Rancangan-Ku Bukanlah Rancanganmu

Kesaksian Ingrid

Yang kuingat tentang masa kecilku adalah rangkaian memori yang indah. Aku berasal dari keluarga Katolik yang bahagia, dan aku dibaptis sejak bayi. Bersama dengan kakakku semata wayang, aku menjalani kehidupan masa kecil tanpa kekurangan kasih sayang dari orangtua. Kedua orangtuaku adalah dokter, sehingga sejak kecil aku diajarkan untuk selalu peduli kepada penderitaan orang lain. Selain itu, mereka mengajarkan kami anak- anaknya untuk mencintai iman Katolik, dan untuk hal ini aku sungguh berterima kasih kepada orangtuaku. Papi dan Mami sudah mendorongku dan kakakku sejak usia dini untuk terlibat dalam kegiatan gerejawi di paroki. Berdoa bersama menjadi kebiasaan kami dalam keluarga. Mungkin karena pengaruh lingkungan yang sedemikian, pernah terbersit dalam pikiranku untuk menjadi seorang biarawati. Namun karena pengalaman traumatik di masa remaja dengan salah seorang biarawati, maka aku mengurungkan niatku ini. Maka selepas SMA, aku melanjutkan studi di jurusan teknik arsitektur, Universitas Katolik Parahyangan. Di sanalah aku bertemu dengan Stef, yang akhirnya menjadi suamiku. Di hari Minggu Pesta Keluarga Kudus 29 Desember 1996, kami mengikat janji perkawinan di hadapan Tuhan.

Setelah menikah, kami tinggal di Jakarta, dan seperti umumnya pasangan muda, kami sama- sama bekerja, walau tidak di kantor yang sama. Aku menyukai pekerjaanku, demikian juga Stef. Di tahun 1998, saat Stef dipindahtugaskan oleh kantornya ke Makati, Filipina, aku tidak berpikir dua kali untuk ikut. Belum setahun kami tinggal di sana, kami menerima undangan perkawinan dari adik Stef, dan kami memutuskan untuk mengambil waktu liburan ke kampung halaman. Di dalam pertemuan keluarga itulah banyak di antara kerabat Stef yang bertanya, mengapa kami tak kunjung mempunyai momongan. Saat itu perkawinan kami memasuki tahun ketiga. Mereka menganjurkan agar aku memeriksakan kandunganku, dan untuk alasan ini aku memutuskan untuk tinggal lebih lama di Jakarta, sementara Stef kembali lebih dahulu ke Makati.

Kabar yang kuterima di kamar periksa ginekolog (dokter kandungan) itu sepertinya yang menjadi salah satu titik awal episode yang menentukan dalam kehidupanku. Dokter itu memberitahukan kepadaku bahwa ada benjolan sebesar telur bebek di rahimku. Namanya leiomyoma, kalau tidak salah. “Kita lihat nanti,” ujarnya, “jika ternyata saat operasi ditemukan banyak benjolan dan berpotensi mengganggu, maka kemungkinan dapat dilakukan hysterectomy (pengangkatan rahim).” Perkataan ini bagiku seperti petir di siang bolong. Aku terlongong-longong, seperti mimpi rasanya. Mimpi buruk. Aku takut, bukan saja terhadap operasi yang harus kujalani, tetapi juga terhadap resiko bahwa aku tidak akan dapat mengandung dan melahirkan sang buah hati yang begitu kudambakan. Aku juga takut mengecewakan papa dan mama mertuaku, karena mereka sangat mengharapkan cucu dari kami, mengingat Stef adalah satu-satunya anak laki-laki dari tujuh bersaudara. Tambahan lagi, aku takut membuat Stef bersedih hati, sebab Stef sangat menyukai anak- anak. Kami berdua memang mengharapkan agar dapat dikaruniai anak-anak oleh Tuhan. Akankah Stef menerima keadaanku, kalau aku mengakibatkan harapannya tak tercapai? Sungguhkah pupus harapanku untuk menjadi seorang ibu? Bermacam pikiran bercampur aduk dalam benakku. Saat itu benar- benar menjadi saat tergelap dalam hidupku. Aku membayangkan kepedihan hatiku, bahwa sepanjang umur hidupku, aku tak akan mendengar seorang anakpun memanggilku, “Mama”. Tak kuasa aku membendung air mataku. Tanpa kata, tanpa suara, namun hatiku mengaduh, perih seperti ditusuk sembilu.

Aku tak tahu bagaimana harus memberitahukan kabar tak terduga ini kepada Stef, suamiku. Sebab aku tahu dia pasti akan sama terpukulnya dengan aku. Kupandang salib Tuhan Yesus di dinding kamarku. “Tuhan Yesus, bantulah aku mengatakan kepadanya …. Tuhan kasihanilah aku dan kuatkanlah aku….” Akhirnya aku membulatkan hati untuk menelpon Stef dan menceritakan kepadanya tentang penyakitku dan segala resikonya. Ada jeda panjang di ujung sana, namun ia mengatakan kata-kata penghiburan ini, yang tak akan pernah kulupakan seumur hidupku: “Ingrid, dalam keadaan apapun, jangan kuatir; sebab aku akan selalu mengasihimu dan tidak akan pernah meninggalkan kamu. Mari kita hadapi semua ini bersama- sama…”

Tak banyak orang yang tahu akan kepedihan hati kami. Orang- orang di sekitar kami bahkan menyangka bahwa kami tidak menghendaki kelahiran anak, sebab kami berdua nampak sebagai pasangan yang workaholic. Kerja sampai larut malam itu sudah makanan sehari- hari bagi kami: Stef di perusahaan multinasional software komputer, dan aku di konsultan arsitektur. Aku sangat menikmati pekerjaanku sebagai seorang arsitek, sehingga dapat dikatakan, pekerjaan menempati urutan pertama di pikiranku, baru kemudian yang lain-lain. Setidaknya itu terlihat dari begitu banyaknya waktu yang kugunakan untuk urusan pekerjaan. Walau aku tak pernah benar- benar jauh dan meninggalkan Tuhan, namun nampaknya prioritas hidupku saat itu sungguh keliru. “Mungkin Tuhan ingin mengajariku untuk mengubah cara hidupku melalui penyakit ini,” demikian aku menghibur diriku sendiri.

