Santa Bunda Teresa: Melayani yang termiskin dari kaum miskin

Agnes Gonxha Bojaxhiu yang kemudian dikenal dengan nama Bunda Teresa lahir di ĂśskĂĽb, Skopje, Kerajaan Ottoman, Yugoslavia, pada tanggal 26 Agustus 1910. Ia adalah anak bungsu dari pasangan Nikola dan Drane Bojaxhiu, kaum minoritas Albania. Saat berusia 7 tahun, Gonxha sudah kehilangan sosok ayah, karena revolusi telah merenggut nyawa ayahnya. Drane, sang ibu, harus mengambil alih tanggung jawab keluarga, dan membesarkan anak-anaknya: Aga, 14 tahun, Lazar, 9 tahun, dan Gonxha, 7 tahun.

Sejak kecil Gonxha selalu terkesan dengan kisah-kisah kehidupan dan pelayanan para misionaris.

Sejak muda, hidup Gonxha terpusat pada kehidupan Gerejawi, namun baru dalam usianya yang ke-18 tahun, tepatnya 28 November 1928, Gonxha memutuskan untuk menjadi biarawati. Ia bergabung dengan Institut Perawan Maria, atau yang dikenal dengan Sisters of Loreto (para Biarawati Loreto) di Irlandia, karena ingin menjadi misionaris di India. Keputusan ini dibuatnya kerena sejak kecil Gonxha selalu terkesan dengan kisah-kisah kehidupan dan pelayanan para misionaris. Ia bahkan dapat menunjukkan berbagai lokasi daerah misi di peta dunia, dan pelayanan apa yang diberikan oleh para misionaris tersebut di daerah-daerah itu.

Gonxha memulai kehidupan religiusnya di Irlandia, jauh dari keluarga dan ia tidak pernah lagi melihat ibunya sejak saat itu. Para anggota kongregasi mengingatnya sebagai seorang yang “sangat kecil, pendiam dan pemalu,” dan seorang yang “sangat biasa.” Satu tahun setelah masuk biara, yaitu tahun 1929, Bunda Teresa dikirim ke Darjeeling untuk menjalani pendidikan sebagai biarawati Loreto. Tahun 1931, ia mengucapkan kaul pertamanya, dan memilih nama Teresa, untuk menghormati kedua Santa dengan nama yang sama, yaitu Teresa Avila dan Theresia dari Lisieux. Bunda Teresa, meskipun kelak mendirikan komunitasnya sendiri, tetap mempertahankan hubungan eratnya dengan para biarawati Loreto, sampai sepanjang hidupnya.

Di tahun yang sama, sesuai dengan ketentuan umum kongregasi, Bunda Teresa memulai tahun pelayanannya bagi umat Tuhan. Ia dikirim untuk mengajar di sebuah sekolah putri, SMA Santa Maria, di Kalkuta, India. Di sini, Bunda Teresa memulai pelayanannya sebagai guru sejarah dan geografi. Ia pun sempat menjabat sebagai kepala sekolah, di tahun 1944.

Bunda Teresa melakukan tugasnya sebagai guru dengan penuh dedikasi selama 15 tahun. Namun sementara ia mengajar anak-anak dari kalangan yang relatif berada, justru Bunda Teresa menemukan panggilannya yang baru. Ia terusik dengan keadaan masyarakat sekitarnya yang miskin dan terlantar. Keadaan ini tak terlepas dari bencana kelaparan yang melanda Benggala, India, di tahun 1942, yang telah membawa penderitaan dan kematian bagi sejumlah warga miskin. Bunda Teresa yang selalu mengikuti tuntunan suara hatinya, mendengar adanya “panggilan kedua” baginya, dalam perjalanan ke Darjeeling untuk mengikuti retret, di tahun 1946.

Dalam wajah orang-orang miskin itu, ia melihat tatapan Yesus yang berbisik kepadanya, “Aku haus” (Yoh 19:28).

Saat itu, Bunda Teresa melihat dengan matanya sendiri, kemiskinan dan penderitaan masyarakat Kalkuta. Dalam wajah orang-orang miskin itu, ia melihat tatapan Yesus yang berbisik kepadanya, “Aku haus” (Yoh 19:28). Hati Bunda Teresa pun tergerak untuk berbelarasa dengan mereka. Ia tidak mau hidup nyaman, sementara orang lain di sekitarnya lapar, sakit, dan mati tanpa ada yang mengurusnya. Maka, ia merasa yakin bahwa Tuhanlah yang menggerakkannya untuk meninggalkan kenyamanan pelayanannya bersama para biarawati Loreto, agar dapat melayani di jalanan. “Aku mendengar panggilan Tuhan untuk meninggalkan segala sesuatu dan mengikuti Kristus ke tempat-tempat kumuh dan melayani Dia di dalam diri orang-orang yang termiskin di antara kaum miskin.” Bunda Teresa kemudian mengambil sebuah pilihan yang kelak mengubah perjalanan hidupnya.

