Bapa Gereja mengajarkan wanita kurang sempurna dibanding pria?

Pertanyaan:

Yth pengasuh Katolisitas,

Saya iseng-iseng baca debat Ali Sina dan para Muslim di sini: http://alisina.org/gender-apartheid-and-islam/
Saya kaget, para muslim melawan Ali Sina dengan menulis begini:

“As regards the individual nature, woman is defective and misbegotten, for the active power of the male seed tends to the production of a perfect likeness in the masculine sex while the production of a woman comes from a defect in the active power.”- Thomas Aquinas

“Women are vessels of excrement”- St. Augustine

Pertanyaan saya, apakah kutipan berbahasa Inggris di atas benar ucapan/ajaran St Thomas Aquinas dan St Agustinus? Jika itu benar ucapan mereka, itu ada di dokumen apa ya? Jujur saja, saya gak percaya para kudus tersebut menghina gender perempuan.

Terima kasih untuk jawabannya. Shalom.

Jawaban:

Shalom Andreas,

Menarik memang untuk menyoroti tentang hal apakah yang diajarkan oleh Wahyu Allah tentang manusia, dalam hal ini tentang apakah ada persamaan derajat antara pria dan wanita. Sabda Tuhan memang mengatakan, “… manusia diciptakan menurut gambar Allah, laki- laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka” (Kej 1:26) sehingga mengisyaratkan adanya persamaan derajat antara pria dan wanita. Namun karena persamaan derajat tidak secara eksplisit tertulis, maka hal ini menjadi pembahasan para teolog dan filsuf, tak terkecuali para Bapa Gereja seperti St. Agustinus dan St. Thomas Aquinas.

Dalam hal ini, pandangan mereka tidaklah dapat dilepaskan dari konteks masyarakat di mana mereka hidup. Penjelasan tentang hal ini dapat dibaca lebih lanjut di penjelasan point 2 di bawah ini.

1. Menurut St. Agustinus

Jika anda ketik kalimat tersebut di google, anda akan menemukan keterangan yang menyertai dalam kutipan, “Women are vessels of excrement“- St. Augustine, sebagai berikut:”Though widely quoted we cannot verify that this is an actual quote by Augustine.” Terjemahannya ialah: “Meskipun sering dikutip kita tidak dapat memverifikasi apakah ini merupakan kutipan yang benar ditulis oleh St. Agustinus.” Maka lebih baik kita tidak membahas kutipan tersebut, karena tidak dapat dipastikan itu adalah perkataan St. Agustinus.

Jika kita ingin membahas, mungkin lebih jelas kita membaca tulisannya yang lain:

“Perempuan bersama dengan laki- laki adalah gambaran Allah sehingga semua hakekatnya adalah satu gambaran. Tetapi ketika perempuan ditugaskan sebagai penolong [laki- laki], yang ditujukan kepada perempuan itu sendiri, ia bukan gambaran Allah: namun demikian apa yang berhubungan dengan laki- laki sendiri, adalah gambaran Allah sebagaimana secara penuh dan komplit ia digabungkan dengan perempuan itu menjadi satu. (St. Agustinus, De Trinitate, 12,7,10).

Dari pernyataan ini memang banyak timbul reaksi yang sepertinya menuduh St. Agustinus sepertinya menganggap perempuan sebagai ‘warga kelas dua’, seperti halnya pandangan orang- orang yang hidup sejaman dengan St. Agustinus. Namun sebenarnya St. Agustinus hanya bermaksud menjelaskan bahwa berdasarkan kenyataan bahwa perempuan diciptakan setelah laki- laki, maka secara fisik dan sosial ia inferior jika dibandingkan dengan laki- laki; dan tentang urutan penciptaan yang sudah ditentukan Allah, St. Agustinus tidak mempertanyakannya (lih. Rev. T.J. van Bavel, O.S.A, Journal Augustiniana, “Augustine’s View on Women”, 1989). Namun demikian, melalui tulisan- tulisan lainnya, St. Agustinus percaya bahwa perempuan secara spiritual dan moral lebih tinggi dari laki- laki. Ia kerap berbicara melawan diskriminasi terhadap perempuan oleh hukum Roma dan pandangannya tentang kasih perkawinan yang mengisyaratkan adanya kesetaraan pria dan wanita sebagai pasangan, belum pernah diajarkan/ dijelaskan dengan rinci oleh orang lain sebelumnya. Maka walaupun terkesan St. Agustinus sepertinya ‘sexist‘ menurut ukuran sekarang, namun ia sangat ‘maju’ dalam hal pandangan tentang persamaan derajat pria dan wanita- jika dibandingkan orang- orang sejamannya.

