Perkawinan Katolik vs perkawinan dunia

I. Manusia diciptakan dalam kasih dan untuk kasih

Pasangan suami istri, entah yang baru saja menikah atau yang sudah lama menikah mungkin pernah bertanya demikian di dalam hati, “Sebenarnya tujuan perkawinan itu apa, ya?” atau, “Kehidupan perkawinan seperti inikah yang Tuhan kehendaki?” Atau banyak pertanyaan- pertanyaan lainnya, yang intinya mempertanyakan makna kehidupan perkawinan. Tentu boleh saja kita bertanya demikian, sebab memang sudah menjadi kodrat manusia untuk mempertanyakan tujuan atau arti hidupnya, dan kita dapat saja berusaha menjawabnya sendiri. Namun, bagaimanapun juga, jawaban yang yang paling sempurna kita dapatkan dari Allah, sebab Ia-lah yang menciptakan kita. Sebagaimana layaknya perancang selalu merencanakan yang terbaik bagi hasil karyanya, demikian pula Allah. Ia merencanakan yang terbaik bagi kita masing- masing yang diciptakan-Nya di dalam kasih dan oleh karena kasih-Nya. Tujuannya hanya satu dan sederhana saja, yaitu: Allah ingin agar kita semua bahagia! ((lih. Baltimore Catechism, Lesson 1. on the Purpose of Man’s Existence: 3. Why did God make us? God made us to show forth His goodness and to share with us His everlasting happiness in heaven. Terjemahannya: Mengapa Tuhan menciptakan kita? Tuhan menciptakan kita untuk menunjukkan kebaikan-Nya dan untuk membagikan kepada kita kebahagiaan kekal di surga.))  Dan bahagianya manusia itu dicapai dengan satu cara yang utama yaitu: mengasihi. Paus Yohanes Paulus II mengajarkan demikian dalam surat ensikliknya yang pertama:

“Manusia tak dapat hidup tanpa kasih. Ia tetap menjadi sosok yang tidak dapat dipahami oleh dirinya sendiri, dan hidupnya tidak berarti, jika kasih tidak dinyatakan kepadanya, jika ia tidak mengenal cinta kasih, jika ia tidak mengalaminya dan menjadikannya sebagai miliknya, jika ia tidak mengambil bagian di dalamnya.” ((Paus Yohanes Paulus II, surat ensiklik Redemptor Hominis, 10))

Jadi entah kita menikah atau kita tidak menikah, Tuhan ingin agar kita bahagia; Tuhan ingin kita mengasihi satu sama lain. Namun pengertian ‘kebahagiaan’ dan ‘cinta kasih’ menurut Tuhan tidak sama dengan pengertian menurut dunia. Tuhan menginginkan kebahagiaan kekal, sedangkan dunia, kebahagiaan sesaat. Tuhan menghendaki kita mengasihi secara total, sedangkan kita umumnya cukup berpuas diri dengan cinta ‘sebagian’ saja. Mungkin Tuhan tahu bahwa tanpa contoh, kita tidak akan dapat mengasihi seturut kehendak-Nya, sehingga Ia mengutus Putera-Nya, Tuhan Yesus, untuk memberitahukan kepada kita bagaimana caranya mengasihi, supaya kita benar- benar dapat sampai kepada kebahagiaan yang Tuhan rencanakan bagi kita.

Melalui teladan Yesus, kita mengetahui seperti apakah cinta yang sejati; yaitu cinta yang memberikan diri sehabis- habisnya kepada orang yang dikasihi, seperti apa yang telah dilakukan Yesus kepada setiap kita. Yesus ingin agar kitapun dapat mengasihi seperti ini. Allah Bapa memanggil kita untuk hidup di dalam persekutuan dengan Kristus (lih. 1 Kor 1:9). Oleh karena itu, melalui Baptisan, Tuhan menggabungkan kita dengan kehidupan ilahi-Nya sendiri ((lihat Katekismus Gereja Katolik 1265: Pembaptisan tidak hanya membersihkan dari semua dosa, tetapi serentak menjadikan orang yang baru dibaptis suatu “ciptaan baru” (2 Kor 5:17), seorang anak angkat Allah Bdk. Gal 4:5-7.; ia “mengambil bagian dalam kodrat ilahi” (2 Ptr 1:4), adalah anggota Kristus (Bdk. 1 Kor 6:15; 12:27), “ahli waris” bersama Dia (Rm 8:17) dan kenisah Roh Kudus (Bdk. 1 Kor 6:19) )), sehingga kita dapat memiliki kasih seperti kasih-Nya. Rahmat Baptisan ini ditambahkan pada sakramen- sakramen selanjutnya, termasuk di dalamnya sakramen Perkawinan, saat Kristus menguduskan hubungan suami istri agar menjadi gambaran kasih Kristus yang total kepada Gereja-Nya, dan demikian juga sebaliknya, kasih Gereja kepada Kristus. ((lih. Katekismus Gereja Katolik 1617)) Gambaran kasih yang total ini juga diperlihatkan dengan lebih jelas oleh mereka yang hidup selibat bagi Kerajaan Allah. Mereka ini bahkan lebih nyata lagi menggambarkan kasih yang total kepada Allah: suatu gambaran yang mengarahkan pandangan kepada kesempurnaan kasih di kehidupan yang kekal. ((lih. Katekismus Gereja Katolik 916, 1619, dan Paus Yohanes Paulus II, Ekshortasi Apostolik Familiaris Consortio, 16))

Oleh karena itu, baik kehidupan berkeluarga ataupun selibat untuk Kerajaan Allah mengarahkan kita untuk mencapai kebahagiaan sejati. Jadi kebahagiaan sejati di dalam Kristus juga adalah milik kita yang hidup berkeluarga, bukan hanya milik mereka para imam, biarawan, biarawati. Hubungan suami istri dalam kehidupan berkeluarga malah mempunyai kekhususan yang lain, karena melibatkan juga pengudusan segala hal yang sifatnya sementara di dunia, termasuk hubungan seksual, karena dalam terang Allah, hubungan suami istri adalah kudus, karena tidak saja menyangkut tubuh, tetapi juga emosi, dan jiwa. ((lih. Familiaris Consortio 11)) Sebab jika keseluruhan hidup kita menjadi kudus, maka kita akan memperoleh kebahagiaan sejati seperti yang dikehendaki Tuhan. Sekarang, bagaimana langkah- langkahnya, agar kebahagiaan semacam ini dapat dialami suami istri? Agar suami tidak lekas ‘bosan’ dengan istri, dan demikian pula sebaliknya? Dan agar keluarga selalu diikat erat oleh cinta mesra yang semakin teguh?

II. Delapan perbedaan antara perkawinan Katolik vs perkawinan dunia

Berikut ini ada beberapa delapan butir permenungan yang mungkin dapat kita renungkan bersama, yaitu membandingkan antara Perkawinan Katolik vs Perkawinan Dunia. Dengan membandingkan perkawinan Katolik dan perkawinan dunia diharapkan kita dapat lebih mengerti esensi dari perkawinan Katolik, yang sungguh berbeda dengan perkawinan dunia. Perkawinan Katolik adalah perkawinan yang hidup dalam Roh, yaitu: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri. (lih. Gal 5:22-23) Delapan butir perbandingan antara perkawinan Katolik vs perkawinan dunia adalah sebagai berikut:

  1. Berpusat kepada Kristus vs berpusat kepada diri sendiri.
  2. Fokus perhatiannya doa, firman dan sakramen vs fokus perhatiannya ‘entertainment’
  3. Kasih yang memberi vs kasih yang menuntut.
  4. Setia sampai akhir: masalah dihadapi bersama- sama vs ada masalah: jadi alasan untuk tidak setia.
  5. Hubungan seksual yang total, seindah maksud aslinya vs hubungan seksual yang pura-pura, tak seindah maksud aslinya.
  6. Anak adalah berkat vs anak adalah beban.
  7. Anak menjadi anak orang tua vs anak menjadi anak pembantu.
  8. Tujuan utama keluarga: Surga vs tujuan utama keluarga: kegembiraan di dunia saat ini.

1. Berpusat kepada Kristus vs berpusat kepada diri sendiri.

Kita tak mungkin lupa, bahwa mujizat pertama yang dilakukan oleh Kristus adalah mujizat yang dilakukan-Nya di perjamuan perkawinan di Kana (lih. Yoh 2:1-11). Artinya, Tuhan Yesus menaruh perhatian istimewa pada perkawinan, pada kesatuan antara suami dengan istri. Ia hadir secara istimewa di dalam setiap rumah tangga untuk menambahkan cinta kasih, jika hubungan suami istri sudah mulai tawar. Nah, masalahnya, sudahkah kita menempatkan Tuhan Yesus sebagai pusat dalam kehidupan perkawinan kita? Sudahkah kita saling mengingatkan di dalam keluarga, akan besarnya kasih Tuhan kepada kita masing- masing?

Jika Tuhan Yesus menjadi pusat dalam hubungan suami dan istri, maka pasangan suami istri akan menempatkan kehendak-Nya di atas kehendak mereka sendiri. Mereka akan saling menghargai, menganggap bahwa pasangannya adalah ‘kado’ istimewa dari Tuhan untuk mendampinginya sepanjang hidup. Maka suami akan memandang istrinya sebagai “penolong yang sepadan” dengan dia (Kej 2:18,20). Ia akan menghormati istrinya, menganggapnya sebagai teman yang sederajat dengannya ((lih. Familiaris Consortio, 22)) dan bukannya sebagai pelayan untuk disuruh-suruh, atau boneka pajangan untuk diperlakukan sekehendak hati. Atau sebaliknya, bagaikan tuan putri yang harus diikuti segala kemauannya. Perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki, dan karena itu keduanya diciptakan setara di mata Tuhan. Dengan istrinya, suami harus membentuk persahabatan yang erat dan istimewa. Sedangkan “sebagai seorang Kristiani, suami dipanggil untuk mengembangkan sikap yang baru dalam mengasihi, yang menyatakan kepada istrinya kasih yang lemah lembut dan kokoh seperti kasih yang dimiliki Kristus terhadap Gereja-Nya.” ((Familiaris Consortio, 25)) Demikian juga, dengan mata hari terarah kepada Kristus, istri dipanggil untuk tunduk kepada suaminya, seperti halnya Gereja tunduk kepada Kristus (lih. Ef 5:22).

Karena Kristus yang mempersatukan suami istri, maka perkawinan Kristiani bukan hanya melibatkan dua pihak -yaitu suami dan istri- tetapi juga Kristus. Kristuslah yang mengikat suami istri dalam Perjanjian (covenant) yang sifatnya tetap, seperti perjanjian antara Kristus dengan Gereja. ((lih. Katekismus Gereja Katolik 1602, 1617, Familiaris Consortio 13)) Perjanjian antara Kristus dan Gereja-Nya ini setiap kali dinyatakan kembali di dalam Perayaan Ekaristi, sehingga selayaknya suami dan istri menjadikan Ekaristi sebagai sumber kasih dan kekuatan untuk memenuhi janji perkawinan mereka, untuk tetap setia, tak terceraikan sampai akhir.

Pasangan suami istri yang menjadi gambaran akan kasih Kristus kepada Gereja, tidak saja dimaksudkan sebagai gambaran yang dilihat dari luar keluarga, tetapi juga dari dalam. Artinya, sebagai pasangan, suami istri dipanggil untuk menghadirkan Kristus dan menyalurkan kasih-Nya kepada pasangannya setiap hari ((lih. Katekismus Gereja Katolik 1617)). Inilah arti perkawinan sebagai sakramen: tanda kehadiran Tuhan. Mari kita renungkan sejenak, tentang apakah kita sudah melakukan hal ini. Apakah pasangan kita dan anak- anak kita dapat melihat Kristus di dalam diri kita? Dalam keseharian di rumah: Apakah kita sudah menjadi berkat bagi pasangan kita? Apakah wajah kita lebih banyak memancarkan suka cita dan kelemahlembutan, atau duka cita dan kemarahan? Jika kita menghadapi masalah atau kesulitan, apakah kita mencari kehendak Tuhan untuk menyelesaikannya, atau cenderung mengikuti apa saja yang nampaknya enak menurut kehendak sendiri?

Sebab jika kita mengikuti kehendak Tuhan, maka kita akan memancarkan iman yang hidup dalam perbuatan kasih, baik kepada pasangan, anak- anak kita, maupun orang- orang lain di sekitar kita. Dengan demikian, rumah tangga kita menjadi persekutuan kasih antara setiap anggotanya dengan Kristus dan persekutuan kasih antara anggota keluarga yang satu dengan yang lain.  Dengan menyatakan persekutuan kasih yang seperti ini,  keluarga menjadi Gereja kecil, atau yang sering dikenal dengan istilah ecclesia domestica. ((lih. Katekismus Gereja Katolik 1656, Familiaris Consortio 21)).  Sebaliknya, jika setiap anggota keluarga memusatkan perhatian kepada diri sendiri, maka keluarga cenderung menjadi pelit, sebab prinsip yang dipegang adalah “pokoknya saya duluan, orang lain belakangan”, atau “saya harus lebih enak, orang lain bukan urusan saya.”  Dan jika “saya” yang menjadi pusat, maka anggota keluarga cenderung menjadi egois, kurang peduli dengan kebutuhan pasangan dan anak-anak, apalagi orang- orang lain di sekitarnya. Sudah saatnya kita sebagai suami istri dan orang tua memeriksa, sejauh mana kita sudah memancarkan kasih Allah di dalam keluarga kita, sebab itu adalah bukti sejauh mana kita sudah menempatkan Kristus sebagai pusat dalam kehidupan kita. Sejauh mana keluarga kita mencerminkan makna ecclesia domestica?