“Aku mendengar panggilan Tuhan untuk meninggalkan segala sesuatu dan mengikuti Kristus ke tempat-tempat kumuh dan melayani Dia di dalam diri orang-orang yang termiskin di antara kaum miskin.”

Keputusan ini membawa akibat yang tidak mudah. Ia harus secara formal meninggalkan komunitas Sisters of Loreto. Ia harus berhadapan dengan otoritas Gereja yang saat itu tidak dengan mudah memberi izin untuk membentuk komunitas religius yang baru. Ia harus menemukan cara untuk hidup dan berkarya di jalanan, tanpa keamanan dan kenyamanan biara. Tentang pakaian, Bunda Teresa memutuskan untuk tidak mengenakan pakaian sebagai biarawati Loreto, tetapi mengenakan pakaian umum bagi seorang wanita India, yaitu sari putih dan sandal.

Kemudian Bunda Teresa pergi ke Patna, untuk mengambil kursus perawat selama beberapa bulan, untuk mempersiapkan diri bagi karyanya di kemudian hari. Akhirnya  di tahun 1948, ia menerima izin dari Paus Pius XII untuk meninggalkan komunitas Loreto, dan hidup sebagai biarawati yang tidak terikat oleh ordo apa pun. Maka Bunda Teresa mengundurkan diri dari Sisters of Loreto dan mulai masuk ke perkampungan kecil dan kumuh di Kalkuta, India, dan memulai pelayanannya.

Bunda Teresa memulai setiap hari melalui persekutuan dengan Yesus dalam Komuni kudus, kemudian ia keluar ke jalanan, dengan rosario di tangannya, untuk menemukan dan melayani Yesus di dalam diri mereka yang “tidak diinginkan, tidak dicintai dan tidak diperhatikan.”

Awalnya ia memulai dengan mengajar anak-anak di perkampungan kumuh itu. Tanpa alat apa pun, ia mulai menggunakan apa yang ada: menulis di atas tanah. Ia mulai mengajar anak-anak miskin untuk membaca, dan memahami ilmu kesehatan dasar, seperti bagaimana menjaga kebersihan, dst. Setelah Bunda Teresa mulai dikenal, ia mulai mengunjungi kaum miskin dan sakit dalam keluarga mereka. Begitu banyak kebutuhan kaum miskin itu, yang seakan tidak pernah berhenti. Bunda Teresa memulai setiap hari melalui persekutuan dengan Yesus dalam Komuni kudus, kemudian ia keluar ke jalanan, dengan rosario di tangannya, untuk menemukan dan melayani Yesus di dalam diri mereka yang “tidak diinginkan, tidak dicintai dan tidak diperhatikan.”

Tanggal 7 Oktober 1950, Kongregasi baru the Missionaries of Charity (Misionaris Cinta Kasih) resmi berdiri di Keuskupan Agung Kalkuta.

Syukurlah Bunda Teresa tidak lama sendirian dalam pelayanannya. Dalam waktu setahun, ia memperoleh banyak bantuan. Tanggal 7 Oktober 1950, Kongregasi baru the Missionaries of Charity (Misionaris Cinta Kasih) resmi berdiri di Keuskupan Agung Kalkuta. Para perempuan muda datang untuk menjadi sukarelawan, yang kemudian menjadi kelompok inti dari Misionaris Cinta Kasih. Banyak orang lainnya memberikan makanan, pakaian, izin penggunaan bangunan, obat-obatan dan uang. Dengan datangnya berbagai bantuan tersebut, dibangunlah rumah-rumah kongregasi untuk melayani orang-orang yang mendekati ajal, pengungsi, panti yatim piatu, dan anak-anak terlantar, rumah sakit untuk penderita lepra, dan korban kecanduan alkohol, panti jompo, dan berbagai fasilitas lainnya.  Panggilan untuk menjadi biarawati komunitas tersebut terus berdatangan dari seluruh dunia, untuk melayani kaum miskin. Misionaris Cinta Kasih telah bertumbuh seperti biji sesawi yang dikisahkan dalam Injil. Tahun 1960 Bunda Teresa mulai mengirimkan suster-susternya ke daerah-daerah lain di India. Paus Paulus VI bahkan mendorongnya untuk membuka rumah kongregasinya di Venezuela, kemudian di Roma, Tanzania, dan akhirnya sampai ke setiap benua.

