Indah dan Dalamnya Makna Sakramen Perkawinan Katolik

Pendahuluan

Teman kuliah sekelas saya ada yang lulusan sekolah pendeta, sebelum menjadi seorang Katolik. Ketika saya bertanya apa yang membuatnya menjadi Katolik, dia menjawab, “…. many things, but I should say, first and foremost, is the Church teaching regarding Marriage” (Banyak hal, namun yang terutama, adalah ajaran Gereja tentang Perkawinan). Ia adalah satu dari banyak orang -termasuk di antaranya adalah Kimberly dan Scott Hahn- yang melihat kebenaran ajaran Gereja Katolik melalui pengajaran hal Perkawinan.

Ini adalah sesuatu yang layak kita renungkan, karena sebagai orang Katolik, kita mungkin pernah mendengar ada orang mempertanyakan, mengapa Gereja Katolik menentang perceraian, aborsi dan kontrasepsi, mengapa Gereja umumnya tidak dapat memberikan sakramen Perkawinan (lagi) kepada wanita dan pria yang sudah pernah menerima sakramen Perkawinan sebelumnya, atau singkatnya, mengapa disiplin mengenai perkawinan begitu ‘keras’ di dalam Gereja Katolik. Agar kita dapat memahaminya, mari bersama kita melihat bagaimana Tuhan menghendaki Perkawinan sebagai persatuan antara suami dan istri, dan sebagai tanda perjanjian ilahi bahwa Ia menyertai umat-Nya.

Sakramen Perkawinan menurut Kitab Suci

Dari awal penciptaan dunia, Allah menciptakan manusia pertama, laki-laki (Adam) dan perempuan (Hawa), menurut citra Allah (Kej 1:26-27). Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam agar laki-laki itu mendapatkan teman ‘penolong’ yang sepadan dengannya (Kej 2:20), sehingga mereka akhirnya dapat bersatu menjadi satu ‘daging’ (Kej 2:24). Jadi persatuan laki-laki dan perempuan telah direncanakan oleh Allah sejak awal mula, sesuai dengan perintahnya kepada mereka, “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu….” (Kej 1:28).

Walaupun dalam Perjanjian Lama perkawinan monogami (satu suami dan satu istri) tidak selalu diterapkan karena kelemahan manusia, kita dapat melihat bahwa perkawinan monogami adalah yang dimaksudkan Allah bagi manusia sejak semula. Hal ini ditegaskan kembali oleh pengajaran Yesus, yaitu: “Laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya sehingga menjadi satu daging (Mat 19:5), dan bahwa laki-laki dan perempuan yang telah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia (lih. Mat 19:5-6, Mrk 10:7-9). Yesus menegaskan surat cerai pada jaman Perjanjian Lama itu diizinkan oleh nabi Musa karena ketegaran hati umat Israel, namun tidak demikian yang menjadi rencana Allah pada awalnya (Mat 19:8). Allah menghendaki kesetiaan dalam perkawinan, sebab Ia membenci perceraian (lih. Mal 2:15,16).

Jadi, perkawinan antara pria dan wanita berkaitan dengan penciptaan manusia menurut citra Allah. Allah adalah Kasih (1 Yoh 4:8,16), dan karena kasih yang sempurna tidak pernah ditujukan pada diri sendiri melainkan pada pribadi yang lain, maka kita mengenal Allah yang tidak terisolasi sendiri, melainkan Allah Esa yang merupakan komunitas Tiga Pribadi, Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus (Trinitas). Kasih yang timbal balik, setia, dan total tanpa batas antara Allah Bapa dengan Yesus Sang Putera ‘menghasilkan’ Roh Kudus. Walaupun demikian, tidak dapat dikatakan bahwa hubungan antara Allah Bapa dan Putera itu seperti hubungan suami dengan istri. Kasih di dalam diri Trinitas merupakan misteri yang dalamnya tak terselami, namun misteri ini direncanakan Allah untuk digambarkan dalam hubungan suami dan istri, agar dunia dapat sedikit menyelami misteri kasih-Nya. Maksudnya adalah, manusia diciptakan sesuai gambaran Allah sendiri untuk dapat menggambarkan kasih Allah itu.

Kasih Allah, yang terlihat jelas dalam diri Trinitas, adalah kasih yang bebas (tak ada paksaan), setia, menyeluruh/ total, dan menghasilkan buah. Lihatlah Yesus, yang mengasihi Bapa dengan kasih tak terbatas, atas kehendak bebas-Nya menjelma menjadi manusia, wafat di salib untuk melaksanakan rencana Bapa menyelamatkan manusia. Allah Bapa mengasihi Yesus dengan menyertaiNya dan memuliakan-Nya; dan setelah Yesus naik ke surga, Allah Bapa dan Yesus mengutus Roh KudusNya. Kasih inilah yang direncanakan Allah untuk digambarkan oleh kasih manusia, secara khusus di dalam perkawinan antara laki-laki dan perempuan.

