Berusahalah hidup damai dengan semua orang dan kejarlah kekudusan, sebab tanpa kekudusan tidak seorangpun akan melihat Tuhan. (Ibrani 12:14)
Tentu saja di dunia ini tidak ada orang yang sengaja mencari kesempatan supaya mengalami disakiti oleh orang lain. Kalau bisa justru kita melakukan segala cara supaya tidak disakiti orang lain, sebagaimana kita juga selalu menjaga supaya tidak menyakiti orang lain. Namun kalau motivasi kita dalam berusaha tidak menyakiti orang lain itu adalah supaya diri kita sendiri tidak disakiti, mungkin motivasi itu harus ditinjau ulang. Karena kasih yang diajarkan oleh Tuhan itu tanpa syarat, (juga bdk. Luk 6:33 Sebab jikalau kamu berbuat baik kepada orang yang berbuat baik kepada kamu, apakah jasamu? Orang-orang berdosapun berbuat demikian.) Di saat orang menyakiti kita, reaksi umum kita cenderung langsung membela diri dengan sekuat tenaga atau berharap dapat memberi pelajaran setimpal supaya orang yang menyakiti kita itu menyadari kekeliruannya dan menjadi jera.
Sebagai anak-anak Kristus yang sudah ditebus dengan darah yang begitu mahal, sekedar bereaksi membalas atau tenggelam dalam rasa tersinggung yang berlama-lama terasa tidak sebanding dengan pengorbanan Kristus yang telah mati untuk saya. Ia rela disakiti sampai habis tanpa sedikitpun keinginan membalas atau membela diri, hanya menerima, menerima, dan malahan terus mendoakan, dan mendoakan, kepada Bapa. Teladan Kristus itulah yang membuat suatu hari saya berpikir masih lebih baik disakiti, daripada menyakiti. Sebenarnya justru di dalam pengalaman disakiti itu, saya jadi beroleh kesempatan untuk mengintrospeksi diri. Mungkin ada juga kesalahan-kesalahan yang kubuat yang tidak kusadari karena kesombonganku, yang membuat orang lain jadi ingin, atau tidak sengaja, menyakitiku. Ketika Tuhan meminta saya memberikan juga pipi kanan saat pipi kiri saya ditampar, Ia sedang mengajar saya mematahkan dominasi ego dan bujukan si jahat, karena kerendahan hati adalah buah Roh Kudus yang tidak bisa ditiru / dimanipulasi / disusupi oleh si jahat.
Pada suatu hari, ketika sedang merasa terluka karena merasa disakiti oleh orang terdekat, dalam genangan air mata karena merasa sangat marah dan tersinggung, saya teringat kepada Doa Bapa Kami. Khususnya pada bagian, “…seperti kami pun mengampuni yang bersalah kepada kami”. Selama bertahun-tahun, saya sering membatin kepada Tuhan, “Tuhan, nampaknya aku yang telah selalu bersalah kepada orang lain, dan untuk itu aku mohon ampun, Tuhan…tetapi kapan ya orang lain bersalah kepadaku, rasanya jarang, nyaris tak pernah orang bersalah kepadaku atau menyakitiku dengan sengaja, atau setidaknya kalaupun ada, aku tak terlalu ingat lagi, mungkin saking hanya sederhana saja perbuatan yang menyakitkan itu. Jadinya aku tak pernah punya kesempatan untuk melatih kebesaran hatiku mengampuni orang lain”. Dan hari di saat hati saya sakit karena merasa dilukai oleh sesama itu, adalah hari di mana Bapa mengabulkan keinginan saya yang terpendam untuk mengalami disakiti oleh sesama, supaya saya bisa belajar untuk mengampuni, melakukan secara nyata apa yang selama ini sering saya baca, dengar, atau tulis.