Aku melewati hari- hari menjelang operasi dengan berdoa dan mengikuti Misa Kudus setiap hari.. Tak pernah rasanya aku berdoa sekhusuk itu. Sepertinya saat itu mata hatiku dibukakan, bahwa apa yang selama ini kuanggap penting, bukanlah apa- apa, sebab yang terutama adalah hidup berpaut pada Tuhan. Seluruh hidupku ada di dalam tangan Tuhan;  segala yang ada padaku adalah milik Tuhan dan suatu saat nanti akan kembali kepada-Nya. Namun jauh di relung hatiku aku bertanya kepada Tuhan, “Mengapa harus melalui cara yang seperti ini? Mengapa semua ini harus terjadi padaku, Tuhan?” Di tengah-tengah pergumulan ini, aku diajak untuk mengikuti Misa Kesembuhan di Lembah Karmel, Puncak. Di sana, Tuhan menjamahku dengan rahmat penyembuhan-Nya yang luar biasa. Begitu memandang Sakramen Maha Kudus di altar, aku berlutut dan air mataku menetes tanpa henti. Aku tahu Tuhan Yesus hadir di sana, memandangku dengan penuh kasih. Di hadapan-Nya aku melihat segala dosa dan kesalahanku…. juga begitu banyaknya kesempatan di mana aku menghindar daripada-Nya dengan dalih macam- macam… dan begitu dalamnya aku tenggelam di dalam duniaku sendiri. “Tuhan Yesus, ampunilah aku. Kasihanilah aku yang berdosa ini….” Aku berpasrah dan menyerahkan hidupku sepenuhnya kepada-Nya. Di dalam Misa Kudus itulah pertama kalinya dalam hidupku aku mengalami dekapan kasih Tuhan yang sedemikian indah, dan tak ada kata-kata yang mampu melukiskannya. Sepertinya ada aliran hangat yang mengalir di sekujur tubuhku dan hatiku dipenuhi dengan damai sejahtera. Nampaknya perkataan Rasul Paulus ini terjadi padaku saat itu, “Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus.” (Flp 4:7) Segala ketakutanku hilang sirna. Aku tidak lagi takut akan penyakitku, dan akan segala resikonya. Aku tidak takut akan tanggapan orang lain, jika sampai aku tidak mempunyai anak. Aku tidak takut akan masa depanku. Hatiku tenang sekali. Dari mana datangnya ketenangan ini, kalau bukan dari Tuhan sendiri. Betapa berbedanya keadaanku dengan saat pertama kali aku tiba di sana. “Terima kasih, Tuhan Yesus.” Aku tahu, inilah jawaban Tuhan atas doa-doaku. Walau Tuhan Yesus tidak membuang benjolan di rahimku secara ajaib, namun Ia melakukan hal yang lebih besar daripada itu. Tuhan Yesus membuang penyakitku yang lebih parah, yaitu ketakutan dan kesombonganku, kedua hal yang tak dapat diambil oleh dokter yang terpandai sekalipun, kedua hal yang sekian lama telah memisahkan aku dari Tuhan. Namun Yesus menjamahku dan membebaskan aku, dan aku diubah-Nya menjadi seseorang yang baru.

Beberapa hari kemudian, aku menjalani operasi, dan berkat pertolongan Tuhan, semuanya berjalan baik. Dokter kandunganku mengatakan bahwa sesungguhnya masih ada kemungkinan bagiku untuk mengandung, karena rahimku masih dapat berfungsi dengan normal. Ia bahkan mengatakan bahwa nampaknya alasan kami belum memperoleh keturunan bukan karena adanya myoma itu, sebab posisi dan letaknya tidak menghalangi pembuahan. Maka ia menyarankan agar Stef diperiksa, “Anda check-up saja, untuk memastikan segala sesuatunya baik- baik saja,” demikian ujar sang dokter kepada Stef. Tak satupun dari kami menyangka bahwa akan ada masalah. Tetapi dugaan kami keliru. Sebab saat Stef diperiksa keesokan harinya, ternyata hasilnya sungguh mencengangkan. Jelas tertulis di sana, bahwa kemungkinan kami untuk memperoleh keturunan secara medis benar- benar tidak ada. Kasus yang terjadi pada Stef sangatlah langka, dan sulit dijelaskan. Sekarang giliran Stef yang sangat terpukul, sebab berakhirlah sudah mimpi kami untuk dikaruniai sang buah hati. Namun aku bersyukur kepada Tuhan, sebab Ia telah menguatkanku saat itu, sehingga aku dapat menghibur Stef dengan perkataan yang sama yang pernah diucapkannya kepadaku, “Stef, tak usah kuatir akan apa yang terjadi. Aku akan tetap mengasihimu dan tidak akan meninggalkanmu. Mari kita hadapi semua ini bersama- sama…”. Saat itu aku diingatkan akan begitu dalamnya makna janji perkawinan kami: yaitu untuk saling mengasihi dan setia satu sama lain di dalam untung dan malang, sehat dan sakit, sepanjang hidup.

Dalam kebisuan malam itu, kami saling memandang tanpa kata, namun air mata kami sudah cukup mengisahkan segalanya. Stef mengajakku berdoa bersama seperti biasa, tetapi terus terang, kami tidak tahu lagi apa yang harus kami ucapkan. Sepertinya kami kehilangan kata- kata. Namun kemudian, seperti digerakkan oleh Roh Kudus, kami mengambil rosario kami masing-masing, dan mulailah kami mendaraskan doa rosario bersama. Sebagaimana anak yang datang dengan hati yang hancur ke hadapan ibunya, demikianlah kami datang ke hadapan Bunda Maria, memohon agar ia mendoakan kami kepada Yesus, Putera-Nya. Butir demi butir rosario kami lalui dengan tetes air mata, dan dengan kepasrahan yang penuh, “Santa Maria Bunda Allah, doakanlah kami yang berdosa ini ….”  Dengan bertelut kami berdoa, memohon agar Tuhan Yesus menyatakan kehendak-Nya atas kami, dan memampukan kami menerimanya dengan ucapan syukur. Dan sungguh, Tuhan itu sungguh ajaib, Ia mendengar dan menjawab doa-doa kami. Beban kami diangkatnya, dan sedikit demi sedikit Ia membimbing kami untuk semakin mengenali rencana-Nya.