Perkawinan juga direncanakan Allah sebagai gambaran akan hubungan kasih-Nya dengan umat-Nya. Pada Perjanjian Lama, kita dapat membaca bagaimana Allah menjadikan Yerusalem (bangsa Israel) sebagai istri-Nya (Yeh 16:3-14; Yes 54:6-dst; 62:4-dst; Yer 2:2; Hos 2:19; Kid 1-dst) untuk menggambarkan kesetiaanNya kepada umat manusia.

Pada Perjanjian Baru, Yesus sendiri menyempurnakan nilai perkawinan ini dengan mengangkatnya menjadi gambaran akan hubungan kasih-Nya kepada Gereja-Nya (Ef 5:32). Ia sendiri mengasihi Gereja-Nya dengan menyerahkan nyawa-Nya baginya untuk menguduskannya (Ef 5:25). Maka para suami dipanggil untuk mengasihi, berkorban dan menguduskan istrinya, sesuai dengan teladan yang diberikan oleh Yesus kepada Gereja-Nya; dan para istri dipanggil untuk menaati suaminya yang disebut sebagai ‘kepala istri’ (Ef 5:23), seperti Gereja sebagai anggota Tubuh Kristus dipanggil untuk taat kepada Kristus, Sang Kepala.

Kesatuan antara Kristus dan Gereja-Nya ini menjadi inti dari setiap sakramen karena sakramen pada dasarnya membawa manusia ke dalam persatuan yang mendalam dengan Allah. Puncak persatuan kita dengan Allah di dunia ini dicapai melalui Ekaristi, saat kita menyambut Kristus sendiri, bersatu denganNya menjadi ‘satu daging’. Pemahaman arti Perkawinan dan kesatuan antara Allah dan manusia ini menjadi sangat penting, karena dengan demikian kita dapat semakin menghayati iman kita.

Melihat keagungan makna perkawinan ini tidaklah berarti bahwa semua orang dipanggil untuk hidup menikah. Kehidupan selibat demi Kerajaan Allah bahkan merupakan kesempurnaan perwujudan gambaran kasih Allah yang bebas, setia, total dan menghasilkan banyak buah (lih Mat 19:12,29). Oleh kehendak bebasnya, mereka menunjukkan kesetiaan dan pengorbanan mereka yang total kepada Allah, sehingga dihasilkanlah banyak buah, yaitu semakin bertambahnya anak-anak angkat Allah yang tergabung di dalam Gereja melalui Pembaptisan, dan tumbuh berkembangnya mereka melalui sakramen-sakramen dan pengajaran Gereja.

Akhirnya, akhir jaman-pun digambarkan sebagai “perjamuan kawin Anak Domba” (Why 19:7-9). Artinya, tujuan akhir hidup manusia adalah persatuan dengan Tuhan. Misteri persatuan ini disingkapkan sedemikian oleh Sakramen Perkawinan, yang membawa dua akibat: pertama, agar kita semakin mengagumi kasih Allah dan memperoleh gambaran akan kasih Allah Tritunggal, dan kedua, agar kita mengambil bagian dalam perwujudan kasih Allah itu, seturut dengan panggilan hidup kita masing-masing.

Makna Sakramen Perkawinan

Melihat dasar Alkitabiah ini maka sakramen Perkawinan dapat diartikan sebagai persatuan antara pria dan wanita yang terikat hukum untuk hidup bersama seumur hidup.[1] Katekismus Gereja Katolik menegaskan persatuan seumur hidup antara pria dan wanita yang telah dibaptis ini, sifatnya terarah pada kesejahteraan suami-istri, pada kelahiran dan pendidikan anak. (KGK 1601) Hal ini berkaitan dengan gambaran kasih Allah yang bebas (tanpa paksaan), setia, menyeluruh dan ‘berbuah’.

Hubungan kasih ini menjadikan pria dan wanita menjadi ‘karunia‘ satu bagi yang lainnya, yang secara mendalam diwujudkan di dalam hubungan suami-istri. Jadi, jika dalam Pembaptisan, rahmat Tuhan dinyatakan dengan air, atau Penguatan dengan pengurapan minyak, namun di dalam Perkawinan, rahmat Tuhan dinyatakan dengan pasangan itu sendiri. Inilah artinya sakramen perkawinan: suami adalah tanda rahmat kehadiran Tuhan bagi istrinya, dan istri adalah tanda rahmat kehadiran Tuhan bagi suaminya. Tuhan menghendaki perkawinan yang sedemikian sejak masa penciptaan, dengan memberikan rasa ketertarikan antara pria dan wanita, yang harus diwujudkan di dalam kesetiaan yang tak terpisahkan seumur hidup; untuk menggambarkan kesetiaan kasih Allah yang tak terpisahkan dengan manusia, seperti ditunjukkan dengan sempurna oleh Kristus dan Gereja-Nya sebagai mempelai-Nya. Karena itu harusnya setiap hari suami selalu merenungkan: “Sudahkah hari ini aku menjadi tanda kasih Tuhan kepada istriku?” demikian juga, istri merenungkan, “Sudahkah hari ini aku menjadi tanda kasih Tuhan kepada suamiku?”

