Pertanyaan:
Shalom Bu Ingrid/Bp Stef.
Saya ingin menanyakan sikap gereja tentang tradisi ruwatan. Tradisi ini
khususnya di beberapa daerah Jawa Tengah cukup kuat. Dan kelihatannya beberapa imam terkesan menerima tradisi ini sebagai inkulturasi dalam gereja Katolik. Ada juga yang bahkan menggabungkannya dalam perayaan ekaristi sekaligus. Beberapa link bisa dicari di Google, diantaranya sbb: http://indopos.co.id/radar/index.php?act=detail&rid=71111
http://www.mirifica.net/artDetail.php?aid=3608
http://www.gerejakotabaru.com/inc_index.php?mod=beritadtl&c=0&id=132
Saya orang Jawa Tengah dan sejauh saya tahu tradisi ini banyak unsur tahyulnya. Mereka yang percaya dengan tradisi ruwatan menganggap bahwa anak-anak yang dilahirkan dengan kondisi tertentu (misalnya anak tunggal, anak sepasang, 3 anak dengan anak kedua perempuan dll) membawa “sukerto” (sial). Nah “sukerto” ini harus dihilangkan dengan upacara ruwat yang biasanya dilakukan oleh dalang dg membaca mantra, memotong rambut para “sukerto” dan potongan rambut ini dibuang di laut Selatan.
Yang ingin saya tanyakan:
1. Bagaimana sikap gereja Katolik terhadap tradisi semacam ini?
2. Apakah yang dilakukan oleh imam yang mengadakan upacara ruwatan tsb tidak kebablasan, apalagi menyatukanya dalam perayaan ekaristi. Termasuk abuse kah? Banyak pro/kontra di kalangan umat. Bukankah ini bisa menjadi batu sandungan?
Sekedar gambaran lain, sebuah keluarga Katolik di lingkungan saya yang memiliki anak “sukerto” meminta imam untuk mengadakan perayaan ekaristi di rumahnya dengan mengundang umat satu lingkungan. Keluarga tersebut meminta imam itu untuk sekaligus meruwat anak-anaknya. Imam tersebut menyanggupi untuk mengadakan perayaan ekaristi tetapi tentang upacara ruwatan apa jawab beliau? Beliau mengatakan bahwa sebagai pengikut Kristus kita seharusnya tidak lagi percaya dengan hal-hal semacam itu. Kita semua sudah diperbarui/diruwat dengan pembabtisan yang kita terima. Nah, akhirnya perayaan ekaristi tetap dilakukan tetapi ruwatan tidak dilakukan. Sebagai gantinya imam mengajak seluruh umat untuk memperbaharui janji baptis (seperti yang dilakukan saat malam Paskah).
Terus terang saya pribadi lebih setuju dengan apa yang dilakukan oleh imam ini. Saya bisa memahami bahwa mewartakan Kristus apalagi di daerah-daerah yang masih kental dengan tradisi-tradisi lokal dimana tradisi ini banyak yang tidak sejalan dengan iman Katolik adalah tidak mudah. Diperlukan banyak cara agar kabar gembira yang kita sampaikan bisa diterima oleh mereka tentunya tetap mengacu dengan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh gereja.
GBU – Ryan09
Jawaban:
Shalom Ryan,
Terima kasih atas pertanyaannya. Masalah inkulturasi memang tidak mudah, karena menyangkut proses yang lama dan memerlukan kebijaksanaan dalam penerapannya.
Paus Yohanes Paulus II menyatakan bahwa “proses integrasi Gereja ke dalam budaya tertentu adalah suatu proses yang panjang. Hal ini bukan hanya masalah adaptasi eksternal, karena inkulturasi adalah suatu transformasi yang dalam dari nilai-nilai budaya yang otentik melalui integrasi nilai-nilai tersebut ke dalam kristianitas, dan juga mengintegrasikan kristianitas ke dalam berbagai macam budaya manusia.” (Redemptoris Missio, Ch. V). Namun lebih lanjut, Paus Yohanes Paulus menegaskan kembali bahwa di dalam proses inkulturasi, integritas dari iman Katolik tidak boleh dikorbankan .
Kerena Gereja Katolik senantiasa bersentuhan dengan kehidupan banyak orang dan budaya, maka Gereja perlu merenungkan dan mengadaptasi diri tanpa mengorbankan nilai-nilai iman Katolik, seperti yang telah ditegaskan oleh Paus Yohanes Paulus II. Gereja harus mampu untuk memberikan nilai-nilai kekristenan, dan pada saat yang bersamaan mengambil nilai-nilai yang baik dari budaya yang ada dan memperbaharuinya dari dalam.