Sejak tahun 1980, ia bahkan juga mendirikan rumah pelayanannya di negara-negara komunis di Eropa Timur, termasuk Rusia, Albania dan Kuba. Ia tidak terpengaruh dengan kritik terhadap pendiriannya dalam melawan aborsi dan perceraian serta menyatakan, “Tidak peduli orang-orang mengatakan apa, Anda harus menerimanya dengan tersenyum dan melakukan pekerjaan Anda sendiri.” Di tahun 1982, saat terjadinya puncak Pengepungan Beirut, Bunda Teresa menyelamatkan 37 orang anak yang terjebak di garis depan sebuah rumah sakit dengan menengahi sebuah gencatan senjata sementara antara tentara Israel dan gerilyawan Palestina. Ditemani oleh para pekerja Palang Merah, ia melakukan perjalanan melalui zona perang ke rumah sakit yang hancur untuk mengevakuasi para pasien muda. Bunda Teresa juga melayani penderita kelaparan di Ethiopia, korban radiasi di Chernobyl, dan korban gempa di Armenia. Pada tahun 1991, Bunda Teresa kembali untuk pertama kalinya ke tanah airnya dan membuka rumah Misionaris Bruder Cinta Kasih di Tirana, Albania.

Untuk menanggapi kebutuhan jasmani dan rohani kaum miskin, Bunda Teresa mendirikan Misionaris Bruder Cinta Kasih (1963), Biarawati Kontemplatif (1976), Biarawan Kontemplatif (1979), Misionaris Imam Cinta Kasih (1984). Ia juga membentuk komunitas Rekan Kerja Bunda Teresa dan Rekan Kerja bagi orang-orang sakit dan menderita, yang dapat diikuti oleh orang-orang dari berbagai agama dan bangsa, yang mau mengambil bagian dalam semangat doa, kesederhanaan, pengorbanan dan pelayanan kasih Bunda Teresa. Semangat ini mendorong terbentuknya Misionaris Cinta Kasih Awam. Bunda Teresa memulai gerakan Corpus Christi bagi para imam di tahun 1981, untuk membagikan karisma dan semangatnya.

Di tengah pertumbuhan karya pelayanannya itu, dunia mulai memandang Bunda Teresa dan karya-karyanya. Bermula dari penghargaan India Padmashri di tahun 1962, dan juga penghargaan Nobel Perdamaian di tahun 1979, berbagai penghargaan demi penghargaan diberikan kepada Bunda Teresa. Dunia terkesima dengan perhatian dan kasih yang diberikan oleh Bunda Teresa kepada orang-orang yang umumnya tidak dihargai dan disingkirkan. Ia menjadi salah satu tokoh yang paling dikagumi dalam sejarah. Namun di mata Bunda Teresa sendiri, ia hanyalah “sebuah pensil Tuhan—sebuah pensil kecil yang dengannya Tuhan menulis apapun yang dikehendakiNya.” Maka semua penghargaan itu diterima oleh Bunda Teresa, “demi kemuliaan Tuhan dan atas nama kaum miskin.” Keseluruhan hidup Bunda Teresa memberikan kesaksian akan sukacita mengasihi dan besarnya martabat setiap manusia, nilai dari hal-hal kecil yang dilakukan dengan setia dan dengan cinta, dan nilai yang tak tertandingi yang ditemukan dalam persahabatan dengan Allah.