Sakramen Perkawinan juga mengangkat hubungan kasih antara suami dengan istri, untuk mengambil bagian di dalam salah satu perbuatan Tuhan yang ajaib, yaitu penciptaan manusia. Dengan demikian, persatuan suami dengan istri menjadi tanda akan kehadiran Allah sendiri, jika di dalam persatuan itu mereka bekerjasama dengan Tuhan untuk mendatangkan kehidupan bagi manusia yang baru, yang tubuh dan jiwanya diciptakan atas kehendak Allah. Dalam hal ini penciptaan manusia berbeda dengan hewan dan tumbuhan, karena hanya manusia yang diciptakan Tuhan seturut kehendakNya dengan mengaruniakan jiwa yang kekal (‘immortal’). Sedangkan hewan dan tumbuhan tidak mempunyai jiwa yang kekal seperti manusia. Jadi peran serta manusia dalam penciptaan manusia baru adalah merupakan partisipasi yang sangat luhur, karena dapat mendatangkan jiwa manusia yang baru, yang diinginkan oleh Allah.

Kemudian, setelah kelahiran anak, sang suami dan istri menjalankan peran sebagai orang tua, untuk memelihara dan mendidik anak mereka. Dengan demikian mereka menjadi gambaran terbatas dari kasih Tuhan yang tak terbatas: dalam hal pemeliharaan/ pengasuhan (God’s maternity) dan pendidikan/ pengaturan (God’s paternity) terhadap manusia. Di sini kita lihat betapa Allah menciptakan manusia sungguh-sungguh sesuai dengan citra-Nya. Selain diciptakan sebagai mahluk spiritual yang berkehendak bebas, dan karena itu merupakan mahluk tertinggi dibandingkan dengan hewan dan tumbuhan, selanjutnya, manusia dikehendaki Allah untuk ikut ambil bagian di dalam pekerjaan tangan-Nya, yaitu: penciptaan, pemeliharaan dan pengaturan manusia yang lain.

Setiap kali kita merenungkan dalamnya arti Perkawinan sebagai gambaran kasih Allah sendiri, kita perlu bersyukur dan tertunduk kagum. Begitu dalamnya kasih Allah pada kita manusia, betapa tak terukurnya rencanaNya bagi kita. Melalui Perkawinan kita dibawa untuk memahami misteri kasih-Nya, dan mengambil bagian di dalam misteri itu. Di dalam Perkawinan kita belajar dari Kristus, untuk memberikan diri kita (self-giving) kepada orang lain, yaitu kepada pasangan kita dan anak-anak yang dipercayakan kepada kita. Dengan demikian, kita menemukan arti hidup kita, dan tak dapat dipungkiri, inilah yang disebut ‘kebahagiaan’, dan dalam ikatan kasih yang tulus dan total ini, masing-masing anggota keluarga menguduskan satu sama lain.

Jadi secara garis besar, sakramen perkawinan mempunyai tujuan untuk mempersatukan suami istri, menjadikan suami istri dapat mengambil bagian dalam karya penciptaan Allah, dan akhirnya dengan sakramen perkawinan ini suami dan istri dapat saling menguduskan, sampai kepada tujuan hidup yang sebenarnya, yaitu kebahagiaan sejati dalam Kerajaan Surga.

Syarat Perkawinan Katolik yang sah

Sebelum mencapai kebahagiaan perkawinan, perlulah kita ketahui beberapa syarat untuk menjadikan Perkawinan sebagai perjanjian yang sah, baru kemudian kita melihat apa yang menjadi ciri-cirinya.

Syarat pertama Perkawinan Katolik yang sah adalah perjanjian Perkawinan yang diikat oleh seorang pria dan wanita yang telah dibaptis, dan kesepakatan ini dibuat dengan bebas dan sukarela, dalam arti tidak ada paksaan, dan tidak dihalangi oleh hukum kodrat atau Gereja.[2] Kesepakatan kedua mempelai ini merupakan syarat mutlak untuk perjanjian Perkawinan; sebab jika kesepakatan ini tidak ada, maka tidak ada perkawinan. (KGK 1626) Kesepakatan di sini berarti tindakan manusiawi untuk saling menyerahkan diri dan menerima pasangan, dan kesepakatan ini harus bebas dari paksaan atau rasa takut yang hebat yang datang dari luar. (KGK 1628) Jika kebebasan ini tidak ada, maka perkawinan dikatakan tidak sah.

