Pendahuluan
Pada artikel “Indah dan Dalamnya Makna Sakramen Perkawinan Katolik” telah dijabarkan tentang dasar Alkitabiah dan beberapa tulisan para Bapa Gereja yang mendasari pengajaran Gereja tentang Sakramen Perkawinan. Selanjutnya, mari kita lihat surat ensiklik Paus Paulus VI yang paling terkenal: Humanae Vitae (HV) yang dikeluarkan tahun 1968, tentang Pengaturan Kelahiran yang berdasarkan atas keluhuran makna Sakramen Perkawinan. Kekurang-pahaman akan makna luhur Perkawinan dalam kaitannya dengan rencana Allah untuk tujuan akhir hidup manusia menyebabkan banyak orang menilai pengajaran Humanae vitae sebagai pengajaran yang sulit diterapkan. Namun jika dengan hati terbuka kita mau mendengarkan dan meresapkannya, kita akan bersyukur dan mengakui keindahan ajaran ini, yang ditujukan untuk kebahagiaan suami istri, yang dapat dialami di dunia ini sambil menantikan kepenuhannya di surga.
Makna luhur Sakramen Perkawinan sebagai latar belakang Humanae Vitae
Perkawinan memiliki arti luhur karena merupakan gambaran tujuan akhir hidup manusia yang adalah persatuan yang erat antara manusia dengan Tuhan dan sesama ((Lihat Lumen Gentium, Dokumen Vatikan II, Konstitusi Dogmatik tentang Gereja, 1)) Persatuan ini sungguh luhur dan tak terbayangkan oleh pemikiran kita. St. Yohanes Salib bahkan mengatakan, persatuan tersebut merupakan ‘perkawinan mistik’ dengan Allah. Kitab Suci sendiri menyatakan hal ini dengan Allah berkali-kali menyebutkan umat-Nya sebagai mempelai-Nya, yang diwujudkan dengan sempurna oleh Yesus yang telah menyerahkan diri kepada mempelai-Nya yaitu Gereja-Nya. Dengan melihat Yesus di kayu salib, kita melihat gambaran kasih Allah yang tak terbatas, yang sekaligus mengajarkan kepada kita jalan untuk mencapai kebahagiaan: yaitu dengan memberikan diri kita kepada Tuhan dan sesama. Dengan pemberian diri ini, kita mengambil bagian di dalam kasih Allah yang sejati, yang secara khusus terwujud di dalam hubungan suami istri. ((Juga dengan cara pandang demikian, kita semakin menghargai makna panggilan hidup membiara, karena kehidupan membiara merupakan gambaran pemberian diri yang total kepada Allah dan sesama.))
Oleh karena Sakramen Perkawinan adalah gambaran kasih Allah, maka kita dapat memahami betapa Allah menguduskan hubungan suami istri. Melalui hubungan ini manusia diingatkan bahwa tujuan akhir hidup manusia adalah keselamatan yang merupakan persatuan yang mendalam dengan Allah. Maka, hubungan suami istri yang merupakan ‘persiapan’ untuk persatuan yang sempurna dengan Allah itu merupakan tanda kehadiran Allah di dunia. Begitu dalamnya makna persatuan suami istri ini, sebab Allah hadir di dalamnya dengan Roh Kudus-Nya yang memberi hidup (lih. Yoh 6:63); dan sesuai dengan kehendakNya Ia dapat mengikutsertakan suami istri di dalam karya penciptaanNya mendatangkan suatu kehidupan baru. Maka hubungan suami istri menjadi cerminan kasih Allah yang total dan setia, atas misteri penciptaan dan keselamatan. Karena Allah-lah yang menjadi Sumber penciptaan dan keselamatan, maka sudah selayaknya manusia tunduk kepada kehendak Tuhan di dalam perwujudan hubungan suami istri, dan ya, termasuk di dalam pengaturan kelahiran, karena hal itu tidak terlepas dari hubungan tersebut.
Sekilas sejarah tentang Humanae Vitae
Gambaran kasih Allah dalam Perkawinan ini ternyata mendapat tantangan yang cukup besar dengan adanya penemuan alat-alat kontrasepsi, yang pada dasarnya ingin mengambil peran Allah dalam hal pengaturan kelahiran. Diperlukan kerendahan hati untuk mengakui, bahwa dengan mengambil kontrol ini, sesungguhnya manusia jaman sekarang bersikap seperti Adam dan Hawa, yang tidak mau mengikuti kehendak Tuhan, tetapi ingin mengikuti kehendak sendiri. Dengan demikian, manusia menolak salah satu karunia Allah yang terbesar dalam perkawinan, yaitu keikutsertaan mereka dalam misteri penciptaan kehidupan baru, yang dipercayakan Tuhan kepada mereka.
Sebenarnya sejak jaman abad awal sampai tahun 1930, semua Gereja baik non Katolik maupun Katolik selalu bersepakat bahwa kontrasepsi adalah perbuatan dosa. Namun pada tahun 1930, gereja Anglikan pertama kali menyetujui kontrasepsi. Dan gereja-gereja lain mulai mengubah posisi mereka, kecuali Gereja Katolik. Pada tahun yang sama Paus Pius XI mengeluarkan surat ensiklik Casti Connubii (=Tentang Perkawinan) yang pada prinsipnya menegaskan kembali pengajaran Gereja sejak awal, bahwa kontrasepsi adalah perbuatan yang salah. ((Casti Connubii menyatakan, “Tidak ada alasan betapapun besarnya, yang dapat dikemukakan yang melaluinya apapun yang pada dasarnya bertentangan dengan alam dapat sesuai dengan alam dan baik secara moral. Dengan demikian, karena hubungan suami istri ditujukan terutama oleh alam untuk menghasilkan keturunan, maka mereka yang dengan sengaja mengacaukan kekuatan dan maksud alam ini, berdosa melawan alam dan melakukan perbuatan yang memalukan dan pada dasarnya keji…. Pelaksanaan perkawinan yang sedemikian sehingga dengan sengaja mengacaukan kekuatan alam untuk mendatangkan kehidupan adalah suatu perbuatan yang menentang hukum Tuhan dan hukum alam, dan mereka yang terus menerus melakukan hal ini melakukan dosa yang berat.”)) Maka, seperti yang terlihat dalam survey, umat Katolik pada saat itu tetap berpegang pada pengajaran Gereja.
Keadaan berubah pada sekitar akhir tahun 1950-an sampai awal 60-an, saat pertama kali pil KB marak digunakan. Banyak orang berpikir, bahwa penggunaan pil ini kelihatannya secara moral dapat diterima, sebab tidak seperti alat KB lainnya, pil tidak memutuskan/ mengganggu hubungan seksual antara suami istri. Maka Paus Yohanes XXIII menunjuk enam orang Teolog yang bertugas untuk meneliti hal ini, untuk membantunya membuat keputusan. Setelah Paus Yohanes XXIII wafat, Paus Paulus VI melanjutkan tugas tersebut. Ia menambah jumlah anggota komite dengan melibatkan para ahli dari segala bidang terkait, termasuk beberapa pasangan suami istri. Mayoritas dari komite mengatakan bahwa Gereja harus mengubah ajarannya, dan hanya minoritas yang mengatakan bahwa Gereja tidak seharusnya mengubah, atau lebih tepatnya tidak dapat mengubah ajaran mengenai kontrasepsi, sebab hal itu berkaitan dengan hukum Tuhan. Apa yang dilarang oleh Tuhan tidak dapat diubah oleh seseorang, ataupun oleh Gereja.
Sebagian dari laporan kerja komite ini yang seharusnya hanya untuk diketahui oleh Paus Paulus VI- akhirnya bocor dan beredar ke kalangan luas. Mereka menyelesaikan laporan tersebut sekitar tahun 1967, yang tadinya diperkirakan akan dimasukkan oleh Paus ke dalam dokumen tentang pengajaran hal kontrasepsi. Pada saat itu banyak tulisan beredar, yang arahnya setuju dengan pemakaian kontrasepsi, sehingga berkembanglah harapan bahwa Gereja akan mengubah ajarannya. Maka, ketika Paus Paulus VI mengeluarkan surat ensiklik Humanae vitae pada bulan Juli 1968, yang isinya menentang pemakaian kontrasepsi, banyak orang tercengang, sebab hal itu sama sekali di luar dugaan!
Reaksi terkeras datang dari para Theolog seperti Fr. Robert Fuchs, Fr. Bernard Haering, Fr. Charles Curran, dan Fr. Karl Rahner. Sejak saat itu mulai banyak terdapat perbedaan-perbedaan pendapat antara para Teolog dengan ajaran Gereja dalam hal-hal seperti perceraian, masturbasi, homoseksualitas, dst. Namun demikian, Gereja tetap menegaskan kembali ajarannya sejak semula: bahwa praktek kontrasepsi adalah perbuatan dosa karena tidak sesuai dengan kehendak Tuhan, karena bertentangan dengan hakekat ‘pemberian diri (self-giving) yang total’ kepada pasangan. Terima kasih kepada Paus Yohanes Paulus II, yang kemudian secara jelas dan mendalam menjelaskan alasannya kenapa demikian, seperti yang dipaparkannya dalam Theology of the Body (=Teologi Tubuh). Sekilas mengenai Theology of the Body akan dibahas pada artikel terpisah.
Prinsip Pengajaran Humanae Vitae
Secara garis besar, Humanae Vitae (HV) menegaskan bahwa karena Perkawinan adalah institusi yang ditetapkan oleh Tuhan untuk mewujudkan rencana kasihNya, maka cara perwujudannya haruslah disesuaikan dengan kehendakNya. Tuhan berkehendak agar suami istri dapat saling membantu untuk mencapai kesempurnaan dan kebahagiaan, dan dapat bekerjasama dengan-Nya dalam mendatangkan kehidupan baru.
Gereja menyadari bahwa peran serta manusia dalam menurunkan kehidupan baru, merupakan sumber suka cita yang besar bagi suami istri, namun dapat juga disertai dengan kesulitan dan tantangan (HV 1). Misalnya, tantangan bagaimana menghidupi/ membesarkan keturunan, yang dalam skala negara akhirnya dapat menghasilkan kekuatiran apakah sumber alam dapat cukup mendukung manusia. Maka dalam hal ini negara ikut turun tangan mengatur kelahiran. Juga ada tuntutan lain, misalnya, para feminis, yang ingin membatasi jumlah anak atau tidak menginginkan anak, karena ingin mencapai jenjang karir yang sama dengan kaum pria. Di sini terlihat bahwa ada usaha untuk mengatur kelahiran berdasarkan akal dan kehendak manusia, dan ‘mencoret’ keterlibatan ritme biologis (HV 3), yang merupakan hukum alam yang sudah ditanamkan oleh Tuhan di dalam tubuh manusia. Singkatnya, manusia mau turut andil mengatur urusan penciptaan, bukannya bekerjasama dengan Tuhan Sang Pencipta.