Pemikiran di atas nampak tidak wajar, tetapi pemikiran itu membantu saya untuk bangkit dan berusaha mengampuni sepenuhnya orang yang telah bersalah dan menyakiti hati saya itu, walau ternyata sangat sulit. Ketika saya minta diuji, saya tidak minta ujian yang sukar, tetapi Tuhan tahu sampai di mana batas kekuatan dan kemampuan kita untuk bisa berjuang meniru teladan-Nya menuju kekudusan. “Bergembiralah akan hal itu, sekalipun sekarang ini kamu seketika harus berdukacita oleh berbagai-bagai pencobaan. Maksud semuanya itu ialah untuk membuktikan kemurnian imanmu–yang jauh lebih tinggi nilainya dari pada emas yang fana, yang diuji kemurniannya dengan api–sehingga kamu memperoleh puji-pujian dan kemuliaan dan kehormatan pada hari Yesus Kristus menyatakan diri-Nya.” (I Pet 1:6-7)
Saat hati sedang pedih dan terluka karena perbuatan orang lain yang menyakitkan hati, saya ingat kepada ajaran Yesus tentang pengampunan, tetapi sungguh tidak mudah untuk melakukannya. Saya sempat merasa itu semua hanya teori, yang tidak terlalu masuk akal untuk dilakukan. Saya sempat menolak untuk melakukannya, terutama manakala hati membara, di mana sebenarnya suasana itu sedang dimanfaatkan si jahat untuk mengipas-ngipasi saya dengan penuh semangat supaya saya tetap bersikukuh dalam semangat kemarahan dan pembalasan. Tetapi, pikiran di atas mengingatkan saya dengan halus, “Ya, …kapan lagi, …kapan lagi engkau punya kesempatan untuk melakukan apa yang selama ini telah kau pelajari dari teladan Kristus yang hidup. Inilah saatnya engkau membuktikan cintamu kepada Kristus yang telah mati bagimu. Ayo, enyahkan segala pikiran dan godaan untuk membalas dendam atau untuk marah terus menerus, bangkitlah, ujianmu sudah tiba, jawablah tantangan itu, dan menangkan pertarunganmu melawan bujuk rayu si jahat dan mengendalikan egomu”.
Kesadaran itu menjadi sebuah awal dari proses yang luar biasa sulitnya. Karena aku melawan egoku sendiri, menentang keinginan daging dari diriku sendiri. Bila tidak terus menerus berpegangan kepada kasih Tuhan Yesus, saya sudah akan selalu lari kembali kepada si jahat yang menunggu saya dengan setia sambil menyeringai. Bersama si jahat, awalnya terasa nyaman dan memuaskan, tetapi tidak lama. Segera saya merasa tidak percaya diri, gelisah, marah, tidak damai, hati terasa gelap. Sementara itu saya masih terus berperang dengan ego saya. Sangat melelahkan. Saya kepayahan. Semangat untuk melupakan dan mengampuni itu harus terus menerus dikuatkan lagi dengan pertolongan doa-doa penyerahan yang tulus kepada kuasa Roh Kudus, satu-satunya kekuatan yang akan memampukan saya mengampuni kesalahan orang yang telah bersalah dan menyakiti saya. Kemudian mulai lagi dengan hati yang baru dan bersih. Tanpa membangkit-bangkit lagi, sepenuhnya melupakan dan mengampuni. Allah juga selalu mengampuniku yang terus menerus berdosa ini, apa lagi yang kutunggu? Ya, bagi orang beriman, mengampuni adalah kewajiban, bukan sekedar saran. Saya memaksa diri untuk berdoa, karena dalam keadaan marah, sulit sekali rasanya untuk berdoa.
Akan lebih sulit lagi, jika sesama yang menyakiti kita itu tidak minta maaf, tidak menyadari kekeliruannya, atau bersikukuh merasa dirinya di pihak yang benar. Bahkan setelah kita merendahkan hati dan mau memaafkan, kita jadi dianggap sebagai pihak yang bersalah. Atau, jika kita berhasil untuk merendahkan hati begitu rupa, hingga kitalah yang minta maaf supaya keadaan menjadi lebih baik, maka semakin dapat dianggap oleh pihak lain bahwa kitalah yang bersalah, padahal secara obyektif kita sebenarnya di pihak yang tidak bersalah. Itulah ujian yang jauh lebih berat lagi. Beranikah aku bersikap hingga sedemikian? Jika Yesus ada di posisiku ini, apa yang Dia lakukan? Aku telah mengetahui jawabannya, Dia tidak membela diri sama sekali, Dia menerima, dan mengampuni. Dia difitnah untuk kesalahan yang tidak Dia lakukan, tetapi Dia toh diam dan menerimanya, demi kepentingan yang lebih besar, yaitu untuk keselamatan umat manusia. Sudikah aku mengorbankan egoku, demi kepentingan yang lebih besar, demi kedamaian dalam keluarga, demi pertumbuhan iman dan cintaku kepada-Nya? Demi melakukan kehendak-Nya dan menyenangkan hati-Nya? Umumnya kebanyakan dari kita sudah tahu apa yang Yesus mau, walaupun dalam prakteknya, sangat sukar untuk sungguh berhasil mengikuti teladan-Nya.