Syarat kedua adalah kesepakatan ini diajukan dan diterima oleh imam atau diakon yang bertugas atas nama Gereja untuk memimpin upacara Perkawinan dan untuk memberi berkat Gereja. Oleh karena kesatuan mempelai dengan Gereja ini, maka sakramen Perkawinan diadakan di dalam liturgi resmi Gereja, dan setelah diresmikan pasangan tersebut masuk ke dalam status Gereja, yang terikat dengan hak dan kewajiban suami istri dan terhadap anak-anak di dalam Gereja. Juga dalam peresmian Perkawinan, kehadiran para saksi adalah mutlak perlu. (KGK 1631)

Syarat ketiga adalah, mengingat pentingnya kesepakatan yang bebas dan bertanggung jawab, maka perjanjian Perawinan ini harus didahului oleh persiapan menjelang Perkawinan. (KGK 1632) Persiapan ini mencakup pengajaran tentang martabat kasih suami-istri, tentang peran masing-masing dan pelaksanaannya.

Beberapa syarat penting di atas, terutama syarat pertama, mendasari pihak Gereja menentukan suatu sah atau tidaknya perkawinan. Lebih lanjut tentang sah atau tidaknya perkawinan, pembatalan perkawinan (‘annulment‘) dan mengenai perkawinan campur (antara pasangan yang berbeda agama) akan dibahas pada artikel yang terpisah.

Ciri-ciri Perkawinan Katolik

Sebagai penggambaran persatuan ilahi antara Kristus dengan Gereja-Nya, Perkawinan Katolik mempunyai tiga ciri yang khas, yaitu (1) ikatan yang terus berlangsung seumur hidup, (2) ikatan monogami, yaitu satu suami, dan satu istri, dan (3) ikatan yang tidak terceraikan.[3] Sifat terakhir inilah yang menjadi ciri utama perkawinan Katolik. Di dalam ikatan Perkawinan ini, suami dan istri yang telah dibaptis menyatakan kesepakatan mereka, untuk saling memberi dan saling menerima, dan Allah sendiri memeteraikan kesepakatan ini. Perjanjian suami istri ini digabungkan dengan perjanjian Allah dengan manusia, dan karena itu cinta kasih suami istri diangkat ke dalam cinta kasih Ilahi. (KGK 1639) Atas dasar inilah, maka Perkawinan Katolik yang sudah diresmikan dan dilaksanakan tidak dapat diceraikan. Ikatan perkawinan yang diperoleh dari keputusan bebas suami istri, dan telah dilaksanakan, tidak dapat ditarik kembali. Gereja tidak berkuasa untuk mengubah penetapan kebijaksanaan Allah ini. (KGK 1640)

Karena janji penyertaan Allah ini, dari ikatan perkawinan tercurahlah juga berkat-berkat Tuhan yang juga menjadi persyaratan perkawinan, yaitu berkat untuk menjadikan perkawinan tak terceraikan, berkat kesetiaan untuk saling memberikan diri seutuhnya, dan berkat keterbukaan terhadap kesuburan akan kelahiran keturunan.[4] Kristus-lah sumber rahmat dan berkat ini. Yesus sendiri, melalui sakramen Perkawinan, menyambut pasangan suami istri. Ia tinggal bersama-sama mereka untuk memberi kekuatan di saat-saat yang sulit, untuk memanggul salib, bangun setelah jatuh, saling mengasihi dan mengampuni.

Maka, apa yang dianggap mustahil oleh dunia, yaitu setia seumur hidup kepada seorang manusia, menjadi mungkin di dalam Perkawinan yang mengikutsertakan Allah sebagai pemersatu. Ini merupakan kesaksian Kabar Gembira yang terpenting akan kasih Allah yang tetap kepada manusia, dan bahwa para suami dan istri mengambil bagian di dalam kasih ini. Betapa kita sendiri menyaksikan bahwa mereka yang mengandalkan Tuhan dalam perjuangan untuk saling setia di tengah kesulitan dan cobaan, sungguh menerima penyertaan dan pertolonganNya pada waktunya. Hanya kita patut bertanya, sudahkah kita mengandalkan Dia?

Sakramen Perkawinan menurut para Bapa Gereja

Ajaran para Bapa Gereja mendasari pengajaran Gereja tentang Perkawinan. Sejak jaman Kristen awal, Perkawinan merupakan gambaran dari kasih Kristus kepada GerejaNya, sehingga ia bersifat seumur hidup, monogami, dan tak terceraikan.

