Agama hanya konsep? Maka lebih baik agnostik?

Agama hanya konsep?

Dewasa ini ada sejumlah orang berpendapat bahwa agama hanya konsep, maka lebih baik tak usah beragama. Menurut orang-orang macam ini, tanpa agamapun orang bisa sampai kepada Allah. Dalam kehidupan saya sehari-hari bahkan dalam lingkup keluarga terdekat, gejala ini terasa nyata dan bahkan menguat, di jaman teknologi tinggi dengan banjir informasi dan tawaran berbagai gaya hidup yang mengagungkan kebebasan atas nama hak asasi manusia. Terutama di kalangan kaum muda, dewasa muda dan paruh baya. Apalagi jika kita hidup di negara maju yang masyarakatnya sudah semakin liberal dan sekuler. Mereka menyebut dirinya spiritual tetapi menolak disebut religius, mengakui dan mengasihi Tuhan (atau “Tuhan” menurut konsep mereka sendiri) dengan caranya sendiri tetapi alergi dengan semua yang berkaitan dengan institusi (agama).

Yang lebih terasa memperihatinkan kalau mereka datang dari latar belakang keluarga Katolik, maka saudara-saudara kita ini (yang di KTP nya tetap Katolik) mengatakan dan mengakui mengasihi Yesus, menghormati dan bergantung kepada Yesus, tetapi mau sampai kepada Yesus dengan cara yang dipilihnya sendiri, dan menolak mengikuti ajaran Gereja dalam bentuk apapun juga termasuk mengikuti Misa Kudus. Adalah tantangan bagi kita sesama umat beriman untuk menyikapi hal ini dengan bijaksana di dalam kasih kerahiman Allah, agar mereka dapat sampai kepada Bapa. Serta suatu panggilan untuk mengintrospeksi diri kita sebagai murid-murid Kristus, apakah seluruh hidup kita sudah benar-benar mencerminkan Kristus. Apakah kita sudah mengimani Kristus lewat seluruh hidup kita ataukah hanya sampai sebatas label dan dokumen saja. Pada akhirnya, kesaksian hidup kita sebagai kaum beragama, sebenarnya diamati oleh orang-orang yang menolak agama. Semakin benar dan terang hidup kita dalam kasih, semakin mereka menemukan keindahan agama, yang mereka lihat kita peluk dan hayati dengan segenap hati. Apalagi anak muda cenderung haus akan idola dan mereka selalu perlu mempunyai seorang role model atau panutan dalam hidup mereka yang masih labil.

Kaum yang menolak agama (dan kadang bahkan menolak mengakui adanya Tuhan) umumnya sangat mengedepankan logika dalam segala hal. Padahal manusia terdiri dari badan dan jiwa. Di dalam jiwa, ada hati, perasaan, pikiran. Jika konsep mengenai Tuhan hanya ditelaah secara satu aspek saja yaitu pikiran (akal budi), maka sebenarnya konsep itu tidak utuh, karena masih ada aspek hati nurani dan perasaan, dan Tuhan juga menyapa manusia di sisi itu. Sapaan Tuhan yang demikian hanya dapat dirasakan dengan hati, tidak bisa diungkapkan sempurna dengan panca indera atau dengan kata dan pernyataan. Dan setelah manusia mati, yang hancur hanya badannya, sedangkan jiwanya kekal, melanjutkan perjalanan di dimensi lain. Tanpa pegangan yang baik yang sudah diwahyukan Tuhan melalui agama, bagaimana kita menyikapi masa depan manusia setelah melewati kematian?

Sisi yang menguntungkan dari mereka yang mengutamakan logika, mereka biasanya terbuka untuk berdiskusi, sepanjang diskusi itu mengikuti alur yang nalar. Keterbukaan mengandung harapan untuk berubah, maka kita bisa masuk dari sana. Tetapi untuk masalah hati, kita harus selalu mohon rahmat Tuhan untuk menyentuh dan mengubahnya. Berikut ini sharing yang dapat saya sampaikan dalam kerangka diskusi secara nalar:

Poin pertama: apa artinya mengakui Tuhan itu ada dan mengasihi Dia

Sebagaimana Ingrid Listiati menuliskan dengan indah dalam artikel ”Apa artinya menjadi Katolik”, (dalam hal ini konteks kita adalah agama Katolik), kalau kita mengaku mengikuti dan mengasihi Kristus, tentu kita tidak dapat menutup mata terhadap apa yang sebenarnya dikehendaki Kristus dari umat-Nya. Adalah absurd untuk mengasihi tapi tidak mau tahu apa sebenarnya yang disukai oleh Pribadi yang kita kasihi.. Berbicara mengenai Kristus tidak dapat dilepaskan dari Kitab Suci, karena Kristus mewahyukan diri-Nya kepada kita melalui Kitab Suci. Melalui Kitab Suci, kita mengetahui bahwa Kristus ingin kita menyembah Dia dalam komunitas, tidak sendirian saja (Ibr.10:25). Namun menolak agama berarti juga menolak Kitab Suci yang menjadi dasar dari agama (kekristenan dalam hal ini). Mau mengasihi dan menyembah Tuhan tetapi menolak Kitab Suci sebenarnya tidak bisa dipertanggungjawabkan secara nalar, apalagi secara rohani. Sejak awal mula dunia dan cara-Nya Tuhan menyapa manusia dan menyiapkan jalan bagi keselamatan manusia di dalam Kristus Putera-Nya adalah melalui manusia lain, yaitu melalui para nabi, melalui para umat Tuhan di masa lampau, dan akhirnya melalui para rasul-Nya, dan bersama mereka yang dibimbing oleh Roh Kudus, mereka menuliskan nubuat akan Kristus, perjalanan hidup-Nya di dunia, dan ajaran-ajaran-Nya kepada manusia, di dalam Kitab Suci. Kita juga mengetahui mengenai Tuhan di periode sangat awal dari hidup kita (setelah kita dilahirkan) juga dari orang lain bukan? Yaitu dari orangtua yang membesarkan kita serta para saudara dan kerabat. Sejak awal kelahirannya di dunia, bukankah manusia secara umum tidak berkenalan dengan Tuhan secara langsung (ditampaki Tuhan langsung dan diajak kenalan muka dengan muka)? Maka dari sudut pandang ini saja, beriman dengan sendirian dan dengan caranya sendiri menjadi sangat lemah keabsahannya. Untuk menutup poin pertama ini, saya kutipkan sekali lagi dari artikel Ingrid Listiati di atas sebagai berikut:

Pribadi yang kita ikuti dan kita jadikan pusat dalam hidup kita ini, adalah Pribadi yang mengasihi kita, yang menyatakan kasih-Nya itu dan mewahyukan Diri-Nya secara penuh kepada kita. Karena kasih-Nya yang sempurna inilah, Kristus ingin terus tinggal di tengah kita dan bersekutu/ bersatu dengan kita. Sebab kasih selalu menginginkan kebersamaan. Kristus menghendaki kebersamaan atau persekutuan antara kita dengan Dia, atas dasar kasih dan kebenaran, sebab Ia Allah yang adalah Sang Kasih (1 Yoh 4:8) dan Kebenaran (Yoh 14:6). Maka menjadi Katolik, pertama-tama adalah menanggapi dengan iman, pewahyuan Allah dan undangan-Nya kepada persatuan (komuni) dengan-Nya.

Dengan demikian, iman dapat digambarkan dengan perkataan ini: “Kalau Tuhan yang saya percayai sebagai Pribadi yang baik, penuh cinta kasih, dan bijaksana, telah mewahyukan sesuatu kepada saya, maka atas hormat dan kasih kepada-Nya, saya mau menerima apa yang diwahyukan-Nya itu.”

Lebih lanjut mengenai bagaimana kita membuktikan keberadaan Tuhan, kita dapat memperdalam wawasan kita dengan dasar filosofi dari St. Thomas Aquinas, yang dapat dibaca di artikel “Bagaimana membuktikan bahwa Tuhan itu ada”

Poin kedua: mencari jalan sendiri itu tidak realistis dan membatasi pertumbuhan kita

Jika kita memang sungguh mengasihi Tuhan dan mau mengakui Dia ada dan menyembahNya dalam hati kita (walau dengan cara kita sendiri) pasti kita tidak ingin relasi dengan Yang kita kasihi itu stagnan dan berlangsung ala kadarnya/sekedar ada. Secara prinsip manusiawi yang sehat, sebagaimana kita menyikapi relasi kita dengan sahabat atau orang terdekat, kita tentu ingin iman kita berkembang secara aktif dan progresif. Dan mampu mengubah kita menjadi pribadi yang lebih baik dalam segala hal. Jika kita tidak bersama-sama dengan orang lain, kita tidak pernah ditantang untuk berhadapan dengan berbagai perbedaan karakter, argumen, dan tata nilai sesama kita. Demikian iman yang dijalani sendirian tidak punya kesempatan untuk diuji dan ditantang untuk tetap berakar dalam kasih dan kehendak Tuhan yang kita kasihi. Iman yang tidak pernah mendapat tantangan lama-lama tidak berkembang dan mati.