Menempatkan Kristus sebagai pusat kehidupan kita, akan nampak juga dalam topik pembicaraan dan sikap kita sehari- hari dengan pasangan ataupun anak- anak. Juga kita akan berusaha untuk memandang pasangan kita dengan cara pandang Kristus, yaitu dengan kasih. Namun kasih ini bukanlah cinta roman menurut dunia, namun seperti tertulis dalam Kitab Suci, “Kasih itu sabar, murah hati, tidak cemburu, tidak memegahkan diri, tidak sombong, tidak melakukan yang tidak sopan, tidak mencari keuntungan diri sendiri, tidak pemarah, tidak menyimpan kesalahan orang lain, tidak bersukacita karena ketidakadilan. Kasih menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu.” (1 Kor 13: 4-7). Dengan kasih inilah, kita dapat selalu menemukan kebaikan di dalam diri pasangan kita, dan membangun rasa saling pengertian dengannya, sehingga kita tidak lekas ‘bosan’. Kita menyadari bahwa pasangan kita adalah ‘kado’ istimewa dari Tuhan untuk kita. Kristuslah yang mempersatukan kita untuk saling menutupi kekurangan kita dan juga untuk saling membangun satu sama lain dengan hal- hal positif yang ada pada diri kita masing- masing.

Selanjutnya, mari kita teliti juga pembicaraan ataupun perbuatan kita terhadap anak- anak: Sudahkah kita memperkenalkan adanya Allah dalam hidup kita, melalui alam ciptaan-Nya? Sudahkah kita memperkenalkan Kristus dan kasih-Nya yang begitu besar kepada kita manusia yang tercurah di kayu salib? Bukan hanya memperkenalkan Kristus, Paus Yohanes Paulus II mengajarkan agar kita para orang tua mengambil bagian dalam otoritas kebapaan Allah, dan kasih keibuan Gereja, bagi anak- anak yang Tuhan percayakan kepada kita. ((lih.  Familiaris Consortio, 38)) Jadi maksudnya, para bapa menjalankan peran seolah- olah menjadi ‘perpanjangan tangan’ Allah Bapa dalam mengatur rumah tangga keluarganya. Dengan demikian, sikap para bapa di rumah selayaknya memantulkan tidak saja sifat keadilan Allah, namun juga sifat kerahiman-Nya. Di samping ketegasan para bapa dalam menentukan apa yang benar dan apa yang salah, diperlukan juga hati yang penuh kasih, sabar dan pengampun. Para ibupun harus mempunyai sifat demikian. Mari kita periksa sekarang apa yang terjadi di dalam keluarga kita: Jika anak- anak berbuat kesalahan, apa tanggapan kita? Umumnya ada dua tanggapan ekstrim di sini: anak- anak dididik terlalu keras oleh orang tua, dan ini jelas keliru; tetapi juga adakalanya orang tua malah takut mendidik anak- anak, sehingga sepertinya anak diperbolehkan melakukan apa saja. Ini juga adalah sikap yang sama kelirunya.

Dewasa ini, orang tua sering cenderung terlalu ingin menuruti keinginan anak- anak mereka. Akibatnya, sering bukan orang tua yang ‘mengatur’ anak-anak tetapi sebaliknya anak- anak yang ‘mengatur’ orang tua. Atau, orang tua enggan mengkoreksi anaknya yang berbuat salah, karena takut anak marah. Hal ini tidak sesuai dengan rencana Allah, sebab sesungguhnya orang tua menjadi wakil Allah, yang bertugas untuk turut membentuk karakter anak ke arah kebaikan (lih. Ibr 12:6). Dari keluargalah anak- anak pertama- tama harus belajar tentang otoritas Allah yang memimpin mereka dengan kasih. Artinya, orang tua memberi koreksi jika anak berbuat salah, namun tidak dengan cara naik pitam, tetapi dengan kelemahlembutan. Setelah mengkoreksi anak, orang tua perlu merangkul anak kembali, dan anak perlu diberitahu bahwa koreksi tersebut diberikan demi kebaikan anak itu sendiri. Dengan demikian anak belajar tentang nilai- nilai kehidupan yang mendasar, yaitu tentang keadilan dan kasih yang tidak dapat dipisahkan. ((lih. Familiaris Consortio 37))

Akhirnya, jika Kristus yang menjadi pusat keluarga, harusnya itu nampak secara lahiriah di dalam penataan rumah kita dan keterlibatan kita dalam lingkungan sekitar kita. Apakah kita mempunyai ruang/ tempat khusus untuk berdoa di rumah kita? Apakah kita memasang gambar Tuhan Yesus dan Salib crucifix di rumah kita, bahkan di setiap ruangan? Jika sudah ada ruang doa, apakah kita mempergunakannya bersama secara rutin sebagai satu keluarga? Maukah kita membuka rumah kita untuk kegiatan- kegiatan lingkungan? Sudahkah kita ikutsertakan anak- anak ke dalam komunitas gerejawi? Terlibatkah kita dalam pertemuan- pertemuan lingkungan, dan saling mendukung dalam persahabatan dengan orang- orang di sekitar kita? Sebab dalam persekutuan kasih dengan sesama umat beriman, kita sebenarnya melaksanakan kehendak Kristus, yang menginginkan kita agar saling menanggung beban dan berbuat baik kepada semua orang, terutama saudara/i seiman (lih. Gal 6:2,10), dan mereka yang miskin dan menderita. ((lih. Mat 25:40, Familiaris Consortio 37)) Dengan demikian terang Kristus yang menjadi pusat keluarga kita dapat terpancar kepada orang- orang di sekeliling kita.

2. Fokus perhatiannya doa, firman dan sakramen vs fokus perhatiannya ‘entertainment

Maka, jika pusat keluarga adalah Kristus, sepantasnyalah hal ini terlihat dalam kehidupan keluarga. Bukti yang paling nyata adalah jika kita sebagai keluarga berdoa bersama. Setiap hari.  Mengapa? Paus Yohanes Paulus II mengajarkan bahwa  doa merupakan bagian yang terpenting dalam kehidupan kita sebagai manusia, dan khususnya kita sebagai murid- murid Kristus. ((lih. Familiaris Consortio 62)) Maka doa itu bukan ‘buang- buang waktu’, tetapi justru merupakan kekuatan bagi keluarga Kristiani untuk menjalankan tugasnya dengan baik. Karena itu, salah satu bukti bahwa kita menempatkan Kristus di pusat keluarga, dan kita mengambil bagian dalam kehidupan Gereja, adalah jika kita sekeluarga setia dan dengan sungguh- sungguh berdoa, karena pada saat itulah kita sebagai ranting- ranting bersatu dengan Tuhan Yesus Kristus, Sang pokok anggur yang benar itu (lih. Yoh 15:5).

Dalam kehidupan keluarga, kita akan mengalami berbagai keadaan, baik susah maupun senang; dan dalam setiap keadaan itulah kita perlu berdoa. Dalam keadaan bersuka cita kita mengucap syukur kepada Tuhan; dan dalam keadaan berduka, kesulitan, sakit, kita memohon pertolongan-Nya. Firman Tuhan mengajarkan, “… nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur.” (Flp 4:6) Namun hal ini tidak akan menjadi kebiasaan dalam keluarga, jika tidak pernah dilakukan atau diajarkan oleh orang tua. Maka orang tua mempunyai peran yang sangat penting untuk mengajarkan anak- anak berdoa. Sudahkah ini dilakukan oleh para ibu dan bapak? Paus Paulus VI mengajarkan:

“Para ibu, apakah engkau mengajarkan anak- anak doa- doa Kristiani? Apakah engkau bersama dengan para imam, mempersiapkan anak- anak untuk … sakramen- sakramen Pengakuan dosa, Komuni, dan Penguatan? Apakah ketika mereka sakit engkau mendorong mereka untuk merenungkan penderitaan Kristus, untuk memohon pertolongan dari Bunda Maria dan para orang kudus? Apakah keluarga berdoa rosario bersama? Dan engkau, para bapa, apakah engkau berdoa bersama dengan anak- anakmu…? Teladan kejujuranmu dalam pikiran dan perbuatan, yang disertai dengan doa bersama, adalah pelajaran kehidupan, dan sebuah tindakan penyembahan yang bernilai tunggal. Dengan cara ini engkau membawa damai ke rumahmu… Ingatlah bahwa dengan cara ini kamu membangun Gereja.” ((Paus Paulus VI, Audiensi Umum, 11 Agustus 1976, Familiaris Consortio,  60))

Doa memang memegang peran yang penting untuk mempersatukan keluarga. Paus Yohanes Paulus II juga menyerukan hal yang serupa, dengan mendorong keluarga- keluarga untuk bersama- sama membaca dan merenungkan Kitab suci, mempersiapkan diri sebelum menerima sakramen- sakramen, melakukan doa pernyerahan keluarga kepada Hati Kudus Yesus, doa penghormatan kepada Bunda Maria, doa sebelum dan sesudah makan dan doa devosi lainnya. ((lih. Familiaris Consortio 61)). Mengulangi ajaran Paus Paulus VI, Paus Yohanes Paulus II juga menyerukan pentingnya doa rosario bersama keluarga untuk memupuk kerukunan dan menumbuhkan kehidupan rohani dalam keluarga. Doa keluarga merupakan sesuatu yang sangat penting, sebab dengan melaksakan hal ini, firman Allah dalam Mat 18:19-20 tergenapi atas keluarga itu, “Jika dua orang dari padamu di dunia ini sepakat meminta apapun juga, permintaan mereka itu akan dikabulkan oleh Bapa-Ku yang di sorga. Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam Nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka.” Tak heran, Bunda Teresa mengajarkan, “Keluarga yang berdoa bersama akan tetap bersama.” ((Mother Teresa’s Address to the United Nations, October 26, 1985)).

Sayangnya, kecenderungan yang terjadi sekarang adalah keluarga tidak menyediakan waktu yang khusus untuk berdoa apalagi merenungkan firman Tuhan bersama- sama. Padahal sejak usia dini, anak- anak umumnya mempunyai kehausan untuk mengenal firman Tuhan. Ada banyak keingintahuan anak- anak tentang banyak hal, terutama juga tentang Tuhan dan kisah- kisah di dalam Kitab Suci. Sebagai orang tua, kita harus menanggapi kerinduan jiwa mereka untuk mengenal Tuhan. Orang tua adalah pewarta Injil yang pertama bagi anak- anak mereka. ((lih. Familiaris Consortio 39)) Sekolah ataupun Bina Iman dapat membantu, namun tidak dapat menggantikan peran orang tua dalam hal ini. Sebab “orang tua adalah pendidik yang pertama dan terpenting bagi anak- anak mereka.” ((KGK 1653, lih. Gravissimum Educationis, 3, Familiaris Consortio 40))

Juga umumnya orang tua terlalu sibuk, atau jika ada waktu luang, waktu itu dipergunakan untuk rekreasi atau jalan- jalan di mall. Rekreasi dan jalan- jalan di mall bukannya tidak boleh dilakukan, tetapi biar bagaimanapun, jangan sampai menyita semua waktu kebersamaan dalam keluarga. Mungkin ada baiknya diperhatikan agar selain berekreasi bersama, keluarga perlu menyempatkan diri mengikuti retret, rekoleksi keluarga, ataupun ziarah bersama. Namun demikian, retret setahun sekali juga tidak akan berguna, jika kebiasaan hidup doa dan merenungkan firman Tuhan tidak dijadikan kebiasaan sehari- hari.

Demikian pula, perhatian terhadap sakramen juga perlu ditingkatkan di dalam kehidupan keluarga. Sebab nampaknya ada kecenderungan dewasa ini orang tua tidak memberi perhatian khusus untuk mempersiapkan batin anak- anak sebelum mereka menerima sakramen- sakramen. Seberapa banyak orang tua yang membimbing anak- anaknya memeriksa batin sebelum menerima sakramen Pengakuan Dosa? Banyak orang tua merayakan ulang tahun anak- anaknya, bahkan di hotel berbintang sekalipun, namun berapa banyak orang tua yang merayakan Baptisan anak-anaknya, Komuni Pertama ataupun sakramen Penguatan, walaupun hanya dengan doa sederhana di rumah, atau dengan mengajukan ujud ucapan syukur dalam Misa kudus? Padahal makna Baptisan jauh lebih berharga dan bahkan tak bisa dibandingkan dengan makna perayaan ulang tahun. Karena Baptisan menghantarkan ke kehidupan surgawi yang kekal, bukan hanya merayakan pertambahan tahun kita hidup di dunia ini. Lalu, ada banyak orang tua mementingkan acara ‘berkeliling makan’ setiap minggunya, di satu restoran ke restoran yang lain, namun apakah orang tua rajin mempersiapkan batin anak- anaknya, dan diri mereka sendiri, untuk mengikuti perayaan Ekaristi? Misalnya dengan merenungkan bacaan Injil hari Minggu pada hari Sabtu malam ataupun Minggu pagi sebelum ke gereja?