  1. The Shepherd of Hermas (80): Mengajarkan jika seorang suami mendapati istrinya berzinah, dan istrinya itu tidak bertobat, maka sang suami dapat berpisah dengan istrinya, namun suami itu tidak boleh menikah lagi. Jika ia menikah lagi, maka ia sendiri berzinah.”Lalu apakah yang dilakukan seorang suami, jika istrinya tetap dalam disposisi ini [perzinahan]? Biarlah ia [suaminya] menceraikan dia, dan biarlah suaminya tetap sendiri. Tetapi jika ia menceraikan istrinya lalu kawin dengan perempuan yang lain, ia juga berbuat zinah.” (The Shepherd of Hermas, 4:1:6)
  2. St. Ignatius dari Antiokhia (35-110), dalam suratnya kepada St. Polycarpus, mengajarkan kesetiaan antara suami istri, dan bahwa suami harus mengasihi istrinya seperti Tuhan Yesus mengasihi Gereja-Nya.[5] Perkawinan sebagai lambang persatuan antara Kristus dan Gereja ditekankan kembali oleh St. Leo Agung (440-461).
  3. St. Yustinus Martyr (151): “Yesus berkata begini: “Barangsiapa melihat dan menginginkan seorang wanita, ia telah berbuat zinah di dalam hatinya di hadapan Tuhan.” Dan, “Barangsiapa kawin dengan seseorang yang telah dicerikan suaminya, berbuat zinah.” Menurut Guru kita, seperti mereka yang berdosa karena perkawinan kedua…, demikianlah juga mereka berdosa karena melihat dengan nafsu kepada seorang wanita. Ia menentang bukan saja mereka yang telah berbuat zinah namun mereka yang ingin berbuat zinah; sebab bukan hanya perbuatan kita yang nyata bagi Tuhan tetapi bahkan pikiran kita (St. Justin Martyr, First Apology 15)
  4. St. Ignatius dari Antiokhia (35-110), dalam suratnya kepada St. Polycarpus, mengajarkan kesetiaan antara suami istri, dan bahwa suami harus mengasihi istrinya seperti Tuhan Yesus mengasihi Gereja-Nya.[6] Perkawinan sebagai lambang persatuan antara Kristus dan Gereja ditekankan kembali oleh St. Leo Agung (440-461).
  5. Tertullianus (155-222) mengajarkan bahwa perkawinan yang diberkati Tuhan dapat menjadi perkawinan yang berhasil, meskipun menghadapi kesulitan dan tantangan, sebab perkawinan tersebut telah menerima dukungan rahmat ilahi.[7] “Bagaimana saya mau melukiskan kebahagiaan Perkawinan, yang dipersatukan oleh Gereja, dikukuhkan dengan persembahan, dimeteraikan dengan berkat, diwartakan oleh para malaikat dan disahkan oleh Bapa?….” Pasangan itu mempunyai satu harapan, satu cara hidup, satu Mereka yang adalah anak-anak dari satu Bapa, dan satu Tuhan. Mereka tak terpisahkan dalam jiwa dan raga, sebab mereka menjadi satu daging dan satu roh.[8] Karena persatuan ini, maka seseorang tidak dapat menikah lagi selagi pasangan terdahulu masih hidup, sebab jika demikian ia berzinah.
  6. St. Klemens dari Aleksandria (150-216):
    Mengajarkan maksud ajaran Yesus pada ayat Mat 5:32, 19:9, “Setiap orang yang menceraikan istrinya kecuali karena zinah…” Zinah di sini artinya adalah perkawinan antara mereka yang sudah pernah menikah namun bercerai, padahal pasangannya yang terdahulu itu belum meninggal.[9] (Jadi, dalam hal ini, Yesus mengakui perkawinan yang pertama sebagai yang sah, dan perkawinan kedua itulah yang harusnya diceraikan agar pihak yang pernah menikah secara sah dapat kembali kepada pasangan terdahulu).”Maka bahwa Kitab Suci menasihati perkawinan, dan tidak pernah mengizinkan lepasnya ikatan tersebut, telah nyata dalam hukum: ‘Kamu tidak dapat menceraikan istrimu, kecuali karena alasan zinah.’ Dan dianggap sebagai perzinahan, perkawinan dari sebuah pasangan, di mana pihak yang diceraikan oleh salah satu dari pasangan itu, masih hidup. ‘Barangsiapa menceraikan istrinya, berbuat zinah,’ …; sebab ‘barangsiapa menceraikan istrinya, ia… memaksa istrinya itu untuk melakukan perzinahan. Tidak saja ia [suaminya yang terdahulu] yang menceraikannya menjadi sebab dari hal ini, tetapi juga ia [pria yang kemudian mengawininya] yang mengambil wanita itu, dengan memberikan kepadanya kesempatan untuk berbuat dosa; sebab jika ia tidak mengambilnya, wanita itu akan kembali kepada suaminya.’ (St. Clement of Alexandria, The Stromata 2:23)
  7. Athenagoras (133-190) dan Theophilus dari Antiokia(169-183), keduanya mengajarkan monogami, bahwa seseorang harus menikah hanya sekali, karena ini yang dikehendaki Allah yang pada awalnya telah menciptakan seorang pria dan seorang wanita, dan yang menciptakan persatuan daging dengan daging untuk membentuk bangsa umat manusia.[10]
  8. Origen (185-254) mengajarkan bahwa Tuhanlah yang mempersatukan sehingga suami dan istri bukan lagi dua melainkan ‘satu daging’. Pada mereka yang telah dipersatukan Allah terdapat ‘karunia’, sehingga Perkawinan menurut Sabda Tuhan adalah ‘karunia’, sama seperti kehidupan selibat adalah karunia.[11]“Seperti seorang wanita adalah pezinah, meskipun nampaknya ia menikah dengan seorang pria, sementara suaminya yang terdahulu masih hidup, maka pria itu yang sepertinya telah menikahi wanita yang telah bercerai itu, sesungguhnya tidak menikahinya, tetapi, menurut pernyataan Penyelamat kita, ia berbuat zinah dengan wanita itu.” (Origen, Commentaries on Matthew 14:24)
  9. Konsili Elvira (300):
    “Demikianlah para wanita yang telah meninggalkan suami mereka tanpa sebab sebelumnya, dan telah menyatukan diri dengan orang lain, tidak dapat menerima Komuni saat wafatnya” (Kanon 8)….”Dengan demikian, seorang wanita yang beriman, yang telah meninggalkan suami yang telah berbuat zinah, dan menikah dengan orang lain, maka perkawinan wanita yang sedemikian dilarang. Jika toh ia telah menikah, ia tidak dapat menerima Komuni, kecuali jika suami yang telah ditinggalkannya telah meninggal dunia.” (Kanon 9).
  10. St. Yohanes Krisostomus (347-407), menjelaskan bahwa di dalam ayat, “Apa yang telah dipersatukan Tuhan, janganlah diceraikan manusia” (Mat 19:6), artinya adalah bahwa seorang suami haruslah tinggal dengan istrinya selamanya, dan jangan meninggalkan atau memutuskan dia.[12]
  11. St. Ambrosius dari Milan (387- 389): “Tak seorangpun diizinkan untuk bersetubuh dengan seorang wanita, selain dengan istrinya sendiri. Hak perkawinan telah diberikan kepadamu untuk alasan ini; supaya kamu tidak jatuh ke dalam dosa dengan wanita asing. ‘Jika kamu terikat dengan seorang wanita, jangan bercerai; sebab kamu tidak diizinkan untuk menikah dengan orang lain, selagi istrimu masih hidup.” (St. Ambrosius, Abraham 1:7:59)”Dengarkanlah hukum Tuhan, yang bahkan mereka yang mengajarkannya harus juga mematuhinya: “Apa yang dipersatukan Allah, jangan diceraikan manusia” (Commentary on Luke 8:5)
  12. St. Hieronimus (396): “… Sepanjang suami masih hidup,… meskipun ia berzinah.. atau terikat kepada berbagai kejahatan, jika ia [sang istri] meninggalkannya karena perbuatan jahatnya, ia [suaminya itu] tetaplah adalah suaminya dan ia [sang istri] tidak dapat menikah dengan orang lain.” (St. Jerome, Letters 55:3).
  13. St. Paus Innocentius I (408): “Praktek ini dilakukan oleh semua: tentang seorang wanita, yang dianggap sebagai orang yang berbuat zinah jika ia menikah kedua kalinya sementara suaminya masih hidup, dan izin untuk melakukan penitensi tidak diberikan kepadanya sampai salah satu dari pria itu meninggal dunia.” (Pope Innocentius I, Letters 2:13:15).
  14. St. Agustinus (354-430), berkat Perkawinan adalah: keturunan, kesetiaan, ikatan sakramen. Ikatan sakramen ini sifatnya tetap selamanya, yang tidak dapat dihilangkan oleh perceraian atau zinah, maka harus dijaga oleh suami dan istri dengan sikap bahu-membahu dan dengan kemurnian.[13]“Seorang wanita tidak menjadi istri suami berikutnya, jika masih menjadi istri dari suami yang terdahulu. Ia tidak lagi menjadi istrinya, jika suaminya itu meninggal dunia, dan bukan jika ia [suaminya] berbuat zinah. Maka, seorang pasangan secara hukum boleh dilepaskan, pada kasus perzinahan, tetapi ikatan untuk tidak menikah lagi, tetap berlaku. Itulah mengapa, seorang laki-laki berbuat zinah, jika ia menikahi seorang wanita yang telah dilepaskan [oleh suaminya], justru karena alasan perzinahan ini.” (St. Augustine, Adulterous Marriages 2:4:4)”Tak diragukan lagi hakekat perkawinan adalah ikatan ini, sehingga ketika seorang laki-laki dan perempuan telah dipersatukan dalam perkawinan, mereka harus tetap tidak terpisahkan sepanjang hidup mereka, atau tidak boleh bagi salah satu pihak dipisahkan dari yang lain, kecuali karena alasan perzinahan. Sebab ini dilestarikan dalam kasus Kristus dan Gereja…, sehingga tidak ada perceraian, tidak ada perpisahan selamanya.” (St. Augustine, (Marriage and Concupiscence 1:10:11)