Sikap mau rendah hati untuk menerima dan mengampuni itu, bila diserahkan kepada Tuhan, pada gilirannya akan mampu membuka mata sesama kita itu juga, dan memungkinkan kasih Tuhan juga menyentuh dan mengubah hidupnya. Artinya, satu kali tindakan mengampuni, sekaligus dua jiwa dapat diselamatkan. Lalu bagaimana dengan godaan untuk membuat orang lain yang bersalah itu menjadi jera? Ya, dalam batas mengingatkan atau menegur dengan kasih, kita boleh melakukannya. Namun di luar itu, Tuhan mengajarkan bahwa penghakiman adalah hak Allah. Kita serahkan kepada Allah untuk melunakkan dan mengubah hati sesama yang telah bersalah pada kita. Campur tangan Allah pasti sangat jauh lebih baik, jitu, tepat waktu. Tetapi usaha sesama orang berdosa untuk menghakimi, mengajari, membetulkan, membuat jadi jera sesama pendosa lainnya, kemungkinan hasilnya berantakan. Kalau tidak malah menambah luka baru dan masalah baru. Utamanya jika motivasinya bukan kasih, melainkan pembalasan. Teladan Yusuf dan pertobatan saudara-saudaranya di Perjanjian Lama adalah contoh yang amat baik mengenai hal ini.
Dalam niat dan usaha untuk mengampuni itu, Tuhan juga membukakan kesalahan saya yang selama ini tidak saya sadari, Tuhan ingin saya juga mengerjakan bagian saya untuk memperbaiki kekurangan itu, karena Ia ingin saya bergerak menuju kesempurnaan seperti yang Dia ajarkan kepada saya. Maka sekalipun pedih, saya belajar bersyukur diberi kesempatan untuk mengalami disakiti oleh orang lain. Melaluinya, saya belajar untuk rendah hati dan tidak mengganggap diri selalu benar. Belajar melihat luka-luka yang mungkin ada pada diri orang lain juga, yang tanpa terlalu disadarinya membuatnya melakukan perbuatan yang menyakitkan itu. Demikianlah kerendahan hati membuat segala jenis intimidasi dari si jahat lewat perbuatan-perbuatan sesama yang menyakitkan, tidak sanggup membuat kita dikuasai kemarahan, rasa tertekan, dan kegelapan rohani. Tuhan tahu benar apa yang Dia minta kepada anak-anak-Nya agar dapat dilakukan dan dipelajari terus menerus. Semua itu adalah jalan menuju kelegaan yang permanen untuk bersatu dengan Dia, merasakan damai sejahtera dan kasih-Nya yang tak berkesudahan.
Menjadi pemenang atas ego dan tipu daya si jahat, dibuktikan dari pilihan-pilihanku untuk tetap bersikap mengasihi dan mengampuni. Pertamanya terasa sakit, mungkin sangat sakit, namun pelan tapi pasti, terasa sangat melegakan. Buah-buah Roh Kudus berupa damai sejahtera, sukacita, pengertian, harapan, kasih, dan kemungkinan baru, segera memenuhi hati. Namun pada titik di mana kita kembali menyatu dengan Tuhan, kita perlu tetap waspada supaya kita tidak ingin dianggap baik, dianggap berjasa, dianggap berjiwa besar, sekalipun kita telah memenangkan pertarungan rohani. Bahkan tak perlu diri sendiri memujinya, sebab di situ terletak potensi kesombongan. Karena saat merasa diri sudah baik dan benar, merasa diri sudah lulus dan suci, itu dapat menjadi kendaraan si jahat lagi, untuk menancapkan kukunya dan kembali merenggut kita dari kasih Allah. Maka sebaiknya, sesudah berhasil memenuhi panggilan-Nya untuk berkorban dan mengampuni, seperti Rasul Paulus, selayaknyalah kita berkata, upahku adalah bahwa aku boleh mewartakan Injil tanpa upah (bdk. 1 Kor 9:18). Ya, aku hanya mengerjakan apa yang menjadi kewajibanku, segala perbuatan baikku hanyalah kain kotor di hadapan Tuhan (bdk. Yes 64:6), aku tak layak menerima pujian apapun karena semua itu adalah pekerjaan Tuhan. Ia telah menebusku, sudah selayaknyalah aku bersikap sebagaimana orang yang sudah ditebus, tak ada komplimen apapun yang pantas diberikan padaku.”