Sedangkan bagi suami istri, perayaan Ekaristi juga mengambil peranan yang sangat penting  bukan hanya pada saat pemberkatan perkawinan, tetapi juga seterusnya. Karena sakramen Ekaristi merupakan karunia pemberian diri Kristus yang seutuhnya kepada Gereja-Nya yang menjadi gambaran pemberian diri suami yang seutuhnya kepada istrinya dan demikian pula sebaliknya. Dengan menerima sakramen Ekaristi yaitu Kristus sendiri, maka suami istri membentuk satu tubuh di dalam Kristus. ((lih. KGK 1621)). Di dalam Kristuslah, “pasangan suami istri dikuatkan untuk memikul salib dan mengikuti Dia, untuk kembali bangun jika mereka jatuh, untuk saling mengampuni, untuk saling menanggung beban (lih. Gal 6:2), dan untuk saling merendahkan diri seorang kepada yang lain demi penghormatan mereka kepada Kristus  (lih. Ef 5:21) dan saling mengasihi dalam cinta yang mesra, subur dan adikodrati. ((lih. KGK 1642))

Jika doa, firman Tuhan dan sakramen- sakramen tidak menjadi prioritas dalam kehidupan perkawinan dan keluarga kita, maka hubungan kasih dalam keluarga dapat menjadi seperti kompor kehilangan api, lama kelamaan menjadi dingin. Sebab saat berdoa dan merenungkan firman Tuhan bersama, itu adalah kesempatan emas bagi keluarga, yaitu suami istri sebagai orang tua, dan anak- anak untuk saling curhat, saling memahami beban yang sedang dihadapi oleh setiap anggota keluarga, dan bersama- sama sekeluarga mendoakannya. Doa bersama juga melatih setiap anggota keluarga untuk peduli dengan keadaan orang lain, terutama jika kita sekeluarga mendoakan Bapa Paus, kerabat yang sakit, atau mereka yang sedang kesusahan. Demikian juga, jika salah satu anggota sedang bersuka cita, semua bersuka cita dan bersyukur, sedang jika salah satu sedang berbeban berat, semua turut mendoakan dan menghibur. Jika hal ini tidak dilakukan, mungkin sekilas tidak terasa akibatnya, tetapi dengan seiringnya waktu, keluarga akan menuai akibatnya. Sebagai contoh, jika keluarga lebih mementingkan entertainment daripada hal- hal rohani, akibatnya ikatan kasih antara sesama anggota keluarga akan merenggang dan memudahkan terjadinya pertengkaran. Suami tidak mengetahui pergumulan istri,demikian pula sebaliknya. Keadaan ini rentan terhadap kehadiran PIL atau WIL, karena tanpa komunikasi yang cukup dan berkualitas, suami dan istri menjadi ‘asing’ satu sama lain, dan mudah berpaling kepada orang ketiga. Demikian juga, tanpa hubungan yang akrab dengan orang tua, anak akan lebih senang curhat kepada teman- temannya daripada kepada orang tua. Keluarga dapat saja pergi bersama- sama ke mall, ataupun sama- sama duduk nonton TV di rumah, tetapi tidak ada komunikasi antara satu dengan yang lain, karena masing- masing asyik bermain BBM sendiri. Ini adalah kesenangan yang semu, dan sesungguhnya memprihatinkan. Sebab seharusnya setiap anggota keluarga menggunakan waktu keluarga untuk saling bertukar cerita, mendukung, menghibur, dan saling menguatkan di dalam kasih.

Hal yang perlu diperhatikan juga oleh orang tua adalah pengaruh mass media. Betapa banyak anak- anak menjadi tercemar oleh iklan, film, kisah sinetron, musik, atau gaya hidup para selebriti yang diekspos oleh media. Begitu hebatnya pengaruh gemerlapnya dunia, sehingga anak- anak lebih tertarik untuk meniru tingkah laku bintang- bintang film daripada teladan hidup para Santa dan Santo. Pesta Halloween menjadi lebih populer daripada perayaan All Saints Day. Kisah Harry Potter dan aneka komik Jepang menjadi lebih digemari anak-anak daripada kisah-kisah Kitab Suci. Apa daya orang tua untuk mengubah realitas ini? Sebelum terlambat, rajinlah membaca dan merenungkan Kitab Suci bersama anak-anak, dan tanamkanlah sedini mungkin nilai keindahan di dalam kesederhanaan. Tanamkanlah kepada anak- anak bahwa hal- hal inilah yang sebenarnya dapat membuat mereka sungguh berbahagia, karena semua itu membawa mereka lebih dekat kepada Tuhan yang menciptakan mereka. Janganlah ragu untuk ikut peduli dan menyeleksi buku- buku yang mereka baca, dan memeriksa film- film yang mereka tonton; sebab tak jarang pengaruh si jahat masuk melalui hal- hal seperti itu.

3. Kasih yang memberi vs kasih yang menuntut

Pandangan umum dunia sekitar kita adalah: kita bahagia jika kita “menerima” dan bukan karena kita “memberi”. Namun bukan ini yang diajarkan oleh Tuhan Yesus. Yesus mengajarkan kepada kita sebaliknya, “Adalah lebih berbahagia memberi daripada menerima” (Kis 20:35). Maka nampaknya kita harus lebih banyak belajar “memberi”, dan nampaknya inilah yang Tuhan ingin kita pelajari di dalam hidup berkeluarga. Coba tanyakan hal ini kepada pasangan yang baru saja memperoleh karunia seorang anak, yang kelahirannya sudah mereka nanti- nantikan. Mereka sepertinya rela memberi apa saja kepada sang buah hati, dan semakin memberi, hati mereka semakin bersuka cita. Tanpa disadari sesungguh-Nya Tuhan memberi kesempatan kepada pasangan ini untuk turut merasakan sukacita Tuhan, pada saat Ia memberikan kasih karunia kepada kita semua anak- anak-Nya. Kasih itu sifatnya memancar keluar, kasih itu memberi, dan menginginkan yang terbaik bagi orang yang dikasihi. Inilah prinsip kasih yang diajarkan oleh Tuhan.  Dengan kasih semacam inilah kita seharusnya mengasihi Tuhan dan sesama kita,  terutama anggota keluarga kita yang paling kecil dan lemah. ((lih. Mat 25:40; Familiaris Consortio, 26)) Kenyataannya, yang terkecil dan lemah ini adalah anggota keluarga yang sakit atau cacat, dan juga janin yang ada di dalam kandungan ibu.

Maka, jika kita sungguh mengasihi Tuhan, kita akan berusaha menyenangkan hati-Nya, dan menjadikan kehendak Tuhan sebagai kehendak kita sendiri. Keinginan untuk menyenangkan Tuhan inilah yang dapat mendorong kita untuk berbagi, mendahulukan kebutuhan orang lain, dan menyenangkan hati pasangan dan anak- anak. Rasul Paulus mengajarkan, “….hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri;
dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga.” (Flp 2:3-4). Berbagi untuk menyenangkan hati sesama anggota keluarga tidak saja terbatas pada rejeki, tetapi juga, suka cita, perhatian, pertolongan, penghiburan, pujian, pemahaman iman dan terutama, pengampunan. Karena itu, sejak kecil, anak- anakpun perlu diajarkan agar murah hati, senang memberi, tak lupa berterima kasih dan memperhatikan kebutuhan orang lain. Karena ternyata, hal memberi-pun perlu dibiasakan sejak kecil, entah membagi makanan kesukaan kepada sesama adik dan kakak, turut memberikan bantuan untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga, ataupun cepat memberi maaf jika ada anggota keluarga yang berbuat salah. ‘Memberi’ di sini juga berarti ‘memberi telinga’ terlebih dahulu jika terjadi perselisihan di antara anggota keluarga. Maksudnya, di sini adalah, mendengarkan terlebih dahulu, sebelum menanggapi, atau, janganlah langsung membantah jika pasangan sedang emosi, namun tunggulah sampai saat yang tepat untuk membicarakan permasalahan tersebut. Jika suami dan istri menerapkan hal ini, maka besar kemungkinan pertengkaran dapat dihindari. Dalam hal apapun yang dilakukan, perlu diingat dan diingat lagi bahwa keluarga adalah kehidupan persekutuan yang saling berbagi atas dasar kasih ((lih. Familiaris Consortio 43)) supaya kita lebih giat memberi dan menikmati eratnya persekutuan kasih di dalam Tuhan.

Jika kita sungguh mengasihi Tuhan, maka kita akan terdorong untuk membawa setiap anggota keluarga kita untuk mengenal dan mendekat kepada-Nya. Sebab kita tahu bahwa hal inilah yang dikehendaki Tuhan. Maka tantangan yang cukup besar akan dialami, jika pasangan kita tidak seiman. Dalam hal ini pasangan yang Katolik harus berdoa mohon pimpinan Tuhan untuk dapat dengan tekun dan setia menerapkan ajaran imannya dalam kehidupan keluarga, terutama dalam menampakkan kasih. Supaya dengan kasih itulah ia menghantar pasangannya untuk mengenal Kristus. Pengajaran Rasul Paulus sungguh menghibur dan memberi kekuatan kepada pihak yang beriman, “Karena suami yang tidak beriman itu dikuduskan oleh isterinya dan isteri yang tidak beriman itu dikuduskan oleh suaminya.” (1 Kor 7:14)

Prinsip kasih yang ‘memberi’ ini memang berbeda dengan prinsip kasih menurut dunia, yang umumnya ‘menuntut untuk diberi’. Dewasa ini kita sering mendengar pasangan yang belum lama menikah namun sudah ingin bercerai. Memang kemungkinan ada banyak penyebabnya, tetapi seringkali salah satu alasannya adalah karena salah satu pihak tidak terbiasa ‘memberi’ dan lebih suka ‘menuntut’. Tuhan Yesus mengajarkan kepada kita untuk ‘memberi’ bahkan di dalam kekurangan kita, dan ini membutuhkan pengorbanan. Namun jalan ‘pengorbanan’ inilah yang dicontohkan oleh Tuhan Yesus, sebab memang lewat Saliblah Tuhan Yesus mencapai kebangkitan-Nya. Dengan digabungkannya pasangan suami istri dengan Kristus, maka mereka menjadi tanda peringatan bagi Gereja, akan pengorbanan yang terjadi di kayu salib: sebab sebagai pasangan dan sebagai orang tua, mereka menjadi saksi yang hidup akan kasih yang memberikan diri secara total, tak terceraikan, setia dan terbuka terhadap kehidupan. ((lih. Humanae Vitae 9, Familiaris Consortio 13)) Maka, kita tidak boleh takut untuk berkorban di dalam kehidupan keluarga, sebab pasti Tuhan akan menyediakan buah- buah kesempurnaan kasih dan kebahagiaan sebagai gantinya ((lihat Familiaris Consortio 86)). Mengapa demikian? Sebab itulah rumusan kebahagiaan yang Tuhan tunjukkan kepada kita, yaitu kalau kita rela berkorban untuk menerapkan ajaran kasih Tuhan, maka pada saatnya Tuhan akan memberikan buah- buahnya yang mendatangkan kebahagiaan sejati. Kitab Mazmur mengajarkan, “Orang-orang yang menabur dengan mencucurkan air mata, akan menuai dengan bersorak-sorai.” (Mzm 126:5).

Nah, sekarang, pengorbanan apakah yang dapat kita berikan kepada anggota keluarga kita? Mungkin pertama- tama adalah pengorbanan waktu. Suami dan istri selalu harus mengusahakan waktu untuk berkomunikasi entah antara mereka berdua, maupun berkomunikasi dengan anak- anak. Komunikasi sebaiknya diadakan secara berkualitas, di mana kedua belah pihak dapat saling mencurahkan isi hati satu sama lain. Makan malam bersama sekeluarga dapat diusahakan setiap hari, atau jika tidak memungkinkan setiap hari, dapat diusahakan pada hari- hari tertentu di dalam setiap minggu. Di samping itu, suami dan istri harus mempunyai juga waktu untuk saling ngobrol dari hati ke hati berdua saja, jika memungkinkan sedikitnya seminggu sekali. Saat- saat seperti ini menjadi kesempatan bagi suami dan istri untuk saling curhat dan terbuka satu sama lain, menceritakan pergumulannya, harapannya atau hanya mensyukuri kebersamaan mereka dan menikmatinya. Pembicaraan dari hati ke hati ini sangatlah penting, agar suami istri selalu bersatu dan tidak mudah ‘pindah ke lain hati’.

Kedua, adalah pengorbanan ke-aku-an. Maksudnya, suami istri selayaknya tidak mendahulukan kehendak sendiri, tapi mendahulukan kehendak Kristus dengan lebih memperhatikan pasangan dan anak- anak. Walaupun nampaknya sulit pada awalnya, namun jika terus diusahakan ini dapat lebih mudah dilakukan, dan dapat menjadi sarana bagi pasangan untuk menguduskan dirinya dan pasangannya, menghindari pertengkaran dan mendatangkan suka cita bersama. Contohnya adalah seorang ibu yang walaupun mampu berkarier, memilih untuk tidak bekerja di luar rumah terutama saat anak- anak masih kecil, demi memberikan perhatian yang lebih khusus kepada pendidikan anak- anaknya. Atau contoh suami yang tidak lagi sering ngerumpi dan makan- makan dengan teman- teman di kantor, demi menyediakan waktu dan perhatian kepada istri dan anak- anak di rumah.

Ketiga, pengorbanan untuk terlihat sempurna di mata dunia. Terus terang, pola pikir kita banyak dipengaruhi oleh pola pikir masyarakat di sekeliling kita. Karenanya, kita memacu diri agar terlihat sukses dan sempurna sebagai manusia: berhasil dalam pekerjaan, ideal dalam penampilan, sukses dalam mengembangkan hobby, terampil mengurus rumah yang senantiasa rapi dan apik, dst. Namun, nampaknya kita harus mempunyai skala prioritas untuk menentukan apakah sebenarnya yang terpenting. Sebab jangan sampai kita mengorbankan kebahagiaan keluarga demi mencapai hal- hal seperti ini. Kita harus mohon karunia Tuhan untuk dapat menghargai pengorbanan, dan menemukan keindahan di dalamnya. Jika sikap ini dimiliki, suami akan semakin mengasihi istrinya jika melihat bekas lipatan di kulit istrinya akibat mengandung dan melahirkan, atau bekas jahitan akibat istri melahirkan dengan operasi caesar. Sebab di situ terlihat keindahan makna pengorbanan istri yang mempertaruhkan nyawanya untuk melahirkan sang buah hati, salah satu bukti kasih yang total sang istri kepada suaminya. Sebaliknya, istri juga sepantasnya tetap mengusahakan penampilan yang layak dan rapi, agar menyenangkan hati suaminya.