2. Menurut St. Thomas Aquinas

Mari bersama melihat kutipan tulisan St. Thomas Aquinas dengan lebih lengkap agar dapat lebih dipahami konteksnya:

Reply to Objection 1. “As regards the individual nature, woman is defective and misbegotten, for the active force in the male seed tends to the production of a perfect likeness in the masculine sex; while the production of woman comes from defect in the active force or from some material indisposition, or even from some external influence; such as that of a south wind, which is moist, as the Philosopher observes (De Gener. Animal. iv, 2). On the other hand, as regards human nature in general, woman is not misbegotten, but is included in nature’s intention as directed to the work of generation. Now the general intention of nature depends on God, Who is the universal Author of nature. Therefore, in producing nature, God formed not only the male but also the female.” (Summa Theology I, q.92, a.1)

Di sini terlihat bahwa St. Thomas menggunakan argumen berdasarkan penemuan ilmu pengetahuan saat itu yang mengajarkan bahwa perempuan dilahirkan sebagai akibat dari 1) kurangnya kekuatan aktif dari benih laki- laki; 2) semacam disposisi yang kurang baik dari material/ zat tubuh atau 3) pengaruh luar seperti angin selatan yang lembab, seperti diamati oleh para ahli. Namun demikian St. Thomas mengajarkan juga kesetaraan peran wanita dengan pria dalam hal mengambil bagian dalam karya penciptaan Allah, sebab tanpa wanita, pria tidak dapat berkembang biak dan melaksanakan perannya sesuai dengan kehendak Allah.

Menarik jika disimak tulisan St. Thomas yang lain bahwa jenis kelamin perempuan tidak untuk direndahkan, sebab Kristus menjelma menjadi manusia dari seorang perempuan. Selanjutnya St. Thomas juga mengajarkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan di dalam perkawinan yang tak terceraikan, sebab jika tidak maka hubungan suami istri menjadi semacam perbudakan bagi kaum wanita, “If a husband were permitted to abandon his wife, the society of husband and wife would not be an association of equals but, instead, a sort of slavery on the part of the wife (Summa contra Gentiles III:124:[4]).” Argumen kesetaraan/partnership di dalam perkawinan digunakannya untuk menanggapi pandangan poligami yang tidak sesuai dengan ajaran Kristiani, demikian: “The greater the friendship is, the more solid and long lasting it will be. Now there seems to be the greatest friendship between husband and wife, for they are united not only in the act of fleshly union, which produces a certain gentle association even among beasts, but also in the partnership of the whole range of domestic activity. Consequently, as an indication of this, man must even “leave his father and mother” for the sake of his wife as it is said in Genesis (2:24)” (Summa contra Gentiles III:123:[6]).

Berikut ini adalah penjelasan yang diberikan oleh Dr. Lawrence Feingold, S.T.L tentang tulisan St. Thomas perihal kekurangan (inferioritas) perempuan jika dibandingkan dengan laki- laki:

Exposition by Dr. Lawrence Feingold (in English) Penjelasan Dr. Lawrence Feingold (terjemahan dalam bahasa Indonesia)
This is a good example of how philosophy and theology can be negatively affected by poor empirical science and the errors contained in secular common opinion. St. Thomas is simply repeating what was commonly thought in classical antiquity and the medieval period.

Even though theology is above empirical science, it sometimes makes use of the findings of science to clarify something. However, when theology takes something from empirical science, it is taking it only as a probable argument that may well turn out to be mistaken. St. Thomas explains this well in the Summa of Theology, q. 1, a. 8: “sacred doctrine makes use even of human reason, not, indeed, to prove faith (for thereby the merit of faith would come to an end), but to make clear other things that are put forward in this doctrine. Since therefore grace does not destroy nature but perfects it, natural reason should minister to faith as the natural bent of the will ministers to charity. . . . Hence sacred doctrine makes use also of the authority of philosophers in those questions in which they were able to know the truth by natural reason, as Paul quotes a saying of Aratus: “As some also of your own poets said: For we are also His offspring” (Acts 17:28). Nevertheless, sacred doctrine makes use of these authorities as extrinsic and probable arguments.”

Thus one should not give too much importance to statements like this from St. Thomas or other medieval authors. It is put forth as a scientific opinion rather than as a revealed truth, and he would be aware that such an argument would be invalidated by an advance in empirical science.