Akhirnya, tak seorangpun dari kita ingin tertinggal memenuhi undangan-Nya dalam pesta pengampunan dan rekonsiliasi, di mana Ia selalu menunggu kita dengan penuh cinta di sana. Perjuangan kita untuk sampai di sana adalah perjuangan setiap hari, setiap saat. Perjuangan yang sulit, sangat sulit, tetapi tidak mustahil. Rahmat Allah selalu tersedia bagi kita agar yang sulit itu menjadi mungkin dan terjangkau. Sebab oleh karena Ia sendiri telah menderita karena pencobaan, maka Ia dapat menolong mereka yang dicobai. (Ibrani 2:18). Tuhan ada dekat kita untuk selalu membantu kita. Mari kita berjuang bersama-Nya. (Triastuti)
Yes 48 : 10 “Sesungguhnya, Aku telah memurnikan engkau, namun bukan seperti perak, tetapi Aku telah menguji engkau dalam dapur kesengsaraan. “
Doa: “Tuhan, aku berdoa, agar Engkau memampukan aku melewati ujian ini, supaya akhirnya aku dapat bertumbuh di dalam iman dan kasih melalui pengalaman ini. Pengalaman disakiti mungkin tidak perlu dicari-cari, tetapi jika Engkau izinkan itu terjadi dalam hidupku, pastilah itu Kau maksudkan agar aku dapat belajar semakin tulus mengampuni dan mengasihi, sebagaimana Engkau telah lebih dahulu melakukannya untuk aku. Amin.”
Shalom, Terimakasih atas tulisan ini yg mengingatkan saya apa arti penderitaan yang sekarang dialami. memang sangat berat untuk mengampuni, apalagi bila disakiti oleh orang yang kita kasihi. Dengan disakiti, saat ini saya jg tersadar untuk menjadi lebih rendah hati dan lebih mencintai Tuhan Yesus dan mencintai orang yg saya kasihi tanpa pamrih. Dengan mengampuni, mengalah dan diam saat disakiti maka kita akan dinilai “lemah” di mata manusia karena dianggap tak mampu untuk membalas. dan memang kita tak perlu membalas karena pembalasan adalah hak Tuhan. bagian kita adalah untuk terus mendoakan orang yang menyakiti kita. Teringat di benak saya satu ayat… Read more »
Terima kasih atas tulisannya yang yang membuka pikiran dan hati saya untuk belajar dan mulai mengampuni. Semoga Roh Kudus memberkati seluruh Staff/penulis di katolisitas sehingga banyak jiwa2 yang di tuntun ke jalan yang di kehendaki Bapa. Amien. GBU
shalom.. pengalaman ini sangat2 menyentuh saya. Saya juga pernah mengalami perkara seperti ini..sulit untuk mengampuni..walaupun suda banyak kali cuba mengampuni..tetapi prinsip yg sy pgg ” kalau saya betul, saya tidak mengalah” membuatkan saya lebih tertekan..selepas membaca artikel ini..pikiran saya terbuka. Ternyata prinsip saya itu tidak boleh diguna pakai, terlalu kolot, saya sendiri kecewa dengan diri saya, sampai kalau bergaduh dengan orang terdekat, saya sanggup diam dan tunggu orang itu yang kena minta maaf. Kalau tidak saya tidak akan maafkan sebab saya betul, tapi, ternyata semua itu tidak menyenangkan hati saya, apa yang saya dapat, hanyala sakit hati yang terlampau..terima kasih… Read more »