Menyikapi hal ini, Paus mengingat mandat yang diberikan Kristus kepada Petrus dan para rasul sebelum Ia naik ke surga, yaitu untuk mengajar semua bangsa segala perintah-Nya (Yoh 21:15-17; Mat 28:18-20). Maka Paus selaku penerus Rasul Petrus, bertanggung jawab untuk mempertahankan kebenaran seluruh ajaran Tuhan, termasuk mengenai Perkawinan. Jika tidak demikian, berarti Paus melanggar perintah Yesus. Jadi, walaupun Paus mengakui kontribusi dari komite yang membuka wawasan akan kompleksitas masalah ini dan iapun berterimakasih kepada mereka, namun pada akhirnya, ia tetap mengumumkan kebenaran Tuhan tentang larangan kontrasepsi, berdasarkan atas mandat yang dipercayakan Kristus kepadanya (HV 6).
Untuk memahami pengaturan kelahiran, seseorang harus mempunyai gambaran yang total tentang manusia. Jadi, haruslah dilihat dimensi kerohanian dan kekekalan manusia, dan bukan hanya dimensi jasmani manusia di dunia (HV 7). Hubungan suami istri harus dilihat sebagai sesuatu yang luhur karena bersumber dari Allah Bapa. Bahkan oleh partisipasinya dalam penciptaan manusia baru, para suami di dunia dipanggil pula sebagai ‘bapa’. ((Justru panggilan ‘bapa’ ini mengandung tugas yang sangat penting untuk menghadirkan peran kebapakan (‘Fatherhood’) Tuhan di dunia. Dengan dasar ini, kita juga dapat lebih memahami peran yang dijalankan oleh para pastor, ‘romo’ dan Paus, yang juga menjadi ‘bapa rohani’ bagi kita.))
Allah menginginkan agar di dalam Perkawinan, suami dan istri saling memberikan diri secara total, agar mereka dapat saling menguduskan dan bekerjasama untuk mendatangkan kelahiran. Dengan demikian mereka dapat menjadi gambaran kasih Allah sendiri. Maka untuk kedua orang yang sudah dibaptis, Perkawinan merupakan sakramen tanda rahmat Allah, yang melambangkan persatuan Kristus dengan Gereja (HV 8).
Kasih antara suami istri dalam Perkawinan memiliki lima ciri, yaitu manusiawi (fisik dan spiritual), total, setia dan eksklusif/monogami, dan menghasilkan buah/ ‘fruitful‘ (HV 9). Kasih manusiawi suami istri yang dimaksud di sini tidak hanya berdasarkan naluri dan perasaan, tetapi atas perbuatan kehendak bebas yang ditujukan untuk terus bertahan di dalam suka duka sehingga suami istri dapat bertumbuh sempurna menjadi satu hati dan satu jiwa. Kasih semacam ini adalah total, yang tidak menahan sebagian, dan tidak melibatkan perhitungan untung rugi. Kasih ini tidak berdasarkan apa yang dapat ia terima dari pasangan, tetapi atas kebahagiaan untuk memperkaya pasangan dengan memberikan diri seutuhnya. Karena itu, kasih suami istri adalah kasih yang setia dan ekslusif, yaitu satu suami, satu istri. Tidak dapat dipungkiri, kesetiaan yang sedemikian dapat sulit diterapkan, namun selalu mungkin; luhur dan mulia, yang akhirnya menghantar pada kebahagiaan yang sejati. Yang terakhir, kasih suami istri harus ‘berbuah‘ (fruitful), yang artinya terbuka pada kelahiran anak-anak.
Penting di sini disebutkan juga bahwa suami istri perlu memahami pengertian Responsible Parenthood ((Responsible Parenthood yang dijabarkan di sini adalah menyangkut beberapa hal. Dalam hal biologis, berarti mengetahui dan menghormati fungsi-fungsi proses regenerasi ini, dengan mempelajari hukum biologis tubuh manusia untuk meneruskan keturunan. Dalam hal menyangkut naluri dan nafsu, responsible parenthood berarti penguasaan diri di mana akal dan kehendak dapat mengatasi dorongan nafsu. Dalam hal fisik, ekonomi, psikologi dan sosial, responsible parenthood ini dapat dinyatakan dengan kesediaan untuk menerima anak-anak yang dipercayakan Tuhan, atau dengan pengaturan yang alamiah untuk membatasi jumlah kelahiran jika itu sungguh diperlukan. Di atas semuanya itu, responsible parenthood melibatkan kesadaran akan ketentuan moral yang berasal dari Tuhan.)) yang pada prinsipnya melibatkan kesadaran akan ketentuan moral yang berasal dari Tuhan (HV 10). Jadi dalam hal meneruskan keturunan ini, pasangan tidak sepenuhnya mempunyai otonomi sesuai kehendak sendiri, melainkan mereka harus menyesuaikan diri dengan kehendak Tuhan. Ibaratnya, karena peran ‘pro-creation’ ini datang dari Tuhan, maka manusia yang menerima peran ini harus menggunakannya sesuai dengan kehendak Dia yang memberi.
Persatuan suami istri yang dapat mendatangkan kehidupan manusia dipandang Gereja sebagai sesuatu yang baik dan luhur, dan kesatuan ini tetap berlaku meskipun pasangan tidak dikaruniai keturunan, yang bukan disebabkan karena kesalahan mereka. Hal ini menunjukkan bahwa Tuhanlah yang berkuasa menentukan, dan bahwa tidak semua hubungan suami istri pasti menghasilkan keturunan. Dalam kebijaksanaan-Nya. Tuhan mengatur hukum alam dan ritme kesuburan yang membawa pemisahan pada kelahiran yang satu dengan yang lain (HV 11).
Dalam Perkawinan ini terdapat dua aspek yang tak terpisahkan, yaitu Union dan Procreation (HV 12), artinya, Perkawinan direncanakan Tuhan untuk mempersatukan suami dan istri, dan persatuan itu selayaknya harus terbuka bagi kelahiran kehidupan baru. Jadi, suami dan istri yang saling mengasihi dengan tulus harusnya bersedia untuk menjadi orang tua jika Tuhan mengaruniakan anak sebagai buah kasih mereka. Dalam hal ini, kesuburan dan anak harus dilihat sebagai berkat dari Tuhan (lih. Kej 1:28), dan bukannya kutuk yang harus dihilangkan.
Jika hubungan suami dan istri dilakukan demi memuaskan sebelah pihak, maka hal itu bukan merupakan tindakan kasih yang sejati. Juga tindakan yang mencegah sebagian atau seluruh bakal kehidupan baru merupakan tindakan yang bertentangan dengan kehendak Tuhan, termasuk di dalamnya sterilisasi ((Dewasa ini di Amerika Serikat, sterilisasi bahkan sudah semakin tidak populer, karena terlalu banyaknya kasus penunutan ke pihak produsen karena terlalu banyak menimbulkan efek samping.)) (HV 13, 14), karena hal tersebut menolak pro-creation dan menolak karunia Tuhan. Maka, yang diizinkan Gereja untuk mengatur kelahiran adalah perencanaan secara alamiah, yang melibatkan penguasaan diri dan pantang berkala dengan maksud mewujudkan kasih, perhatian dan kesetiaan timbal balik, sebagai bukti kasih sejati (HV 16). Namun demikian, Gereja tidak menganggap segala tindakan terapi sebagai ‘dosa’, dan pada kasus tertentu untuk menyembuhkan penyakit, Gereja memperbolehkan tindakan tersebut, asalkan tidak secara langsung dimaksudkan untuk mencelakakan janin (HV 15).
Cara KB alamiah bukanlah kontrasepsi, karena melalui cara ini suami dan istri mempergunakan kondisi alamiah dengan berpantang pada saat subur untuk menghindari kelahiran, dan bukannya merintangi kesuburan tubuh (HV 16). Walaupun ajaran ini sulit diterapkan, namun bukannya tidak mungkin; dan jika diterapkan, akan mendatangkan buah yang baik bagi suami istri dan komunitas. Kekerasan hati manusia untuk menolak ajaran ini hanya akan membuahkan kondisi negatif yang sudah ‘dinubuatkan’ oleh Paus Paulus VI, yaitu naiknya angka perceraian dan ketidaksetiaan dalam perkawinan, dan pemerosotan moral. Sebab dengan mental kontraseptif, sedikit demi sedikit suami cenderung menjadikan istri sebagai objek untuk pemuasan diri daripada menghormatinya sebagai pasangan yang terkasih. Lama kelamaan respek kepada istri akan hilang, dan suami akan menjadi kurang/ tidak peduli dengan kesehatan fisik dan mental istri (HV 17). Hal ini nyata sekali terjadi saat ini, misalnya saja di Amerika, dengan angka perceraian 50% pada pernikahan pertama, 67% pada pernikahan kedua, dan 74% pada pernikahan ketiga. ((Data diambil dari internet http://www.divorcerate.org/ menurut survey yang diadakan oleh Jennifer Baker dari the Forest Institute of Professional Psychology in Springfield, Missouri.)) Dan survey mengatakan hampir semua dari pasangan yang bercerai itu menggunakan kontrasepsi. Penggunaan alat kontrasepsi juga mengakibatkan pemerosotan moral generasi muda, sehingga lama kelamaan mereka tidak lagi menjunjung tinggi makna Perkawinan.
Untuk maksud melindungi Perkawinan inilah, Gereja mengajarkan pengaturan kelahiran dengan cara alamiah, dan bukan dengan kontrasepsi. Ajaran ini bertentangan dengan pendapat media dan dunia, namun Paus tetap mengajarkannya; dengan kesadaran akan konsekuensi bahwa Gereja, seperti Kristus, dapat dianggap sebagai ‘tanda pertentangan/ ‘sign of contradiction’ (HV 18). Hal ini bahkan menunjukkan ‘keaslian’ ajaran ini, yang mengakibatkan Gereja menjadi semakin serupa dengan Kristus yang mendirikannya. Pendapat dunia menghalalkan segala bentuk kenikmatan daging, sedangkan Tuhan mengajarkan kita untuk mengatasinya, dengan penguasaan diri. Dalam Perkawinan penguasaan diri dinyatakan oleh suami dan istri dengan menghilangkan rasa saling mementingkan diri sendiri -‘musuh’ dari cinta sejati- dan memperdalam rasa tanggung jawab (HV 21).