4. Setia sampai akhir: masalah dihadapi bersama- sama vs ada masalah: jadi alasan untuk tidak setia

Perkawinan Katolik mempunyai ciri khasnya, yang bukan hanya monogami, maksudnya satu suami, satu istri, tetapi juga kesetiaan yang tak terceraikan. Mengapa? Karena kesetiaan total dan kesatuan yang tak terceraikan menjadi syarat mutlak agar suami dan istri dapat saling memberikan diri sepenuhnya dan agar anak- anak dapat bertumbuh dengan baik. ((lih. Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes, 48 seperti dikutip oleh Familiaris Consortio, 20)) Sedangkan dasar utamanya adalah gambaran perkawinan Kristiani di mana suami dan istri sungguh- sungguh menjadi saksi hidup bagi dunia, akan kasih setia Allah kepada umat-Nya dan kasih setia Kristus kepada Gereja-Nya. ((lih. Familiaris Consortio 12, 13)) Dengan demikian, ikatan perkawinan Katolik tidak bersifat seperti kontrak, yang jika sudah bosan boleh diputuskan begitu saja, tetapi bersifat seperti Perjanjian (covenant) yang sifatnya tetap, seperti perjanjian antara Allah dengan umat pilihan-Nya, seperti perjanjian antara Kristus dengan Gereja-Nya. ((lih. Katekismus Gereja Katolik 1602, 1617)) Sebab hanya dengan kesetiaan itulah kita dapat belajar mengasihi dengan tulus seperti Kristus.

Akal sehat kita saja sudah cukup untuk menyatakan bahwa kesetiaan sangat diperlukan dalam hidup perkawinan. Tidak ada istri atau suami yang senang ‘diduakan’. Jika salah satu pihak saja sudah tidak setia,- misalnya ada PIL atau WIL, itu akan berakibat buruk pada hubungan suami istri. Meskipun sudah ada rekonsiliasi/ pengampunan sekalipun, umumnya tetap dibutuhkan waktu untuk memulihkan hubungan yang sudah terluka. Demikian juga, kesetiaan suami istri dibutuhkan demi kebaikan perkembangan anak- anak. Kita tak memerlukan studi yang rumit untuk melihat kenyataan bahwa anak- anak yang orang tuanya bercerai/ berpisah, akan mengalami luka batin yang mendalam, dan ini sering memberikan dampak negatif bagi kepribadian mereka. Ada yang menjadi pribadi yang membenci lawan jenis, mudah menjadi pemurung dan tidak percaya diri, atau menjadi pemarah, agresif dan penuh curiga, atau aneka sifat negatif lainnya. Rahmat Tuhan sungguh diperlukan untuk menolong anak- anak ini mengatasi pengaruh luka batin yang terjadi akibat perpisahan orang tuanya.

Maka, memang diperlukan pengorbanan orang tua untuk selalu memperjuangkan kesatuan dan kesetiaan di dalam hubungan mereka sebagai suami istri. Masalah memang mungkin akan datang silih berganti dalam kehidupan perkawinan, tetapi jika dihadapi bersama Kristus, maka semua kesulitan itu dapat diubah menjadi berkat yang semakin mempererat ikatan kasih suami istri. Berapa banyak suami istri yang menjadi semakin mengasihi, setelah melalui kesulitan bersama- sama dan bahu membahu menghadapinya? Kesulitan keuangan, penyakit, masalah pekerjaan, problema anak, dan bahkan perselingkuhan sekalipun, tidaklah menjadi alasan untuk berpisah. Masalah- masalah itu justru harus dihadapi bersama, dijadikan titik tolak untuk mengadakan introspeksi, agar dapat dicapai pemulihan hubungan kasih suami istri. Dalam hal ini janganlah dilupakan peran sakramen Pengakuan Dosa dan Ekaristi, yang memang menjadi sumber kekuatan bagi suami dan istri untuk bertumbuh menjadi pasangan yang lebih mengasihi dan setia satu sama lain. ((lih. Familiaris Consortio 57,58)). Rahmat Tuhan yang diterima melalui sakramen sekaligus menjadi panggilan dan perintah kepada suami istri untuk tetap setia satu sama lain selamanya, dan inilah yang menjadi tugas yang paling berharga dan paling mendesak bagi pasangan suami istri Katolik di masa sekarang. (lih. Familiaris Consortio, 20)

5. Hubungan seksual yang total, seindah maksud aslinya vs hubungan seksual yang pura-pura, tak seindah maksud aslinya

Sudah disebutkan di atas bahwa Tuhan menciptakan manusia menurut gambaran-Nya (Kej 1:26) dan dengan demikian Tuhan merencanakan manusia untuk menjadi mirip dengan-Nya. Mirip dalam hal apa? Dalam segala hal, namun terutama dalam hal kasih, karena Allah adalah Kasih (1 Yoh 4:8). Nah, kasih Allah ini mempunyai dua ciri khas, yaitu kasih yang melibatkan pemberian diri yang total, dan kasih yang berbuah ((lih. Familiaris Consortio 11)). Karena demikianlah yang terjadi dalam kehidupan ilahi Allah Trinitas. Sejak awal mula, ada ikatan kasih yang saling memberikan diri antara Allah Bapa dan Allah Putera. Ikatan kasih ini begitu total dan sempurna, sehingga tidak saja merupakan perasaan tetapi merupakan Pribadi, yaitu Roh Kudus. Maka Roh Kudus merupakan pernyataan yang tak terlukiskan tentang pemberian diri antara Allah Bapa dan Allah Putera. Dalam kehidupan ilahi-Nya, Allah tidak hanya mengasihi, tetapi Pribadi Allah sendiri itulah Sang Kasih ((lih. Yohanes Paulus II, Dominum et Vivificantem 10)), yang memberikan kehidupan kepada dunia. Di sini kita memperoleh sekilas gambaran tentang misteri Allah Trinitas yang tak terukur oleh pemikiran manusia. Sebab pemberian diri di dalam kehidupan ilahi Allah memang bukan perkawinan -sebab Allah tidak kawin maupun dikawinkan- namun di dalam Trinitas terjadi misteri yang terdalam tentang kasih, yaitu kasih yang total, saling memberi, dan memancarkan kehidupan.

Maka pada saat Tuhan menciptakan manusia seturut gambaran-Nya dan memberkati mereka agar menjadi ‘berbuah’/ beranak cucu (lih. Kej 1:26-28), Tuhan menginginkan agar manusia mengambil bagian di dalam kasih ilahi ini, yaitu dengan menjadi pasangan kekasih yang saling memberikan diri secara sepenuhnya dan menyalurkan kehidupan. Hubungan kasih yang semacam ini secara jelas dinyatakan di dalam perkawinan, yaitu, secara khusus di dalam hubungan seksual antara suami dan istri. “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.” (Mat 19:5) Kesatuan di dalam daging ini sangatlah kuat, sehingga dapat membuahkan kehidupan pribadi yang baru, yang sembilan bulan kemudian diberi nama. Maka kesatuan yang membuahkan pribadi yang ketiga ini mencerminkan kesatuan Tiga Pribadi dalam kehidupan Allah Trinitas itu sendiri. Melalui hubungan kasih suami istri ini, manusia mengambil bagian dalam karya penciptaan Tuhan.

Itulah sebabnya, mengapa Allah sangat menguduskan kehidupan perkawinan. Bahkan Allah menggambarkannya sebagai hubungan kasih antara diri-Nya dan Israel, “….seperti girang hatinya seorang mempelai melihat pengantin perempuan, demikianlah Allahmu akan girang hati atasmu.” (Yes 62:5). Sejak awal mula penciptaan dunia, Allah telah “menciptakan” perkawinan antara laki- laki dan perempuan agar manusia mengambil bagian dalam kasih dan kehidupan-Nya. Di akhir dunia nanti, hubungan kasih antara Allah dan manusia juga digambarkan sebagai perkawinan Anak Domba (Why 19:7-9). Ibaratnya, sebagai Sang Arsitek yang agung, Allah telah mengetahui  hasil akhir desain-Nya, sejak awal mula. Demikian juga, di awal kisah pelayanan-Nya, Tuhan Yesus memulai mukjizat pertama-Nya di perjamuan kawin di Kana (Yoh 2:1-11). Di akhir dan puncak karya keselamatanNya, Kristus memberikan Diri-Nya di kayu salib, kepada Mempelai-Nya yaitu, Gereja-Nya, dan inilah yang menjadi gambaran bagi persatuan suami istri, seperti yang diajarkan oleh rasul Paulus (lih. Ef 5:22:33). Seperti Hawa yang dibentuk dari tulang rusuk Adam saat Adam sedang tidur, demikianlah Gereja mulai terbentuk dari darah dan air yang keluar dari lambung Kristus yang ditikam saat Ia wafat. Kristus yang memberikan Diri-Nya secara total kepada Gereja-Nya ini membuahkan juga anggota- anggota Tubuh-Nya yang baru, yaitu kita semua, lewat Baptisan. Demikianlah, para suami dipanggil oleh Allah untuk mengikuti teladan Kristus, demikianlah istri untuk taat kepada suami seperti Gereja terhadap Kristus:

“Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh. Karena itu sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus, demikian jugalah isteri kepada suami dalam segala sesuatu. Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya untuk menguduskannya, sesudah Ia menyucikannya dengan memandikannya dengan air dan firman, supaya dengan demikian Ia menempatkan jemaat di hadapan diri-Nya dengan cemerlang tanpa cacat atau kerut atau yang serupa itu, tetapi supaya jemaat kudus dan tidak bercela. Demikian juga suami harus mengasihi isterinya sama seperti tubuhnya sendiri: Siapa yang mengasihi isterinya mengasihi dirinya sendiri. Sebab tidak pernah orang membenci tubuhnya sendiri, tetapi mengasuhnya dan merawatinya, sama seperti Kristus terhadap jemaat, karena kita adalah anggota tubuh-Nya.” (Ef 5:25-30)

Maka, mengacu kepada apa yang diajarkan oleh Sabda Tuhan, Gereja Katolik mengajarkan:

KGK 2363       Melalui persatuan suami isteri terlaksanalah tujuan ganda perkawinan: kesejahteraan suami isteri dan penyaluran kehidupan. Orang tidak dapat memisahkan kedua arti dan nilai perkawinan ini satu dari yang lain, tanpa merugikan kehidupan rohani pasangan suami isteri dan membahayakan kepentingan perkawinan dan masa depan keluarga. Dengan demikian cinta suami isteri antara pria dan wanita berada di bawah tuntutan ganda yakni kesetiaan dan kesuburan.

Kasih suami istri yang menuntut kesetiaan dan kesuburan ini adalah kasih yang total, yang tidak menahan sebagian, dan tidak melibatkan perhitungan untung rugi. Kasih ini tidak berdasarkan apa yang dapat ia terima dari pasangan, tetapi atas kebahagiaan untuk memperkaya pasangan dengan memberikan diri seutuhnya. Pengalaman pemberian diri yang total, ekslusif, tanpa syarat dan terbuka kepada kelahiran itu secara sakramental terjadi di dalam hubungan seksual suami istri, sehingga maknanya telah diangkat, menjadi serupa dengan penyerahan diri kepada Kristus, dan di dalam Kristus. ((lih. Henry V. Sattler, “Sacramental Sexuality I”, Communio (Winter, 1981) 340-357)). Dengan demikian, hubungan seksual suami istri mempunyai dimensi ilahi, dan bukan sekedar hubungan jasmani tetapi juga rohani. Sebab hubungan suami istri dalam perkawinan Kristiani merupakan penyerahan diri suami kepada istri dan demikian sebaliknya, dan penyerahan diri keduanya kepada Kristus ((lih. Kimberly Hahn, Life-giving Love, (Michigan: Servant Publication, 2001); p. 37)) dan kepada segala rencana-Nya. Maka jika dihayati maknanya, hubungan suami istri merupakan tindakan yang mempersatukan pasangan (baik tubuh, jiwa, perasaan) dan dengan melakukannya suami istri sesungguhnya memperbaharui janji perkawinan: “Aku menerima engkau …. seluruhnya sebagai suamiku/ istriku. Aku mau mencintaimu, memberikan diriku seutuhnya, [termasuk kesuburanku…] dan aku mau setia kepadamu dalam untung dan malang, sehat dan sakit, sampai sepanjang hidup.”