Thus the other cited texts [from Summa Contra Gentiles, III, 123,6 & 124,4] showing the equality between the sexes is a much more important text, because it is properly theological, rather than merely a now completely outdated scientific opinion. It is theological because it is coming from the truth revealed by Christ about the nature of marriage as intended by God.

We shouldn’t be scandalized by the fact that great theologians like St. Thomas shared certain erroneous views that were widespread in his time. The Church lives in human history. The important thing is to distinguish what is coming from scientific or secular opinion (and which should be simply discarded when found erroneous), and what is coming from the sources of revelation and first principles, and thus endures through the centuries.

Ini adalah sebuah contoh bagaimana filosofi dan teologi dapat dipengaruhi secara negatif oleh ilmu pengetahuan empiris yang tidak memadai dan kesalahan- kesalahan yang terkandung dalam pandangan umum di dunia sekular. St. Thomas hanya mengulangi apa yang secara umum diajarkan di masa lalu dan masa Abad Pertengahan.

Meskipun teologi berada di atas ilmu pengetahuan empiris, kadangkala teologi menggunakan penemuan- penemuan ilmu pengetahuan untuk menjelaskan sesuatu. Namun demikian, ketika teologi mengambil sesuatu dari ilmu pengetahuan empiris, teologi hanya mengambilnya sebagai argumen yang mungkin, yang mungkin juga dapat menjadi salah. St. Thomas menjelaskan tentang hal ini dengan baik di dalam bukunya The Summa of Theology, I, q.1,a.8: “..ajaran suci bahkan menggunakan akal budi manusia, memang bukan untuk membuktikan iman (sebab jika demikian iman tidak lagi berguna), tetapi untuk menjelaskan hal- hal lain yang dijabarkan di dalam ajaran ini. Maka, sebab rahmat Tuhan tidak menghancurkan kodrat tetapi menyempurnakannya, akal budi kodrati harus melayani iman sebagaimana kehendak yang diyakinkan kodrat, melayani cinta kasih … Oleh karena itu ajaran suci menggunakan juga otoritas para filsuf, di dalam masalah- masalah di mana mereka dapat mengetahui tentang kebenaran berdasarkan akal budi kodrati, sebagaimana Rasul Paulus mengutip apa yang dikatakan oleh Aratus: “… seperti yang telah juga dikatakan oleh pujangga-pujanggamu: Sebab kita ini dari keturunan Allah juga.” (Kis 17:28) Namun demikian, ajaran suci menggunakan otoritas [pandangan filosofi] ini sebagai argumen- argumen dari luar [tidak mendasar] dan argumen yang mungkin benar.”

Oleh karena itu, seseorang tidak perlu menganggap terlalu penting pernyataan- pernyataan seperti ini dari St. Thomas ataupun dari para pengarang di Abad Pertengahan lainnya. Ini dijabarkan lebih sebagai pendapat ilmu pengetahuan daripada sebagai kebenaran yang diwahyukan, dan ia [St. Thomas] juga sadar bahwa argumen sedemikian akan dapat digugurkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan empiris.

Maka teks lain yang dikutip [dari Summa Contra Gentiles, III, 123,6 & 124,4] tentang kesetaraan jenis kelamin adalah teks yang lebih penting, sebab teks itu bermuatan teologis, daripada hanya pendapat ilmu pengetahuan yang sekarang terbukti tidak berlaku. Teks tersebut bersifat teologis sebab berasal dari kebenaran yang diwahyukan oleh Kristus tentang kodrat perkawinan sebagai yang dimaksudkan oleh Tuhan.

Kita tidak harus merasa terganggu dengan kenyataan bahwa teolog yang handal seperti St. Thomas dapat memegang pandangan yang salah yang berlaku umum di jamannya. Gereja hidup di dalam sejarah manusia. Hal yang terpenting adalah membedakan apakah yang dihasilkan oleh ilmu pengetahuan atau pandangan sekular (dan yang akan dengan mudah dibuang ketika dibuktikan salah), dan apa yang dihasilkan dari sumber- sumber wahyu dan prinsip- prinsip utama, dan yang oleh karena itu tetap berlaku sepanjang abad.