Selanjutnya, Paus Paulus VI memberikan seruan kepada pihak-pihak yang terkait agar memperhatikan dan mendukung ajaran ini. Seruan ini ditujukan kepada para penguasa/ pemerintah, cendekiawan, suami-istri, petugas medis, imam dan uskup (HV 23-30?). ((Kepada para pemerintah, Paus menyerukan agar mengusahakan solusi problem kependudukan, tanpa mengesampingkan penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan (HV 23). Kepada para cendekiawan, agar mereka terus mengembangkan penelitian untuk memberikan dasar yang pasti bagi pengaturan kelahiran berdasarkan pengamatan ritme natural, sehingga memungkinkan dibuatnya peraturan yang layak dalam hal pro-creation ini (HV 24). Kepada para suami istri, agar mereka memperkokoh panggilan hidup Kristiani yang mereka terima dalam Pembaptisan, dengan melakukan tugas panggilan hidup Perkawinan sampai pada kesempurnaannya, dan dengan demikian menjadi saksi Kristus yang hidup kepada dunia. Untuk itu, para suami dan istri dipanggil untuk menyandarkan diri kepada doa dan terutama pada Ekaristi (HV 25). Kepada para pasangan suami istri, agar mereka dapat membantu pasangan yang lain dan membagikan pengalaman mereka (HV 26). Kepada para medis, agar mendukung dengan solusi yang berdasarkan iman dan akal yang benar (HV 27). Kepada para imam, agar menjadi yang pertama dalam memberi contoh ketaatan kepada Magisterium, terutama karena terang Roh Kudus sendiri. Karena itu, para imam diminta untuk mengajarkan pasangan suami istri tentang kuasa doa, dan agar mereka menimba kekuatan di dalam sakramen Ekaristi dan Pengakuan dosa (HV 28). Dan kepada para uskup, agar mereka bekerjasama dengan para imam dan umat untuk menjaga Perkawinan dan menguduskannya, sehingga dapat dipenuhi oleh nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai Kristiani (HV 30).)) Khususnya para suami istri, Paus menyerukan agar mereka memperkokoh panggilan hidup Kristiani yang mereka terima dalam Pembaptisan, dengan melakukan tugas panggilan hidup Perkawinan sampai pada kesempurnaannya, dan dengan demikian menjadi saksi Kristus yang hidup kepada dunia. Untuk itu, para suami dan istri dipanggil untuk menyandarkan diri kepada doa dan terutama pada Ekaristi, dan Pengakuan dosa (HV 25, 28). Selanjutnya, kepada para imam, Paus menyerukan agar menjadi yang pertama dalam memberi contoh ketaatan kepada Magisterium, terutama karena terang Roh Kudus sendiri (HV 28). Dan kepada para uskup, agar mereka bekerjasama dengan para imam dan umat untuk menjaga Perkawinan dan menguduskannya, sehingga dapat dipenuhi oleh nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai Kristiani (HV 30).
Akhirnya, Paus mengingatkan kembali bahwa manusia tidak dapat hidup bahagia, tanpa menghormati hukum yang ditanamkan Tuhan di dalam dirinya. Hukum ini harus ditaati dengan pengertian dan kasih (HV 31).
Bagaimana sebaiknya menyikapi Humanae Vitae?
Banyak orang, termasuk kalangan umat Katolik sendiri, berpendapat bahwa pengajaran Humanae vitae merupakan ajaran yang mustahil diterapkan, karena sangat bertentangan dengan kondisi alamiah suami istri, dan membutuhkan pengorbanan yang sangat besar, terutama dari pihak suami. Bahkan kita pernah mendengar bahwa dalam urusan hubungan suami istri, sebaiknya diserahkan kepada yang bersangkutan, daripada mengikuti ajaran Gereja. Namun sesungguhnya, jika kita sungguh percaya bahwa Tuhan mengasihi kita, dan Ia melalui Gereja-Nya, mengajar demi kebahagiaan kita, pantaskah kita berkeras pada pendirian kita?
Mari kita renungkan ajaran Yesus, “Apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia (Mat 19:6)”. Allah telah mempersatukan suami dan istri melalui sakramen Perkawinan. Namun demikian, persatuan ini ‘diceraikan’ oleh pemakaian kontrasepsi. Karena dengan kontrasepsi, persatuan antara suami istri menjadi tidak menyeluruh, tidak tanpa syarat, dan tidak mengacu pada komitmen ‘for better for worse’. Pendek kata, kasih suami istri yang total dan tak bersyarat diwujudkan dengan tindakan yang tidak mencerminkan hal itu. Secara objektif hal yang seperti ini sesungguhnya dapat dikatakan sebagai ‘ketidakjujuran’, karena apa yang dikatakan tidak sesuai dengan apa yang dilakukan.
Setelah satu generasi berlalu dari tahun ensiklik itu dikeluarkan, kita melihat bukannya buah yang baik dari kontrasepsi, namun sebaliknya, buah yang memprihatinkan. Atau tepatnya, untuk jangka pendek mungkin tidak kelihatan jelas akibatnya, tetapi dengan berjalannya waktu, kita melihat jelas efek negatifnya. Contohnya, meningkatnya perceraian dan aborsi, seks bebas, kehamilan di luar nikah, masalah anak terkena narkoba karena retaknya keluarga, meningkatnya jumlah dan jenis penyakit wanita sebagai akibat penggunaan kontrasepsi, dll. Untuk hal-hal kemerosotan moral ini kita bahkan tidak perlu lagi melihat kepada data statistik, karena telah begitu jelas terlihat di dalam masyarakat kita, dan mungkin saja di dalam lingkaran sanak keluarga kita sendiri. Jika kita dengan rendah hati mau menerima perkataan Yesus, bahwa untuk mengetahui baik atau tidaknya pohon, kita melihat dari buahnya (lih. Mat 12:33), maka kita dapat menerima bahwa penerapan kontrasepsi bukanlah sesuatu yang baik. Jadi larangan kontrasepsi yang diajarkan oleh Gereja adalah pertama-tama demi menciptakan kebahagiaan suami istri dan melindungi Perkawinan itu sendiri.
Sebenarnya, seperti dikatakan oleh Janet Smith, ((Janet Smith adalah Associate Professor of Philosophy di Universitas Dallas, Amerika Serikat. Karangannya yang terkenal tentang Humanae vitae, A Generation Later dapat dilihat di internet, di http://www.goodmorals.org/smith6.htm)) Gereja tidak melarang kontrasepsi karena akibat-akibat buruk seperti yang dikatakan di atas. Namun karena pada dasarnya tindakan kontraseptif itu sendiri adalah ‘jahat/ evil‘, maka tak mengherankan jika membuahkan hal-hal yang buruk.
Kontrasepsi adalah tindakan dosa karena perbuatan tersebut bertentangan dengan akal, kebenaran, dan hati nurani yang benar. (KGK, 1849) Jika kita mau jujur, maka kita dapat melihat bahwa kontrasepsi, (1) melawan kehendak Tuhan yang telah memberi tugas untuk mengambil bagian dalam karya penciptaan-Nya, sebab sejak awal Allah menjadikan hubungan suami istri sebagai sesuatu yang sakral yang terbuka pada kemungkinan akan kelahiran ciptaan-Nya yang baru; (2) melawan tubuh karena memasukkan benda ataupun ‘racun’ yang merusak tubuh, dan (3) melawan hakekat hubungan kasih yang total antara suami istri. Singkatnya, kontrasepsi melawan hukum alam dan hukum Tuhan, yang juga berakibat merendahkan martabat manusia, karena manusia dibuat tunduk kepada nafsu, daripada berusaha menguasai diri dan mengalahkan nafsu tersebut.
Suatu permenungan adalah, pada saat pertama seseorang membeli alat kontrasepsi, adakah hatinya bergumul? Umumnya ya. Kenapa demikian? Karena suara hati mereka melarangnya. Dalam kasus ini, suara hati mereka yang ‘melarang’ adalah suara Tuhan, karena dalam hal ini Roh Kudus sebenarnya mendorong mereka untuk tidak melakukan dosa. Jika kemudian orang tersebut merasa ‘terbiasa’, hal ini disebabkan karena suara hatinya berangsur ‘tumpul’ karena pengaruh media dan dunia, seolah mengatakan, “semua orang melakukan hal ini, maka tentu hal ini tidak apa-apa…” Atau, jika seorang suami mengatakan dia mengasihi istrinya seperti mengasihi tubuhnya sendiri (seperti yang dikatakan Ef 5:28); maka dapatkah ia menganjurkan istri atau bahkan memaksa istri untuk menelan pil KB yang berpengaruh negatif terhadap kesehatan istri? Dr. Chris Kahlenborn menyimpulkan bahwa wanita yang mengkonsumsi pil KB dan pernah melakukan aborsi, mempunyai resiko yang tinggi untuk mengidap kanker payudara, hati dan leher rahim. ((Lih. Chris Kahlenborn, MD, Breast Cancer: Its Link to Abortion and the Birth Control Pill (Dayton, Ohio: One more Soul, 2000.))
Sekarang mari kita lihat kata ‘kontrasepsi‘ yang artinya ‘melawan permulaan’, dalam hal ini permulaan kehidupan. Jadi di sini terjadi pertentangan. Singkatnya, mereka yang berbuat mau melakukan tindakan, tetapi tidak mau menanggung akibatnya. Mereka yang katanya saling mencintai malah memakai alat kontrasepsi sebagai ‘proteksi’, atau mengenakan alat ‘pembunuh’ sperma, seolah-olah menghadapi ‘perang’. Bukankah jika kita renungkan, ini bertentangan dengan hakekat kasih yang saling memberi dan menerima seutuhnya?
