

Saudari Irda: Anda memiliki hak untuk hidup dalam perkawinan yang baik, apa yang anda alami bukan kesalahanmu, karena ditinggal pergi oleh pasanganmu. Usaha baikmu menjadi bekal untuk memulai hidup baru, jika ternyata nanti permohonan Anulasi dikabulkan pihak Tribunal. Karena itu, gunakan proses keadilan dalam Gereja melalui Tribunal perkawinan dimana anda diteguhkan perkawinanmu. Buatlah libellus surat permohonan pembatalan dan baik kalau minta pendampingan seorang romo atau awam yang biasa menjadi pendamping masalah perkawinan gereja. Status perkawinanmu tetap eksis hanya sekarang menjadi pisah ranjang, ikatan perkawinan tetap ada meski secara sipil telah cerai. Kuasa memutuskan ikatan perkawinan gerejani ada di pihak Uskup… Read more »

irda
irda
Reply to  Romo Wanta, Pr.
15 years ago

Romo,
Apakah ada kemungkinan permohonan anulasi saya ditolak.Krn dari berbagai informasi ,tdk mudah untuk membatalkan pernikahan katolik.Bisa saja ditolak.Kebetulan calon suami saya juga katolik yg bercerai.Adalah kekuatiran dan kebingungan bagi kami jika permohonan anulasi kami tidak dapat dikabulkan.Terima kasih Romo utk masukannya.GBU

Salam,
Irda

Romo Wanta, Pr.
Reply to  irda
15 years ago

Irda Yth, Permohonan anulasi perkawinan ke Tribunal merupakan hak anda untuk meminta keadilan di hadapan Gereja. Kemungkinan ditolak ada kalau memang tidak memenuhi syarat, tetapi pihak Tribunal tidak akan asal menolak. Kalau bukti nyata sebelum menikah dan selama pernikahan menunjukkan adanya ‘cacat’ dalam hal konsensus perkawinan, maka permohonan anulasi pasti diterima. Hanya jika cacat konsensus atau cacat perkawinan tidak ditemukan, maka permohonan anulasi dapat ditolak. Maka coba anda berkonsultasi ke Pastor yang anda kenal baik dan tahu di bidang ini. Ceritakan riwayat perkawinan anda kepadanya. Sebutkan hal-hal yang membuat perkawinanmu tidak sah (batal). Masih ada jalan dan Tuhan akan memberi… Read more »

irda
irda
Reply to  Romo Wanta, Pr.
15 years ago

Yth…Romo Wanta

Saya diberkati di gereja SP Maria Ratu Blok Q,kebayoran baru.Tetapi sekarang saya domisili di semarang.Apakah Romo ada referensi Romo yg tahu di bidang ini yang saya bisa konsultasi.Baik di semarang atau di Jakarta.Apakah pengajuan libellus pembatalan nikah harus di gereja tempat pemberkatan dilakukan??Maaf ya Romo,saya jadi banyak bertanya dgn Romo karena saya benar2 bingung dgn masalah ini.Terima Kasih.GBU

Salam,
Irda

Romo Wanta, Pr.
Reply to  irda
15 years ago

Irda Yth

Kasus anda dapat diajukan pertama di tempat anda diteguhkan yakni KAJ (Jakarta) kepada Tribunal KAJ RD Purbo Tamtomo Pr alamat Keuskupan KAJ Jln Katedral 5 Jkt. Kedua berdasarkan domisili, anda bisa menulis surat permohonan (libellus) ke KAS (Semarang) kepada Tribunal KAS RD. Rubiyatmoko Pr, alamat Seminari Tinggi Kentungan Ykt. Jadi untuk tahap awal, silakan untuk menghubungi pastor paroki anda di Semarang untuk mendapatkan alamat lengkap Rm. Rubiyatmoko. Dan kemudian, silakan untuk berkonsultasi dengan Romo Rubiyatmoko Pr.

Salam
Rm Wanta/pr

irda
irda
Reply to  Romo Wanta, Pr.
15 years ago

Yth,Romo Wanta

Terima kasih atas referensinya.Saya akan tindak lanjuti.Semoga kami bisa mendapat jalan keluar terbaik utk masalah yg kami hadapi.