Di tahun-tahun akhir hidupnya, meskipun ia mengalami berbagai penyakit yang terus bertambah, Bunda Teresa terus memimpin kongregasi Misionaris Cinta Kasih dan terus melayani kaum miskin. Sampai tahun 1997, jumlah biarawati Misionaris Cinta Kasih berjumlah hampir 4000 orang, yang tersebar di 610 yayasan misi di 123 negara di dunia. Bulan Maret 1997, beberapa bulan sebelum wafatnya, Bunda Teresa menyerahkan kepemimpinannya kepada penerusnya, Sr. Nirmala, untuk memimpin Misionaris Cinta Kasih. Setelah bertemu dengan Paus Yohanes Paulus II untuk terakhir kalinya, Bunda Teresa kembali ke Kalkuta. Di tanggal 5 September 1997, setelah selesai makan malam dan berdoa, jantungnya yang melemah menghantarnya kembali kepada Tuhan yang menjadi pusat hidupnya. Jenazahnya dimakamkan dengan penghormatan kenegaraan oleh Pemerintah India dan dimakamkan di Biara Misionaris Cinta Kasih. Bunda Teresa meninggalkan kesaksian iman yang tak tergoyahkan, pengharapan yang besar, dan belas kasih yang sangat istimewa. Ia menjadi teladan belas kasih kepada dunia, dan saksi hidup akan cinta kasih Allah.

St. Paus Yohanes Paulus II memberikan gelar beata kepada Bunda Teresa, pada tanggal 19 Oktober 2003. Tanggal 5 September disahkan menjadi tanggal peringatan Bunda Teresa. Ia dikanonisasikan sebagai Santa Teresa dari Kalkuta, oleh Paus Fransiskus pada tanggal 4 September 2016. [1]

 


[1]Sumber : http://www.americancatholic.org/Features/Teresa/WhoWasTeresa.aspx, Disarikan dari buku karangan Joan Guntzelman, A Retreat With Mother Teresa and Damien of Molokai: Caring for Those Who Suffer, (USA: Saint Anthony Messenger Press, 1999); http://id.wikipedia.org/wiki/Bunda_Teresa; http://www.vatican.va/news_services/liturgy/saints/ns_lit_doc_20031019_madre-teresa_en.html

SEE ALL Add a note
YOU
Add your Comment
 

Doa St. Thomas Aquinas

Allah Pencipta segala sesuatu, Sumber terang dan kebijaksanaan yang sejati, asal mula segala makhluk, curahkanlah seberkas cahaya-Mu untuk menembus kegelapan akal budiku. Ambillah dariku kegelapan ganda yang menyelimutiku sejak lahir, suatu ketidak-mengertian karena dosa dan ketidak-tahuan. Berilah kepadaku, pengertian yang tajam dan ingatan yang kuat dan kemampuan untuk memahami segala sesuatu dengan benar dan mendasar. Karuniakanlah kepadaku talenta untuk menjelaskan dengan tepat dan kemampuan untuk mengutarakannya dengan saksama, luwes dan menarik. Tunjukkanlah bagaimana aku memulainya, arahkanlah perkembangannya dan bantulah sampai kepada penyelesaiannya. Kumohon ini demi Yesus Kristus Tuhan kami. Amin.

Review Kursus

Romo pembimbing: Rm. Prof. DR. B.S. Mardiatmadja SJ. | Bidang Hukum Gereja dan Perkawinan : RD. Dr. D. Gusti Bagus Kusumawanta, Pr. | Bidang Sakramen dan Liturgi: Rm. Dr. Bernardus Boli Ujan, SVD | Bidang OMK: Rm. Yohanes Dwi Harsanto, Pr. | Bidang Keluarga : Rm. Dr. Bernardinus Realino Agung Prihartana, MSF, Maria Brownell, M.T.S. | Pembimbing teologis: Dr. Lawrence Feingold, S.T.D. | Pembimbing bidang Kitab Suci: Dr. David J. Twellman, D.Min.,Th.M.| Bidang Spiritualitas: Romo Alfonsus Widhiwiryawan, SX. STL | Bidang Pelayanan: Romo Felix Supranto, SS.CC |Staf Tetap dan Penulis: Caecilia Triastuti | Bidang Sistematik Teologi & Penanggung jawab: Stefanus Tay, M.T.S dan Ingrid Listiati Tay, M.T.S.
top
@Copyright katolisitas - 2008-2018 All rights reserved. Silakan memakai material yang ada di website ini, tapi harus mencantumkan "www.katolisitas.org", kecuali pemakaian dokumen Gereja. Tidak diperkenankan untuk memperbanyak sebagian atau seluruh tulisan dari website ini untuk kepentingan komersial Katolisitas.org adalah karya kerasulan yang berfokus dalam bidang evangelisasi dan katekese, yang memaparkan ajaran Gereja Katolik berdasarkan Kitab Suci, Tradisi Suci dan Magisterium Gereja. Situs ini dimulai tanggal 31 Mei 2008, pesta Bunda Maria mengunjungi Elizabeth. Semoga situs katolisitas dapat menyampaikan kabar gembira Kristus.Â