Perlu kita ketahui beberapa cara kerja alat kontrasepsi yaitu pil/ terapi hormon. ((Lihat ulasan John F. Kippley, Understanding Humanae Vitae, yang dapat diakses di internet, http://www.nfpandmore.org/understandinghumanae.shtml , penjelasan n.15.)) Pertama, menekan ovulasi, sehingga fungsinya seperti sterilisasi sementara. Kedua, mempertebal dinding leher rahim/cervical mucus, sehingga menghambat aliran sperma. Ketiga, jika kedua hal di atas tak terbendung, maka langkah terakhir adalah mencegah melekatnya sel telur yang telah dibuahi ke dinding rahim, sehingga mahluk sangat kecil yang sudah berjiwa itu mati. Dalam hal ini, kontrasepsi bersifat abortif awal. Penolakan atas hadirnya bakal anak ini menjadi akibat dari sikap yang seolah mengatakan, “Aku mau memberikan seluruh diriku, kecuali kesuburanku.” Kesuburan dianggap sebagai penyakit sehingga perlu diobati, dan anak dianggap sebagai beban dan bukan sebagai berkat. Atau, “aku mau menikmati kesenanganku bersamamu, tapi aku tidak mau menaruh komitmen dengan kamu.” Padahal, kasih yang sejati selalu menghasilkan komitmen selamanya, dan kelahiran seorang bayi adalah salah satu yang mengakibatkan komitmen tersebut.
Solusi yang ditawarkan Gereja: KB Alamiah (Natural Family Planning)
Gereja tidak pernah mengajarkan, “Kalau begitu beranak-lah sebanyak-banyaknya…”; melainkan menganjurkan pengaturan kelahiran yang alamiah, jika pasangan suami istri memiliki alasan yang kuat untuk membatasi kelahiran anak. Pengaturan KB secara alamiah ini dilakukan antara lain dengan cara pantang berkala, yaitu tidak melakukan hubungan suami istri pada masa subur istri. Hal ini sesuai dengan pengajaran Alkitab, yaitu “Janganlah kamu saling menjauhi, kecuali dengan persetujuan bersama untuk sementara waktu, supaya kamu mendapat kesempatan untuk berdoa” (1Kor 7:5). Dengan demikian suami istri dapat hidup di dalam kekudusan dan menjaga kehormatan perkawinan dan tidak mencemarkan tempat tidur (lih. Ibr 13:4).
Dewasa ini pengaturan KB alamiah sudah semakin akurat, karena tidak hanya berdasarkan penghitungan kalender, tetapi berdasarkan tanda-tanda fisik wanita yang menyertai kesuburannya/ ketidaksuburannya, yang dikenal dengan Metoda Billing atau pengembangannya, yaitu Metoda Creighton. Data statistik menunjukkan metode KB alamiah yang sedemikian memiliki tingkat kesuksesan 99%, bahkan penelitian di Jerman tahun 2007 yang lalu mencapai 99.6%. Lebih lanjut mengenai KB Alamiah (Natural Family Planning) yang cukup akurat, yaitu Metoda Creighton, silakan klik di sini
Dengan menerapkan KB Alamiah, pasangan diharapkan untuk dapat lebih saling mengasihi dan memperhatikan. Pantang berkala pada masa subur istri dapat diisi dengan mewujudkan kasih dengan cara yang lebih sederhana dan bervariasi. Suami menjadi lebih mengenal istri dan peduli akan kesehatan istri. Latihan penguasaan diri ini dapat pula menghasilkan kebajikan lain seperti kesabaran, kesederhanaan, kelemah-lembutan, kebijaksanaan, dll yang semuanya baik untuk kekudusan suami istri. Istripun dapat merasa ia dikasihi dengan tulus, dan bukannya hanya dikasihi untuk maksud tertentu. Teladan kebajikan suami istri ini nantinya akan terpatri di dalam diri anak-anak, sehingga merekapun bertumbuh menjadi pribadi yang beriman dan berkembang dalam berbagai kebajikan.
Kesimpulan
Perkawinan Katolik mengandung makna yang sangat indah dan dalam, karena melaluinya Tuhan mengikutsertakan manusia untuk mengalami misteri kasih-Nya dan turut mewujudkan karyaNya dalam penciptaan kehidupan baru: yaitu janin yang memiliki jiwa yang kekal. Perkawinan merupakan sakramen, karena menjadi gambaran persatuan Kristus dan Gereja-Nya. Hanya dengan menyadari kedalaman arti Perkawinan ini, yaitu untuk maksud persatuan (union) suami istri dengan pemberian diri mereka secara total, dan turut sertanya mereka dalam karya penciptaan Tuhan (pro-creation), kita lebih dapat memahami pengajaran Gereja Katolik yang menolak aborsi, kontrasepsi dan sterilisasi. Karena semua praktek tersebut merupakan pelanggaran terhadap kehendak Tuhan dan martabat manusia, baik pasangan suami istri maupun janin keturunan mereka. Aborsi dan penggunaan alat-alat kontrasepsi merendahkan nilai luhur seksualitas manusia, dengan melihat wanita dan janin sebagai hanya seolah-olah ‘tubuh’ tanpa jiwa. Penggunaaan alat kontrasepsi menghalangi union suami istri secara penuh dan peranan mereka dalam pro-creation, sehingga kesucian persatuan perkawinan menjadi taruhannya. Betapa besar perbedaan cara pandang yang seperti ini dengan rencana awal Tuhan, yang menciptakan manusia menurut gambaran-Nya: manusia pria dan wanita sebagai mahluk spiritual yang mampu memberikan diri secara total, satu dengan lainnya, yang dapat mengambil bagian dalam karya penciptaan dan pengaturan dunia!
Tuhan memerintahkan untuk memenuhi bumi dengan beranak-cucu sebanyak mungkin. hubungan suami-isteri secara biologis yang telah diatur dalam tubuh manusia akan menghasilkan keturunan. usaha apapun yang menyebabkan pertemuan antara sperma dan sel telur menjadi gagal membentuk anak adalah tindakan abortus provokatus karena telah terjadi coitus yang akan mempertemukan sperma dan telur. – hormon oral menyebabkan sel telur menjadi mandul tak bisa dibuahi. – kontrasepsi lain menyebabkan sperma tidak bertemu dengan sel telur. karena itu jalan yang dapat ditempuh untuk mengatur kelahiran hanyalah berhubungan seks di luar waktu subur di mana telah terproduksi dalam tubuh wanita, sel telur yang siap dibuahi. yaitu… Read more »
Ya Tuhan.. terima kasih untuk kasihMu yg kau curahkan kepada GerejaMu melalui pengajaran2 Gereja Katolik, Humana Vitae sungguh benar ! ingin memberi kesaksian sedikit untuk pembelajaran bersama mengenai kondisi dalam keluarga saya : saya terlahir sebagai anak kedua dalam 3 bersaudara, semua wanita. Antara saya dan kakak terpaut usia 7 tahun, dan antara saya dengan adik terpaut usia 9 tahun (jadi, antara kakak dengan adik saya terpaut usia 16 tahun !). Anda mungkin sudah dapat menebak, ya. karena ayah dan ibu memakai kontrasepsi (T-T) yang kemungkinan waktu itu (bermaksud untuk menjaga kesejahteraan keluarga krn kondisi finansial keluarga belum mapan). ibu… Read more »
Shalom…
Istri saya seorang bidan, dan sebagai bidan salah satu tugas pokok istri saya adalah memberikan pelayanan KB kepada masyarakat, mulai dari suntik KB, pil KB, pemasangan implan dll. Berdosakah istri saya dalam hal ini? Terima kasih atas penjelasannya. Salam.
-Heri-
[dari Katolisitas: silakan membaca jawaban kami untuk pertanyaan yang serupa dengan pertanyaan Anda, klik di sini]
Pada 29 juni 1978, hari peringatan Santo Petrus dan Palus, Paus Paulus VI menyampaikan rangkuman selama masa kepausannya, dan pada saat sampai pada dokumen tentang Humanae Vitae, dia berhenti sejenak, dan berkata:
“humanae vitae! saya, tidak menghianati kebenaran..saya, tidak menghianati kebenaran..”.
kurang dari 2 bulan kemudian, Paus Paulus VI wafat.
sungguh indah, melihat seorang paus yang terus diterpa berbagai macam reaksi, tetap teguh, dan yakin akan kebenaran.
Terpujilah Tuhan!
Dear Bu Ingrid
Saya istri dari seorang pelaut dimana kepulangannya ke rumah hanya pada waktu-waktu tertentu dalam satu bulan bahkan tahun. Perlu ibu ketahui juga, suami saya pulang hanya beberapa hari saja di rumah. Setelah itu kembali berlayar. Saya percaya suami pasti menjaga kesucian perkawinan kami, namun yang menjadi ganjalan saya.. kasihan juga suami jika pada saat pulang kami tidak berhubungan karena saya sedang dalam masa subur. Sekalipun suami tidak menuntut, namun hati kecil saya tidak bisa menerima. Mohon pencerahan!
Syalom
Shalom Christina, Bersyukurlah, anda memiliki suami yang baik, yang memahami sepenuhnya makna perkawinan Katolik. Ya, memang mungkin berat bagi dia untuk menjaga kemurnian perkawinan, dengan keadaan tidak dapat bertemu anda selama berbulan- bulan. Pastilah Tuhan Yesus yang memberikan kekuatan dan rahmat kesetiaan kepadanya, sehingga ia mampu melaksanakan janji kesetiaan yang diucapkannya pada sakramen perkawinannya dengan anda. Adalah juga sesuatu yang patut dipuji bahwa pada saat ia bertemu dengan anda ia tidak menuntut untuk melakukan hubungan seksual dengan anda. Tentu ini juga melibatkan pengendalian diri yang baik dari pihak suami dan pengertiannya yang tulus untuk memahami keadaan anda sebagai istrinya, dalam… Read more »
Terima kasih Bu.. untuk pencerahannya.
Saya percaya ibu sudah sangat berhati-hati memberi jawaban, namun tetap saja ada kalimat yg menohok hati saya, yakni tentang perlunya saya mohon rahmat Tuhan, mengingat situasi dan kondisi keluarga kami yg tidak memunggkinkan selalu bertemu.
Lebih dari itu, dengan hati tulus saya sampaikan bahwa jawaban ibu sungguh menyentuh dan membuat saya harus introspeksi diri.
Sukses buat Bu Inggrid dan semoga berkat Tuhan senantiasa menyertai tim katolisitas.org
Syalom
Shalom Christina,
Saya mohon maaf jika jawaban saya terdengar ‘keras’ di telinga anda. Tetapi sungguh bukan maksud saya untuk ‘menohok’ anda. Sebab siapapun dalam kondisi seperti anda, memang akan dapat merasakan beratnya keadaan, dan karena itu perlu memohon rahmat Tuhan agar dapat menghadapinya dengan damai sejahtera dan suka cita. Ini hanya mungkin jika kita memperoleh kekuatan dari Tuhan.
