Meneladani Yesus: menyapa sesama dalam pergumulannya

[Hari Minggu Paskah III, Kis 2:14.22-23;  Mzm 16:1-11; 1Ptr 1:17-21; Luk 24:13-35]

Bacaan Injil hari ini adalah tentang kisah dua murid dalam perjalanan ke Emaus. Mungkin kita sudah sering membacanya, bahkan sudah “hafal” alur ceritanya. Suatu kisah menarik tentang perjumpaan kedua murid dengan Kristus yang bangkit. Konon kisah perjalanan ke Emaus ini adalah salah satu perikop kesukaan Paus Fransiskus. Di beberapa kesempatan Paus mengulasnya. Ia membuka mata hati kita untuk merenungkan bahwa sebagai Gereja, kita pun harus menjadi seperti Tuhan Yesus. Yaitu, berani masuk ke dalam pergumulan sesama kita dan berdialog dengan mereka. Supaya akhirnya, kita dapat membawa mereka kepada perjumpaan yang erat dengan Kristus dalam Ekaristi.

Kisah Emaus berawal dari kisah dua orang murid Yesus yang, di hari pertama minggu itu (yaitu hari kebangkitan Kristus), berjalan meninggalkan Yerusalem, untuk pergi ke Emaus. Paus melihat hal ini sebagai orang-orang yang telah meninggalkan Gereja Katolik. Sebab, Gereja adalah Yerusalem yang baru. Kedua murid itu mempercakapkan apa yang terjadi pada Yesus, mungkin dengan suasana hati yang kacau dan kecewa. Betapa banyak orang—mungkin juga orang-orang yang terdekat dengan kita—juga mengalami kekecewaan. Mereka bergumul dengan rasa sakit hati dan sedih karena harapan mereka kandas di tengah jalan. Atau, mereka mengalami krisis iman. Penjabarannya bisa panjang, namun intinya mereka sedang sedih. Nama “Emaus” sendiri juga bagaikan gabungan dua kata Yunani, yang artinya “orang-orang yang sedih”. Agak pas juga dengan kisah kedua murid itu, yang memang sedang sedih dan kecewa, karena kematian Yesus. Dan karena itu, mereka pergi meninggalkan Yerusalem, dimana mereka tadinya mengikuti Yesus, yang mereka harapkan menjadi pembebas bagi bangsa Israel dari kaum penjajah. Paus Fransiskus mengatakan bahwa dewasa ini ada banyak orang yang meninggalkan Gereja, karena berpikir bahwa Gereja tak lagi berarti dan penting. Gereja dianggap terlalu jauh dari kebutuhan mereka, kurang memperhatikan mereka, mungkin terlalu dingin, terlalu identik dengan masa lalu dan kurang cakap menjawab pertanyaan- pertanyaan masa kini,  bagaikan lahan gersang yang tak mampu melahirkan makna. Dan seterusnya.

Terhadap keadaan ini apa yang disarankan oleh Paus?

Kita memerlukan Gereja yang tidak takut untuk masuk ke dalam kekelaman hati manusia. Kita butuh Gereja yang dapat menjumpai mereka dalam perjalanan mereka. Kita butuh Gereja yang dapat masuk dalam percakapan dengan mereka. Kita butuh Gereja yang mampu berdialog dengan orang-orang yang telah meninggalkan “Yerusalem” di belakang mereka. Gereja perlu menemani orang-orang yang berjalan dalam kekecewaan mereka.

Seperti Yesus, kita pun perlu mendatangi dan berjalan bersama mereka, dan masuk dalam perbincangan dengan mereka. Yesus bertanya kepada kedua murid itu, agar menjelaskan kekecewaan hati mereka. Paus melihat hal ini sebagai contoh yang harus kita tiru. Selalu mulailah pembicaraan dengan mendengarkan. Kita tidak melakukan hal ini pertama-tama untuk mengorek informasi, walaupun mungkin ini dapat berguna. Tetapi dengan mendengarkan, kita dapat menangkap pergumulan hati sesama kita. Kita mendengarkan mereka, agar mereka merasa diterima, dihormati dan dikasihi apa adanya. Yesus mendengarkan mereka dengan tenang, bahkan demikian tenangnya, sampai mereka sangka bahwa Yesus itu adalah orang asing, sehingga tak tahu apa-apa tentang apa yang baru saja terjadi di Yerusalem. Padahal, tentu saja Yesus tahu. Ia adalah Seseorang yang sedang mereka bicarakan. Namun Yesus dengan kerendahan hati dan kesabaran-Nya tidak memotong pembicaraan mereka. Kitapun perlu mencontohnya. Dalam berdialog dengan sesama, pertama-tama kita harus mau mendengarkan mereka, sebelum kita berbicara. Yesus tidak memperkenalkan diri sebagai Guru mereka, namun memilih mendekati mereka sebagai sesama pelancong. Demikian pula, kita tidak perlu menonjolkan diri kita, atau menempatkan diri sebagai guru, pada saat kita membuka diri untuk berdialog dengan sesama kita yang sedang dalam kesusahan itu.