Beriman sendiri dengan mencari jalan sendiri yang dianggap baik dan bebas menurut kemauan sendiri juga sangat rawan terhadap goncangan dan kebingungan. Karena tidak ada panduan mengenai hal yang baik dan yang tidak baik, tidak ada sesama yang saling mengingatkan, tidak ada orang yang saling memberi semangat, saling meneguhkan, saling menegur kalau ada yang salah, saling belajar dan tumbuh dari kesalahan, dan saling mendoakan saat kita lemah. Padahal lihatlah kepada kehidupan ini. Penuh dengan ketidakpastian, penderitaan dan kesalahpahaman, perlakuan tidak adil, tipu daya, keserakahan, sakit penyakit, dan inkonsistensi. Dan lihatlah diri kita sendiri. Penuh dengan kebimbangan, keterikatan kepada kebiasaan yang tidak mampu kita kendalikan, kelemahan pribadi, luka-luka batin karena interaksi dg orang lain, cita-cita yang tidak kesampaian, dan pertanyaan yang tidak mampu kita temukan jawabannya dalam aneka fenomena kehidupan. Mampukah kita sendirian saja menghadapi semua itu? Apakah kita akan bertahan, dan bisa mempunyai relasi bersama Tuhan yang tumbuh, aktif, progresif dan mengubahkan, dengan sendirian mencari jalan kita sendiri yang kita anggap baik dan bebas menurut kemauan sendiri? Mungkin kalau diibaratkan seorang musafir, seperti berjalan sendirian tanpa perbekalan yang memadai di padang pasir yang terik dan gersang mencekik leher dengan aneka binatang buas yang mengancam dari segala arah (bahasa anak mudanya: nekat. Dan keputusan yang tidak didasari perhitungan nalar maupun kebijaksanaan semacam itu tidak realistis, tidak klop dengan tuntutan kehidupan yang kompleks ini). Yakinkah kita hal itu adalah jalan yang memerdekakan kita dan mengantar kita sampai tujuan? Alangkah beraninya kita di hadapan Tuhan. Karena Tuhan saja tidak pernah bermaksud begitu. Kita diberikanNya sesama, keluarga, pasangan hidup, sahabat, dan Ia mengijinkan agama-agama berdiri dan bertahan selama ribuan tahun itu bukan tanpa maksud. Oleh karena itu, institusi agama sebenarnya merupakan jalan yang memberikan jawaban terhadap tantangan pertumbuhan dan kebutuhan kita untuk berubah demi menjalani kehidupan ini dengan lebih optimal dan berkepenuhan. Untuk bertumbuh, kita memerlukan umpan balik dari orang lain, sebuah jendela yang besar, tidak cukup hanya sebuah cermin kecil yang hanya memantulkan bayangan kita sendiri.

Poin ketiga : institusi (agama) adalah mekanisme yang membuat usaha manusia untuk mengenal Tuhan, bertemu Tuhan, mencintai Tuhan dan akhirnya bersatu dengan Tuhan menjadi lebih efektif dan berhasil guna.

Saya mengutip pendapat seorang Rabi Yahudi, David Wolpe, yang menulis analogi berikut di blognya, yang bisa kita pinjam mengenai nilai sebuah agama, yaitu: jika buku-buku saja cukup, mengapa masih harus ada universitas? Jika senjata api saja sudah cukup, mengapa masih harus ada ketentaraan? Kalau mengatur diri sendiri dan jadi pemerintah terhadap diri sendiri dan keluarga saja cukup, mengapa masih harus ada sistem pemerintahan dan negara dengan birokrasinya? Agama melengkapi manusia dengan kekayaan yang tak terhitung jumlahnya dan tak ternilai harganya, untuk membuat manusia tumbuh dan kuat dalam imannya kepada Tuhan. Kekayaan agama hadir dalam hikmat Kitab Suci dan pengajaran Gereja, doa, sakramen, devosi, tata cara dan liturgi, pengakuan dosa, laku tobat, persekutuan doa dan pendalaman iman, kelompok-kelompok pengembangan keluarga, suami istri, orang muda dan pekerja, juga kelompok pelayanan bagi sesama yang menderita, dan daftarnya masih bisa panjang. Semua itu memberikan bekal yang menyiram, memupuk, dan memberikan buah bagi kehidupan iman dan kasih manusia kepada Tuhan dan manusia lain. Hal melayani sesama, sementara sejumlah orang yang menolak agama kadang berprasangka negatif terhadap agama, namun fakta juga menunjukkan bahwa di banyak kejadian dan kesempatan, agama-agama-lah yang melaksanakan perbuatan-perbuatan peduli kemanusiaan. Bantuan-bantuan kemanusiaan yang efektif dan menjadi besar untuk menjawab tantangan penderitaan yang real di seluruh dunia ini, secara konsisten dan berkesinambungan, lahir dari agama-agama, bukan dari perorangan atau sekelompok orang saja.