Pertanyaannya adalah, apakah ruwatan yang dilakukan, seperti memotong rambut, membaca mantra yang diganti dari Injil Yohanes, dan membuang rambut serta selempang kain putih yang dipakai oleh sukerta (yang membawa sial) dapat dibenarkan?
Sebenarnya dengan alasan yang sama, maka retret pohon keluarga juga dilarang oleh beberapa keuskupan di Indonesia. Kalau retret pohon keluarga yang tidak bersentuhan dengan nilai-nilai budaya dilarang, maka menjadi lebih masuk akal jika upacara ruwatan di dalam misa juga tidak dilakukan. (tambahan: pembahasan retret pohon keluarga, silakan melihat disini – silakan klik)
2) Namun permasalahannya adalah, para sukert0 mungkin masih belum merasa sreg dengan berkat yang telah mereka terima dalam pembaptisan. Oleh karena itu, mungkin yang perlu dilakukan adalah memberikan pengarahan bagi para sukerto, sehingga mereka dapat mengimani berkat pembaptisan yang telah diberikan oleh Allah. Mengimani dalam hal ini bukan hanya sekedar tahu, namun juga dapat diterapkan dalam kehidupannya.
3) Saya pribadi setuju dengan contoh yang ke-dua, dimana imam tidak memberikan upacara ruwatan, namun memperbaharui janji baptis. Dengan tindakan ini, maka imam tersebut tidak mengaburkan nilai-nilai kristiani, namun meneguhkan para sukerto, sehingga mereka dapat percaya dengan sepenuh hati bahwa mereka telah lahir baru sebagai akibat dari sakramen baptis yang telah mereka terima.
Semoga para pastor dapat mendiskusikan masalah inkulturasi ini dengan lebih seksama dan mendalam, sehingga Gereja dapat tetap mempertahankan nilai-nilai iman Katolik, namun secara bersamaan juga dapat masuk dalam budaya lokal.
Semoga keterangan tersebut di atas dapat berguna.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – www.katolisitas.org
Pertanyaan saya adalah bagaimana kita (sebagai pengikut Yesus Kristus) memandang kekayaan sejarah dan kebudayaan bangsa leluhur kita (untuk semua bangsa dan kebudayaan)? tanpa kehilangan identitas / jati diri bangsa kita sendiri. apakah kita harus menyeragamkan kebudayaan kita? apakah kita harus memfilter (dgn ajaran Gereja Katolik, alkitab) kebudayaan leluhur kita dengan kepercayaan yang kita anut sekarang?
Selama ini, agama kristiani, selalu di identikan dengan orang barat, orang kulit putih. bisa kita lihat dari pakaian yang dipakai oleh romo pada waktu misa, pakaian yang digunakan oleh paus, dll. sangat dipengaruhi budaya orang barat.
Shalom Alexander Pontoh, Terima kasih atas pertanyaannya. Inkulturasi di dalam liturgi diperlukan kebijaksanaan. Setiap negara, melalui conference of bishop biasanya mempunyai semacam GIRM (General Instruction of the Roman Missal). Di Indonesia dikenal TPE (Tata Perayaan Ekaristi). Secara prinsip, inkulturasi tidak dapat mengaburkan tujuan yang ingin dicapai dalam liturgi, terutama dalam konteks Misa Kudus. KGK 1204: “Perayaan liturgi harus sesuai dengan jiwa dan kebudayaan bangsa yang berbeda-beda (Bdk. SC 37-40). Supaya misteri Kristus diwartakan kepada semua bangsa, “untuk membimbing mereka kepada ketaatan iman” (Rm 16:26), haruslah ia diwartakan, dirayakan dan dihidupkan dalam semua kebudayaan. Sementara itu kebudayaan tidak dihapus oleh misteri,… Read more »
Shalom,
Saya sedang dalam pergumulan untuk mendapatkan anak (sudah menikah lebih dari setahun belum hamil jg). Teman saya menganjurkan berobat ke sinshe. Apakah pergi berobat ke sinshe bertentangan dengan iman katolik ? terapi yg dilakukan dgn pijat (refleksi) dan jamu2an.