Hal di atas menjadi salah satu contoh bahwa kita perlu melihat ajaran Bapa Gereja di dalam konteksnya dan jika dasar yang digunakan adalah penemuan berdasarkan akal budi (sesuai dengan ilmu pengetahuan) maka dapat saja salah, dan dapat diubah di kemudian hari seiring dengan penemuan ilmu pengetahuan yang lebih akurat. Namun jika sumbernya adalah wahyu ilahi, maka kebenarannya tetap selamanya. Pengajaran St. Thomas tentang inferioritas perempuan ini menjadi salah satu contoh bahwa penjelasannya yang berdasarkan penemuan ilmu pengetahuan ternyata bisa salah; sama seperti ketika ia mengadopsi penemuan ilmu pengetahuan pada jamannya yang mengatakan bahwa janin baru memperoleh jiwa yang memberi kehidupan manusia 40 hari setelah konsepsi, sehingga aborsi baru dikatakan dosa jika dilakukan setelah itu. Dia menulis bahwa setelah kehidupan manusia terbentuk, maka penghancurannya adalah tindakan dosa karena menghalangi kelahiran manusia: “Hence, after the sin of homicide whereby a human life already in existence is destroyed, this type of sin appears to take next place, for by it the generation of human nature is impeded.” (lih. Summa Contra Gentiles III, 122). Namun sekarang ilmu pengetahuan menunjukkan bahwa kehidupan janin dimulai pada saat konsepsi, sebab di saat itu sudah terbentuk organisma baru yang mempunyai susunan DNA yang berbeda dengan DNA ayah maupun ibunya, dan sejak itu pulalah sel tersebut sudah dapat hidup dan bertumbuh. Dengan demikian, jika St. Thomas hidup pada masa sekarang, nampaknya iapun akan mengajarkan bahwa aborsi yang dilakukan setelah konsepsi sudah merupakan dosa; atas dasar pengetahuan bahwa sejak saat konsepsi, sudah terbentuk janin yang mempunyai jiwa manusia.

Menarik untuk disimak adalah perkataan St Thomas sendiri sebelum wafatnya:

Neither do I wish to be obstinate in my opinions, but if I have written anything erroneous concerning this sacrament or other matters, I submit all to the judgment and correction of the Holy Roman Church, in whose obedience I now pass from this life.” (terjemahan yang dicetak tebal: … tetapi jika saya telah menuliskan apapun yang salah tentang sakramen ini ataupun [tentang] hal- hal lainnya, saya menyerahkan semua kepada penilaian dan koreksi dari Gereja Roma yang kudus, yang di dalam kepatuhan kepadanya sekarang saya beralih dari kehidupan ini).

Maka dalam berbagai hal tentang ajaran iman, termasuk hal persamaan martabat antara pria dan wanita, kita mengacu kepada ajaran Magisterium Gereja Katolik, seperti yang tertulis dalam Katekismus:

KGK 1645    Karena kesamaan martabat pribadi antara suami dan isteri, yang harus tampil dalam kasih sayang timbal balik dan penuh-purna, jelas sekali nampaklah kesatuan Perkawinan yang dikukuhkan oleh Tuhan” (Gaudium et Spes 49,2). Poligami melawan martabat yang sama suami isteri dan cinta dalam keluarga, yang unik dan eksklusif (Bdk. Familiaris Consortio 19).

KGK 2334    “Ketika menciptakan manusia sebagai pria dan wanita, Allah menganugerahkan kepada pria dan wanita martabat pribadi yang sama dan memberi mereka hak-hak serta tanggung jawab yang khas” (Familiaris Consortio 22, Bdk. Gaudium et Spes 49,2). “Manusia bersifat pribadi: itu berlaku sama untuk pria dan wanita; karena kedua-duanya diciptakan menurut citra dan keserupaan Allah pribadi” (Mulieris Dignitatem 6).

KGK 2393    Ketika Allah menciptakan manusia sebagai pria dan wanita, Ia memberi kepada mereka martabat pribadi yang sama. Pria dan wanita harus memperhatikan dan menerima seksualitasnya.

Demikian, semoga menjadi jelas bagi kita semua.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org

0 0 votes
Article Rating
6 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
Hendrik Tang
Hendrik Tang
12 years ago

Kepada Sdri. Ingrid, pa kabar ! Baik2 ya Kalau tidak salah 2 minggu yang lalu, saya pernah mengajukan pertanyaan berkisar peran perempuan di dalam forum homili di gereja KATHOLIK, pertanyaan seperti itu, sebagai konteksnya 1Kor.14:34-35 dan juga penjelasan maksud dari 1Kor.11:7-15, saya lupa bagaimana persisnya pertanyaan itu, tapi mengapa tidak ada jawaban, dan saya juga mohon dijawab dengan teliti, tidak perlu tergesa-gesa, karena saya ingin jawaban yang lengkap, mencakup semuanya tentang perempuan dan status sosial dll. dalam pandangan gereja Katholik, khususnya di dalam semacam homili, dan sejauh mana artinya 1Kor.14 di atas. Kalau pertanyaan saya masih ada, pakai pertanyaan yg… Read more »

wulung
wulung
12 years ago

Bukti bahwa bapa gereja/orang suci bisa salah. Daud aja bisa berdosa. Tapi kita tetap menghormati mereka. Mereka adalah orang-orang pilihan ALLAH.