Pembaharuan rohani kami sebagai pasangan suami istri dimulai di bulan Juni sampai Agustus tahun 2000, saat kami mengikuti LISSLife in the Spirit Seminar (Seminar Hidup dalam Roh Kudus), yang diadakan di kapel St. Nino de Paz, Greenbelt, Makati. Awalnya, Stef tidak terlalu antusias, tetapi ketika minggu demi minggu berlalu, ia berubah. Bagiku memang ini bukan SHDR yang pertama, sebab aku sudah pernah mengikutinya di Jakarta sekitar 7 tahun sebelumnya. Namun mengikutinya sekali lagi bersama Stef, sungguh merupakan pengalaman yang jauh lebih mengesankan, juga karena seminar itu diadakan dalam 11 minggu, lebih panjang rentang waktunya daripada SHDR yang umum diadakan di tanah air. Kami benar- benar tersentuh oleh berbagai kesaksian, pengajaran maupun lagu-lagu pujian dan penyembahan yang dinyanyikan di sana. Apalagi orang- orang di Filipina terkenal dengan talenta musik yang sangat istimewa.

Di akhir LISS, kami seolah diubah oleh Roh Kudus menjadi pribadi yang lain dari sebelumnya. Kasih Tuhanlah yang memperbaharui kami. Di hari- hari berikutnya kami begitu bersemangat untuk berdoa dan membaca Kitab Suci. Kami mengalami betapa Tuhan hadir di setiap saat dalam kehidupan kami. Setiap hari kami menghabiskan waktu berjam- jam untuk membaca dan mempelajari Kitab Suci. Kami membuka rumah kami untuk pertemuan kelompok sel untuk melakukan Bible sharing. Kami juga menggabungkan diri dengan komunitas persekutuan doa dan komunitas lainnya yang mempunyai seorang pastor pembimbing rohani sebagai pengajar. Dalam pertemuan- pertemuan itu kami mendengarkan berbagai pengajaran tentang iman Katolik. Kami tidak lagi tertarik untuk menonton film ataupun sinetron, melainkan menjadi begitu haus untuk menyimak pengajaran iman Katolik melalui siaran EWTN (Eternal Word Television Network. Kami mulai membeli banyak buku literatur Katolik, dan dengan penuh semangat kami membacanya. Kami seperti orang yang jatuh cinta yang kedua kalinya kepada Kristus dan Gereja-Nya. Siang dan malam hati ini rindu untuk disegarkan oleh Sabda Tuhan. Kami seolah menemukan mutiara yang terindah di dalam hidup, dan segala yang lain menjadi tiada berarti. “Tuhan Yesus, hanya Engkaulah tujuan hidup kami, dan hanya di dalam Engkau, kami menemukan kebahagiaan kami yang sesungguhnya.”

Tuhan Yesus membuka jalan bagi kami. Ia memberikan kekuatan dan menolong kami sehingga kami tidak kehilangan pengharapan. Ia telah menjawab doa- doa kami. Mungkin jawaban-Nya tidak sama dengan apa yang kami inginkan, namun yang jelas, jawaban Tuhan jauh lebih baik daripada yang kami harapkan. Kini kami berdua menganggap bahwa keadaan kami yang tidak dikaruniai anak merupakan keadaan yang membawa berkat, sebab keadaan ini telah memberikan kepada kami waktu yang lebih banyak untuk melayani Dia dan sesama. Betapa hati kami bersyukur karenanya! Ya, Tuhan telah mengubah duka cita kami menjadi suka cita. Mungkin panggilan hidup kami adalah untuk memperluas jangkauan ikatan keluarga kami kepada banyak orang dalam keluarga besar umat Allah, dan dengan demikian menjadikan mereka sebagai saudara, saudari, dan ya, anak- anak kami sendiri di dalam Tuhan Yesus. Sungguh indah rencana Tuhan di dalam hidup kami, dan kami senantiasa bersyukur karenanya.

Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN. Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu.…” (Yes 55:8-9)

Kesaksian Stefanus Tay

Aku terlahir dari keluarga sederhana dan keluarga besar, yaitu tujuh bersaudara, dengan aku menjadi anak laki-laki satu-satunya. Sedari kecil, keadaan ini membuatku merasa bahwa aku yang nantinya akan menjadi tulang punggung keluargaku. Setelah bersekolah di kota kecil kelahiranku sampai SMP, aku meneruskan pendidikan di SMA kolese De Britto, Yogyakarta. Di lingkungan inilah, aku merasakan kedekatan dengan Tuhan. Sering aku memulai hari dengan misa pagi sebelum mulai pelajaran. Lama kelamaan, aku mendengar ada suara lirih di dalam hatiku, agar aku dapat menjadi seorang imam. Masih terpatri dalam ingatanku, di hari ketiga acara retret akhir tahun, di pagi-pagi buta, aku berlutut di dalam kapel dan dengan hati yang berat aku berdoa, “Tuhan, aku mohon ampun, karena aku tidak dapat menjawab panggilan-Mu sebagai seorang imam, karena sebagai anak laki-laki satu-satunya, aku harus membantu keluargaku.”

Pada saat lulus SMA, aku mendaftar jurusan psikologi UGM, Jogja dan jurusan arsitektur Parahyangan, Bandung, di mana aku diterima di dua universitas tersebut. Setelah melalui pertimbangan yang cukup panjang, akhirnya aku memutuskan untuk mengambil kuliah di Bandung. Di tempat inilah, aku bertemu dengan Ingrid, yang kemudian menjadi istriku. Kemudian, baru kuketahui ternyata Ingrid juga diterima di jurusan psikologi Universitas Indonesia dan arsitektur Parahyangan. Yang mencengangkan adalah, dia juga sebelumnya berniat menjadi suster, namun kemudian niat ini tidak diteruskan. Sungguh Tuhan mempunyai selera humor yang tinggi, mempertemukan dua orang dengan begitu banyak persamaan. Setelah lulus kuliah, kemudian kami sibuk dengan pekerjaan masing-masing dan kemudian menikah pada tahun 1996. Kehidupan pernikahan kami lalui dengan kesibukan pekerjaan. Pendek kata, pekerjaan menjadi prioritas kehidupan kami, sampai kemudian krisis ekonomi di Asia Tenggara menjadi salah satu simpul yang penting yang mengubah kehidupan kami.

Menyikapi krisis ekonomi tersebut, kantor di mana aku bekerja, menawarkanku untuk dipindahtugaskan ke Filipina, untuk memulai bisnis di sana. Setelah mendiskusikannya dengan Ingrid, istriku, akhirnya kami memutuskan untuk pindah ke Makati di Manila, ibukota Filipina di bulan Agustus 1998. Kupikir ini adalah sebuah kesempatan yang baik bagiku, dan aku berkata kepada diriku sendiri, “Akan kubuktikan bahwa aku dapat mengatur segalanya dengan lebih baik daripada orang lain.” Sungguh suatu sikap yang sombong.