Makna persatuan suami dan istri di dalam Kristus inilah yang tidak dinyatakan jika pasangan menggunakan alat kontrasepsi. Yesus bersabda, “Apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia (Mat 19:6)”. Namun kenyataannya, persatuan ini ‘diceraikan’ oleh alat kontrasepsi, jika pasangan memakainya. Karena dengan kontrasepsi, persatuan antara suami istri menjadi tidak menyeluruh, tidak tanpa syarat, dan tidak mengacu pada komitmen ‘for better for worse’. Kata ‘kontrasepsi‘ sendiri artinya ‘melawan permulaan’, dalam hal ini permulaan kehidupan. Di sini terjadi pertentangan, karena pasangan yang berbuat tidak mau menanggung akibatnya. Mereka yang katanya saling mencintai malah memakai alat kontrasepsi sebagai ‘proteksi’, atau mengenakan alat ‘pembunuh’ sperma, seolah-olah menghadapi ‘perang’. Atau, bagian tubuh diikat/ dipotong, agar tidak lagi dapat menyalurkan bakal kehidupan. Bukankah jika kita renungkan, ini bertentangan dengan hakekat kasih yang saling memberi dan menerima seutuhnya?  Pendek kata, kasih suami istri yang total dan tak bersyarat diwujudkan dengan tindakan yang tidak mencerminkan hal itu. Secara objektif hal yang seperti ini sesungguhnya dapat dikatakan sebagai ‘ketidakjujuran’, karena apa yang dikatakan tidak sesuai dengan apa yang dilakukan. Pasangan suami istri yang menggunakan alat kontrasepsi sebenarnya berusaha untuk memisahkan kedua tujuan perkawinan yang sudah ditentukan Tuhan. Mereka ingin menerima tujuan kesejahteraan suami istri, namun menolak tujuan penyaluran kehidupan. Dengan demikian, mereka menyalahi kehendak Tuhan yang pada dasarnya  berkehendak agar suami istri dapat saling membantu untuk mencapai kesempurnaan dan kebahagiaan, dan dapat bekerjasama dengan-Nya dalam mendatangkan kehidupan baru. Inilah yang terjadi dalam pemakaian alat kontrasepsi dan sterilisasi, dan karena itu Gereja Katolik melarangnya. ((lih. Humanae Vitae 14, “Oleh karena itu, Kami mendasarkan perkataan Kami atas prinsip- prinsip pertama dari kemanusiaan dan ajaran Kristiani tentang perkawinan ketika Kami diharuskan sekali lagi untuk menyatakan bahwa pemutusan secara langsung dari proses pembuahan/ generatif yang sudah dimulai, dan di atas semua itu semua tindakan aborsi, bahkan untuk alasan- alasan terapi, sama sekali tidak termasuk sebagai cara- cara yang dapat dibenarkan untuk pengaturan jumlah anak- anak. Demikian juga untuk ditolak, seperti telah ditegaskan berkali- kali oleh Magisterium Gereja, adalah sterilisasi langsung, baik di pihak laki- laki maupun perempuan, baik bersifat permanen/ tetap selamanya atau sementara.
Juga tidak termasuk adalah segala perbuatan, baik sebelum, pada saat, ataupun sesudah hubungan seksual, yang secara khusus dimaksudkan untuk mencegah kelahiran/prokreasi, apakah sebagai tujuan ataukah sebagai cara.
Juga tidak perlu dipertanyakan, sebagai pembenaran bagi hubungan seksual yang secara sengaja bersifat kontraseptif, bahwa kejahatan yang lebih kecil adalah untuk dipilih jika dibandingkan dengan kejahatan yang lebih besar, atau bahwa suatu hubungan seksual adalah untuk digabungkan dengan tindakan prokreasi dari kejadian lampau ataupun yang akan datang sebagai satu kesatuan, dan untuk dinilai memenuhi syarat dengan kebaikan moral seperti ini. Walaupun benar, bahwa seringkali dibenarkan untuk mentolerir kejahatan moral yang lebih kecil untuk menghindari kejahatan yang lebih besar ataupun untuk mendorong kebaikan yang lebih besar, adalah tidak pernah dibenarkan, bahkan untuk alasan- alasan yang besar, untuk melakukan kejahatan agar kebaikan dapat dihasilkan darinya- dengan perkataan lain, untuk melakukan sesuatu secara langsung dengan sengaja, yang dengan sendirinya secara kodrati bertentangan dengan hukum moral, dan karena itu harus dinilai sebagai sesuatu yang tidak layak bagi manusia, meskipun maksudnya adalah untuk melindungi ataupun memajukan kesejahteraan individu, keluarga ataupun masyarakat secara umum. Akibatnya, adalah sebuah kesalahan serius untuk menganggap bahwa sebuah kehidupan berkeluarga yang tidak menjalani hubungan- hubungan normal dapat membenarkan hubungan seksual yang secara sengaja bersifat kontraseptif dan karena itu salah secara mendasar, lihat juga Familiaris Consortio 30. ))

Paus Yohanes Paulus II menulis demikian:

“Ketika para pasangan suami istri, dengan menggunakan alat kontrasepsi, memisahkan kedua arti ini yang Tuhan Pencipta sudah tanamkan di dalam diri laki- laki dan perempuan dan di dalam dinamika persatuan seksual mereka, mereka bertindak sebagai “hakim”dari rencana ilahi dan mereka “memanipulasi” dan merendahkan seksualitas manusia- dan dengan itu merendahkan diri mereka sendiri dan pasangan mereka- dengan mengganti makna “pemberian diri yang total”. Oleh karena itu, bahasa yang melekat yang menyatakan saling pemberian diri yang total antara suami dan istri ditutupi melalui kontrasepsi, dengan bahasa yang bertentangan secara obyektif, yaitu, dengan cara yang berarti tidak memberikan diri secara total kepada yang lain. Ini mengarah tidak saja kepada penolakan terhadap kemungkinan kehidupan, tetapi juga kepada pengingkaran akan kebenaran inti dari kasih suami istri, yang dipanggil untuk memberikan diri secara menyeluruh sebagai manusia.” ((Paus Yohanes Paulus II, Familiaris Consortio, 32, lihat juga Casti Connubii 56: “Tindakan apapun dari perkawinan, yang dilakukan sebagai suatu tindakan yang disengaja menelantarkan kodrat dari kekuatan untuk memberikan kehidupan, adalah bertentangan dengan hukum Tuhan dan hukum kodrat, dan kepada yang melakukan perbuatan tersebut dicap dengan kesalahan dosa berat.”))

Ajaran Gereja tentang larangan penggunaan kontrasepsi dan sterilisasi- yang merupakan tindakan yang disengaja untuk menolak penyaluran kehidupan- inipun harus diajarkan oleh para imam, maupun kepada para pengajar iman Katolik. Paus Pius XI dalam Casti Connubii dengan jelas mengatakan:

“Oleh karena itu Kami mengingatkan, kepada para imam yang menerima pengakuan dosa dan mereka yang bertugas untuk membimbing jiwa- jiwa, melalui kuasa otoritas Kami yang tertinggi dan di dalam perhatian Kami untuk keselamatan jiwa- jiwa, agar jangan membiarkan umat beriman yang dipercayakan kepada mereka untuk menjadi keliru dalam hal hukum Tuhan yang sangat besar ini; terlebih lagi menganggap diri mereka kebal [tidak tersangkut paut] dari pandangan yang salah ini, apalagi bekerja sama untuk memperbolehkannya. Jika ada imam atau gembala jiwa- jiwa – yang semoga tidak ada sebab tidak diijinkan Tuhan- yang memimpin umat beriman yang dipercayakan kepada mereka ke dalam kesalahan- kesalahan ini, atau sedikitnya meneguhkan mereka dengan persetujuan atau dengan sikap diam yang patut dipersalahkan, biarlah ia mengingat kenyataan bahwa ia harus mempertanggungjawabkan tentang hal ini di hadapan Tuhan, Hakim yang Tertinggi, karena pengkhianatan atas kepercayaan yang kudus yang diberikan oleh Tuhan kepadanya.” ((Casti Connubii 57, ditegaskan kembali dalam Humanae Vitae 28-30))

Selanjutnya, Gereja telah meneguhkan ajaran yang menentang kontrasepsi sebagai ajaran yang infallible (tidak dapat sesat) dan tidak akan diubah, “Gereja telah selalu mengajarkan kejahatan yang mendasar tentang kontrasepsi, yaitu, dari setiap tindakan hubungan suami istri yang dimaksudkan agar tidak berbuah. Ajaran ini harus dianggap sebagai definitif dan tidak dapat diubah. Kontrasepsi merupakan kesalahan besar yang menentang kemurnian perkawinan, bertentangan dengan kebaikan penyaluran kehidupan (procreative) dan saling memberikan diri dari pasangan (unitive); kontrasepsi membahayakan cinta sejati dan mengingkari peran Tuhan yang agung dalam penyaluran kehidupan manusia.” ((Vademecum for Confessors 2:4, Feb. 12, 1997)).

Maka, jelaslah bahwa penggunaan alat kontrasepsi menentang kehendak Allah. Karena itu, tak mengherankan jika pasangan suami istri yang melakukannya menuai akibatnya. Setelah satu generasi berlalu dari tahun ensiklik Humanae Vitae itu dikeluarkan, kita melihat bukannya buah yang baik dari kontrasepsi, namun sebaliknya, buah yang memprihatinkan. Atau tepatnya, untuk jangka pendek mungkin tidak kelihatan jelas akibatnya, tetapi dengan berjalannya waktu, kita melihat jelas efek negatifnya. Paus Paulus VI telah menubuatkan efek- efek negatif yang akan terjadi tersebut, jika manusia berkeras menolak ajaran Humanae Vitae ini, yaitu “naiknya angka perceraian dan ketidaksetiaan dalam perkawinan, serta pemerosotan moral, karena pasangan tidak terlatih untuk mengendalikan diri. Sebab dengan mental kontraseptif, pada akhirnya suami akan kehilangan respek terhadap istrinya, dan tidak lagi peduli dengan kesehatan fisik dan mental istri. Suami dapat cenderung menjadikan istri sebagai objek untuk pemuasan diri daripada menghormatinya sebagai pasangan yang terkasih ((lih. Humanae Vitae 17)). “Nubuat” Paus Paulus VI ini nampaknya terpenuhi sekarang, setelah lewat satu generasi sejak ensiklik tersebut dituliskan. Michael Mc Manus dalam artikelnya: “Pope Paul VI: Right on Contraception” melaporkan, “Sejak Pil KB mulai dijual di tahun 1960, tingkat perceraian naik tiga kali lipat, kelahiran anak diluar nikah naik dari 224,000 menjadi 1.2 juta, kasus- kasus aborsi meningkat, dan hidup bersama tanpa ikatan nikah naik sepuluh kali lipat dari 430,000 menjadi 4.2 juta.” ((“Pope Paul VI: Right on Contraception“, Scranton [Pennsylvania] Times, 24 October 1999.)). Menurut data statistik http://www.divorcerate.org/ angka perceraian di Amerika adalah 50 %. Menurut kompilasi Robert Johnston (klik di link ini http://www.johnstonsarchive.net/policy/abortion/graphusabrate.html) jumlah aborsi di Amerika tahun 1960 adalah sekitar 292 kasus, namun kemudian terus meningkat sampai mencapai sekitar 1,6 juta di tahun 1990, dan sedikit menurun menjadi 1,2 juta di tahun 2008. Jadi di sini terlihat bahwa diperbolehkannya kontrasepsi bukannya menurunkan angka aborsi tetapi malah melipatgandakannya. Lagipula, penggunaan alat kontrasepsi juga mengakibatkan pemerosotan moral generasi muda, sehingga lama kelamaan mereka tidak lagi menjunjung tinggi makna Perkawinan.

Selain akibat negatif yang berkaitan dengan iman dan moral, alat kontrasepsi juga membawa dampak buruk dalam hal kesehatan para pemakainya. Dr. Chris Kahlenborn dalam bukunya, Breast Cancer: Its Link to Abortion and the Birth Control Pill (Kanker Payudara: Kaitannya dengan Aborsi dan Pil KB), menampilkan referensi yang menunjukkan adanya keterkaitan langsung antara beberapa jenis kanker dengan aborsi dan penggunaan pil KB. ((Lih. Chris Kahlenborn, MD, Breast Cancer: Its Link to Abortion and the Birth Control Pill (Dayton, Ohio: One more Soul, 2000)). Studi menunjukkan bahwa aborsi dan pil KB meningkatkan resiko kanker payudara, kanker rahim, tumor hati/ lever, dan kanker kulit. Hasil ini akan menjadi lebih parah, jika perempuan itu di usia mudanya sudah mulai mengkonsumsi pil KB atau mengkonsumsinya dalam jangka waktu yang lama. Maka, walaupun ini tidak berarti bahwa semua wanita yang terkena kanker payudara atau kanker rahim pasti pernah melakukan aborsi atau minum pil KB, tetapi studi menyatakan bahwa mereka yang melakukannya, mempunyai resiko lebih besar untuk terkena kanker tersebut. Pemasangan IUD (spiral) juga mempunyai resiko yang tak kalah besar. Pelvic inflammatory disease (PID) adalah efek samping yang umum terjadi, di samping resiko tertanamnya spiral di dinding rahim, atau membuatnya sedikit berlubang, resiko hamil yang tak normal pada kehamilan berikutnya, resiko cacat tubuh pada anak yang dikandung berikutnya, atau bahkan resiko tidak dapat hamil lagi. Demikian pula, efek samping sterilisasi yang dapat dibaca di link ini http://www.tubal.org/ovarian_isolation.htm. Sesungguhnya kita harus menyadari bahwa tubuh kita adalah bait Allah (lih 1 Kor 3:16; 6:19) yang bukan milik kita sendiri, tetapi milik Allah, maka kita tidak boleh memperlakukannya sekehendak hati kita, namun sesuai dengan kehendak Allah yang menciptakannya.