Saya percaya, anda yang dengan tulus hati memohon kepada-Nya akan juga menerima pertolongan Tuhan pada waktunya dan akan melihat bahwa Tuhan akan menjadikan segala sesuatunya indah pada waktunya (lih. Pkh 3:11).
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
mw tanya..
Apakah berdosa tonton video porno dengan suami/istri sendiri?
Thanks
Shalom Horas,
Terima kasih atas pertanyaannya. Menonton video porno dengan suami/istri sendiri adalah berdosa. Hal ini disebabkan kita tidak menjaga kemurnian diri kita di dalam perkawinan. Dengan menonton video porno, maka sungguh sulit untuk menjaga kemurnian pikiran dan hati kita. Dan pada akhirnya kita tidak dapat mengasihi pasangan kita dengan sepenuh hati. Semoga penjelasan ini dapat diterima.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,stef – katolisitas.org
Salam para pengurus Katolisitas yang baik, saya masih blm mengerti sepenuhnya soal Humanae Vitae ini, ada pikiran2 kritis yang mungkin agak aneh tapi rasanya kl nggak ditanyakan, berasa ada yang ngganjel. Khan disebut soal dengan menggunakan kontrasepsi maka mengingkari janji perkawinan dengan keadaan membohongi pasangan karena nggak seluruh yg ia punya diberikan, kl kedua belah pihak setuju apa masih dibilang pembohongan ? Misal untuk kasus dimana keluarga miskin, anak udah 10, KB alamiah gagal terus… atau keadaan di mana istri abis caesar (dikasih full juga percuma malah membahayakan kesehatan) ini berarti secara maksud dah bisa dilegalkan, at least sekalipun dosa… Read more »
Shalom Anonymous, 1. Penggunaan alat kontrasepsi mengingkari janji perkawinan? Esensi “kebohongan” dalam hal penggunaan alat kontrasepsi tidak bersifat relatif, atau maksudnya asalkan suami dan istri sama- sama setuju dalam menggunakan alat kontrasepsi, berarti sudah tidak ada kebohongan. Yang ada dalam kondisi ini adalah baik suami dan istri setuju untuk melakukan tindakan yang “saling membohongi”, karena keduanya melakukan sesuatu yang tidak mencerminkan kasih yang total dan tak bersyarat. Maka “kebohongan” di sini sebenarnya bersifat obyektif, yaitu bahwa penggunaan alat kontrasepsi itu tidak sesuai dengan hakekat kasih suami istri yang ingin disampaikan, yaitu kasih yang total, tidak ada yang dibuang, tidak dihalangi,… Read more »
Saya pernah baca buku tentang Katolik yang isinya melarang orang Katolik menggunakan kontrasepsi tapi saya juga pernah baca majalah ‘HIDUP’ yang isinya mencabut larangan menggunakan kontrasepsi. Sebenarnya yang benar itu yang mana sih???
Shalom Antonio Tokan, Saya tidak mengetahui mengapa majalah Hidup, mengatakan bahwa ada pencabutan larangan penggunaan kontrasepsi, jika benar apa yang anda katakan itu. Silakan anda menyebutkan persisinya bagaimana pernyataannya, pada edisi kapan. Sepanjang pengetahuan saya peraturan Gereja dalam hal kontrasepsi tidak berubah. Silakan anda check di situs- situs Katolik lainnya yang setia kepada pengajaran Magisterium, baik yang berbahasa Indonesia maupun Inggris. Jadi yang benar tentu yang telah disebutkan dalam Humanae Vitae, dan bahkan yang baru-baru ini ditegaskan kembali oleh Bapa Paus Benediktus XVI dalam surat ensikliknya yang terbaru, Caritas in Veritate (Kasih dalam kebenaran), yang terjemahannya ada di situs ini:… Read more »
Shalom Antonio Tokan, Kebetulan saya pelanggan majalah tsb. Apakah yg anda maksud artikel di majalah HIDUP no. 32, 10 Agustus 2008 halaman 31 dg judul MELAWAN PENYEBARAN AIDS? Ya, isi artikel tersebut membingungkan, terjadi banyak kesalahan dan bisa menyesatkan pembaca (umat Katolik). Tampaknya kekeliruan pada proses penerjemahan (note: sumber dari bahasa asing, banyak ditemukan di internet) dan entah kenapa bisa lolos sampai proses percetakan padahal isinya begitu penting. Beberapa pembaca (termasuk saya) menanyakannya lewat surat pembaca. Majalah HIDUP telah memohon maaf atas kekeliruan tersebut dan meralat isinya pada edisi lain (saya lupa pada edisi berapa). Intinya, sikap gereja Katolik adalah… Read more »
Shalom, Ibu Inggrid yg baik,saya ingin bertanya mengenai berita yg sedang beredar tentang kelahiran seorang anak yang sangat aneh. ahir seorang bayi ajaib di Lampung Utara.. ******* Peristiwa lahirnya seorang bayi tanpa proses kehamilan normal yang dialami Bekti Wahyuningsih (21) warga Desa Kotanapal Kecamatan Bungamayang Lampung Utara (Lampura) beberapa waktu lalu, sampai kemarin (13/10) masih menjadi topik pembicaraan yang hangat dikalangan masyarakat Lampung Utara. Sebagian besar warga menilai, kelahiran bayi laki-laki dengan berat 2,6 Kg itu merupakan kejadian langkah, hanya membutuhkan proses waktu selama 3,5 jam. “ Proses kelahiran bayi laki-laki normal dalam waktu singkat ini benar-benar ajaib,” ucap Fitri… Read more »
Shalom Andry, Terus terang, kami tidak dapat memberi komentar lebih lanjut tentang berita ini, karena kami tidak tahu sampai di mana kebenaran data yang disampaikan. Yang dapat kami sampaikan adalah prinsip-prinsipnya saja, berdasarkan akal sehat dan pengetahuan yang diterima oleh umum. Kita mengetahui bahwa secara natural bahwa kehamilan terjadi karena pertemuan sel sperma dengan sel telur. Hal ini umumnya terjadi karena hubungan seksual antara seorang pria dan wanita. Walaupun terdapat juga kekecualian yaitu kehamilan terjadi tanpa hubungan seksual, seperti:1. Seorang wanita membuat dirinya hamil melalui inseminasi: sperma suaminya atau sperma donor disuntikkan ke sel telur, dan kehamilan terjadi di dalam… Read more »
Terima kasih banyak bu inggrid ataqs jawabannyaa. Atas jawabannya,akhirnya saya dapat mengerti hal ini. Iman saya mengatakan memang hanya Bunda Maria saja yang dikaruniai oleh Allah,dan dialah yg terpuji diantara wanita..
Syalom……….Tuhan memberkati Indonesia…….. Berikut ini saya mengutip sebuah kalimat dalam tulisan diatas : “Suatu permenungan adalah, pada saat pertama seseorang membeli alat kontrasepsi, adakah hatinya bergumul? Umumnya ya. Kenapa demikian? Karena suara hati mereka –yang adalah suara Tuhan- melarangnya.” Comment : Suara hati adalah bukan suara Tuhan karena suara Tuhan tidak dapat salah sedangkan suara hati bisa keliru. Karena suara hati dibentuk dari pemahaman manusia akan moralitas yg nantinya membentuk sistem keyakinannya sendiri yaitu sistem keyakinan BENAR atau SALAH. Pemahaman manusia ini dibatasi oleh banyak kelemahan manusia sehingga rentan keliru. Maka suara hati dapat keliru. Sedangkan suara Tuhan adalah Tuhan… Read more »
Shalom Michael, Terima kasih atas koreksi anda. Memang suara hati tidak menjamin secara pasti mewakili suara Tuhan. Namun suara hati yang ‘menyalahkan’ dalam artian membawa ke arah pertobatan ataupun menghidari dosa itu adalah pasti suara Tuhan. Sebab adalah tugas dari Roh Kudus adalah "menginsafkan kita akan dosa, kebenaran dan penghakiman." (Yoh 16:8). Dan sesungguhnya inilah yang saya maksud dalam tulisan saya di atas. Maka saya menuliskan, "Suatu permenungan adalah, pada saat pertama seseorang membeli alat kontrasepsi, adakah hatinya bergumul? Umumnya ya. Kenapa demikian? Karena suara hati mereka –yang adalah suara Tuhan- melarangnya…….Jika kemudian orang tersebut merasa ‘terbiasa’, hal ini disebabkan… Read more »
Shalom Bu Inggrid,
Pemakaian kontrasepsi selain KB alamiah, apakah semuanya termasuk dosa berat? Jika demikian, bukankah semua pasangan yang menggunakan kontrasepsi dan berbagai cara pencegahan pembuahan (baik kondom, spiral, coitus interuptus, masturbasi sendiri ataupun dengan bantuan pasangan) dan menerima komuni malah semakin berdosa (dosa sakrilegi)?
Saya selama ini menggunakan kondom dan sebelumnya malah pernah menggunakan spiral tapi sampai sekarang belum mengaku dosa untuk itu. Sudah satu bulan lebih, saya tiap pagi menghadiri misa harian dan menerima komuni. Apakah sebaiknya saya malah harus menghentikan kebiasaan misa harian supaya tidak makin berdosa?
Mohon pencerahan.