Di Filipina, aku harus memulai bisnis mulai dari nol. Kami datang dengan membawa dua buah koper, tidak ada kantor dan tidak ada rekan kerja. Pada dasarnya, aku harus memulai segala sesuatunya sendiri, dan inilah yang membuatku akhirnya menjadi gila kerja. Aku sering bekerja 18 jam sehari, mempersiapkan presentasi dan bermacam strategi marketing, sampai aku benar- benar kelelahan. Tetapi herannya, usahaku sepertinya sia-sia belaka dan masih saja belum dapat mencapai target yang ditetapkan oleh perusahaanku. Aku menjadi stress, sebab aku sadar bahwa sewaktu- waktu aku dapat dipecat karenanya. Mimpiku untuk menjadi karyawan yang terbaik lenyaplah sudah.

Mengetahui keadaanku, Ingrid menganjurkan agar aku mampir di kapel yang setiap hari kulalui di tengah jalan menuju ke kantor, untuk mempersembahkan segalanya kepada Tuhan. Aku tak begitu yakin pada awalnya, tetapi kulakukan juga, sebab kupikir, aku tak punya pilihan lain dan tidak ada ruginya. Keesokan harinya aku mulai berangkat ke kantor 15 menit lebih awal untuk mampir di gereja sebentar dan berdoa sejenak di hadapan sakramen Mahakudus. “Di hadapan altar aku tertunduk dan berkata, “Tuhan, kasihanilah aku. Aku sungguh-sungguh menghadapi masalah besar. Tolonglah aku untuk mengatasi masalah pekerjaanku ini.” Namun sedikit demi sedikit, doa yang sungguh sangat egois ini lama kelamaan berubah menjadi doa penyerahan diri, “Tuhan, kasihanilah aku. Bantulah aku agar mengetahui kehendak-Mu dan untuk menyerahkan segala sesuatunya kepada-Mu.” Sejak saat itu aku mulai berusaha untuk menghadiri Misa Harian. Dalam ketidakberdayaanku aku datang kepada Tuhan dan Tuhan menjawab doa-doaku. Dalam tiga bulan, banyak hasil yang baik yang telah tercapai dan aku berhasil mencapai kuota yang ditargetkan oleh perusahaan. Pada saat yang bersamaan, sesungguhnya Tuhan telah membentuk hatiku untuk dapat berpasrah dan menaruh kepercayaan kepada-Nya. Kelihatannya, semua baik adanya. Namun rupanya itu hanya merupakan pendahuluan untuk sebuah kejutan yang kuterima tak lama kemudian.

Suatu sore di bulan Juli 1999, saat aku masih bekerja di kantor, aku menerima interlokal dari Ingrid di Jakarta. Ia mengatakan kepadaku tentang hasil pemeriksaan dokter yang menunjukkan bahwa di rahimnya ada benjolan yang cukup besar. Tenang saja suaranya ketika memberitahukan kepadaku tentang hal ini, tetapi aku tahu hatinya telah hancur karena sedih. Aku juga terkejut akan adanya kemungkinan ia menjalani hysterectomy (pembuangan rahim) jika benjolan yang ditemukan telah menyebar, ataupun ditemukannya dalam jumlah banyak. Aku tercenung, membayangkan kemungkinan terburuk, yaitu nihilnya kemungkinan untuk mempunyai anak. Kemungkinan yang sungguh menyedihkan. Namun aku bersyukur bahwa di tengah kesedihanku, aku masih mampu berkata demikian kepadanya, “Ingrid, apapun yang terjadi, jangan kuatir, sebab aku selalu mengasihimu dan tidak akan meninggalkanmu. Mari kita hadapi semua ini bersama- sama.” Kami berdua terdiam, seolah-olah terpaku menyembunyikan kesedihan masing-masing.

Akhirnya aku pulang ke Jakarta dan beberapa hari kemudian, untuk mendampingi Ingrid yang dioperasi. Puji Tuhan, semua berjalan dengan baik. Dokter kandungannya mengatakan bahwa sesungguhnya masih ada kemungkinan baginya untuk mengandung, karena rahimnya normal. Lalu ia menganjurkan agar aku menjalani check-up untuk memastikan bahwa semuanya baik- baik saja. Akupun yakin bahwa tidak akan ada masalah. Tetapi, dugaanku benar- benar meleset. Hari berikutnya, setelah aku diperiksa dan menerima hasilnya, aku terkejut setengah mati. Hasilnya menunjukkan bahwa kemungkinan bagi kami untuk memperoleh keturunan benar-benar nol. Dokter yang satu dengan yang lain, memberikan pandangan yang sama. Mereka mengatakan bahwa kasusku sangat langka: suatu kasus kelainan sejak lahir yang tidak dapat diperbaiki. Hatiku semakin remuk mendengarnya. Di dalam keputusasaanku aku bertanya kepada Tuhan, “Tuhan, mengapa aku mengalami hal ini? Mengapa Kau biarkan ini terjadi padaku? Bukankah Engkau mengetahui bahwa kami berdua mendambakan kehadiran anak sebagai buah kasih kami? Apakah kami tidak bisa menjadi orang tua yang baik? Tuhan, mengapa Engkau mengambil kerinduan hatiku? Aku sungguh tak memahami rencana-Mu, Tuhan…. ” Tak pernah rasanya aku merasa terpuruk dan sedih seperti itu seumur hidupku.