Salam,

Irda

Cecilia
Cecilia
15 years ago

Salam Damai Tuhan Yesus Kristus Melalui situs ini saya ingin menyampaikan beberapa hal tentang pernikahan secara katolik..berkaitan dengan masalah yang saya alami: Saya menikah secara hukum islam dengan suami dari keluarga taat Katolik dan suami secara sadar untuk mengikuti iman saya tanpa ada paksaan atau apa dari saya pribadi,tapi walau begitu kedua ortu km tidak merestui pernikahan kami,dan kami melakukan pernikahan secara islam tsb tanpa restu dan disaksikan oleh ortu hanya kami berdua saja..2 Tahun kami menjalaninya dan pada akhirnya suami bilang kalau tidak bisa membohongi hati nuraninya sendiri untuk berpaling dari agamanya..dan iapun kembali aktif ke gereja setiap minggunya… Read more »

Romo Wanta, Pr.
Reply to  Cecilia
15 years ago

Saudari Cecilia, Pertama, karena sudah tidak bisa rujuk dan keinginan Cecil untuk mendapatkan kepastian status hukum, maka Cecil bisa menulis libellus [surat permohonan untuk mengajukan anulasi] untuk meminta anulasi perkawinan. [silakan menghubungi pastor paroki untuk mendapatkan keterangan mengenai hal ini] Kedua, Proses anulasi berjalan seperti biasa, dan itu bisa dilakukan dengan menyampaikan kepada Tribunal dimana dia diteguhkan perkawinannya atau dia berdomisili atau dimana saksi-saksi banyak tinggal (bdk. kan 1673), proses pasti memakan waktu sekitar 2 tahun. Libellus dibuat dalam surat singkat: nama dan identitas umum, sejarah perkawinan, bukti untuk anulasi, tandatangan pemohon, lampiran surat baptis, perkawinan, cerai sipil saksi-saksi minimal… Read more »

Paulina
Paulina
Reply to  Romo Wanta, Pr.
15 years ago

Romo Wanta yang baik, Saya bersyukur akhirnya menemukan tempat yang berbelas kasih dan kompeten dalam menjawab pertanyaan mengenai masalah pernikahan dalam iman Katolik. Saya anak sulung dari sebuah keluarga Katolik yang tinggal di Sidoarjo, Keuskupan Surabaya. Sudah lebih dari 20 tahun saya mencari jawaban bagi masalah perkawinan Ibu saya. Ibu saya menikah pada 1972 di paroki Mojokerto, dengan ayah saya yang sebelumnya baru dibaptis menjadi Katolik. Pernikahan mereka didasari cinta, walaupun pihak keluarga ibu kurang sreg. Memasuki usia pernikahan kedua, ayah saya mulai selingkuh sana-sini. Sejak anak kedua sampai keempat lahir, masalah perselingkuhan ayah saya silih berganti mendera pernikahan mereka.… Read more »

Romo Wanta, Pr.
Reply to  Paulina
15 years ago

Paulina Yth. Melihat keadaan ibu yang sudah usia senja maka kasusnya agar ibu tenang meminta ke Bapak Uskup untuk memohon surat berpisah namun ikatan perkawinan masih tetap ada (pisah ranjang) dengan mengajukan alasan yang anda ceritakan (bdk. kan 1151-1155). Maksudnya adalah tidak perlu pemutusan ikatan perkawinan (tribunal karena panjang dan lama lalu untuk apa, karena toh ibu tidak akan menikah lagi sudah lanjut usia, dengan demikian Ibu akan merasa tenang (semoga) sebagai seorang katolik. Ibu tetap bisa komuni dan beriman Katolik. Sementara Bapak (suami) harus mengerti dengan tindakan itu akan dijelaskan dalam surat dari Bapak Uskup. semoga Tuhan memberkatimu. Rm… Read more »