Shalom Ling, Untuk mendefinisikan dosa berat, sebenarnya ada 3 hal yang harus dipenuhi yaitu: Untuk seseorang melakukan dosa berat, ada tiga syarat yang harus dipenuhi (lihat KGK 1857), yaitu: (1) Menyangkut kategori dosa yang tidak ringan, (2) tahu bahwa itu adalah sesuatu yang salah, dan (3) walaupun tahu itu salah, secara sadar memilih melakukan dosa tersebut. Dengan kata lain seseorang menempatkan dan memilih dengan sadar keinginan atau kesenangan pribadi di atas hukum Tuhan. Maka dalam kasus kontrasepsi yang anda lakukan sesungguhnya anda sendiri dapat mengkategorikan, apakah ini dosa berat atau tidak. Karena dengan melakukan kontrasepsi sebetulnya anda menutup kemungkinan campur… Read more »
[quote] Sebab dengan mental kontraseptif, sedikit demi sedikit suami cenderung menjadikan istri sebagai objek untuk pemuasan diri daripada menghormatinya sebagai pasangan yang terkasih. Lama kelamaan respek kepada istri akan hilang, dan suami akan menjadi kurang/ tidak peduli dengan kesehatan fisik dan mental istri (HV 17). Hal ini nyata sekali terjadi saat ini, misalnya saja di Amerika, dengan angka perceraian 50% pada pernikahan pertama, 67% pada pernikahan kedua, dan 74% pada pernikahan ketiga.[7] Dan survey mengatakan hampir semua dari pasangan yang bercerai itu menggunakan kontrasepsi. [quote] IMHO argumen yang pertama [quote] Sebab dengan mental kontraseptif, sedikit demi sedikit suami cenderung menjadikan… Read more »
Shalom Skywaker, 1) Sebelum Bapa Paus Paulus VI mengeluarkan ensiklikal Humanae Vitae (HV), beliau sudah mendengarkan pendapat para ahli dari berbagai bidang, dan tentu juga melalui proses doa yang panjang. Jadi pastilah apa yang dituliskannya itu, bukan hanya sekedar ‘asal’ saja, atau didasari observasi pengalaman dari sekelompok orang saja. Data yang saya sampaikan di dalam artikel saya tersebut, tentang hubungan antara angka perceraian dengan penggunaan alat kontrasepsi itu tidak menjadi dasar bagi Bapa Paus untuk mengeluarkan pernyataan dalam Humanae Vitae. Sebab hasil survey itu dilakukan malah setelah satu generasi sesudah Humanae Vitae tersebut ditulis. Jadi survey yang dilakukan di Amerika… Read more »
Sebenernya saya merasa agak aneh soal ajaran mengenai anti kontrasepsi ini, kalau KB alamiah berarti kebanyakan seks akan dilakukan pada saat istri dalam keadaan stelah mens, fase kering di mana biasanya di masa itu istri nggak nafsu. Nah sang istri sendiri baru nafsu di saat ada sel telur di rahimnya. In the end seks hanya dilakukan kalau dah mau punya anak donk ? atau dalam hal ini wanita yang dikorbankan, nggak dipenuhi hasratnya sampai waktunya punya anak, kalau anak udah 3, habislah kehidupan seksual pasangan suami istri…
Shalom Anonymous, Jika anda sendiri sudah menerapkan KB Alamiah bersama istri anda, maka anda akan mengetahui bahwa apa yang anda katakan itu tidak benar. Manusia diciptakan tidak untuk dikuasai/ menuruti hawa nafsu. Sebab bukan nafsu yang menguasai manusia dan manusia harus selalu menurutinya, namun sebaliknya manusia dapat mengendalikan hasratnya sendiri. Inilah sebabnya Kitab Suci mengajarkan kepada kita bahwa salah satu buah Roh kudus adalah pengendalian diri (Gal 5:23). Sepertihalnya anak- anak yang setiap hari dituruti keinginannya untuk diberi permen atau kue, maka mereka akhirnya menjadi kurang menghargai apa yang selalu didapatnya, dan berpikir bahwa keinginannya itu harus secara otomatis dipenuhi.… Read more »
Dulu saya sangat benci ke gereja karena saya tak suka misa. Karena ada seseorang yang mendatangi mimpi saya, saya baru ingat bahwa ke gereja itu sangat penting bagi saya dan tak seminggu kemudian saya ke gereja. Sebab itulah saya langsung belajar untuk masuk untuk menerima komuni. Sekarang saya ada misa maupun tak ada misa saya selalu ke gereja, sebab itulah saya mulai dekat dengan Tuhan. Karena saya telah berkenalan dengan pastor -.pastor di tanjung Balai Karimun. Sebab aku lagi menunggu pastor- pastor dari kota- kota lain sebab itulah rd Abau yang didaerah Beliyu juga membantu saya, kalian juga. Ini aku… Read more »
Shalom Bernad, Terimakasih atas sharing anda. Ya, Tuhan mempunyai banyak cara untuk memanggil kita untuk datang kepada-Nya. Namun memang sebagai orang Katolik kita sebaiknya tidak menggantungkan pengertian kita kepada mimpi-mimpi, namun lebih kepada hubungan komunikasi kita dengan Tuhan, melalui doa dan sakramen. Jika memang kita mendapat mimpi, maka sebaiknya hal itu kita bawa di dalam doa, agar kita juga mendapat peneguhan di dalam batin, apakah memang itu berasal dari Tuhan, ataukah dari diri sendiri. Jadi hanya dengan hubungan yang akrab dengan Tuhan, maka kita dapat membedakan pesan mimpi ataupun penglihatan, apakah hal itu berasal dari Tuhan dari iblis, atau dari… Read more »
Dear Ingrid,
Kebetulan di Amerika ada news mengenai birth of octuplets dimana ternyata Ibu nya sudah punya 6 anak sebelumnya. Kalau Ingrid bisa membantu, apakah sikap Gereja mengenai assisted reproduction (tidak hanya IVF tetapi juga berbagai macam technique lainnya).
Salam.
Shalom Dolphin, Pada tgl 8 Sept 2008, Vatikan (Congregation for the Doctrine of the Faith) mengeluarkan dokumen Dignitas Personae yang menanggapi hal Bio-etik, yang ditandatangani oleh Kardinal William Levada di Roma (silakan klik link ini) Pada dasarnya, untuk treatment menangani hal infertilitas, ada 3 prinsip dasar yang harus dijunjung tinggi: 1) Hak untuk hidup dan integritas fisik dari setiap manusia dari masa konsepsi sampai kematian yang normal 2) Aspek persatuan (union, unity) dalam perkawinan, yang berarti pemberian timbal balik hak di dalam perkawinan untuk menjadi ayah atau ibu, hanya dengan pasangan dalam perkawinan tersebut. (Jadi tidak diperkenankan adanya donor sperma… Read more »
Shallom, Isteri saya menjalani sterilisasi tubektomi setelah terjadi placenta praevia pada persalinan anak terakhir. Dokter yang mengoperasinya beragama Katolik dan operasi dilaksanakan di rumah sakit Katolik. Beliau beralasan jika tidak dilakukan sterilisasi, maka bila terjadi kehamilan lagi dipastikan akan terjadi lagi placenta praevia yang membahayakan jiwa ibu. Pertanyaan pertama. Sebagai penganut Katolik, saya menyadari dosa ini dan telah mengaku dosa. Akan tetapi isteri saya sekalipun sudah beragama Katolik dan menerima sakramen perkawinan berasal dari Kristen Pantekosta sehingga dia tidak terbiasa mengaku dosa. Dia mengatakan sudah mengaku dosa secara pribadi dengan Yesus. Selama ini dia merasa sudah tidak memiliki dosa tubektomi… Read more »
Shalom Andry, 1) KGK 1385 mengatakan: "Untuk menjawab undangan ini, kita harus mempersiapkan diri untuk saat yang begitu agung dan kudus. Santo Paulus mengajak supaya mengadakan pemeriksaan batin: "barang siapa dengan cara yang tidak layak makan roti atau minum cawan Tuhan, ia berdosa terhadap tubuh dan darah Tuhan. Karena itu hendaklah tiap-tiap orang menguji dirinya sendiri dan baru sesudah itu ia makan roti dan minum dari cawan itu. Karena barang siapa makan dan minum tanpa mengakui tubuh Tuhan, ia mendatangkan hukuman atas dirinya" (1 Kor 11:27-29) Siapa yang sadar akan sebuah dosa besar, harus menerima Sakramen Pengakuan sebelum ia menerima… Read more »
Pax Christi, Bu Ingrid saya tertarik dengan pembahasan masalah sterilisasi karena kasus yang saya hadapi mirip dengan Bu Yenny dan Pak Andry, saya ikuti dari link yang disarankan, tetapi maafkan saya yang belum mendapat jawaban pasti atas tindakan yang kita ambil setelah mengetahui bahwa tindakan sterilisasi adalah dosa besar. Kalau boleh saya menceritakan pada saat usia kami berdua menjelang 40 tahun kami mempunyai tiga anak dan kami melakukan KB alami sesuai pilihan kami ini adalah yang baik tanpa sebelumnya kami mengetahui dari ajaran Gereja Katholik, setelah jarak 7 tahun dengan anak kami yang terakhir kami memperoleh lagi anak yang ke… Read more »
Shalom Thomas, Monsingor Mangan, mengutip German Grisez dan John Kippley menjabarkan adanya tiga alternatif (boleh pilih salah satu) yang dapat dilakukan apsangan sebagai bukti pertobatan sejati dari pasangan yang sudah terlanjur melakukan sterilisasi: a) Complete asbtinence (tidak melakukan hubungan seksual) sampai sang istri mengalami menopause. Alternatif ini dapat dianggap sebagai yang tidak mungkin dilakukan bagi banyak pasangan, namun tetap dapat dilakukan, jika baik suami dan istri setuju. b) A surgical reversal (dilakukan operasi balik), yang mengembalikan kembali fungsi organ reproduksi. Hal ini sudah mulai umum dilakukan di Amerika. Karena umumnya proses sterilisasi di sini dilakukan dengan dua cara: vasektomi di… Read more »
Sepengetahuan saya, ajaran Gereja Katolik hanya membolehkan KB alami dengan menolak semua bentuk KB artifisial termasuk penggunaan kondom. Namun, apakah ajaran ini berlaku pula pada kasus-kasus tertentu seperti suami dengan HIV yang ingin mencegah penularan HIV kepada isterinya dengan menggunakan kondom? Kita mengetahui bahwa pencegahan HIV terdiri dari ABC, yaitu abstinence (tidak melakukan hubungan seks sebelum menikah), be faithful to your partner (setia pada pasangan) dan condom (penggunaan kondom untuk mencegah penularan). Jika pemakaian kondom tetap tidak dianjurkan, saran apa yang seharusnya diberikan oleh profesional medis Katolik yang di satu sisi hendak mencegah penularan HIV dalam keluarga dengan menganjurkan pemakaian… Read more »