Kesimpulan

Sejak awal mula Allah menghendaki persatuan antara pria dan wanita, yang diwujudkan secara mendalam di dalam Perkawinan. Perkawinan ini dimaksudkan Allah untuk menggambarkan kasih-Nya, yaitu kasih dalam kehidupan-Nya sendiri sebagai Allah Tritunggal, dan kasih-Nya kepada manusia yang tak pernah berubah. Keluhuran Perkawinan juga dinyatakan oleh Kristus, yang mengangkat nilai Perkawinan dengan menjadikannya gambaran akan kasih-Nya kepada Gereja-Nya. Karena itu Perkawinan Katolik bersifat tetap seumur hidup, setia, monogami, dan terbuka terhadap kelahiran baru. Dengan memiliki ciri-ciri yang demikian, Perkawinan merupakan ‘sakramen’, yaitu tanda kehadiran Allah di dunia, sebab sesungguhnya Allah menggabungkan kasih suami istri dengan kasihNya sendiri kepada umat manusia. Jadi tepat jika dikatakan bahwa sakramen Perkawinan melibatkan tiga pihak, yaitu, suami, istri dan di atas segalanya, Kristus sendiri. “Marriage takes three to make a go… and when Christ is at the center, it will prevail until the end, and even now on earth, receive a foretaste of the wedding feast of the Lamb!”