Aku diam termangu. Air mataku menetes begitu saja, padahal sebenarnya aku bukan termasuk orang yang gampang menangis. Aku bertanya kepada Tuhan, tetapi tak ada jawaban. Nampaknya Ingrid memahami kegalauan hatiku. Ia menatapku dan mengatakan kata-kata yang sama yang sungguh membuatku lega, “Stef, jangan kuatir akan apapun yang terjadi. Aku akan tetap mengasihi kamu dan tidak akan meninggalkan kamu….” Betapa kami berdua diingatkan akan dalamnya makna janji perkawinan yang kami ucapkan di hadapan Tuhan! Kami hanya dapat berpelukan dan kemudian kami berlutut dan berdoa rosario bersama, dengan tetesan air mata pada setiap butir yang kami doakan. Kami memohon agar Bunda Maria mendoakan kami sebab kami tidak lagi dapat berdoa dengan kata- kata kami sendiri. Di dalam hati aku berkata, “Bunda Maria, kumohon katakanlah kepada Tuhan Yesus, bahwa aku sudah kehabisan anggur, yaitu anggur pengharapan dan masa depan, anggur suka cita sebagai orang tua, anggur termanis mendengar seseorang memanggilku Papa…”

Setelah berdoa rosario, aku merasakan suatu perubahan yang sungguh sulit untuk dijelaskan. Aku sendiri tak tahu bagaimana terjadinya secara persis. Yang kutahu hanyalah perlahan hatiku yang terpuruk oleh kesedihan diisi oleh damai sejahtera dan seolah-olah ada tangan dari Sorga yang mengambil bebanku, sehingga aku merasa bahwa beban yang harus kupikul menjadi lebih ringan. Dan aku tahu hal yang sama terjadi pada Ingrid.  Aku percaya, semua ini karena dukungan doa Bunda Maria. Tuhan berkenan mengangkat beban kami dan mencurahkan rahmat kepada kami. Sungguh benarlah ayat yang mengatakan, “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu.” (Mat 11:28). Sejak saat itu, segala sesuatunya berubah dalam hidup kami. Kasih kami sebagai suami istri diteguhkan, demikian juga hubungan kami dengan Tuhan Yesus dan Bunda Maria.

Beberapa waktu kemudian, kami berdua mengikuti retret LISS –Life in the Spirit Seminar (Seminar Hidup dalam Roh Kudus) yang diadakan di kapel dekat tempat tinggal kami di Makati. Pada waktu pencurahan Roh Kudus, tanggal 20 Agustus 2000, aku mengalami kasih Tuhan secara luar biasa, yang tak dapat kuceritakan dengan kata- kata. Begitu besarnya kasih itu, namun begitu dekat dan pribadi. Begitu kuatnya kasih itu, namun juga begitu lembut. Tak terlihat, tetapi begitu nyata. Aku mengalami betapa Tuhan mengampuniku dan tidak memperhitungkan segala kesalahanku. Ia menyelimuti aku dengan rahmat-Nya dan kasih ilahi-Nya. Mungkin Tuhan tahu bahwa aku benar-benar membutuhkan sentuhan kasih-Nya secara nyata untuk mengobati kesedihanku; dan Dia menggunakan retret ini untuk menyatakannya kepadaku.

Setelah pengalaman retret ini, hatiku dipenuhi dengan keinginan untuk terus membaca Sabda Tuhan, dan memperdalam pemahamanku akan ajaran Gereja. Mengikuti Ekaristi yang sebelumnya hanyalah sekedar fomalitas, tiba-tiba terasa menjadi begitu indah. Aku disadarkan bahwa pekerjaanku bukanlah hal yang paling utama di dalam hidupku, melainkan Tuhanlah yang terutama. Aku tidak lagi memusatkan hati untuk mencapai cita-citaku sendiri, melainkan mencari cara agar aku dapat lebih memuliakan Tuhan dalam hidupku, sebab Ia telah begitu mengasihi aku. Tuhan, aku bersyukur untuk karunia Roh Kudus-Mu. Kini aku mengerti bahwa melalui pencobaan, kesulitan dan penderitaan, Tuhan telah memurnikan aku. Semua itu memberikan kepadaku kekuatan dan pengharapan yang baru. Aku bersyukur bahwa Tuhan mengizinkan aku melewati penderitaan ini, sebab melaluinya Dia mengubahku menjadi manusia baru. “Dan bukan hanya itu saja. Kita malah bermegah juga dalam kesengsaraan kita, karena kita tahu, bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan, dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan. Dan pengharapan tidak mengecewakan, karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita.” (Rom 5:3-5)

Sejak saat itu, aku melihat segalanya dengan sudut pandang yang berbeda. Aku mempunyai kesadaran bahwa Tuhan sungguh-sungguh mengasihi aku. Kesadaran ini mendorongku untuk terus bertumbuh di dalam iman. Syukur kepada Tuhan, bahwa setiap hari Rabu, aku dan istriku dapat bergabung dengan satu grup yang dibimbing oleh seorang Pastor. Pastor inilah yang kemudian memberikan begitu banyak pengajaran tentang iman Katolik. Kami juga melibatkan diri dalam kegiatan komunitas di Greenbelt Chapel di dekat tempat tinggal kami. Melalui komunitas ini, kami belajar lebih lagi mengenai bagaimana menjadi murid Tuhan Yesus. Ini adalah benih pertama yang mengarahkan aku untuk membuat keputusan radikal di dalam hidupku: yaitu untuk mengabdikan seluruh hidupku untuk Tuhan dan Gereja-Nya.

Di tahun 2001, aku ditugaskan oleh kantor tempatku bekerja untuk jabatan baru di Singapura. Saat itu aku percaya bahwa Tuhan menghendaki agar aku dan Ingrid melakukan sesuatu di sana demi kemuliaan nama Tuhan. Bukan hanya pekerjaan kantorku saja yang membuatku bersemangat menghadapi kepindahan ini, namun juga tentang rencana pekerjaan yang akan kami lakukan untuk Tuhan. Setibanya kami di Singapura, kami segera melibatkan diri dalam berbagai kegiatan paroki. Kebetulan kami tinggal persis di samping gereja paroki St. Bernadette. Oleh pastor paroki, kami diperkenalkan dengan komunitas Keluarga Katolik Indonesia di Singapura (KKIS) maupun komunitas lokal di paroki tersebut. Kami melibatkan diri secara aktif di dalam keduanya. Kami beryukur telah diberi kesempatan untuk membagikan pengalaman rohani yang telah kami peroleh di Filipina. Sungguh Tuhan telah memberikan kepada kami berdua, suka cita untuk melayani Dia. Melalui pengalaman ini kami semakin menemukan panggilan yang Yesus kehendaki bagi kami. Perkataan Kristus kepada Rasul Petrus menjadi hidup di dalam hati kami, “Jangan takut, mulai dari sekarang engkau akan menjala manusia.” (Luk 5:10)