Shalom Andry, 1) Mengenai kontrasepsi pada pasien HIV. Gereja Katolik menentang pemakaian kontrasepsi dalam kondisi apapun, termasuk kondom. Humanae Vitae menyebutkan dengan jelas tentang hal ini (lihat HV 14). Dalam kasus pasien HIV, memang tidak terdapat banyak pilihan, sebab jika ingin menghindari penularan kepada pasangan, dan tidak ingin melanggar pengajaran Magisterium Gereja, maka yang harus dilakukan adalah abstinence/ pantang melakukan hubungan suami istri. Lebih lanjut silakan membaca dokumen Gereja yang disampaikan oleh Cardinal Trujilio yang berjudul Family Values versus Safe Sex, silakan kilk di link ini Pada dasarnya, Gereja tidak melihat bahwa kondom merupakan alat proteksi total untuk ‘save sex’,… Read more »
Di dalam dunia medis, kami (para dokter) menyatakan kematian berdasarkan 3 kriteria: (1) kematian batang otak; (2) kegagalan jantung; dan (3) kegagalan pernapasan. Ketiganya harus sudah terdapat untuk menyatakan seorang pasien telah meninggal dunia. Jadi, jika hanya salah satu atau dua dari tiga kriteria tersebut yang dipenuhi, maka pasien belum dapat dinyatakan meninggal. Jadi, kami sering menghadapi dilema seperti pada perawatan pasien stroke perdarahan yang setelah dioperasi (pemasangan shunt untuk menurunkan tekanan di dalam tengkorak) mengalami atrofi (pengisutan) otak sehingga kesadarannya tidak mungkin pulih kembali. Sementara itu, kondisi organ lain seperti jantung dan pernapasannya masih baik. Bahkan status gizinya pun… Read more »
Shalom Andry, Ya, memang ada seorang dokter, Dr. Lina Pavanelli, kepala Intensive Care Medical School di Italia yang mempunyai pendapat bahwa Paus Yohanes Paulus II meninggal karena infus makanan dimasukkan terlambat, hanya 3 hari sebelum beliau meninggal. Maka Dr. Pavanelli berkesimpulan itu adalah ‘mercy killing’/ euthanasia. Kesimpulan Dr. Pavanelli ini sepenuhnya disanggah oleh Fr. Thomas Williams, seorang Theolog di Roma yang dalam wawancara dengan CBS News berkata, "I think," he told Early Show co-anchor Harry Smith Wednesday, "it (failing to insert the feeding tube for so long) was a medical decision. It could have been a good one or bad… Read more »
[quote] Fakta bahwa Paus Yohanes Paulus II yang walaupun sudah sangat lemah dan renta karena penyakit Parkinson, dan tetap mau terus mengemban tugasnya sebagai Paus [unquote]
apa pernah Paus mengundurkan diri atas alasan kesehatan ? apakah ini dimungkinkan menurut hukum gereja ? gereja yang besar memerlukan pemimpin yang sehat secara fisik bukan ? after all dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat. Tubuh yang sakit tidak menjamin jiwa yang sehat
Shalom Skywalker, Terima kasih atas pertanyaannya. KHK (Kitab Hukum Kanonik), 332 § 2. mengatakan "Apabila Paus mengundurkan diri dari jabatannya, untuk sahnya dituntut agar pengunduran diri itu terjadi dengan bebas dan dinyatakan semestinya, tetapi tidak dituntut bahwa harus diterima oleh siapapun." Jadi mungkin saja seorang Paus mengundurkan diri. Namun dari sejarah kita belajar bahwa pada saat seorang Paus mengundurkan diri/ dipaksa mengundurkan diri, maka akan terjadi kekacauan yang tidak diinginkan. Kita dapat melihat ada beberapa Paus yang mengundurkan diri atau dipaksa mengundurkan diri, seperti: St. Pontian (di asingkan ke Sardinia sampai meninggal di sana), St. Silverius (dipaksa mengundurkan diri oleh… Read more »
Dear Katolisitas, baru-baru ini saya menyaksikan sebuah film mengenai ‘euthanasia – docter assisted suicide’ berjudul “You Don’t Know Jack”. Film ini mengisahkan kehidupan seorang dokter bernama Jack Kervokian yang berjuang agar pasien-pasiennya yang sudah divonis ‘terminated ill’ berhak memutuskan untuk mengakhiri hidup sendiri. Dan ia menganggap ‘assistance’ yang ia berikan bagi pasien-pasiennya dalam mengakhiri hidup mereka adalah merupakan ‘service’ nya sebagai seorang dokter yang berdedikasi. Menyaksikan film ini sedikit banyak memberikan gambaran mengenai euthanasia. Di samping itu juga membangkitkan pertanyaan-pertanyaan dalam benak saya. Di antaranya: 1. Orang seperti Jack Kervokian, mungkin salah dan berdosa di mata Gereja Katolik yang menentang… Read more »
Shalom Fenky, Terima kasih atas pertanyaannya tentang euthanasia. Saya belum pernah melihat film “You don’t Know Jack“. Namun dari wawancaranya dengan CNN di sini (silakan klik), maka kita dapat melihat prinsip-prinsip yang dia pegang tentang euthanasia – yang dipandang sebagai manifestasi dari pekerjaannya sebagai dokter, yang memang harus membantu pasien dan melakukan apa yang diminta oleh pasien. 1. Kalau kita menganalisa, euthanasia adalah perbuatan yang secara moral tidak dapat dipertanggungjawabkan. Untuk mengatakan bahwa suatu tindakan termasuk tindakan yang secara moral baik atau tidak, ada tiga hal yang perlu dilihat: a) Objek moral (moral object), yang merupakan objek fisik yang berupa… Read more »
Dear Ingrid,
Saya melihat debat mengenai penggunaan kontrasepsi lebih mengenai natural vs medical/human intervention. Kalau secara moral, medical/human intervention tidak diperbolehkan dalam hal procreation, apakah medical/human intervention diperbolehkan dalam mengatasi penyakit? Apakah dengan adanya medical/human intervention dalam mengatasi penyakit (terutama terminal illness) berarti manusia menghalangi niat Tuhan untuk menyatukan manusia dengan Tuhan?
Terima kasih atas penjelasannya.
Salam,
Dolphin
Shalom Dolphin, 1) Humanae Vitae 14, menyebutkan, "Magisterium Gereja telah menyebutkan berkali-kali bahwa sterilisasi yang langsung/ disengaja itu tidak diperbolehkan, entah sementara atau seterusnya, entah di pihak laki-laki atau wanita." 2) Humanae Vitae 15 menyebutkan bahwa, "Gereja memperbolehkan penggunaan pengobatan medis (medical treatment) yang diperlukan untuk penyembuhan penyakit, meskipun melalui pengobatan ini fungsi pro-creation dapat terhalang/gagal. Pengobatan ini diizinkan, walaupun kondisi infertilitas yang terganggu sudah dapat diperkirakan, asalkan kondisi infertilitas ini tidak dilakukan dengan sengaja, untuk alasan apapun juga." Atas dasar ini, maka Gereja melarang adanya human intervention dalam bentuk sterilisasi yang disengaja dalam bentuk apapun. Jadi untuk kasus terminal… Read more »
Dear Ingrid,
Point saya bukan mengenai terminal illness yang berakibat terhadap sterilisasi. Saya berusaha mengerti inconsistency (secara umum) dalam penerapan principle natural vs human/medical intervention dalam kasus procreation dan death. Saya melihat bahwa human/medical intervention tidak diperbolehkan dalam procreation tetapi dibolehkan dalam kasus yang menyangkut death (kematian) – sehingga terlihat tidak konsisten – padahal dalam kedua event tersebut, terdapat maksud dan tujuan Tuhan.
Terima kasih atas kesabaran dan penjelasannya.
Salam.
Shalom Dolphin, Maaf ya, saya salah mengerti pertanyaan anda. Sekarang, inilah yang dapat saya tuliskan untuk pertanyaan anda tentang intervensi manusia untuk memperpanjang kehidupan: 1) Pada prinsipnya, yang diajarkan Gereja Katolik, sesuai dengan ajaran Kristus adalah "Kabar Gembira tentang Kehidupan/ The Gospel of Life." Paus Yohanes Paulus II dalam surat ensikliknya, Evangelium Vitae, 48 (The Gospel of Life) mengajarkan, "Hidup itu ditandai oleh kebenaran tak terhapuskan tentang hidup itu sendiri. Dengan menerima karunia Tuhan, manusia diwajibkan untuk mempertahankan kehidupan di dalam kebenaran tersebut yang esensial terhadap hidup itu sendiri." Maka Gereja menjunjung tinggi kehidupan, dan mendukung usaha manusia untuk sedapat… Read more »
Dear Ingrid, Terima kasih atas kesabaran dan penjelasan anda. Kalau boleh, saya ingin sedikit melanjutkan diskusi ini. Saya sedikit bingung bahwa euthanasia tidak diperbolehkan tetapi memperpanjang hidup melalui life support machines ataupun organ transplant diperbolehkan – karena ini bertentangan dengan prinsip utama “the last moment at natural death” – life support machines ataupun organ transplant tentunya sudah bisa masuk kategori “memperpanjang natural death” atau “cheating with natural death”, yang secara prinsip sama dengan euthanasia – bedanya euthanasia shortens natural death while life support machines/organ transplant extends natural death – however, both circumvent and change the timing of natural death. Sekali… Read more »
Shalom Dolphin, Pertama-tama, harus dilihat dahulu bahwa konsep untuk mempertahankan hidup itu adalah sesuatu yang baik. Ini dapat kita lihat di dalam Kitab Suci dan ajaran Gereja yang mendukung kehidupan. Jika kita tidak melihat hal ini, maka dapat saja kita bersikap sangat ekstrim, misalnya jika kita sakit, tidak mau minum obat sama sekali. Nah dalam kondisi seperti infeksi, atau demam, misal saja demam berdarah, jika dibiarkan berlarut-larut dapat saja menimbulkan kematian juga, bukan? Dalam hal ini Gereja menghargai ilmu kedokteran yang dapat menyumbangkan keahliannya untuk membantu mempertahankan kehidupan dan mengembalikan kondisi kesehatan manusia. Jika kita berfokus pada kehidupan, maka kita… Read more »