Poin keempat: Mencari jalan sendiri rawan tersesat.

Sekarang jika kita kembali kepada mengapa kita memilih agama Katolik, ini adalah masalah mempertaruhkan nasib jiwa kita (yang tidak musnah sekalipun kita sudah mati). Memutuskan mengikuti dan memeluk agama dengan semua konsekuensi dan tanggungjawabnya tidak lain adalah memutuskan pilihan terpenting bagi kelangsungan hidup kita baik selama di dunia ini maupun setelahnya. Gereja Katolik yang diwariskan oleh para Rasul Kristus dibangun sesuai dengan amanat Kristus dan bahwa Gereja tetap bertahan selama dua ribu tahun dan akan terus sesudahnya, adalah bukti nyata penyertaan Kristus yang telah Dia katakan sendiri kepada para rasul-Nya. Kita bisa membaca kembali poin-poin terpenting memutuskan bergabung dalam Gereja Katolik dalam artikel “Mengapa kita memilih Gereja Katolik”.

Ingin masuk sebuah kepercayaan hanya berdasarkan selera dan kemauan pribadi atas nama kebebasan pribadi juga beresiko tersesat yang bisa berakibat buruk bagi diri kita dan orang lain. Ada banyak sekali agama aneh-aneh di dunia ini, terutama di Amerika, Afrika, India. Misalnya agama “Nuaubianism” (yang menganggap orang kulit putih adalah turunan setan) dan agama “Nation of Yahweh” (Hulon Mitchell adalah anak Allah, dan kiprah kelompoknya tidak pernah jauh dari tindakan kekerasan), atau agama “Gereja Euthanasia” (save the planet, kill yourself).

Kadang-kadang saya merasakan juga bahwa alasan orang muda untuk tidak mau beragama sebetulnya sesederhana menghindari tanggung jawab dan aturan yang mereka rasakan kaku dan mengikat. Ingin mencari sendiri apa yang paling nyaman dan bebas sesuai kemauan dan kebutuhannya, aspirasinya. Orang-orang muda ini mungkin perlu diingatkan bahwa pengekangan diri dan mengikatkan diri kepada aturan yang baik itu perlu, sebab hidup itu sendiri tidak bisa dijalani dengan kebebasan tanpa batas dengan segalanya harus berjalan seperti yang kita sendiri anggap baik dan menyenangkan menurut nilai nilai kita pribadi. Karena hidup itu sendiri tidak seperti itu.

Dan mengapa kita mau berlelah-lelah untuk berdiskusi sepanjang ini? Karena kita hendak ikut mewartakan kepada sesama kabar gembira keselamatan yang ditugaskan Kristus di bahu kita, Kristus yang kita cintai, Kristus yang menghendaki semua manusia diselamatkan. Ia yang tidak menghendaki kita mencari jalan sendiri untuk sampai kepada Allah Bapa, tetapi melalui Dia. Sebab Kristus adalah “Jalan, kebenaran dan hidup” (Yoh 14:6), yang selalu bersatu dan menyertai Gereja-Nya sampai akhir zaman (lih. Mat 28:19-20) untuk menghantar kita sampai kepada kehidupan yang kekal.