Kerinduan hati kami untuk mengikuti panggilan ini demikian kuatnya dalam hati kami berdua, maka kami berdua merencanakan untuk membaktikan kehidupan kami secara total pada kegiatan karya kerasulan. Aku memberitahukan hal ini kepada orang tuaku, dan memohon izin dari mereka. Puji Tuhan, mereka mengizinkan dan mendukung. Selanjutnya, kesempatan membicarakan hal ini dengan orang tua Ingrid datang pada kesempatan ketika mereka mengunjungi kami di Singapura. Aku berbicara kepada mereka bahwa kami ingin memberikan diri kami seutuhnya dalam karya kerasulan awam di Gereja Katolik. Pada awalnya, papa mertuaku mengatakan agar aku menunggu sampai berumur 50 tahun. Setengah jam kami berdiskusi, patokannya turun menjadi 45 tahun, dan setengah jam kemudian menjadi 40. Akhirnya, setengah jam berikutnya, ia seperti ‘menyerah’ kepada kegigihan menantunya. Ia tersenyum dan berkata, “Baiklah, terserah kamu saja”. Kemudian kami tertawa bersama, dan bahkan sempat kami berangan- angan bahwa kami akan mengajak mereka berdua turut serta untuk mengadakan karya kerasulan bersama- sama, mengingat mereka keduanya adalah dokter dan katekis. Sungguh tidak kusangka, kurang dari dua tahun sejak pembicaraan tersebut, papa mertuaku yang relatif sehat dan jarang sekali sakit, terkena infeksi pankreas dan meninggal dunia. Kenyataan ini membuatku terhenyak dan sadar bahwa hidup ini begitu singkat. Dengan keadaan kami yang secara medis tidak dapat mempunyai keturunan, namun telah merasakan kasih Tuhan yang begitu besar, apakah yang dapat kami lakukan untuk membalas kasih-Nya, sebelum kami dipanggil pulang ke rumah-Nya?  Tiba-tiba sepertinya terhampar suatu kenyataan depan kami, bahwa sesungguhnya pertemuan kami bukanlah satu kebetulan. Dua orang yang sama-sama mendaftar jurusan psikologi di kota yang berbeda, namun keduanya memutuskan mengambil jurusan arsitektur, sehingga akhirnya bertemu. Dua orang yang sebelumnya mempunyai keinginan menjadi suster dan pastor ternyata dipersatukan dalam Sakramen Perkawinan, namun secara medis tidak dapat mempunyai anak. Kebetulan? Rasanya tidak.

Kami berdua sering membicarakan dan membawa keinginan kami untuk melayani secara penuh dalam doa-doa kami. Retret di Singapura, Malaysia dan India telah kami ikuti untuk benar-benar mengetahui apakah sebenarnya yang Tuhan kehendaki dalam hidup kami. Setelah melalui proses discernment yang cukup panjang, maka di bulan September 2004, aku membuat suatu keputusan penting yang sungguh mengubah hidup kami. Aku mengundurkan diri dari pekerjaanku. Semua rekan kerjaku bertanya-tanya dan menyayangkan, mengapa aku melakukan hal ini. Namun tekadku sudah bulat.

Di akhir tahun 2004, kami berdua pulang ke Jakarta. Dengan suka cita seperti orang pulang kampung, kami langsung melibatkan diri dalam kegiatan gerejawi di paroki kami, sambil terus melakukan discernment akan langkah kami selanjutnya. Sejalan dengan bergulirnya waktu, kami semakin menyadari bahwa agar kami dapat melakukan tugas kerasulan dengan lebih baik, kami memerlukan bekal dan dasar yang kuat tentang pemahaman Kitab Suci dan ajaran Gereja Katolik. Keinginan inilah yang membawa kami terbang ke Amerika Serikat di tahun 2006, untuk mengikuti program studi S2 di bidang Teologi di Institute for Pastoral Theology (IPT), Ave Maria University.

Kepergian kami ke Amerika Serikat ini juga tidak terlepas dari dorongan dari saudara sepupu Ingrid yang bernama Maria Natalia (Lia), dan suaminya, Kyle Brownell. Mereka berdua telah lebih dahulu lulus dari program IPT di Ave Maria University, dan merekalah yang memperkenalkan program studi ini kepada kami. Awalnya kami mencari program di Filipina dan Australia dan tidak terlalu antusias untuk menuntut ilmu sampai jauh- jauh ke Amerika, tetapi rupanya Tuhan mempunyai rencana lain. Setelah kami membandingkan program teologi di Indonesia, Filipina dan Australia dengan di Amerika, akhirnya kami memutuskan untuk mengambil program teologi di Amerika.

Sebelum keberangkatan kami, ada banyak hal yang harus diperhitungkan. Namun cukuplah disebut di sini satu hal yang akhirnya memberi pengaruh besar dalam hidup kami. Dulunya kami berencana untuk menjadi semacam ‘rasul swadaya’, yang mencukupkan kebutuhan sendiri dan karya kerasulan kami dari hasil tabungan sendiri. Maka kami memutuskan untuk memberdayakan dana tabungan kami sebelum kami berangkat. Kebetulan saat itu kami bertemu dengan seorang teman yang berbaik hati menawarkan diri untuk membantu mengelola uang tabungan kami, agar kami dapat berkonsentrasi penuh kepada studi. Menyangka bahwa itu adalah ide yang baik, maka kami mempercayakan tabungan kami kepadanya. Kami tidak sedikitpun menyangsikan kebaikan dan ketulusan hatinya menolong kami. Ia menanamkan dana itu, bersama juga dengan uang tabungannya dan tabungan saudara-saudaranya pada sebuah perusahaan. Namun pada sekitar tahun pertama saat kami sudah berada di Amerika, kami menerima kabar, bahwa ternyata pimpinan perusahaan itu membawa kabur semua dana dari para penanam modal, dan itu termasuk tabungan kami. Kami masih ingat saat itu kami sangat terkejut dan kami hampir tak percaya. Setelah berkali- kali kami mencoba menghubungi teman kami, akhirnya kami berhasil berbicara dengannya melalui telepon, dan benarlah, ia mengatakan kepada kami bahwa iapun tertipu. Tabungannya sendiri dan tabungan saudara-saudaranya juga ludes. Ia dikejar perasaan bersalah dan berhari- hari tidak dapat tidur. Kami tak tahu harus mengatakan apa kepadanya.