Ambrosia Tulit
Ambrosia Tulit
15 years ago

Salam Kristus, Sebelum saya bertanya saya mau cerita sedikit. Saudara saya menikah lagi atas kemauan istrinya setelah istrinya menderita kanker dan harus diangkat rahimnya dan tidak bisa memenuhi kewajiban biologis kepada suaminya. Mereka adalah keluarga katolik dan juga menikah secara katolik dan sudah memiliki 2 putra dan 2 putri. Sekitar 10 tahun yg lalu saudara saya menikah lagi setelah enam tahun istrinya diangkat rahimnya dan sekarang sudara saya memiliki seorang putra berumur 2,5 thn. Mereka menikah secara muslim karena jelas secara katolik tidak bisa. 10 tahun yg lalu istri keduanya memang beragam muslim tapi setahun setelah menikah istrinya lebih memilih… Read more »

Ambrosia Tulit
Ambrosia Tulit
Reply to  Ingrid Listiati
15 years ago

Terima kasih banyak ibu Inggrid atas jawabannya, hanya saya belum jelas apakah orang tua kandung dari anak ini tetap menjadi orang tua dalam surat baptisnya atau bagaimana?
Mohon penjelasan.

salam

Tormento
Tormento
15 years ago

Salam dalam Damai Kristus, Saya seorang yang sudah bercerai , karena mungkin ia tidak mencintai saya lagi. Kami berdua berasal dari keluarga Katolik dan telah menikah secara sakramental di satu paroki di jakarta barat. Pada awal perjumpaan kami hubungan cinta kami begitu indah dan sempurna…dan kami telah bertunangan pada saat ia masih duduk di kelas 3 SMU, tetapi setelah ia lulus SMU dan mulai kuliah di salah satu Akademi Sekretaris terkemuka, sikapnya mulai berubah, mungkin akibat salah memilih teman, dan kamipun mulai sering bertengkar, dan pertengkaran2 ini juga membuat hati kami menjadi hambar, tetapi sampai juga pada pernikahan kami di… Read more »

Tormento
Tormento
Reply to  Ingrid Listiati
15 years ago

Terima kasih Bu Ingrid atas tanggapannya, tetapi kecuali kutipan Apostolik Exhortation, apa yang anda sampaikan kurang lebih sama seperti yang disampaikan romo kepada saya, beberapa memang memberikan “angin surga” kepada saya yang pada akhirnya gagal juga, bahkan bila berhasilpun… saya ragu sendiri apakah keberhasilan tersebut adalah sah menurut gereja Bu, saya teringat pada satu film yang pernah saya tonton (lupa judulnya), dikisahkan pada film yang berseting pada awal pembentukan koloni inggris di benua baru amerika. seorang istri yang ditinggal suaminya berperang melawan perancis, lalu dikabarkan suaminya telah gugur dalam pertempuran sehingga ia harus hidup menjanda…. Kebetulan pada koloni tersebut datang… Read more »

Christianto
Christianto
15 years ago

Yth Katolisitas,

saya ada pertanyaan lagi, di pengumuman perkawinan ditulis akan saling menerimakan sakramen perkawinan untuk yg sama2 katolik, ini beda tidak dengan saling memberi hosti dalam komuni misa perkawinan? (dan sebetulnya saling memberi hosti dalam komuni misa perkawinan itu diperbolehkan tidak?)

Terima kasih.

Tuhan memberkati

Chriss
Chriss
15 years ago

Saya ingin bertanya, dalam Sakramen Perkawinan seringkali ada Sakramen Perkawinan tanpa konsekrasi dan menggunakan konsekrasi (rangkaian dari Prefasi sampai Doa Syukur Agung dan berlanjut sesuai TPE). Hal-hal apa yang dapat menjadi pertimbangan pemberkatan yang ini menggunakan dan tidak menggunakan hal tersebut? Ada juga Romo yang hanya memberikan komuni kepada pasangan yang menikah tidak dibagikan ke umat yang hadir.