0 0 votes
Article Rating
19/12/2018
21 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
Question Everything
Question Everything
11 years ago

Apakah kehendak Tuhan bahwa manusia jatuh dalam dosa? Untuk apakah Tuhan memberikan ujian kepada manusia? Karena Tuhan sudah tahu segalanya, bahkan sebelum kita diuji dan tahu. Apabila jawabannya hanya untuk menguji iman kita, ya akan balik lagi ke polemik bahwa Tuhan tahu segalanya. Kalau Tuhan sudah tahu segalanya, untuk apa lagi menguji manusia. Apakah agar manusia tahu bahwa Tuhan itu ada dan nyata? Artinya untuk manusia yang tidak percaya Tuhan, akan masuk ke neraka dan menjalani api penyucian. Kalau begitu apa gunanya Tuhan menciptakan manusia. Kalau hanya untuk membagi manusia ke dalam surga dan neraka. Toh Tuhan sudah mengetahui siapa… Read more »

Ingrid Listiati
Reply to  Question Everything
11 years ago

Shalom Question Everything, 1. Kalau Tuhan sudah tahu hasilnya, mengapa menguji manusia? Sesungguhnya, dari pihak Tuhan memang Tuhan sudah tahu segalanya. Maka jika Ia menguji manusia dan menyatakan diri-Nya kepada manusia, itu adalah untuk kepentingan manusia itu sendiri. Maka Kitab Suci yang merupakan Wahyu ilahi, itu dimemang dituliskan untuk kepentingan manusia, bukan untuk kepentingan Tuhan. Tuhan tidak membutuhkan pujian ataupun penghargaan manusia, namun manusialah yang membutuhkan Tuhan, jika ia ingin sampai kepada kebahagiaan yang sejati. Nah kebahagiaan sejati inilah yang juga dikehendaki oleh Tuhan, bagi semua manusia. Namun Allah juga mengetahui bahwa tidak semua orang menanggapi tawaran kebahagiaan sejati ini.… Read more »

Question Everything
Question Everything
Reply to  Ingrid Listiati
11 years ago

1. Artinya Tuhan menciptakan sesuatu dan kemudian sesuatu itu di luar kendali-Nya? Walaupun jelas bahwa sebenarnya Tuhan sudah tahu apa yang terjadi? Bukankah manusia hanya akan jadi boneka yang istilahnya dipermainkan oleh nasib (baca: ujian Tuhan)? 2. Ketika dulu manusia berandai-andai untuk terbang, apakah manusia tersebut dibilang gila, penghujat dsbnya? Ketika dulu Wabah Hitam melanda Eurasia, apakah itu disebut hukuman Tuhan? Ketika Copernicus mengatakan bahwa bumi mengelilingi matahari, beliau dianggap bidaah? Jadi manusia terbiasa menggunakan kuasa Ilahi sebagai penjelasan, ketika mereka belum berhasil menemukan penjelasan. Dan menariknya (kalau tidak ingin disebut konyol), hal tersebut berlanjut hingga kini. Apalagi dengan hukum… Read more »

Ingrid Listiati
Reply to  Question Everything
11 years ago

Shalom Question Everything, 1. Tidak. Tuhan tidak menciptakan sesuatu yang kemudian di luar kendali-Nya. Allah sudah mengetahui sejak awal mula bahwa sebagai akibat dari kehendak bebas yang diberikan kepada manusia, maka sejumlah orang akan menolak-Nya dan Allah mengizinkan hal itu terjadi. Sebab Ia tidak mungkin menentang hakekat Diri-Nya sendiri yang adalah Kasih, karena Kasih itu pada dasarnya tidak memaksa pihak yang dikasihi untuk harus mengasihi-Nya kembali sebagai balasannya. “Kasih yang tidak memaksa” ini tidak sama dengan membiarkan “sesuatu terjadi di luar kendali”. Menjadi di luar kendali kalau Allah tidak tahu bahwa sebagian akan menolak Dia, dan Dia terkejut karena hal… Read more »

damay
damay
Reply to  Ingrid Listiati
11 years ago

syalom katolisitas,, saya ingin mempertegas pertanyaan Question Everything,sesuai yang saya tangkap : Jika Tuhan sudah tahu bahwa saya akan masuk neraka, mengapa Tuhan masih menciptakan saya?? bukankah lebih baik Tuhan menciptakan manusia yang sudah pasti (dia tahu) masuk surga?? jika untuk menyelamatkan manusia, mengapa Tuhan tidak menciptakan manusia yang sudah pasti selamat? sehingga Dia tidak perlu repot-repot berkorban di kayu salib hanya untuk menyelamatkan manusia jika untuk mengajarkan kasih, mengapa Tuhan tidak menciptakan saja manusia yang sudah mampu mengasihi? sehingga Dia tidak perlu turun ke dunia hanya untuk mengajarkan kasih bagi saya (manusia) lebih mudah menciptakan robot dengan kemampuan matematika,… Read more »