Kimberly Hahn dalam bukunya Life- giving Love mengatakan bahwa kontrasepsi adalah kontra (menentang)-kehidupan, kontra-perempuan dan kontra-cinta kasih. ((Kimberly Hahn, Life- giving Love, ibid., p. 82-86)). Bahwa kontrasepsi menentang kehidupan itu sudah jelas, namun bahwa ia menentang perempuan, itu banyak yang tidak menyadarinya. Padahal jika pasangan mengetahui resiko penggunaan alat kontrasepsi pada tubuh wanita, maka tak mungkin mereka, jika punya hati nurani yang jernih, mau mengatakannya sebagai ekspresi cinta. Demikian pula akibat psikis yang ditimbulkannya, sebab pemakaian kontrasepsi dapat mengakibatkan istri merasa diperlakukan sebagai obyek daripada sebagai pribadi. Padahal cinta yang murni tidak mungkin menginginkan yang buruk terjadi pada orang yang kita cintai, ataupun merendahkannya hingga ia kurang ataupun tidak lagi merasa dihargai. Kimberly menyimpulkan bahwa penggunaan kontrasepsi menentang cinta kasih karena pertama- tama lebih berfokus kepada “apa yang kuterima” daripada “apa yang kuberi”. Kedua, menentang karunia Tuhan untuk penyaluran kehidupan yang diberikan melalui hubungan suami dan istri; ketiga, menjadikan perkataan, “aku seutuhnya milikmu” menjadi kebohongan; dan ke-empat, menolak untuk berkorban demi pasangan. Ini menyerupai perbuatan Adam dan Hawa, yang mau menentukan sendiri hal yang baik dan buruk tanpa mengindahkan kehendak Tuhan. ((lih. Ibid., p. 106))

Sesungguhnya, untuk melihat dampak negatif penggunaan kontrasepsi ini, kita tidak perlu melihat kepada data statistik, karena telah begitu jelas terlihat di dalam masyarakat kita, dan mungkin saja di dalam lingkaran kerabat kita sendiri. Jika kita dengan rendah hati mau menerima perkataan Yesus, bahwa untuk mengetahui baik atau tidaknya pohon, kita melihat dari buahnya (lih. Mat 12:33), maka kita dapat menerima bahwa penerapan kontrasepsi bukanlah sesuatu yang baik. Jadi larangan kontrasepsi yang diajarkan oleh Gereja adalah pertama-tama demi menciptakan kebahagiaan suami istri dan melindungi Perkawinan itu sendiri.

Maka cara menentukan kelahiran yang diijinkan adalah perencanaan secara alamiah (KBA) “yang melibatkan penguasaan diri dan pantang berkala dengan maksud mewujudkan kasih, perhatian dan kesetiaan timbal balik, sebagai bukti kasih sejati” (Paus Paulus VI, Humanae Vitae 16). Pengaturan KB secara alamiah ini dilakukan antara lain dengan cara pantang berkala, yaitu tidak melakukan hubungan suami istri pada masa subur istri. Hal ini sesuai dengan pengajaran Alkitab, yaitu “Janganlah kamu saling menjauhi, kecuali dengan persetujuan bersama untuk sementara waktu, supaya kamu mendapat kesempatan untuk berdoa” (1Kor 7:5). Dengan demikian suami istri dapat hidup di dalam kekudusan dan menjaga kehormatan perkawinan dan tidak mencemarkan tempat tidur (lih. Ibr 13:4). Cara KB alamiah ini bukanlah kontrasepsi, karena melalui cara ini suami dan istri mempergunakan kondisi alamiah dengan berpantang pada saat subur untuk menghindari kelahiran, dan bukannya merintangi kesuburan tubuh ((Humanae Vitae 16)) Walaupun ajaran ini sulit diterapkan, namun bukannya tidak mungkin; dan jika diterapkan, akan mendatangkan buah yang baik terutama bagi suami istri itu sendiri.

Dewasa ini pengaturan KB alamiah sudah semakin akurat, karena tidak hanya berdasarkan penghitungan kalender, tetapi berdasarkan tanda-tanda fisik wanita yang menyertai kesuburannya/ ketidaksuburannya, yang dikenal dengan Metoda Billings atau pengembangannya, yaitu Metoda Creighton. Data statistik menunjukkan metode KB alamiah Creighton memiliki tingkat kesuksesan 99%, bahkan penelitian di Jerman tahun 2007 yang lalu mencapai 99.6%. (( Lebih lanjut mengenai KB Alamiah (Natural Family Planning) menurut Metoda Creighton dapat diperoleh di link ini:https://katolisitas.org/2009/12/31/metoda-creighton-kb-alamiah-yang-cukup-akurat/ )) Dengan menerapkan KB Alamiah, pasangan diharapkan untuk dapat lebih saling mengasihi dan memperhatikan. Pantang berkala pada masa subur istri dapat diisi dengan mewujudkan kasih dengan cara yang lebih sederhana dan bervariasi. Akibatnya, suami menjadi lebih mengenal istri dan peduli akan kesehatan istri. Latihan penguasaan diri ini dapat pula menghasilkan kebajikan lain seperti kesabaran, kesederhanaan, kelemah-lembutan, kebijaksanaan, dan lain lain, yang semuanya baik untuk kekudusan suami istri. Istripun dapat merasa ia dikasihi dengan tulus, dan bukannya hanya dikasihi untuk maksud tertentu. Pasangan suami istri menjadi lebih harmonis, semakin kreatif dalam menyatakan kasih satu sama lain, sehingga tidak lekas bosan. Teladan kebajikan suami istri ini nantinya akan terpatri di dalam diri anak-anak, sehingga merekapun bertumbuh menjadi pribadi yang beriman dan berkembang dalam berbagai kebajikan. Dan umumnya, “bonus” yang terjadi adalah, hubungan kasih dalam keluarga semakin harmonis, dan suami dan istri tambah mesra satu sama lain.

Untuk maksud inilah, Gereja mengajarkan pengaturan kelahiran secara alamiah (KBA). Memang ajaran ini bertentangan dengan pendapat media dan dunia, namun Paus tetap mengajarkannya; dengan kesadaran akan konsekuensi bahwa Gereja, seperti Kristus, dapat dianggap sebagai ‘tanda pertentangan/ ’sign of contradiction’ (Humanae Vitae 18). Hal ini bahkan menunjukkan ‘keaslian’ ajaran ini, ((Sebenarnya sejak jaman abad awal sampai tahun 1930, semua Gereja baik Protestan maupun Katolik selalu bersepakat bahwa kontrasepsi adalah perbuatan dosa. Namun pada tahun 1930, melalui Konferensi Lambeth, gereja Anglikan pertama kali menyetujui kontrasepsi untuk kasus- kasus tertentu. Dan gereja-gereja lain mulai mengubah posisi mereka, kecuali Gereja Katolik. Pada tahun yang sama Paus Pius XI mengeluarkan surat ensiklik Casti Connubii (=Tentang Perkawinan) yang pada prinsipnya menegaskan kembali pengajaran Gereja sejak awal, bahwa kontrasepsi adalah perbuatan yang salah )) yang mengakibatkan Gereja menjadi semakin serupa dengan Kristus yang mendirikannya. Pendapat dunia menghalalkan segala bentuk kenikmatan daging, sedangkan Tuhan mengajarkan kita untuk mengatasinya, dengan penguasaan diri. Dalam Perkawinan penguasaan diri dinyatakan oleh suami dan istri dengan menghilangkan rasa saling mementingkan diri sendiri -’musuh’ dari cinta sejati- dan memperdalam rasa tanggung jawab (Humanae Vitae 21).

Dengan menjunjung tinggi kebenaran mengenai seksualitas, Gereja Katolik mengajak kita semua umat Katolik untuk menerapkannya, walaupun mungkin tidak mudah. Rasul Paulus mengingatkan kita, demikian:

“Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati. Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.” (Rom 12:1-2)

6. Anak adalah berkat vs anak adalah beban.

Kitab Suci dan Gereja Katolik mengajarkan bahwa anak- anak adalah berkat. Tidak ada ayat dalam Kitab Suci yang mengajarkan bahwa anak- anak adalah beban bagi orang tua. Mereka adalah pemberian Tuhan, yang sepertinya dititipkan oleh Tuhan kepada orang tua, agar dapat dibimbing jiwanya dan pikirannya agar dapat mengenal dan mengasihi Allah. Maka, anak- anak itu pada dasarnya adalah milik Tuhan, bukan milik orang tua. Di mata Tuhan, anak- anak adalah kurnia/ berkat yang harus disyukuri:

“Sesungguhnya, anak- anak lelaki adalah milik pusaka dari pada Tuhan, dan buah kandungan adalah suatu upah. Seperti anak- anak panah di tangan pahlawan, demikianlah anak- anak pada masa muda. Berbahagialah orang yang telah membuat penuh tabung panahnya dengan semuanya itu…. Isterimu akan menjadi seperti pohon anggur yang subur di dalam rumahmu, anak- anakmu seperti tunas pohon zaitun sekeliling mejamu! …demikianlah akan diberkati orang laki- laki yang takut akan Tuhan.” (lih. Mzm 127:3-5; Mzm 128:3-4)

Oleh karena itu, Gereja Katolik mengajarkan, “Anak-anak merupakan kurnia perkawinan yang paling luhur, dan besar sekali artinya bagi kesejahteraan orang tua sendiri…” ((Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes, 50)). Jadi anak- anak dilahirkan untuk kebaikan orang tua-nya, karena mereka menjadi berkat untuk menguduskan ayah dan ibunya. Berapa banyak dari kita yang bertumbuh menjadi orang yang lebih baik, lebih dewasa baik dari pikiran maupun iman, setelah menjadi ayah dan ibu; setelah mempunyai anak- anak yang memanggil “papa” dan “mama”? Berapa banyak dari kita yang sungguh- sungguh menemukan panggilan hidup dan merasakan hidup ini menjadi lebih berarti setelah kita mempunyai anak- anak?

Ya, sudah saatnya kita yang memilih kehidupan berkeluarga untuk mempunyai sudut pandang yang benar tentang kehadiran anak- anak di dalam keluarga. Katekismus Gereja Katolik mengajarkan:

KGK 2366       Kesuburan adalah satu anugerah, satu tujuan perkawinan, karena cinta suami isteri dari kodratnya bertujuan supaya subur. Anak tidak ditambahkan dari luar pada cinta suami isteri yang timbal balik ini, ia lahir dalam inti dari saling menyerahkan diri itu, ia merupakan buah dan pemenuhannya. Karena itu Gereja yang “membela kehidupan”, mengajar “bahwa tiap persetubuhan harus tetap diarahkan kepada kelahiran kehidupan manusia” (Humanae Vitae 11).

Dengan kesadaran bahwa kesuburan dan anak adalah berkat dari Tuhan, maka sudah selayaknya kita menghargainya. Yang harus diobati adalah jika pasangan tidak subur, agar menjadi subur- yaitu dapat melahirkan anak, tentu dengan cara- cara yang dibenarkan oleh iman Katolik. Namun pasangan yang sudah subur, artinya itu sudah baik, maka tidak perlu diobati atau malah dijadikan tidak subur, misalnya dengan menggunakan bermacam alat kontrasepsi seperti pil, spiral, sterilisasi, atau bahkan aborsi. Semua ini ditentang oleh Gereja Katolik ((lih. Humanae Vitae, 14, Familiaris Consortio, 30)), justru karena pada prinsipnya, semua hal itu seolah mengatakan bahwa kehadiran anak adalah beban sehingga layak ditolak.

Kimberly Hahn, dalam bukunya Life- giving Love, menjabarkan sedikitnya ada tiga hal, yang menunjukkan bahwa anak adalah berkat. Yang pertama, kelahiran anak mengakibatkan bertambahnya rasa cinta kasih dan penghargaan di antara suami dan istri. Sebab suami akan melihat bagaimana istrinya mempertaruhkan nyawanya untuk melahirkan anak itu, yang adalah anaknya juga. Dengan kelahiran anak, sang suami menjadikan istrinya seorang ibu, dan sang istri, menjadikannya seorang ayah. Yang kedua, pasangan itu mengalami suatu pengalaman baru yang dapat membuat mereka semakin menghargai apa yang telah diperbuat oleh orang tua mereka sendiri terhadap mereka. Ketiga, para opa dan oma juga akan sangat bersyukur dengan kelahiran cucu- cucu mereka, ((Kimberly Hahn, Life-giving Love, p. 58-59)) karena melihat bahwa pengorbanan mereka untuk membesarkan anak-anaknya kini telah ‘membuahkan’ seorang anak, yang memperteguh hubungan kasih antara mereka dengan keluarga anak dan menantunya itu.

Di atas semua itu, anak merupakan berkat bagi orang tua terutama karena melalui anak, Tuhan dapat membentuk orang tua untuk menjadi semakin serupa dengan Dia. Berapa banyak dari kita yang dapat semakin menghayati kasih kebapaan Allah, ketika kita sendiri menjadi bapa? Berapa banyak dari kita yang melihat potret diri kita sebagai manusia yang rapuh dan sering jatuh dalam dosa, setelah kita melihat kerapuhan anak- anak kita? Berapa banyak dari kita yang dapat lebih menghargai hal- hal sederhana dan belajar untuk lebih mudah mengampuni, jika kita melihat sikap anak- anak yang polos dan pemaaf? Berapa banyak dari kita yang terdorong untuk lebih mengenal Allah, karena kita ingin menceritakan tentang Dia kepada anak- anak kita?

Jika kita sudah dapat menghayati bahwa anak adalah karunia Tuhan yang dipercayakan kepada kita untuk menguduskan kita, maka kita akan dapat lebih menghargai kehadiran mereka. Entah mereka sehat atau cacat, bermasalah atau tidak, mereka tetap adalah berkat yang Tuhan kirimkan untuk kebaikan jiwa kita. Dalam buku yang sama, Kimberly Hahn menyampaikan kesaksian seorang ibu yang mempunyai anak yang didiagnosa autis. Awalnya berat bagi ibu itu untuk menerima kenyataan tersebut, tetapi setelah merenungkannya dan membawa hal ini terus menerus dalam doa, akhirnya ia menemukan jawabannya. “Tuhan memberkati saya dengan sebuah eskalator menuju surga….Tuhan memahami kelemahan saya. Ia mengetahui bahwa saya membutuhkan lebih dari sekedar tangga untuk sampai ke surga, sehingga Ia memberikan kepada saya uluran tangan anak saya, untuk menaiki eskalator itu…. ” ((Kimberly Hahn, Life-giving Love, p. 61)). Ya, melalui anak- anak, orang tua dibentuk oleh Tuhan untuk menjadi pribadi yang mengasihi, yang mau memberikan diri secara total dan tanpa syarat. Dengan kasih yang tulus memberi tanpa mengharapkan balasan itu, tercerminlah di dalam kita wajah Tuhan, dan inilah yang menghantarkan kita kepada pemahaman akan makna hidup kita.  Dengan kelahiran anak, maka pasangan suami istri dipanggil untuk menjadi orang tua bagi anaknya, dan untuk menjadi tanda yang kelihatan akan kasih Allah bagi anak- anak mereka. ((lih. Familiaris Consortio 14)) Ya, Tuhan mau agar kita bisa mengasihi seperti Kristus.