 

[1] Lihat The Roman Catechism (Catechism of Trent), Part 2, The Sacrament, Matrimony, The Definition of Matrimony.

[2] Lihat KGK 1625. Hukum kodrat atau ketetapan Gereja yang dapat menghalangi perkawinan misalnya adalah perkawinan antar saudara kandung, perkawinan anak-anak dibawah umur, ataupun perkawinan yang melibatkan satu atau keduanya masih terikat perkawinan yang sah dengan pasangan terdahulu.

[3] Lihat Catechism of Trent, Ibid., Marriage is Indissoluble by Divine Law, Unity of Marriage and Three Blessings of Marriage. Lihat juga KGK 1638, 1605, 1614, 1615, 1640, 1641, 1643, 1644, 1659

[4] Lihat Ibid., Three Blessings of Marriage. Lihat juga KGK 1641, 1642, 1644, 1646, 1648.

[5] Lihat St. Ignatius of Antioch, Letter to St. Polycarp, seperti dikutip oleh John Willis, S.J, The Teaching of the Church Fathers, (Ignatius Press, San Francisco, 2002, reprint 1966), p. 438

[6] Lihat St. Ignatius of Antioch, Letter to St. Polycarp, seperti dikutip oleh John Willis, S.J, The Teaching of the Church Fathers, (Ignatius Press, San Francisco, 2002, reprint 1966), p. 438

[7] Lihat Tertullian, To His Wife, Bk 2:7, seperti dikutip oleh John Willis, S.J., Ibid., p. 438

[8] Lihat Tertullian, ux 2,9, seperti dikutip KGK 1642.

[9] Lihat St. Clement of Alexandria, Christ the Educator, Bk. 2, Chap.23, seperti dikutip oleh John Willis, S.J, Ibid., p.442.

[10] Lihat Athenagoras, A Plea for Christian, Ch. 33, St Theohilus of Antioch, To Autolycus, Bk 3:15, seperti dikutip oleh John Willis, S.J, Ibid., p.445.

[11] Lihat Origen, Commentary on Mathew, Bk 14, Chap 16, seperti dikutip oleh John Willis, S.J., Ibid., p. 439.

[12] Lihat St. John Chrysostom, Homilies on St. Matthew, 62:1, seperti dikutip oleh John Willis, S.J., Ibid., p. 439.

[13] Lihat St. Augustine, On Marriage and Concupiscence, Bk 1, Ch. II, seperti dikutip oleh John Willis, S.J., Ibid., p. 438

4.1 7 votes
Article Rating
232 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
Andeg
Andeg
11 years ago

Nama saya Anastasius Andeg Karisma. Saya mau minta pertimbangan sekaligus solusi atas masalah yang sedang saya hadapi. Saya sudah pacaran dengan seorang gadis selama hampir 7 tahun. Bulan desember kemarin rencananya kami menikah, semua sudah saya urus, baik surat2 di pemerintahan, kursus perkawinan di gereja juga sudah kami selesaikan,tapi surat baptis saya hilang, dan sudah diurus tapi tidak ketemu. Saya dibaptis waktu masih bayi,di Kalimantan Tengah,dan sekarang saya tinggal di Semarang. Hilangnya surat baptis (dan juga data2nya itu) kemudian menggagalkan pernikahan kami. Sebelumnya ada pertemuan keluarga, trus rencana pernikahan diundur 3-4 bulan kemudian smbil trus coba mengurus surat baptis saya.… Read more »

RD. Bagus Kusumawanta
RD. Bagus Kusumawanta
Reply to  Andeg
11 years ago

Andeg yth Pertama persoalan surat baptis bisa dilakukan dengan mencari di paroki buku induknya. Anda ingat kapan dibaptis dan oleh siapa, coba ke pastor paroki, dan meskipun masih bayi bisa ditanyakan orang tua anda. Kedua persoalan relasi cinta anda berdua yang belum matang dan kuat direstui oleh kedua belah pihak. Perkawinan harus disiapkan, tidak terburu buru, tidak emosional, tetapi dengan kedewasaan cinta, karena itu ditunda juga ada hikmat supaya relasi anda sungguh matang dan dewasa, cinta yang sejati. salam Rm Wanta [tambahan dari Katolisitas: ada baiknya Anda juga memeriksa batin dan memohon petunjukNya atau membicarakannya dengan keluarga kekasih Anda dalam… Read more »

merdeka dalam Kristus
merdeka dalam Kristus
11 years ago

hai hai… syalom..

eh, saya mau tanya nie..