Ingrid Listiati
Reply to  damay
11 years ago

Shalom Damay, Silakan untuk terlebih dahulu membaca artikel ini, yang baru saja kami tayangkan untuk menjawab pertanyaan Anda, silakan klik. Kita harus mengakui bahwa pikiran kita sungguh terbatas, dan bahkan kasih kita juga terbatas, sehingga umumnya kita manusia selalu menginginkan agar jika kita mengasihi orang, maka orang yang kita kasihi itu akan membalas mengasihi kita. Namun ukuran yang kita pakai ini terlalu kecil untuk mengukur kasih Tuhan yang tidak terbatas. Sebab memang menurut ukuran ataupun pikiran manusia, sepertinya terlalu ‘repot-repot’ sampai Tuhan harus mengutus Yesus Peutera-Nya wafat di kayu salib untuk mengajarkan kita bagaimanakah kasih yang sejati. Tetapi bagi Tuhan… Read more »

tarsisius
tarsisius
11 years ago

Agama Katolik adalah agama yang mengajarkan cinta kasih.Ajaran Tuhan Yesus juga mengutamakan cinta kasih. Tetapi mengapa Paus membiarkan dan bahkan merestui terjadinya Perang Salib dengan iming-iming mati sahid.Perang salib diasumsikan sabagai “just war” perang yang adil,tidak berdosa membunuh musuh demi memberikan keadilan,demi memajukan kebaikan,demi menghindari kejahatan??????????????????? Apakah yang tercantum dalam Injil? Bukankah Yesus memerintahkan kita utk mengasihi musuh kita? Pernahkah Anda mendengar firman “jika seseorang menampar pipi kirimu,berikanlah pipi kananmu” Menurut hemat saya,Paus seharusnya berpasrah pada kehendak Tuhan dan tidak mendekritkan perang.Kalau memang Tuhan menghendaki hancurnya the Holy Sepulchre (kubur Yesus yang kudus) dan semua kawasan Kristen di Yerusalem,umat Kristen… Read more »

Ingrid Listiati
Reply to  tarsisius
11 years ago

Shalom Tarsisius, Sejujurnya, kita tidak mengetahui persis gentingnya keadaan pada saat itu, sehingga tidak sepantasnya kita menghakimi Paus (dalam hal ini Paus Urban II) yang memang memprakarsai dikirimnya pasukan dari negara-negara Barat ke Yerusalem di abad ke-11. Tujuan pengiriman pasukan tersebut pertama-tama adalah untuk melindungi jemaat di sana, sehingga bukan semata-mata mempertahankan Holy Sepulchre (meskipun itu memang menjadi tempat ziarah umat Kristen yang terpenting, yaitu tempat di mana Yesus wafat dan dikuburkan, sebelum Ia bangkit dengan mulia). Sebab dikatakan bahwa pada tahun 1009, Hakem, kalifah Mesir memerintahkan pemusnahan Holy Sepulchre dan semua daerah/ pemukiman Kristen di Yerusalem. Selanjutnya bertahun-tahun kemudian… Read more »

Question Everything
Question Everything
Reply to  Ingrid Listiati
11 years ago

Mohon ijinkan saya untuk ikut dalam perbincangan ini. Setelah membaca reply Ibu Ingrid Listiati, saya sedikit termenung. Sungguh mulia sekali apabila alasan yang digunakan oleh gereja saat itu adalah untuk melindungi peziarah yang diserang. Tapi ketika saya tempatkan diri saya pada posisi pemimpin agama (Paus) yang ketika itu disegani dan bahkan raja-raja pun mempertimbangkan perkataan Paus (apalagi permintaan), saya jadi meragukan alasan tersebut. Mari kita berandai-andai, karena jelas catatan sejarah pada saat itu dan kapanpun juga, tidak dapat dipercaya. Sejarah hanya diisi oleh mereka yang berkuasa dan menurut hemat mereka. Saya seorang Paus. Perkataan saya adalah perkataan Tuhan. Siapapun mendengarkan… Read more »

Ingrid Listiati
Reply to  Question Everything
11 years ago

Shalom Question Everything, Untuk memahami sejarah secara obyektif, kita tidak bisa berandai-andai dengan menempatkan diri kita sendiri sebagai Paus, lalu mengira-ngira bahwa Paus pasti sepemikiran dengan kita. Sebab itulah yang nampaknya terjadi pada Anda. Anda memasangkan pemikiran Anda, lalu Anda meyakinkan diri Anda sendiri bahwa Paus pasti sepemikiran dengan Anda, yaitu bahwa ia takut kehilangan kuasa, dst. Bukankah itu namanya Anda mengadili Paus. Pemahaman semacam ini lebih didasari atas praduga bahwa Paus itu seorang yang gila kuasa, namun bukan atas dasar fakta catatan korespondensi antara Paus dan Kaisar Konstantinopel yang memohon kemurahan hati Paus untuk membantu melindungi jemaat di Gereja… Read more »