Namun, di atas semua itu, bukan berarti jika pasangan suami istri yang belum atau tidak dikaruniai anak artinya tidak diberkati Tuhan. Waktu menunggu kehadiran buah hati dapat menjadi kesempatan emas untuk bertumbuh di dalam iman dan kepasrahan kepada Tuhan. Atau, keadaan ini dapat juga ditanggapi dengan melakukan adopsi, dan dengan demikian pasangan suami istri membagikan kasih Tuhan yang tak bersyarat kepada keluarga yang lain. Atau, keadaan tidak mempunyai anak juga dapat dijadikan kesempatan bagi pasangan untuk untuk melayani kehidupan sesama, seperti melalui kegiatan- kegiatan gerejawi, pendidikan dan pelayanan bagi keluarga- keluarga lain ataupun kepada kaum miskin dan cacat ((lih. Familiaris Consortio 14)). Dengan demikian, pasangan suami istri tersebut dapat memberikan diri secara total bagi kegiatan kerasulan untuk membangun Gereja, dan dengan demikian meneruskan kasih Allah juga, walaupun bukan kepada anak- anak kandung mereka. Dengan demikian, Allah mempunyai banyak cara untuk menguduskan pasangan suami istri, namun yang jelas, tidak dengan membenarkan bahwa anak-anak adalah beban. Sebab sekali lagi, anak itu adalah berkat yang sangat berharga dari Allah!

7. Anak menjadi anak orang tua vs anak menjadi anak pembantu.

Mudah bagi kita untuk membayangkan bahwa di dalam suatu perlombaan, maka para pesertanya berjuang untuk memperoleh gelar juara untuk mendapatkan mahkota. Sesungguhnya kehidupan keluargapun demikian. Mahkota keluarga adalah kelahiran anak- anak dan pendidikan mereka menjadi anak- anak yang mengasihi Tuhan dan sesama. Paus Yohanes Paulus II mengajarkan, “… sebab diciptakannya perkawinan dan kasih suami istri adalah untuk kelahiran anak- anak dan pendidikan anak-anak merupakan mahkotanya.” ((Familiaris Consortio 14)).
Maka peran orang tua dalam melahirkan anak tidak terpisahkan juga dari peran mereka untuk mendidik anak- anak agar layak disebut sebagai anak- anak Tuhan. Karena orang tua sudah diikutsertakan Tuhan dalam proses penciptaan anak- anak mereka, maka selanjutnya orang tua juga mempunyai tugas untuk mendidik anak- anak. Dalam hal ini, orang tua menjadi “pendidik pertama dan utama bagi anak- anak mereka” ((Katekismus Gereja Katolik 1653, Familiaris Consortio, 40)), dan peran ini tidak dapat digantikan dan tidak dapat sepenuhnya didelegasikan kepada orang lain. ((Familiaris Consortio 36)) Sayangnya secara umum di Indonesia, terutama di kota- kota besar, terdapat kecenderungan adanya masalah dalam hal ini. Entah karena kesibukan kedua orang tua yang bekerja, atau entah karena sudah menjadi kebiasaan turun temurun, kedua orang tua memasrahkan urusan anak- anak kepada pembantu rumah tangga. Anak- anak lebih banyak menghabiskan waktu bersama pembantu, daripada bersama orang tua. Anak- anak lebih banyak berinteraksi dengan pembantu daripada dengan orang tua. Ini memprihatinkan, karena bagaimana kita dapat mengharapkan pembantu untuk mengajari anak- anak kita tentang iman, terutama jika mereka berbeda iman dan keyakinan dengan kita. Bagaimana kita dapat mengharapkan pembantu rumah tangga kita menanamkan nilai- nilai Kristiani, jika mereka sendiri tidak mengetahuinya.

Padahal seharusnya, orang tualah yang bertugas menciptakan suasana rumah tangga yang penuh kasih dan menghormati Tuhan dan sesama, dan keluargalah yang menjadi sekolah pertama bagi anak- anak  untuk mengajarkan bagaimana caranya hidup menjadi orang yang baik. ((lih. Familiaris Consortio, 36)) Dasar utama seluruh kegiatan pendidikan di dalam keluarga adalah cinta kasih orang tua, dan tujuannya adalah agar anak bisa lebih ‘pandai’ mengasihi sehingga kelak mereka dapat menjadi orang- orang yang berperan positif di dalam masyarakat dan menjadikan masyarakat sekitarnya menjadi lebih baik.

Jadi suami istri dipanggil oleh Allah untuk semakin menghayati panggilannya sebagai ayah dan ibu, melalui kehadiran anak- anak. Peran kebapaan seorang ayah dipenuhi jika ia mengasihi anak- anaknya dan istrinya sebagai ibu anak- anaknya. ((lih. Familiaris Consortio 25)). Seorang bapa dipanggil untuk mengusahakan keharmonisan keluarga dan perkembangan bagi seluruh anggota keluarga. Hal ini dicapai dengan, pertama- tama, ia bertanggungjawab untuk melindungi kehidupan anaknya sejak di dalam kandungan istrinya. Kedua, ia harus lebih memberikan komitmen untuk mendidik anak- anak, bersama dengan istrinya. Ketiga, ia wajib mengusahakan agar pekerjaannya jangan sampai mengakibatkan perpisahan di dalam keluarga, tetapi malah memperkuat persatuan dan kestabilannya. Dan terakhir, ia harus menjadi saksi hidup yang melaksanakan ajaran iman Kristiani, sehingga dapat dengan efektif memperkenalkan anak- anak kepada pengalaman akan Kristus dan Gereja-Nya. ((Ibid.)) Demikian juga, ibu dipanggil untuk melakukan tanggungjawab yang sama dalam membina keutuhan keluarga dan mendidik anak- anak. Penting disadari di sini bahwa perlu diperbaiki mentalitas yang mengatakan bahwa adalah lebih baik wanita bekerja di luar rumah daripada di dalam rumah ((lih. Familiaris Consortio 23)). Walaupun kadang terdapat kondisi yang mengharuskan istri turut bekerja untuk turut menopang kebutuhan keluarga, ini tidak mengubah fakta bahwa sebagai ibu, ia tetap perlu memberikan komitmen untuk menyediakan waktu mendidik anak- anak terutama dalam hal iman dan kebajikan- kebajikan Kristiani. Anak dapat banyak belajar dari ibunya dengan melihat teladan hidupnya, dan ini pengaruhnya lebih kuat daripada pengajaran dengan kata- kata.  Ibu yang dengan tulus mengurus dan mendidik anak- anak akan mengajarkan kepada anak akan arti pengorbanan dan kasih seorang ibu. Ibu yang bersahaja, tidak hidup mewah, tidak terobsesi dengan belanja/ shopping akan memberi banyak pelajaran tentang pentingnya kesederhanaan sebagai bagian dari pertumbuhan iman. Rasul Paulus mengajarkan, “Tetapi perempuan akan diselamatkan karena melahirkan anak, asal ia bertekun dalam iman dan kasih dan pengudusan dengan segala kesederhanaan.” (1 Tim 2:15).

Selain dari itu, jika orang tua dengan aktif mendidik anak- anaknya sendiri, orang tua dapat menanamkan kepada anak rasa tanggungjawab untuk mengurus dirinya sendiri dan mengambil bagian dalam tugas rumah tangga, tentu dengan memperhitungkan umur mereka. Ini penting, agar anak tidak terbiasa untuk dilayani daripada melayani. Menanamkan tanggungjawab dan kesiapsediaan untuk melayani pada anak merupakan tugas orang tua, untuk membentuk pribadi anak seturut teladan Kristus, yang datang ke dunia bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani (lih. Mat 20:28; Mrk 10:45)

8. Tujuan utama keluarga: Surga vs tujuan utama keluarga: kegembiraan di dunia saat ini.

Sampailah kita ke butir permenungan yang terakhir. Yaitu, Surga. Seringkah kita berpikir, bahwa hidup kita di dunia ini sesungguhnya tidak sampai satu per sejuta persen dari hidup yang Tuhan rencanakan bagi kita? Sejak awal Tuhan menciptakan kita di dalam kasih-Nya dan Ia merencanakan agar kita dapat kembali bersatu dengan-Nya di dalam kasih-Nya itu. Jika dua sejoli saja mempunyai keinginan untuk selalu bersama, maka kasih Tuhan kepada kita masing- masing, yang lebih sempurna daripada kasih sepasang manusia itu, juga menginginkan kebersamaan yang sempurna. Maka surga di sini maksudnya adalah kebersamaan yang kekal dengan Tuhan (lih. Yoh 14:3); persekutuan sempurna antara kita dengan Allah dan dengan sesama manusia di dalam Kristus Yesus (1 Yoh 1:3). Inilah yang digambarkan sebagai Perkawinan Anak Domba, di mana Kristus Sang Anak Domba bersatu dengan Mempelai-Nya, yaitu Gereja-Nya (lih. Why 19:6-10), yang adalah kita semua.

Jadi kehidupan keluarga kita semasa kita masih berziarah di dunia ini harus mengarah ke surga. Pertanyaannya, sudahkah kita melaksanakannya? Sebab pandangan kita ke surga ini sungguh akan memberi kekuatan dalam kehidupan berumah tangga. Misalnya jika sampai salah satu dari pasangan jatuh di dalam dosa tertentu, maka pasangan yang lain tidak serta merta meninggalkannya; namun justru berjuang untuk mengangkatnya, agar dapat kembali bersama- sama berjalan di jalan Tuhan menuju surga. Kita harus mengingat bahwa melalui sakramen perkawinan kita sebagai suami istri telah diikat oleh Tuhan, dan harapannya adalah kita dapat saling menuntun agar bersama kita dapat memperoleh kebahagiaan kekal. Pandangan ke surga ini membuat seluruh keluarga kompak, saling membantu saling menopang dalam iman, sebab tiap- tiap anggota menginginkan agar sekeluarga berkumpul kembali di surga nanti.

Jika kita sebagai pasangan suami istri mengarahkan pandangan ke surga, maka kita akan menyadari bahwa segala yang ada pada kita (harta milik, kesehatan, kepandaian, bakat, dst) semuanya sesungguhnya adalah karunia yang ‘dititipkan’ pada kita untuk kita kelola bagi kemuliaan Allah. Kita dapat semakin memiliki kebijaksanaan untuk menghitung hari- hari kita di dunia yang terbatas ini (lih. Mzm 90:12). Bukan berarti bahwa kita tidak boleh atau tidak usah bekerja, tetapi di dalam bekerja kita tidak melulu memikirkan bagaimana mengumpulkan rejeki duniawi sebanyak- banyaknya demi kesenangan jasmani; namun kita mengarahkan pandangan kepada hal- hal yang di atas (lih. Kol 3:1), demi mencapai tujuan akhir hidup kita, yaitu Surga. Bagaikan atlet lari marathon yang sedang berlari menuju tujuan, jika lelah tentu dapat saja beristirahat sejenak dan minum, tetapi pikiran, hati dan badan harus terus mengarah kepada tujuan akhir; sebab jika tidak demikian, kita tidak akan sampai ke sana!

Demikian pula, pandangan ke surga juga mempengaruhi kita dalam mendidik anak- anak. Jika fokus kita adalah menghantar anak- anak ke surga, maka kita harus dengan serius membina pertumbuhan iman mereka. Pendidikan di sekolah- sekolah Katolik menjadi salah satu caranya, namun pendidikan iman itu harus tetap diadakan di rumah. Di samping membaca Kitab Suci, mungkin cara yang baik selanjutnya adalah memperkenalkan riwayat hidup para Santa/ santo, agar anak- anak dapat meniru teladan iman mereka. Hal ini menjadi semakin penting pada keluarga yang mengirimkan anak- anaknya bersekolah di sekolah national plus yang belum tentu menyediakan pendidikan iman Katolik yang baik. Mengingat cukup seriusnya dan bertambah mendesaknya kebutuhan ini, kita sebagai orang tua juga harus mempersiapkan diri untuk ‘membentengi’ anak- anak kita dengan perisai iman yang baik, agar tidak begitu saja menjadi korban ‘kesesatan’ media dan pergaulan yang tidak baik. Sudah saatnya kita mengisi cawan hati kita dengan iman yang hidup, agar kita dapat membagikan isi cawan itu kepada anak- anak kita.

Juga tak kalah penting adalah tugas orang tua untuk mendidik anak anak untuk hidup dalam kemurnian (chastity), sebab hanya dengan kemurnian kita bisa memandang Allah di surga (lih. Mat 5: 8) Pendidikan kemurnian ini menghantar anak- anak untuk menemukan tugas panggilan hidup mereka, entah panggilan hidup berkeluarga ataupun selibat untuk Kerajaan Allah. Kedua jenis panggilan hidup ini merupakan cara yang sama- sama mengarahkan manusia kepada kekudusan. Namun demikian, orang tua tetap perlu dengan sikap terbuka memberikan penjelasan kepada anak tentang keluhuran makna hidup selibat bagi Kerajaan Allah, yang merupakan bentuk yang tertinggi/ teragung bagi pemberian diri kepada Allah yang merupakan makna yang paling berharga bagi seksualitas. ((lih. Familiaris Consortio 37)) Jadi orang tua harus bersyukur dan bahkan berbangga jika ada dari antara anaknya yang terpanggil untuk menjadi imam ataupun suster, karena dengan demikian, mereka turut mempersembahkan yang terbaik kepada Tuhan.