mohon pencerahan
salam
Shalom Cecilia,
Berobat ke sinshe tidak dilarang, karena terapinya pijat dan minum ramuan jamu yang berasal dari tumbuh- tumbuhan. Yang dilarang adalah kalau melibatkan ‘jampi- jampi’ atau kekuatan gaib, seperti ke dukun-dukun, karena dengan demikian melanggar perintah pertama dalam kesepuluh perintah ALlah, “Jangan ada allah yang lain di hadapan-Ku” (Kel 20:3). Sebab orang yang mengandalkan dukun berarti telah menempatkan dukun itu sebagai ‘allah lain’ di hadapan Tuhan.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- https://www.katolisitas.org
Inkulturasi memang rumit. Dalam KGK disinggung sbb : 854 Dalam perutusannya, “Gereja menempuh perjalanan bersama dengan seluruh umat manusia, dan bersama dengan dunia mengalami nasib keduniaan yang sama. Gereja hadir ibarat ragi dan bagaikan penjiwa masyarakat manusia, yang harus diperbaharui dalam Kristus dan diubah menjadi keluarga Allah” (GS 40,2). Dengan demikian misi menuntut kesabaran. Ia mulai dengan pewartaan Injil kepada bangsa-bangsa dan kelompok-kelompok yang belum percaya kepada Kristus Bdk. RM 42-47.; ia maju terus dan membentuk kelompok-kelompok Kristen, yang harus menjadi “tanda kehadiran Allah di dunia” (AG 15), serta selanjutnya mendirikan Gereja-gereja lokal Bdk. RM 52-54.. Ia menuntut suatu proses… Read more »
Shalom De Santo, Terima kasih atas masukannya. Kita bersama-sama menyadari bahwa memang inkulturasi adalah hal yang rumit dan diperlukan kebijaksanaan dalam penerapannya, sehingga kebenaran iman tidak dikorbankan dan pada saat yang bersamaan Gereja dapat masuk di dalam budaya setempat. Kita juga meyakini bahwa romo yang melakukan hal tersebut tidak mungkin percaya bahwa misa ruwatan dapat mengambil "sial", karena sebenarnya para Sukerto (yang percaya bahwa dirinya terlahir sial) telah dibaptis dan lahir baru. Permasalahannya adalah, kenapa tetap dilakukan? Saya berpendapat bahwa hal ini bukan masalah kalau teolog lebih cenderung berkata tidak sedangkan pastor lebih kepada posisi "seorang bapak yang baik", seperti… Read more »
Shallom juga Stef, Dalam hukum ada ajaran yang mengatakan Law in book (hukum dalam cita-cita/apa yang seharusnya) adalah berbeda dengan Law in action (hukum dalam praktek) atau yang mirip bahwa dalam ilmu sosial ada das sollen (idea/cita-cita) dan das sein (kenyataan/empiris). Keduanya tidak pernah sama dalam kata dan tindakan. Tetapi saya tidak ingin membahas lebih lanjut hal ini karena di luar yang didiskusikan dalam forum ini. Saya juga kepinginnya orang katolik itu jangan indeferentism. Pribadi Rasul Paulus bisa dijadikan model “ya, ya, tidak, tidak , dalam kata dan tidakan (tentuya setelah dia dibabtis oleh Ananias). Begitu pula melalui sakramen pembabtisan… Read more »
Shalom De Santo, Terima kasih atas komentarnya. Mari kita berfokus pada diskusi tentang inkulturasi. 1) Dalam teologi, suatu ajaran harus juga masuk dalam kehidupan sehari-hari. Kalau doktrin dan kehidupan nyata berdiri sendiri-sendiri, maka akan berbahaya, karena menyebabkan jurang yang dalam antara kehidupan menggereja dan kehidupan bermasyarakat. Jurang terdalam mungkin adalah "practical atheism" yang sering diserukan oleh Paus Yohanes Paulus II. Dalam seruannya kepada para uskup di Amerika Serikat pada tanggal 11 November 1993, dia mengatakan " … In fulfilling these tasks, the disciple of Christ is constantly challenged by a spreading "practical atheism" – an indifference to God’s loving plan… Read more »
kacau deh ajaran Tuhan Yesus kalo ruwatan dibolehkan, walau diasimilasikan dgn ajaran2 gereja…dipas-pasin lagi…saya ndak tau bgmn jalan pikiran mereka….
Ruwatan aja artinya membuang sial , dng [kl nggak salah] 23 macam jenis org yng harus dibuang sialnya.
Ruwatan adl ritual kutuk yg dibuat org berdasar kepercayaan kpd kekuatan roh kuasa gelap.
Gereja harusnya tegas bilang tidak ….kuasa Yesus lebih besar daripada ruwatan…bahkan kekuatan iblis sudah dihancurkan oleh Yesus oleh kebangkitanNya.