Question Everything
Question Everything
Reply to  Ingrid Listiati
11 years ago

Perang Salib dimulai pada abad ke-11 (sesuai dengan tulisan Ibu Ingrid diatas)saya tidak tahu pastinya jumlah populasi dunia pada saat itu berapa. Sementara pada saat perang dalam kurun waktu 1928-1987, populasi dunia adalah diatas 2 milyar (1927), menjadi diatas 5 milyar (1987). Artinya dalam 60 tahun terjadi penambahan sekitar 3 milyar orang. Kalau kita bisa tarik mundur dan menggunakan perhitungan Malthus, pada abad ke-11, populasi dunia pastilah dibawah 1 milyar. Jadi kalau kita korelasikan jumlah penduduk dunia dan korban perang, terlihat kalau mana yang akan menelan korban jiwa lebih besar. Perang Salib atau perang di China. Pada abad ke-11 juga… Read more »

Ingrid Listiati
Reply to  Question Everything
11 years ago

Shalom Question Everything, Nampaknya, kita setuju bahwa hal jatuhnya korban manusia karena pembunuhan itu adalah sesuatu yang memprihatinkan, dan karena itu, selayaknya dihindari. Yang kita tidak setuju adalah, bahwa Anda menganggap bahwa agama-lah yang menjadi sumber perseteruan/ konflik, dan menganggap bahwa dengan tidak beragama, maka akan mengurangi konflik. Saya tidak berpandangan demikian. Sebab sejarah mencatat tentang begitu banyaknya konflik-konflik masyarakat ataupun bangsa yang tidak bermotifkan agama. Silakan klik di Wikipedia dengan kata kunci revolutions and rebellions, dan di sana terpampang berbagai konflik dan perang yang terjadi di berbagai penjuru dunia sepanjang sejarah sampai sekarang. Memang nampaknya ada di antara konflik… Read more »

norman
norman
11 years ago

surga – konsep
neraka – konsep
dosa – konsep
allah – konsep
agama – konsep

Yg riil tidak ada toh?

[dari katolisitas: yang riil adalah manusia yang mengalami Allah dalam agama yang dianutnya dan akan menuntunnya ke Sorga atau melakukan dosa yang terus menerus sehingga menuntunnya ke neraka]

Kristo
11 years ago

Dengan sedemikian banyaknya agama dan aliran kepercayaan yang ada di muka bumi ini sebenarnya sudah menunjukkan bahwa agama tidak lebih dan tidak kurang dari sebuah konsep. Itu sudah merupakan fakta, jadi, tidak perlu diperdebatkan lagi apakah agama merupakan sebuah konsep atau tidak. Jawabannya jelas: Agama hanya sekedar konsep.

Buat saya, sebagai sebuah konsep, agama tidak lebih menarik ketimbang humanisme. Sebaliknya malah, bumi lebih membutuhkan humanisme ketimbang agama. Lenyapnya agama, akan berarti menyebabkan hilangnya sebuah penyebab konflik di atas bumi.

har mikel
har mikel
11 years ago

Sapaan Tuhan yang demikian hanya dapat dirasakan dengan hati, tidak bisa diungkapkan sempurna dengan panca indera atau dengan kata dan pernyataan. lalu bagaimana kita memeriksanya dalam tujuan tidak tersesat? Submitted on 2013/05/11 at 11:19 am kamu bilang mencari jalan sendiri rawan sesat, tapi percaya tanpa bukti juga rawan Submitted on 2013/05/11 at 11:16 am apa benar yang kamu rasa adalah tuhan? jika tidak tertangkap pikiran bagaimana kita memeriksanya? apa kamu yang sok tahu? apa persis dengan tindakan manusia yang percaya bahwa di suatu ruangan ada hantu jika bulu kuduknya merinding? Submitted on 2013/05/11 at 11:10 am jangan membutakan mata sendiri… Read more »

tarsisius
tarsisius
11 years ago

Agama tidak membuat seseorang masuk surga tetapi sifat dan perilaku sehari-hari orang tsb yang menentukan.Berbuat kasih ataukah berbuat jahat? itulah kira2 yg menjadi penilaian Tuhan untuk diselamatkan.
Seseorangpun bila atheis tetapi banyak berbuat kasih dan kebaikan akan diselamatkan daripada seseorang yang rajin beribadah tetapi suka menindas orang miskin,tidak peduli terhadap penderitaan sesama,dsb.
Apakah arti iman tanpa perbuatan?
Secara pribadi saya sangat membenci kemunafikan.
Mohon maaf bila tulisan saya tdk terstruktur dgn baik karena saya menyampaikan secara spontan saja.
Terima kasih