albert cendikiawan
albert cendikiawan
Reply to  wulung
12 years ago

Benar bahwa para Kudus pun bisa berdosa, tetapi itu tidak mengurangi wibawa mengajar Gereja Katolik. Mohon moderator menjelaskan/mengklarifikasi kalimat pendek yang berpotensi bermasalah ini.

terima kasih
salam damai

[dari katolisitas: terima kasih atas masukannya, dan saya telah memberikan tanggapan yang diperlukan.]

Stefanus Tay
Admin
Reply to  wulung
12 years ago

Shalom Wulung, Terima kasih atas komentarnya. Memang Bapa Gereja bisa saja salah dan semua orang bisa salah. Namun harus diakui, bahwa dalam banyak hal, para Bapa Gereja – terutama sampai abad ke-5 – adalah saksi-saksi dari kekristenan yang lebih dapat dipercaya dari kita semua, karena mereka lebih dekat dengan sumbernya daripada kita. Dan kalau kita mau membaca tulisan para Bapa Gereja – termasuk setelah abad 5 – maka kita akan mengagumi bagaimana mereka dapat memaparkan warisan iman dengan begitu indah dan benar. Sama seperti kita dapat terkagum-kagum mendengar karya-karya musik Mozart yang jenius, maka kita juga akan terkagum-kagum terhadap para… Read more »

Andreas
Andreas
12 years ago

Yth pengasuh Katolisitas, Saya iseng-iseng baca debat Ali Sina dan para Muslim di sini: http://alisina.org/gender-apartheid-and-islam/ Saya kaget, para muslim melawan Ali Sina dengan menulis begini: “As regards the individual nature, woman is defective and misbegotten, for the active power of the male seed tends to the production of a perfect likeness in the masculine sex while the production of a woman comes from a defect in the active power.”- Thomas Aquinas “Women are vessels of excrement”- St. Augustine Pertanyaan saya, apakah kutipan berbahasa Inggris di atas benar ucapan/ajaran St Thomas Aquinas dan St Agustinus? Jika itu benar ucapan mereka, itu… Read more »

Romo pembimbing: Rm. Prof. DR. B.S. Mardiatmadja SJ. | Bidang Hukum Gereja dan Perkawinan : RD. Dr. D. Gusti Bagus Kusumawanta, Pr. | Bidang Sakramen dan Liturgi: Rm. Dr. Bernardus Boli Ujan, SVD | Bidang OMK: Rm. Yohanes Dwi Harsanto, Pr. | Bidang Keluarga : Rm. Dr. Bernardinus Realino Agung Prihartana, MSF, Maria Brownell, M.T.S. | Pembimbing teologis: Dr. Lawrence Feingold, S.T.D. | Pembimbing bidang Kitab Suci: Dr. David J. Twellman, D.Min.,Th.M.| Bidang Spiritualitas: Romo Alfonsus Widhiwiryawan, SX. STL | Bidang Pelayanan: Romo Felix Supranto, SS.CC |Staf Tetap dan Penulis: Caecilia Triastuti | Bidang Sistematik Teologi & Penanggung jawab: Stefanus Tay, M.T.S dan Ingrid Listiati Tay, M.T.S.
top
@Copyright katolisitas - 2008-2018 All rights reserved. Silakan memakai material yang ada di website ini, tapi harus mencantumkan "www.katolisitas.org", kecuali pemakaian dokumen Gereja. Tidak diperkenankan untuk memperbanyak sebagian atau seluruh tulisan dari website ini untuk kepentingan komersial Katolisitas.org adalah karya kerasulan yang berfokus dalam bidang evangelisasi dan katekese, yang memaparkan ajaran Gereja Katolik berdasarkan Kitab Suci, Tradisi Suci dan Magisterium Gereja. Situs ini dimulai tanggal 31 Mei 2008, pesta Bunda Maria mengunjungi Elizabeth. Semoga situs katolisitas dapat menyampaikan kabar gembira Kristus. 
6
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x