Ingrid Listiati
Reply to  Chriss
15 years ago

Shalom Chriss, 1) Di dalam Sacrosanctum Concillium, 78, Konstitusi tentang Liturgi Suci, Vatikan II, dikatakan: "Pada umumnya upacara perkawinan hendaknya dilangsungkan dalam Misa suci, sesudah pembacaan Injil dan Homili, sebelum Doa Umat. Doa atas mempelai wanita hendaknya, dipugar dengan baik, sehingga mencantumkan dengan jelas bahwa kedua mempelai sama-sama mempunyai kewajiban untuk saling setia. Doa itu dapat diucapkan dalam bahasa pribumi. Tetapi bila Sakramen Perkawinan dirayakan tanpa Misa, hendaknya pada awal upacara dibacakan Epistola dan Injil Misa untuk mempelai, dan berkat mempelai hendaknya selalu diberikan." Jadi, kita mengetahui bahwa terdapat dua cara pemberkatan sakramen Perkawinan, yaitu di dalam Misa, atau di… Read more »

Chris
Reply to  Ingrid Listiati
15 years ago

Terima kasih atas penjelasan ibu Ingrid Listiati yang begitu lengkap. Katolisitas benar2 menambah pengetahuan saya mengenai iman Katolik.

Tuhan memberkati

Petrus
Petrus
15 years ago

saya dilahirkan sebagai seorang katholik yang telah menikah, namun saya menerima pemberkatan perkawinan di gereja protestan. Setelah pernikahan saya sempat beberapa kali menerima hosti dalam komuni, sampai suatu saat istri saya berkata bahwa, menurut teman istri saya yang seorang katholik, seharusnya saya tidak diperkenankan menerima hosti. Kemudian saya juga pernah membaca buku secara sepintas, memang saya tidak diperkenankan menerima komuni, menurut buku tersebut. Semenjak saat itu saya tidak pernah menerima hosti, namun setiap minggu saya selalu mengikui misa. Istri saya pernah menyatakan kesediaan untuk masuk ke katholik, namun masih terkendala faktor orangtua dia yang pemeluk protestan yang kuat. Saya ingin… Read more »

Agus
Agus
15 years ago

Saya melihat Pasangan yang pernikahannya disahkan dengan Sakramen Perkawinan di Gereja Katolik, dan setelah beberapa tahun terlihat banyak sekali pertengkaran dan penyiksaan lahir batin untuk kedua belah pihak, dimana menurut pikiran saya sebaiknya mereka bercerai saja daripada bikin sakit hati, karena tampaknya sudah tidak ada cinta lagi dan malahan sang istri sudah selingkuh. Pihak orangtua sudah mendesak mereka untuk bercerai saja (mereka bukan Katolik). Ada seorang teman, katanya kalau kondisi perkawinannya sudah parah, pasangan dapat meminta dispensasi untuk memintakan perceraian kepada Bapak Paus di Vatikan? apakah ini benar dan pernah diberikan oleh Bapak Paus? Kalau tidak benar, apa yang dapat… Read more »

kristina
kristina
Reply to  Ingrid Listiati
15 years ago

Mengenai Can 1153 dan Can 1152 saya ingin atau mohon penjelasan untuk kasus saya ini: – saya telah bercerai secara sipil karena suami saya melakukan penyiksaan secara psikis dan fisik juga ingkar janji tidak mau menerima anak saya dari perkawinan I saya (suami saya atau bapaknya anak2 tlh meninggal)Akhirnya saya kembali kerumah saya sendiri sudah 1 tahun ini. apakah cukup begini saja atau saya harus mempunyai ijin dari gereja juga utk hidup terpisah.Sampai saat ini saya masih hidup sendiri. Tks.

kristina
kristina
Reply to  Ingrid Listiati
15 years ago

Tks atas jawabannya. saya sudah menghubungi pastor paroki tapi sampai selama ini saya tidak mendpt surat ijin utk tinggal terpisah hanya diberi nasrhat untuk hidup”sendiri” bersama anak2 saya.saya juga sudah menghadap pastor yang memberkati perkawinan II saya sebelum keputusan pengadilan negri memutuskan cerai. Anehnya beliau no comment mungkin gak enak dgn suami saya yang [edit dari admin: suami saya yang mungkin dikenal oleh pastor].Karena anak2 saya merasa terhina ibunya disakiti fisik dan psikis maka mereka bersikukuh utk memisahkan kami.Lucunya mantan suami II saya ini malah merasa saya yang salah dan dia marah besar karena gugatan cerai saya. Dia bercerita yang… Read more »

kristina
kristina
Reply to  Ingrid Listiati
15 years ago

Banyak Terimakasih atas balasan dan perhatian Ibu Inggrid atas kasus saya ini, membuat saya tenang dan juga terharu semoga ibu juga diberkati dan sukses dalam studi