Tetapi kita ketahui kisah Emaus tidak berakhir sebagai kisah curhat antara kedua murid itu dengan Yesus. Sebab Yesus tidak berhenti sampai di situ. Setelah selesai mereka berbicara, Yesus dengan terus terang menegur kedua murid itu, yang dianggap-Nya lamban dalam memahami rencana Allah. Mungkin, setelah mendengarkan keluh kesah sesama, ada saatnya kitapun perlu berterus terang kepada mereka, jika kita melihat adanya sikap kurang iman atau kurang ketaatan. Sebab dapat terjadi, itulah yang menjadi akar permasalahan ataupun pergumulan mereka. Namun diperlukan kebijaksanaan untuk melakukan hal ini, sebab, tidak seperti Tuhan Yesus, kita tidak dapat mengetahui isi hati orang secara sempurna. Maka dalam menyampaikan nasihat ataupun pandangan, kita perlu memohon bimbingan Roh Kudus, agar apa yang kita sampaikan dapat membangun iman mereka, dan bukannya malah meruntuhkannya. Di satu pihak, diperlukan keberanian dari pihak kita untuk berkata jujur, namun di sisi lain, diperlukan juga kebijaksanaan untuk dapat menyampaikan kebenaran itu dengan kasih.

Lalu Yesus menjelaskan bagaimana nubuat Perjanjian Lama itu digenapi dalam penyaliban dan kebangkitan-Nya, kepada kedua murid tersebut.  Dengan demikian, Yesus memulai nasihat-Nya dengan menyatakan ajaran iman yang sudah mereka terima, yaitu nubuat-nubuat para nabi Perjanjian Lama. Baru kemudian, Yesus menuju ke bagian yang sulit mereka terima, yaitu kematian dan kebangkitan-Nya. Demikianlah, nasihat yang membangun berawal dari penekanan kesamaan pandangan tentang iman, dan baru kemudian melihat relevansinya dengan pergumulan yang sedang dihadapi. Ini mensyaratkan kesabaran dan juga pengertian yang benar tentang iman; agar dapat diperoleh pengertian, bagaimana ajaran iman itu dapat memberi makna dan pedoman bagi kita untuk menghadapi berbagai persoalan hidup. Demikianlah, untaian kebenaran dan kasih harus ada pada kita, agar kita dapat menjadi sebuah Gereja yang dapat meneruskan terang Kristus dan kehangatan kasih-Nya, kepada jiwa-jiwa yang membutuhkannya. Kita perlu berdoa agar kita dapat menjadi Gereja yang dapat membawa orang kembali ke “Yerusalem”, yaitu Gereja, sebagai rumah mereka, tempat dimana berakarlah iman kita: Kitab Suci, katekese, sakramen-sakramen, persahabatan dengan Tuhan, Bunda Maria dan para rasul dan para kudus Allah… Mampukah kita berbicara tentang akar iman kita ini dengan cara sedemikian, yang dapat menghidupkan kembali rasa kagum akan keindahannya? Sehingga membuat hati orang yang mendengarkannya menjadi berkobar-kobar?