Aku teringat saat itu adalah saat musim salju yang sangat dingin di Wisconsin. Aku memandang wajah Ingrid dengan tatapan lesu. Ingrid bertanya kepadaku, “Jadi, hilang semua, Stef?” Jawabku, “Kelihatannya begitu.” Tak ada kata-kata keluar dari mulutnya. Ia hanya memandangku dengan mata berkaca-kaca. Aku meraihnya ke dalam pelukanku, dan terbata- bata aku bertanya, “Do you still love me?” “Yes, I do,” bisiknya lirih. Kembali kami berlutut di hadapan Tuhan, dan mendaraskan doa rosario bersama. Kami disadarkan bahwa uang dan segala harta milik di dunia ini sifatnya sementara; dan untuk melayani Tuhan kami tidak dapat mengandalkan diri kami sendiri, namun pertama- tama adalah mengandalkan Tuhan. Kami diajarkan untuk tidak terikat pada uang dan berbagai kekuatiran, dan tetap mengarahkan hati kepada Tuhan agar tidak putus pengharapan. Kami juga disadarkan bahwa dalam melakukan karya kerasulan, Tuhan menginginkan banyak orang untuk terlibat di dalamnya. Dan memang, dengan keadaan ini, kami tidak dapat melakukannya sendiri. Kami menyadari bahwa kami membutuhkan bantuan orang lain. Tuhan rupanya ingin melatih kami untuk belajar kerendahan hati.

Setelah seminggu berlalu, kami akhirnya memutuskan untuk memberitahukan kabar yang mengejutkan ini kepada Lia dan Kyle. Mereka sangat kaget dan heran, “Bagaimanakah kalian dapat menyembunyikan hal ini dari kami selama seminggu ini? Kami tidak melihat perubahan apapun pada kalian sehingga kami sama sekali tidak menyangka kalian sedang mengalami musibah ini.” Lalu kami menceritakan segala sesuatunya kepada mereka, tentang rencana kami, pertemuan kami dengan teman kami itu, dan bagaimana sampai hal ini  terjadi. Untunglah kami sudah menyisihkan dana yang cukup untuk biaya kuliah sampai selesai, sehingga ada harapan bagi kami untuk terus melanjutkan kuliah, walaupun terus terang jumlahnya sangat mepet karena dalam jumlah itu kami tidak memperhitungkan semua dana yang akan kami keluarkan untuk membeli kebutuhan sehari-hari sampai kami lulus maupun jumlah kontribusi yang kami berikan untuk keluarga Kyle dan Lia. Namun seolah memahami pikiran kami, Kyle dan Lia secara spontan berkata, “From now on, do not spend your money on buying anything for our family, for any bills, and for your food. From now on, all your expenses will be on us. Give us a chance to partake in God’s work by doing this for you!” Kami sungguh terharu dan berterimakasih kepada mereka atas kasih dan ketulusan hati mereka. Betapa bersyukurnya kami memiliki kerabat yang sedemikian baik dan murah hati. Demikianlah, kami merasakan betapa besar pertolongan Tuhan, sebagaimana diajarkan oleh Rasul Paulus, “Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya.” (1 Kor 10:13)

Memang ada banyak hal yang kami alami selama kami tinggal bersama Kyle dan Lia, yang semuanya manis untuk dikenang. Namun baiklah di sini kami sebutkan hal yang terutama, yaitu pengalaman kebersamaan dengan seluruh anggota keluarga, khususnya dengan keempat anak mereka, yaitu Andrew, Nathan, Nicholas (yang menjadi anak baptis kami) dan Peter (serta Faustina, yang lahir kemudian di tahun 2012). Mereka adalah salah satu keluarga Katolik yang hidup seturut iman Katolik; atau tepatnya, Kyle dan Lia sungguh berusaha untuk mendidik anak- anaknya di dalam iman Katolik. Teladan keluarga merekalah yang menjadi inspirasi bagi kami untuk menulis tentang pendidikan iman Katolik pada anak- anak, dan bahwa apa yang dianjurkan oleh Gereja Katolik sesungguhnya dapat dilaksanakan dalam kehidupan nyata. Kami yang hidup bersama mereka juga turut melaksanakan peran sebagai paman dan bibi yang mendukung peran orang tua mereka. Maka, tak heran teman- teman kami di sana berseloroh, “Do not compare our kids with the Brownells because they live with four theologians under the same roof!”

Pengalaman kami kuliah di IPT juga meninggalkan kesan indah yang tak terlupakan. Ada banyak saat di mana mata hati kami dibukakan akan kedalaman makna pengajaran iman Katolik; yaitu saat seolah kami dapat berseru, “Aha! Sekarang aku tahu mengapa Gereja mengajarkannya demikian.” Para dosen kami merupakan orang-orang yang istimewa, karena mereka tidak hanya sangat pandai, tetapi juga sangat rendah hati. Teladan hidup mereka memberikan kesaksian yang hidup bahwa ajaran iman itu tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari; bahwa iman adalah untuk disertai dan dibuktikan dengan perbuatan. Maka bagi kami, kuliah adalah saat pencerahan jiwa, saat kami mengalami betapa ajaran Kristus begitu hidup dan relevan untuk hidup kami, dan bahkan untuk semua orang. Kami selalu menanti-nantikan saat kuliah, seperti sedang menunggu hadiah, sebab sungguh memang hadiah-lah yang kami terima dari Tuhan, setiap kali kami memperoleh pemahaman akan suatu ajaran-Nya yang disampaikan oleh Gereja. Sesungguhnya rasa syukur yang meluap-luap inilah yang mendorong kami untuk berbagi dengan orang lain, sebab kami rindu agar semakin banyak orang dapat mengalami betapa indah dan dalamnya makna ajaran iman Katolik; yang sungguh merupakan hadiah dari Tuhan untuk kita.

Harapan dan kerinduan ini nampaknya mulai terwujud saat kami memasuki tahun kedua kuliah. Saat itu memang kami terus bertanya kepada Tuhan, tentang apakah yang dapat kami lakukan untuk membagikan pengetahuan tentang iman Katolik yang telah kami peroleh dari studi kami. Setelah kami berdua membawa intensi ini dalam doa sekitar sebulan lamanya, akhirnya kami mendapatkan jawabannya. Tepat setelah kami selesai berdoa bersama, tercetuslah satu inspirasi. Penuh antusias, aku berkata kepada Ingrid, “Mari kita membuat website Katolik!” Ingrid memandangku dan bertanya, “Tahukah kamu caranya?” Jawabku jujur, “Tidak. Tapi aku dapat belajar membuatnya.” Aku langsung mencari tahu tentang bagaimana memulainya, dan dari hasil tanya sana sini dan belajar dari internet, lahirlah situs Katolik berbahasa Indonesia, yaitu Katolisitas.org pada tanggal 31 Mei 2008. Setelah itu, kesibukan kami tidak saja berkenaan dengan mengerjakan tugas-tugas kuliah, melainkan juga tugas menjawab dan menulis artikel-artikel untuk kami tayangkan di situs. Namun kami melakukannya dengan suka cita, sebab kami percaya bahwa Tuhan-lah yang menghendaki semuanya ini.