Agus
Agus
15 years ago

Seperti kita ketahui perkawinan sesama jenis kelamin disahkan oleh pemerintah di beberapa negara. Apakah di Kitab Suci ada ayat yang melarang tentang hal tsb? jika ya dimana? Jika tidak ada, mengapa tidak ada? Dan apakah Tuhan melarang perkawinan tsb? Bagaimana Gereja memandang fenomena ini? Apakah menjadi gay or lesbi adalah dosa? Bagaimana dengan pandangan dari agama yang lain seperti Islam, Budha dan Hindu? Maafkan pertanyaan yang bertubi2 ini, karena saya bingung dengan hal hal tersebut.

Julius Santoso
Julius Santoso
15 years ago

Indah dan dalamnya makna sakramen perkawinan Katolik. Baru inilah saya menemukan arti yang sebenarnya maksud ajaran Yesus pada ayat Mat 5:32, 19:9, “Setiap orang yang menceraikan istrinya kecuali karena zinah…”. yang tadinya saya berpendapat bahwa apabila suami atau istrinya berbuat zinah maka dengan alasan tersebut dapat cerai.Padahal ajaran Yesus perceraian jelas-2 dilarang. Setelah membaca ajaran Gereja yang dijelaskan oleh St. Clemens dari Alexandria (150-216) Zinah di sini artinya bahwa perkawinan antara mereka yang sudah pernah menikah namun bercerai, padahal pasangannya yang terdahulu itu belum meninggal.Jadi, dalam hal ini, Yesus mengakui perkawinan yang pertama sebagai yang sah, dan perkawinan kedua itulah… Read more »

1 2 3 5
Romo pembimbing: Rm. Prof. DR. B.S. Mardiatmadja SJ. | Bidang Hukum Gereja dan Perkawinan : RD. Dr. D. Gusti Bagus Kusumawanta, Pr. | Bidang Sakramen dan Liturgi: Rm. Dr. Bernardus Boli Ujan, SVD | Bidang OMK: Rm. Yohanes Dwi Harsanto, Pr. | Bidang Keluarga : Rm. Dr. Bernardinus Realino Agung Prihartana, MSF, Maria Brownell, M.T.S. | Pembimbing teologis: Dr. Lawrence Feingold, S.T.D. | Pembimbing bidang Kitab Suci: Dr. David J. Twellman, D.Min.,Th.M.| Bidang Spiritualitas: Romo Alfonsus Widhiwiryawan, SX. STL | Bidang Pelayanan: Romo Felix Supranto, SS.CC |Staf Tetap dan Penulis: Caecilia Triastuti | Bidang Sistematik Teologi & Penanggung jawab: Stefanus Tay, M.T.S dan Ingrid Listiati Tay, M.T.S.
top
@Copyright katolisitas - 2008-2018 All rights reserved. Silakan memakai material yang ada di website ini, tapi harus mencantumkan "www.katolisitas.org", kecuali pemakaian dokumen Gereja. Tidak diperkenankan untuk memperbanyak sebagian atau seluruh tulisan dari website ini untuk kepentingan komersial Katolisitas.org adalah karya kerasulan yang berfokus dalam bidang evangelisasi dan katekese, yang memaparkan ajaran Gereja Katolik berdasarkan Kitab Suci, Tradisi Suci dan Magisterium Gereja. Situs ini dimulai tanggal 31 Mei 2008, pesta Bunda Maria mengunjungi Elizabeth. Semoga situs katolisitas dapat menyampaikan kabar gembira Kristus.