Anya
Anya
11 years ago

Menurut saya setelah melakukan berbagai pengamatan dalam setiap diskusi, ada beberapa faktor yang menjadikan mereka memilih untuk menganut agnostik, 1.Mereka memilih menjadi agnostik setelah mengkaji pengalaman intelektual. Tidak terperangkap dalam dogma. Dogma jelas melarang pemikiran yang membahayakan ideologi dengan ancaman bagi yang mencoba berpikir menggunakan otak sendiri (cenderung membelenggu akal). 2.Agnostik berlandas pada Eksistensialisme dan positivistik, bahwa Kebenaran tunggal baru dapat diyakini ketika rasio menerimanya, sementara Tuhan tidak dapat dirasionalkan. [Dari Katolisitas: Meskipun tak dapat dirasionalkan, namun bukan berarti Tuhan tak dapat dipahami dengan rasio/ akal budi dan pikiran manusia (lih. Rom 1:19-20)] 3.Para penganut agnostik merasa tetap bisa beribadah… Read more »

Herman Jay
Herman Jay
11 years ago

Agama hanyalah Konsep Pengalaman beragama ( religious experience) dianggap sesuatu perasaan belaka oleh para agnotisis. Bahkan agama hanyalah hasil olah pikir manusia. Konsep belaka. Oleh karena itu tidak ada gunanya beragama. Bagaimana menghadapi dan ” menobatkan ” (membuat bertobat) para anak muda yang berpikir dan berkeyakinan demikian teguh seperti itu? [dari Katolisitas: pertanyaan berikut ini digabungkan karena masih satu topik:] Memilih Agnotisisme dibanding Agama Bentrok antar penganut agama menyebabkan agama sering dianggap pemecah belah manusia.Fakta ini menyebabkan sebagian orang tidak mau beragama. Menurut mereka , toh mereka bisa berkomunikasi dengan Tuhan tanpa agama. Ada pula yang berargumen: kalau tujuan semua… Read more »

Romo pembimbing: Rm. Prof. DR. B.S. Mardiatmadja SJ. | Bidang Hukum Gereja dan Perkawinan : RD. Dr. D. Gusti Bagus Kusumawanta, Pr. | Bidang Sakramen dan Liturgi: Rm. Dr. Bernardus Boli Ujan, SVD | Bidang OMK: Rm. Yohanes Dwi Harsanto, Pr. | Bidang Keluarga : Rm. Dr. Bernardinus Realino Agung Prihartana, MSF, Maria Brownell, M.T.S. | Pembimbing teologis: Dr. Lawrence Feingold, S.T.D. | Pembimbing bidang Kitab Suci: Dr. David J. Twellman, D.Min.,Th.M.| Bidang Spiritualitas: Romo Alfonsus Widhiwiryawan, SX. STL | Bidang Pelayanan: Romo Felix Supranto, SS.CC |Staf Tetap dan Penulis: Caecilia Triastuti | Bidang Sistematik Teologi & Penanggung jawab: Stefanus Tay, M.T.S dan Ingrid Listiati Tay, M.T.S.
top
@Copyright katolisitas - 2008-2018 All rights reserved. Silakan memakai material yang ada di website ini, tapi harus mencantumkan "www.katolisitas.org", kecuali pemakaian dokumen Gereja. Tidak diperkenankan untuk memperbanyak sebagian atau seluruh tulisan dari website ini untuk kepentingan komersial Katolisitas.org adalah karya kerasulan yang berfokus dalam bidang evangelisasi dan katekese, yang memaparkan ajaran Gereja Katolik berdasarkan Kitab Suci, Tradisi Suci dan Magisterium Gereja. Situs ini dimulai tanggal 31 Mei 2008, pesta Bunda Maria mengunjungi Elizabeth. Semoga situs katolisitas dapat menyampaikan kabar gembira Kristus. 
21
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x