Shalom Budi, Terima kasih atas komentarnya tentang ruwatan. Inkulturasi bukanlah sesuatu yang salah, namun diperlukan, sehingga kekristenan dapat menjadi bagian dari kehidupan umat beriman dalam konteks budaya, bahasa setempat. Yang menjadi masalah adalah sampai seberapa jauh kita dapat mengambil nilai-nilai budaya lokal dan mengangkatnya untuk dapat mempunyai nilai-nilai kekristenan. Di sini dibutuhkan suatu kebijaksanaan. Oleh karena itu, kita harus berdoa agar hirarki dapat membuat keputusan secara tepat dan tegas. Dan saya yakin semua orang Kristen setuju bahwa kuasa Yesus jauh lebih besar tak terhingga dibandingkan dengan kuasa iblis. Dan pengharapan kita yang berdasarkan iman akan Yesus tidaklah akan sia-sia. Salam… Read more »
Shalom Pak Stef dan Pak Budi, Postingan ini sudah sekitar 2 tahun yang lalu dari sekarang (tahun 2011), tapi saya tergelitik untuk ikut berkomentar. Saya setuju dengan pendapat Pak Budi, Alkitab di Perjanjian Baru mencatat, murid-murid Kristus awalnya dari berbagai latar belakang dan mereka mau tidak mau harus ambil komitmen saat ikut Kristus sebagai penjala manusia. Otomatis mereka (murid-murid) harus tinggalkan pola hidup mereka yang sebelumnya. Ini mestinya bisa menjadi contoh bagi umat bila bener-bener mau Ikut Yesus. Ada pula tertulis di Matius 10:34-42, di ayat 34 – 36 berisi tentang Kristus membawa pedang untuk memisahkan orang dari lingkungannya. Dalam… Read more »
Salam Ardhi, Saya setuju dengan Anda. Saya yakin Gereja juga tidak melakukan ruwatan selain pembaptisan dalam nama Allah Tritunggal yang sudah “ngruwat” dosa. Yang pernah dilakukan oleh beberapa pastor di Yogyakarta itu justru untuk menunjukkan bahwa Kristus melalui palayanan Gereja-Nya lah yang meruwat bumi dan segala isinya. Mereka mendampingi aliran kejawen yang mau tak mau harus bersentuhan dengan pernik-pernik yang harus mereka arahkan pada Kristus. Di Keuskupan Agung Semarang ada pendampingan dan pengarahan itu, oleh Komisi Hubungan Antar Agama dan Kepercayaan (HAK) dengan berbagai forum kajian. Salah satunya yang disebut TEBAT (Temu Kebatinan), yang diminati para penghayat kepercayaan. Dengan para… Read more »
cuma menambahkan link
tentang retret pohon keluarga
http://sabahanexperience.blogspot.com/2009/02/seminar-mematahkan-kutuk-pohon-keluarga.html
tentang argumen kontra
http://www.ekaristi.org/forum/viewtopic.php?printertopic=1&t=1965&postdays=0&postorder=asc&&start=117&sid=133db436160a3db0848721abf75e1fee
salam
Shalom semuanya,
Skywalker, terima kasih atas linknya. Saya pernah membahas retret pohon keluarga disini (silakan klik). Semoga dapat membantu.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – https://www.katolisitas.org
Shalom Bu Ingrid/Bp Stef. Saya ingin menanyakan sikap gereja tentang tradisi ruwatan. Tradisi ini khususnya di beberapa daerah Jawa Tengah cukup kuat. Dan kelihatannya beberapa imam terkesan menerima tradisi ini sebagai inkulturasi dalam gereja Katolik. Ada juga yang bahkan menggabungkannya dalam perayaan ekaristi sekaligus. Beberapa link bisa dicari di Google, diantaranya sbb: http://indopos.co.id/radar/index.php?act=detail&rid=71111 http://www.mirifica.net/artDetail.php?aid=3608 http://www.gerejakotabaru.com/inc_index.php?mod=beritadtl&c=0&id=132 Saya orang Jawa Tengah dan sejauh saya tahu tradisi ini banyak unsur tahyulnya. Mereka yang percaya dengan tradisi ruwatan menganggap bahwa anak-anak yang dilahirkan dengan kondisi tertentu (misalnya anak tunggal, anak sepasang, 3 anak dengan anak kedua perempuan dll) membawa “sukerto” (sial). Nah “sukerto” ini… Read more »