Sungguh, di tengah dunia yang makin konsumtif ini, kita juga perlu memohon kepada Tuhan agar mata hati kita tidak tergiur akan gemerlapnya kemewahan dunia, dan melupakan inti yang terpenting dalam hidup manusia. Paus Yohanes II mengajarkan, bahwa kita harus mengajarkan kepada anak- anak kita agar tidak menilai orang dari apa yang dia miliki, tetapi dari apa adanya orang itu, ((lih. Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes, 35, seperti dikutip Familiaris Consortio 37)) sebab setiap orang diciptakan di dalam kasih Tuhan. Penghayatan akan pengajaran ini membawa dampak dua arah, yaitu cara pandang kita kepada diri kita sendiri, dan terhadap orang lain. Terhadap diri kita sendiri, hal ini menjadikan kita tidak terikat terhadap kekayaan dan memilih untuk hidup lebih sederhana. Sedangkan terhadap orang lain kita dapat lebih menerapkan kasih yang tulus. Kita dapat memulainya dengan bersikap yang baik kepada pembantu di rumah, atau supir, mengingat bahwa mereka mempunyai martabat yang sama dengan kita; dan kita mengajarkan anak- anak kita untuk juga bersikap demikian terhadap mereka.

Hidup yang sederhana dan terarah kepada Kristus yang tersalib akan mengarahkan kita kepada Kristus yang bangkit. Maka kita selalu diingatkan untuk bangkit, dan melanjutkan kehidupan kita dengan penuh semangat, sebab Tuhan Yesus menyertai keluarga kita. Apapun yang terjadi, suka duka dan pergumulan di dalam keluarga kita ini sifatnya sementara, dan diijinkan Tuhan terjadi agar menghantarkan kita lebih dekat kepada-Nya. Maka, janganlah menunggu sampai datangnya masalah yang berat dalam perkawinan baru kita mencari Tuhan. Janganlah sampai kita menunggu hingga anak- anak kita terjerumus dalam pergaulan yang salah, baru kita tersadar dan berusaha memperbaikinya. Janganlah kita memusatkan seluruh energi untuk memenuhi segala kebutuhan jasmani pasangan dan anak- anak kita tanpa mengindahkan kebutuhan rohani mereka. Sebab Tuhan Yesus mengatakan, “Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya?” (Mat 16:26).  Sabda ini merupakan ajakan bagi kita untuk mulai dari sekarang, membangun rumah tangga kita di dalam Tuhan dan bersama Tuhan, dengan Surga dan keselamatan kekal sebagai tujuannya. Sebab pada saat kita melaksanakannya, Tuhan juga akan memberikan kita kesempatan untuk mulai mengecap buahnya, bahkan pada saat kita masih hidup di dunia ini. Keluarga yang erat bersatu dalam kasih, dengan Tuhan Yesus sebagai pusatnya!

III. Membangun kehidupan perkawinan di atas batu jangan di atas pasir.

Tujuan untuk mencapai Surga bagi keluarga-keluarga Katolik hanya mungkin kalau keluarga-keluarga Katolik membangun perkawinan dengan dasar perkawinan Katolik, yaitu: memusatkan kehidupan perkawinan pada Kristus, dengan dibantu doa, Firman dan Sakramen, disertai dengan kasih pemberian diri yang tulus, yang setia sampai akhir. Dengan dasar ini, maka hubungan suami istri memperoleh makna yang sesungguhnya, dan kehadiran anak-anak dapat dipandang sebagai anugerah. Orang tua mau menyisihkan waktunya untuk berinteraksi dengan anak-anaknya dan mengasihi mereka. Selain kasih yang tulus, kehidupan rohani yang baik, komunikasi yang baik, pasangan suami istri Katolik memerlukan rahmat Allah untuk dapat membuat kehidupan perkawinan seperti yang diinginkan oleh Tuhan. Hanya bersama Tuhan, kita dimampukan untuk membangun rumah tangga kita di atas pondasi yang kuat, dengan mengarahkan pandangan kita kepada kebahagiaan Surgawi. Dengan pandangan terarah kepada Tuhan Yesus, kita dapat menjadikan keluarga kita sebagai persekutuan kasih orang- orang yang percaya dan mewartakan Injil, yang berdialog dengan Tuhan dan yang melayani sesama. ((Familiaris Consortio, 50-64))

Ini berbeda dengan jika kita membangun rumah kita atas dasar kesenangan duniawi dan berfokus pada hal-hal yang bersifat sementara dan jasmani. Sebab jika demikian,  kita bagaikan membangun rumah di atas pasir. Dengan dasar yang rapuh ini, rumah menjadi rentan terhadap angin, hujan dan banjir, sebab mudah roboh karenanya.  Memang, kehidupan keluarga kita di dunia ini tidaklah sepi dari godaan dan masalah, yang serupa dengan hujan dan banjir. Namun Injil mengatakan, “Kemudian turunlah hujan dan datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu, tetapi rumah itu tidak rubuh sebab didirikan di atas batu.” (Mat 7:25) Mari, sebagai keluarga Katolik kita membangun kehidupan keluarga di atas batu, sehingga ketika banjir, hujan, dan badai menerpa kehidupan keluarga kita, maka kita dapat bertahan terus sampai pada kesudahannya.

Catatan: Artikel ini adalah bahan seminar “Perkawinan Katolik vs perkawinan dunia” pada tanggal 9 April 2011, yang diselenggarakan oleh kerjasama Seksi Kerasulan Keluarga Paroki Regina Caeli – PIK dan Paroki Stella Maris – Pluit.

5 1 vote
Article Rating
19/12/2018
53 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
iin
iin
10 years ago

Saya mau tanya yaa…gimana klo seandainya sewaktu menikah 1 agama katolik & yg 1 beragama kristen & keduanya menikah secara kristen…sedangkan setelah berjalan 3 tahun lebih yg beragama katolik ingin kembali menjadi seorang katolik yg sesungguhnya agar bisa menerima sakramen2 terutama sakramen ekaristi…?? Proses apa saja yg harus dilalui…agar bisa kembali menerima sakramen2 terutama sakramen ekatisti setiap minggunya…?? Dan untuk anaknya sendiri bagaimana…? Apa harus dibabtis scr katolik / setelah dewasa dia yg menentukan sendiri….?? Thank’s ….

Ingrid Listiati
Reply to  iin
10 years ago

Shalom Iin, Pertama-tama, jika ia ingin kembali untuk menerima sakramen-sakramen, silakan mengaku dosa dalam sakramen Pengakuan dosa, karena kegagalannya memenuhi ketentuan Gereja Katolik untuk memberkati perkawinannya secara Katolik. Setelah itu silakan membicarakan dengan romo paroki, untuk mengadakan konvalidasi perkawinan, silakan klik. Sebagai seorang Katolik, maka pihak yang Katolik tersebut memang memiliki kewajiban untuk berusaha sekuat tenaga untuk membaptis semua anaknya dalam Gereja Katolik dan mendidik mereka secara Katolik. Sebab inilah sesungguhnya yang menjadi persyaratan bagi perkawinan campur beda gereja, sebelum dapat memperoleh izin dari pihak otoritas Gereja Katolik, silakan membaca artikel ini, silakan klik. Semoga pihak yang non-Katolik mengetahui akan… Read more »

Maria
Maria
10 years ago

1. Apakah sepasang suami istri yang keduanya berkerja dimana sang istri bekerja di luar negeri sehingga keduanya sangat jarang bertemu dan anak lebih banyak diurus oleh pembantu adalah diperbolehkan dalam Katolik? 2. Ada seseorang yang merasa bahwa kehidupan rumah tangga keluarga pada masyarakat Asia pada umumnya menempatkan wanita pada level seperti pembantu, dimana wanita harus memasak, mengurus rumah tangga, mengurus anak, melayani suami, dll dan wanita tidak memiliki hak untuk mengejar mimpi sama seperti pria. Orang tersebut merasa bahwa pria diciptakan lebih enak, bisa mengejar mimpi, bisa melakukan paa saja yang diingini dan tidak harus terkungkung di dalam rumah. Bagaimana… Read more »

Ingrid Listiati
Reply to  Maria
10 years ago

Shalom Maria, 1. Sejujurnya kondisi yang Anda sebutkan itu tidaklah ideal menurut ajaran iman Katolik. Sebab Katekismus jelas menyebutkan bahwa orang tua merupakan pendidik utama dan pertama bagi anak-anak mereka (KGK 1653), dan peran ini tidak dapat digantikan atau dialihkan kepada siapapun. (Paus Yohanes Paulus II, Familiaris Consortio, 36). Oleh karena itu, mengalihkan tugas mengurus anak (termasuk mendidik anak-anak), hampir seluruhnya kepada pembantu rumah tangga, karena ibunya bekerja di luar negeri, itu bukanlah hal yang sesuai dengan ajaran iman Katolik. 2 &3 . Sejujurnya, anggapan masyarakat inilah yang perlu ditinjau kembali, yaitu anggapan yang kurang menghargai peran ibu dalam mengurus… Read more »

Spock
Spock
10 years ago

Sebenarnya bagaimana sih hubungan antara pria dan wanita dalam Gereja Katolik dan apa yang dimaksud dengan bahwa pria dan wanita diciptakan sederajat namun memiliki kodrat yang berbeda? bagaimanakah kodrat pria dan wanita itu?

Apakah dibenarkan bila seorang pria dan wanita menikah dengan tujuan sebagai partner pelengkap?
Apakah dibenarkan bila seorang wanita tidak mau menjadi ibu rumah tangga, jadi suami istri bekerja full time dan urusan rumah diatur oleh pembantu?
Apakah dibenarkan bila seorang wanita yang bekerja full time dan pria yang mengurus rumah tangga?

Bagaimana tanggapan Gereja Katolik terhadap feminisme? Bolehkah seorang Katolik menganut ideologi ini?

Ingrid Listiati
Reply to  Spock
10 years ago

Shalom Spock, 1. Pria dan wanita saling melengkapi Untuk pertanyaan Anda maka mengacu kepada apa yang ditulis dalam Kitab Suci dalam Kitab Kejadian pada saat manusia pertama diciptakan. Di sana disebutkan secara umum bahwa pria dan wanita diciptakan untuk saling membantu, wanita diciptakan sebagai ‘penolong’ bagi pria (lih. Kej ). Selanjutnya, juga disebutkan bahwa kodrat pria adalah untuk bekerja mengolah bumi, sedangkan kodrat wanita adalah untuk melahirkan keturunan (lih. Kej 3:16). Dengan demikian, memang salah satu tujuan perkawinan adalah untuk kebaikan bersama, di mana masing-masing pihak memberikan diri mereka secara utuh, untuk saling membahagiakan, saling menolong dan saling melengkapi. Saya… Read more »

sweat
sweat
10 years ago

apakah menikah itu suatu kewajiban di katolik? bolehkah seseorang menjalani kehidupan biasa tapi tidak menikah, tidak juga menjadi pastur atau biarawan?

Ingrid Listiati
Reply to  sweat
10 years ago

Shalom Sweat, Menikah bukan merupakan kewajiban, menurut ajaran Gereja Katolik. Seseorang boleh saja memilih untuk tidak menikah, walaupun tidak juga menjalani kehidupan sebagai biarawan ataupun menjadi imam. Konsili Vatikan II tetap menganggap mereka yang memilih untuk tidak menikah, tetap dapat menjalani panggilan hidup untuk menjadi kudus. Maka panggilan hidup kudus tidak saja ditujukan untuk para imam, diakon, tetapi juga semua orang, yaitu, pasangan suami istri, mereka yang tidak menikah, para janda, para pekerja, bahkan mereka yang sakit dan menderita. Hal ini jelas disebutkan dalam dokumen Konsili Vatikan II, Lumen Gentium, 41, silakan klik di sini. Berikut ini saya kutip sedikit… Read more »

Romo pembimbing: Rm. Prof. DR. B.S. Mardiatmadja SJ. | Bidang Hukum Gereja dan Perkawinan : RD. Dr. D. Gusti Bagus Kusumawanta, Pr. | Bidang Sakramen dan Liturgi: Rm. Dr. Bernardus Boli Ujan, SVD | Bidang OMK: Rm. Yohanes Dwi Harsanto, Pr. | Bidang Keluarga : Rm. Dr. Bernardinus Realino Agung Prihartana, MSF, Maria Brownell, M.T.S. | Pembimbing teologis: Dr. Lawrence Feingold, S.T.D. | Pembimbing bidang Kitab Suci: Dr. David J. Twellman, D.Min.,Th.M.| Bidang Spiritualitas: Romo Alfonsus Widhiwiryawan, SX. STL | Bidang Pelayanan: Romo Felix Supranto, SS.CC |Staf Tetap dan Penulis: Caecilia Triastuti | Bidang Sistematik Teologi & Penanggung jawab: Stefanus Tay, M.T.S dan Ingrid Listiati Tay, M.T.S.
top
@Copyright katolisitas - 2008-2018 All rights reserved. Silakan memakai material yang ada di website ini, tapi harus mencantumkan "www.katolisitas.org", kecuali pemakaian dokumen Gereja. Tidak diperkenankan untuk memperbanyak sebagian atau seluruh tulisan dari website ini untuk kepentingan komersial Katolisitas.org adalah karya kerasulan yang berfokus dalam bidang evangelisasi dan katekese, yang memaparkan ajaran Gereja Katolik berdasarkan Kitab Suci, Tradisi Suci dan Magisterium Gereja. Situs ini dimulai tanggal 31 Mei 2008, pesta Bunda Maria mengunjungi Elizabeth. Semoga situs katolisitas dapat menyampaikan kabar gembira Kristus. 
53
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x