Dear Ingrid, Terima kasih lagi atas waktu dan penjelasan lanjutan. Saya sangat menghargai dan berterima kasih atas penjelasan penjelasan dan kesediaan Ingrid dan Stef untuk membantu berbagai banyak umat awam untuk lebih mendalami agama Katolik. Saya setuju sekali dengan pendapat Ingrid. Namun apabila kita look into the future, saya masih sedikit terganggu dengan konsep bahwa human/medical intervention diperbolehkan dalam kasus terminal illness – karena to a certain extent, manusia melakukan campur tangan dan merubah apa yang di inginkan/ditakdirkan Tuhan. Apakah yang akan terjadi apabila, sebagai contoh, stem cell technology semakin berkembang dan stem cell dapat digunakan untuk menggantikan semua organ… Read more »
Shalom Dolphin, Tidak apa-apa bertanya, jika memang masih ada yang ‘mengganjal’. Semoga lewat diskusi ini diperoleh titik terang. Dari definisinya, stem cell adalah sel batang yang ‘indifferent’/belum ter-spesifikasi secara penuh, namun mempunyai kemampuan untuk diperbanyak membentuk sel tertentu di dalam tubuh manusia. Stem cell ini terdapat dalam tubuh manusia, saat ia masih berupa embryo, yang disebut embryonic stem cell dan jika pada usia tertentu sel-sel tersebut mulai terspesifikasi, disebut sebagai adult stem cell. Jika diandaikan tanaman, maka embryonic stem cell adalah bagian batang pangkal, sedangkan adult stem cell adalah ujung batang, tempat percabangan menjadi ranting-ranting. Nah, maka terdapat 2 jenis… Read more »
Shalom Dolphin, Kami rasa penjelasan Ibu Ingrid tentang pandangan Gereja untuk masalah stem cell adalah sudah tepat. Jika tidak kamipun tidak berani ambil sikap pada saat anak kami, Dede, harus menjalani Bone Marrow Transplantation (transplantasi sumsum tulang belakang). Pada waktu dokter menyatakan bahwa anak kami harus di transplantasi kami bertanya apa yang terjadi jika kami tidak melakukan transplantasi? “He will die!” Oh..! Dokter itu menjawab tanpa tedeng aling-aling, maklum orang luar negeri lain dengan kita orang Indo yang masih berbasa-basi atau ngomong tidak secara langsung. Kami sebagai orangtua merasa bertanggung-jawab terhadap anak kami sehingga kami akan melakukan apa saja asalkan… Read more »
Dear Ingrid dan Dede’s parents, Terima kasih sekali lagi atas penjelasan yang panjang lebar. Saya tidak menentang medical intervention dan sangat gembira dengan adanya medical breakthrough yang membantu kehidupan kita semua. Seperti Dede’s parents, I would do everything for my children. Pertanyaan pertanyaan ini berasal dari keinginan untuk mengerti implikasi sosial dari sikap Gereja Katolik terutama dalam perkembangan medical technology – dan tidak hanya mengenai stem cell. Anyway, diskusi ini bisa berkelanjutan dan tidak ada habisnya. Tetapi penjelasan Ingrid sangat sangat membantu untuk mendapatkan pengertian mengenai dasar atas sikap Gereja. Diskusi ini sangat berharga dan tidak bisa kita dapatkan dari… Read more »
Dear Ingrid dan semua pembaca katolisitas.. Saya ingin mensharingkan sedikit pengalaman dengan menggunakan KB alami… Walaupun usia pernikahan kami masih sangat sebentar (4 bulan), namun saya merasakan kebahagiaan yang besar karena saya dan suami memilih melaksanakan KB alami ini, dan tidak mau menggunakan alat2 KB artifisial. Hal ini bermula dengan keingin-tahuan kami untuk melakukan family planning yang diajarkan oleh gereja; maka sebelum menikah kami pun mempelajari ajaran Humane Vitae ini. Alasan yang paling mendasar bagi kami adalah, kami tidak ingin membuka celah karena ketidaktaatan dan keegoisan diri kami; sehingga kami menempatkan keluarga kami terhadap risiko2 penggunaan KB artifisial seperti yang… Read more »
Shalom Irma,
Terima kasih atas sharingnya. Memang KB alamiah jika dilakukan dengan disposisi hati yang benar dapat meningkatkan saling pengertian, saling menghargai dan saling mengasihi yang tulus antara suami dan istri. Semoga banyak dari yang membaca sharing Irma dapat terdorong untuk juga melaksanakan KB Alamiah. Tuhan Yesus sudah merencanakan pernikahan sebagai lambang kasih-Nya sendiri yang total kepada Gereja-Nya, maka marilah kita berjuang untuk melaksanakannya sesuai dengan kehendak Dia.
Semoga Tuhan Yesus memberkati perkawinanmu selalu, dan jika saatnya datang, selamat menyambut kehadiran buah cinta kasih kalian.
Salam kasih dari https://www.katolisitas.org
Ingrid Listiati
Dear Ingrid, Setahun yang lalu, pada saat saya menuliskan komentar di atas, usia perkawinan kami masih 4 bulan. Selama setahun sesudahnya kami mencoba melakukan KB alamiah dengan metode kalender dan pengamatan lendir (seperti pada artikel katolisitas yang membahas metode Creighton), dan selama setahun itu saya tidak hamil. Dengan kata lain, kombinasi kedua metode di atas itu berhasil dengan baik. Sejak September tahun lalu, kami pun mulai menghentikan pantang pada masa subur, dan kembali menggunakan kedua metode tersebut agar kami dapat memperoleh keturunan. Saat ini, saya sedang hamil memasuki bulan ketiga. Walaupun demikian, kehendak Tuhan tetaplah berada pada yang teratas. Selama… Read more »
Shalom Bapak Stefanus/Ibu Inggrid, Saya mempunyai seorg teman yg beragama katholik juga, dia sudah berkeluarga (suaminya beragama Budha dan mereka menikah di gereja katholik) dan sdh mempunyai 3 orang anak (7th, 5th dan 4 th). Saat ini teman saya sangat bingung dan tidak tahu harus bagaimana. Masalahnya adalah saat dia melahirkan anak yg ke-3, kebetulan dia melahirkan secara caesar, dia melakukan sterilisasi (dengan persetujuan suaminya tentunya). Teman saya juga mengetahui kalau di agama Katholik kontrasepsi itu dilarang, kecuali kontrasepsi alamiah. Pertimbangan teman saya dan suaminya melakukan sterilisasi karena mereka takut mempunyai anak lagi. Mempertimbangkan juga daur menstruasi temen saya itu… Read more »
Shalom Vita, Harus diakui bahwa pasangan yang melakukan sterilisasi dapat dikejar perasaan bersalah, karena hati nurani mereka tidak dapat mengelak untuk mengatakan kepada mereka bahwa sterilisasi adalah perbuatan dosa. Inilah yang dialami oleh teman Vita, dan mungkin juga oleh beberapa pasangan lain yang kita kenal. Menurut ajaran Gereja, seperti yang tertera dalam "Humanae Vitae" menyebutkan bahwa sterilisasi adalah tindakan yang salah/ evil, karena menolak fungsi pro-creation dari hubungan suami istri. Ini identik dengan menolak berkat fertilitas/ kesuburan yang diberikan oleh Tuhan kepada pasangan itu, untuk bekerjasama dengan-Nya mendatangkan kelahiran manusia yang baru di dunia. Dengan demikian, manusia yang sebenarnya ‘diundang’ Tuhan… Read more »
Terima Kasih Ibu Inggrid utk penjelasan dan sarannya… Saya akan berusaha menyampaikan kepada teman saya bahwa masih ada jalan buat dia utk bertobat..
-Vita-
Salam Damai, Kami adalah pasangan muda dan baru saja memiliki buah hati berumur 4 bulan. Sejak awal memang kami ingin membentuk suatu keluarga katolik yang bahagia dan taat, tentu saja kami tidak melakukan family planning apapun. Namun sejak buah hati kami lahir, saya jadi “agak” kawatir kalo saja tiba2 istri saya mengandung lagi. Sebab terus terang kami belum siap untuk buah hati yang kedua. Saya sangat tertarik dengan metode Natural Family Planning yang disebut memiliki akurasi sampai 99% itu, dapatkah sdri Inggrid meringkas step by stepnya dalam bahasa indonesia mengingat keterbatasan bahasa inggeris saya. Dan sebagai informasi tambahan, sejak melahirkan… Read more »
Shalom Erwin, Pertama-tama, selamat ya atas kelahiran buah hati anda dan istri! Tentu ia menjadi suka- cita tersendiri buat Erwin dan istri. Tentang informasi Natural Family Planning (KB Alamiah) tadinya memang saya mencoba menuliskannya dengan menerjemahkan link yang saya sertakan, yaitu NFP and more.org (silakan klik) yang disederhanakan/ disesuaikan. Tetapi setelah saya pelajari lebih lanjut, ternyata kok ya tidak sesederhana itu, dan dapat memakan waktu cukup lama untuk menerjemahkan/ menjelaskannya dalam bentuk artikel- artikel. Jika dijelaskan secara singkat, kelihatannya tidak terlalu berguna, karena sesungguhnya prinsipnya cukup umum diketahui, hanya penerapannya yang mungkin perlu dijelaskan lebih detail agar jelas, dan membawa… Read more »
Salam Kasih Dalam Tuhan Yesus Kristus.
1, Diluar Gereja Katolik ada keyakinan yang mengatakan bahwa janin / embrio manuasia itu oleh TUHAN baru diberi nyawa/roh setelah umur beberapa minggu (pasnya kami lupa), sehingga ada yang mengatakan apabila janin tersebut sebelum bernyawa digugurkan tidak berdosa dan bukan merupakan pembunuhan.
2. Sekarang kelihatannya ada suatu tren yang menghendaki kelahiran anak dilahirkan bertepatan dengan hari-2 penting dan bersejarah. Contoh ada orang yang menginginkan anaknya lahir pas tgl. 17 Agustus, sehingga pas tanggal yang dikehendaki dilahirkan secara caesar/ operasi.
Bagaimanakah pandangan/ajaran Gereja Katolik atas kedua hal diatas?.
Shalom Julius, 1) Pertama-tama kita perlu mengetahui hakekat penciptaan. Penciptaan yang otentik selalu menghasilkan sesuatu yang baru, dari yang tadinya tidak ada, menjadi ada. Ini suatu kebenaran yang tidak usah dibuktikan. Nah, kebenaran objektif mengakui bahwa kehidupan manusia berawal dari konsepsi embrio, pada saat bersatunya sel sperma dan sel telur dalam rahim wanita. Pada saat pembuahan/ fertilisasi tersebut, terbentuklah satu sel baru (zygote) beserta dengan rangkaian genetiknya yang berbeda dari sel bapak maupun ibunya. Dalam surat ensikliknya Evangelium Vitae (The Gospel of Life), # 60, Paus Yohanes Paulus II mengatakan, "Sejak saat sel telur dibuahi, sebuah kehidupan baru dimulai yang… Read more »