Selanjutnya, Yesus menunjukkan seolah Ia mau pergi, namun kedua murid itulah yang mengundang Yesus untuk tinggal bersama mereka. Hal inipun penting, untuk menunjukkan bahwa setelah menyampaikan kebenaran itu, Yesus tidak memaksakannya kepada mereka. Yesus menyerahkan kepada mereka, apakah mereka mau melanjutkan percakapan tersebut, atau tidak. Maka kita juga harus siap untuk memberi kesempatan kepada orang yang kita kunjungi, untuk berpikir dan bahkan memberi hak kepada mereka kalau-kalau mereka memutuskan untuk menolak untuk membicarakan hal tersebut lebih jauh. Namun dalam kisah Emaus, kita ketahui mereka mengundang Yesus untuk makan bersama mereka. Inilah saat yang menunjukkan kesiapan mereka untuk menerima sakramen, jika mereka telah dapat menemukan kebenaran firman Tuhan. Akhirnya, kedua murid itu mengenali Yesus dalam pemecahan roti. Demikianlah, setelah kita mengajak sesama kita merenungkan bahwa rencana keselamatan Allah terbuka bagi mereka sebagaimana dikatakan dalam firman-Nya, dan juga bahwa kita semua memerlukan pengampunan dari Allah, semoga pada akhirnya kita dapat membawa mereka kepada perjumpaan dengan Kristus dalam sakramen Ekaristi. Sebab nyatanya, berbagai pergumulan hidup menimbulkan kehausan dan kelaparan rohani, yang hanya Tuhan sendiri yang dapat memuaskannya.

Dalam merenungkan kisah Emaus ini, mari kita bertanya kepada diri kita sendiri: apakah situasi batin kita lebih mirip dengan keadaan kedua murid yang sedang bersedih itu, ataukah kita lebih terdorong untuk meneladani Yesus yang menyapa mereka yang sedang bersedih hati tersebut? Semoga rahmat Tuhan memampukan kita untuk memahami dan menghidupi pesan kisah Emaus hari ini. Bahwa di setiap keadaan dalam kehidupan kita, Tuhan Yesus selalu menyertai.  Dan karena kita telah mengalami penyertaan Tuhan Yesus, semoga kita pun dapat menyertai sesama kita yang berduka, sambil membawakan kabar sukacita akan Kristus yang telah bangkit, yang siap menopang kita, jika kita mau datang kepada-Nya. Secara khusus, jika kita menyambut-Nya dalam perayaan Ekaristi, dalam Komuni Kudus. Mari kita serukan perkataan kedua murid itu kepada Yesus, “Mane nobiscum, Domine. Tinggallah bersama kami, ya Tuhan…. Sebab Engkaulah Andalan kami, dalam menghadapi apapun dalam kehidupan ini.  Amin.”

19/12/2018
Romo pembimbing: Rm. Prof. DR. B.S. Mardiatmadja SJ. | Bidang Hukum Gereja dan Perkawinan : RD. Dr. D. Gusti Bagus Kusumawanta, Pr. | Bidang Sakramen dan Liturgi: Rm. Dr. Bernardus Boli Ujan, SVD | Bidang OMK: Rm. Yohanes Dwi Harsanto, Pr. | Bidang Keluarga : Rm. Dr. Bernardinus Realino Agung Prihartana, MSF, Maria Brownell, M.T.S. | Pembimbing teologis: Dr. Lawrence Feingold, S.T.D. | Pembimbing bidang Kitab Suci: Dr. David J. Twellman, D.Min.,Th.M.| Bidang Spiritualitas: Romo Alfonsus Widhiwiryawan, SX. STL | Bidang Pelayanan: Romo Felix Supranto, SS.CC |Staf Tetap dan Penulis: Caecilia Triastuti | Bidang Sistematik Teologi & Penanggung jawab: Stefanus Tay, M.T.S dan Ingrid Listiati Tay, M.T.S.
top
@Copyright katolisitas - 2008-2018 All rights reserved. Silakan memakai material yang ada di website ini, tapi harus mencantumkan "www.katolisitas.org", kecuali pemakaian dokumen Gereja. Tidak diperkenankan untuk memperbanyak sebagian atau seluruh tulisan dari website ini untuk kepentingan komersial Katolisitas.org adalah karya kerasulan yang berfokus dalam bidang evangelisasi dan katekese, yang memaparkan ajaran Gereja Katolik berdasarkan Kitab Suci, Tradisi Suci dan Magisterium Gereja. Situs ini dimulai tanggal 31 Mei 2008, pesta Bunda Maria mengunjungi Elizabeth. Semoga situs katolisitas dapat menyampaikan kabar gembira Kristus.Â