Suka cita kami semakin penuh setelah kami berhasil menyelesaikan studi kami di tahun 2009. Ada rasa lega dan haru, namun yang terutama adalah rasa syukur. Betapa tidak, perjalanan kami yang panjang akhirnya membuahkan hasil, walaupun memang hasil ini bukan merupakan tujuan akhir kami, malahan baru merupakan awal bagi perjuangan kami selanjutnya. Kini kami telah kembali ke tanah air, dan kami berusaha semampu kami untuk terus melakukan tugas kerasulan ini demi kemuliaan Tuhan dan kebaikan Gereja-Nya. Kami bersyukur atas dukungan yang kami terima dari para pembaca situs, kerabat dan sahabat-sahabat kami, sehingga karya kerasulan ini dapat terus berlangsung. Adalah kerinduan di hati kami agar dalam keterbatasan kami, kami dapat mengambil bagian–walaupun kecil–untuk turut membangun Gereja Katolik dari dalam. Menjadi kerinduan kami agar semakin banyak orang dapat mengalami kasih Tuhan dan kemudian menanggapinya dengan rasa syukur. Adalah harapan kami agar semakin banyak umat Katolik dapat memahami betapa besar pengorbanan Kristus yang dilakukan-Nya untuk mendirikan Gereja-Nya dan menjaga-Nya selama 2000 tahun ini. Adalah kerinduan kami agar semakin banyak orang dapat mengetahui bahwa Allah yang mengasihi mereka tetap sama, dahulu, sekarang dan selamanya. Dan kasih itu mengambil nama: Yesus Kristus.

Kemuliaan kepada Bapa, Putera dan Roh Kudus, seperti pada permulaan, sekarang, selalu dan sepanjang segala abad. Amin.”

(Ditulis oleh Stefanus dan Ingrid Tay, www.katolisitas.org)

5 5 votes
Article Rating
19/12/2018
89 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
arnold
9 years ago

Situs ini benar-benar membawa saya kepada pengenalan Tuhan yang sebenarnya. Saya rasa banyak orang yang begitu terberkati dengan situs ini. Mari kita berdoa selalu untuk Tim Katolisitas :)

[Dari Katolisitas: Terima kasih atas dukungan doa Anda. Teriring doa juga untuk Anda sekeluarga.]

Joseph M. Hendriawan
Joseph M. Hendriawan
10 years ago

Shalom Stefanus & Ingrid, Kesaksian anda berdua sungguh luar biasa! Tidak banyak orang yang menyadari akan rancangan Tuhan yang ternyata sangat jauh berbeda dengan apa yang anda berdua idamkan. Tuhan ternyata telah memilih anda berdua menjadi pengasuh Katolisitas yang kami rasakan manfaatnya bagi pertumbuhan iman kami. Saya percaya masih banyak pembaca katolisitas yang haus akan pengajaran Gereja Katolik merasakan hal yang sama. Terima kasih anda mau menyaksikan kebaikan Tuhan dalam hidup anda berdua. Semoga Allah Bapa, Tuhan Yesus dan Roh Kudus, Allah Tritunggal Mahakudus selalu memberkati pelayan anda berdua. Amin. Joseph M. Hendriawan [Dari Katolisitas: Tuhanlah yang luar biasa. Terima… Read more »

Henriette Wung
Henriette Wung
10 years ago

luar biasa pengalaman hidup Anda berdua…. Sy mulai melirik Katolisitas krn kebutuhan pelayanan di Papua yg luas, pastor suster sangat sedikit utk daerah seluas ini, banyak yg merasa tersingkir, sementara pendidikan formal dan kesejahteraan jauh dari standard, dan saya sedih krn bagi saya, pasti sulit menyapa Tuhan kalau hidup kita dibelit oleh kesukaran, lalu saudara2 kita di sini tidak ke Gereja (di bbrp kota atau desa) jd saya bertanya-tanya… Papua tanah Kristiani – katanya – lho ke mana orang2 Kristen – Katolik? Ternyata ada, tetapi saya merasa dan mendengar, mereka merasa tidak disapa, dianggap berbeda, oleh kita sebagai pendatang, padahal… Read more »

Romo pembimbing: Rm. Prof. DR. B.S. Mardiatmadja SJ. | Bidang Hukum Gereja dan Perkawinan : RD. Dr. D. Gusti Bagus Kusumawanta, Pr. | Bidang Sakramen dan Liturgi: Rm. Dr. Bernardus Boli Ujan, SVD | Bidang OMK: Rm. Yohanes Dwi Harsanto, Pr. | Bidang Keluarga : Rm. Dr. Bernardinus Realino Agung Prihartana, MSF, Maria Brownell, M.T.S. | Pembimbing teologis: Dr. Lawrence Feingold, S.T.D. | Pembimbing bidang Kitab Suci: Dr. David J. Twellman, D.Min.,Th.M.| Bidang Spiritualitas: Romo Alfonsus Widhiwiryawan, SX. STL | Bidang Pelayanan: Romo Felix Supranto, SS.CC |Staf Tetap dan Penulis: Caecilia Triastuti | Bidang Sistematik Teologi & Penanggung jawab: Stefanus Tay, M.T.S dan Ingrid Listiati Tay, M.T.S.
top
@Copyright katolisitas - 2008-2018 All rights reserved. Silakan memakai material yang ada di website ini, tapi harus mencantumkan "www.katolisitas.org", kecuali pemakaian dokumen Gereja. Tidak diperkenankan untuk memperbanyak sebagian atau seluruh tulisan dari website ini untuk kepentingan komersial Katolisitas.org adalah karya kerasulan yang berfokus dalam bidang evangelisasi dan katekese, yang memaparkan ajaran Gereja Katolik berdasarkan Kitab Suci, Tradisi Suci dan Magisterium Gereja. Situs ini dimulai tanggal 31 Mei 2008, pesta Bunda Maria mengunjungi Elizabeth. Semoga situs katolisitas dapat menyampaikan kabar gembira Kristus. 
89
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x