1) apakah seseorang bisa menikah lagi, jika istrinya meninggal ?

2) apakah bisa dikatakan suci, jika sebelum pernikahan, seseorang itu telah “bersetubuh” atau onani untuk memuaskan napsu seks ?
apakah kegiatan seksual pada pernikahan “malam pertama” tidak bisa dikatakan suci lagi ?

maaf jika kata-kata ada yang kurang sopan..

[Dari Katolisitas: Ya, seseorang dapat menikah lagi jika istrinya telah meninggal dunia. Sehubungan dengan pertanyaan Anda selanjutnya, silakan Anda membaca kedua artikel ini, silakan klik di judul berikut:

Kemurnian di luar perkawinan
Kemurnian di dalam perkawinan
Tentang masturbasi, silakan klik]

iwan
iwan
11 years ago

saya seorang suami, keluarga katolik, sekarang saya digugat cerai istri saya melalui pengadilan negeri, istri saya merasa tidak bahagia hidup bersama dengan saya, dan berkata tidak pernah mencintai saya sejak awal menikah.
kami dikaruniai satu anak. apa yang harus saya lakukan?

win
win
11 years ago

Shalom Romo dan Team Katolisitas ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan : 1. Jika ada sepasang suami istri yang sudah menikah secara adat / restoran sebelum mereka menjadi Katolik (sebelum mereka menjadi Katolik, mereka beragama Budha) , terus karena tertarik dengan Katolik dan merasa terpanggil maka mereka memutuskan untuk menjadi katekumen dan mereka dibaptis. Bagaimana dengan status perkawinan mereka yang terdahulu, apakah perkawinan mereka yg sebelumnya secara adat / restoran otomatis menjadi perkawinan yang sah menurut gereja Katolik? Apakah diperlukan semacam pembaharuan perkawinan dengan mengucapkan janji perkawinan secara Katolik di hadapan seorang imam? Apakah ada dasar2 hukum kanonik yang… Read more »

Netta
Netta
12 years ago

Dear Pak Stef dan Bu Ingrid, Saya merasa keberatan dengan salah satu kutipan ayat di Kitab Suci, yaitu pada injil Matius 19:5 “Laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya sehingga menjadi satu daging”. Saya merasa ayat ini kok rasanya salah ya. Saya merasa ayat ini untuk beberapa org tidak sesuai. Sampai sekarang kan masih banyak pasangan2 muda yang tinggal dengan org tua nya. Laki – laki tidak meninggalkan ayah dan ibunya walau mereka sudah menikah. Tolong bantu saya untuk memperjelas ayat ini pak stef dan bu ingrid, karena saya melihat ayat ini tidak sesuai dengan kenyataan. terima… Read more »

Netta
Netta
Reply to  Ingrid Listiati
12 years ago

Terima kasih bu Ingrid atas penjelasannya. Jujur memang dalam hati kecil saya, saya merasa khawatir akan nanti kehidupan rumah tangga saya yg nanti akan saya bentuk, akan seperti apa. Saya takut hubungan antara saya dengan calon mertua (yg akan segera jadi mertua) rusak karena ada pergesekan kecil dalam rumah tangga. Saya bingung bu, saya harus bersikap seperti apa nantinya? Walau memang calon mertua saya adalah org2 yg sangat takut akan Tuhan, dan mereka mengerti betul bahwa mereka tdk boleh mencampuri kehidupan rumah tangga saya nantinya. Saya bingung harus bersikap gimana nanti setelah menikah. Mohon masukannya bu. Terima kasih.

Netta
Netta
Reply to  Ingrid Listiati
12 years ago

Amin , Bu Ingrid. Terima kasih sekali atas saran dan masukan Bu Ingrid :) saya akan selalu mencoba untuk melibatkan Tuhan dalam pergumulan saya. Tuhan memberkati ibu dan semua tim katolisitas :)

Agung
Agung
12 years ago

Berkah Dalem.. mau tanya, apakah bisa dilakukan pemberkatan perkawinan di Gereja Katolik? Akan tetapi dalam perkawinannya dulu dilaksanakan di KUA (krn beda agama), mohon penjelasannya. Terima kasih.. ^^

Romo Wanta, Pr.
Reply to  Agung
12 years ago

Agung yth Perkawinan di KUA tidak sah bagi orang Katolik. Hukumnya wajib setiap orang Katolik menikah di Gereja Katolik di hadapan Imam Katolik. Kalau sudah di KUA lalu meminta pemberesan dengan pengesahan biasa tentu di Gereja Katolik dapat dilakukan. salam Rm Wanta Tambahan dari Ingrid: Shalom Agung, Pertama-tama yang perlu dilakukan oleh orang tersebut adalah mengaku dosa di dalam Sakramen Pengakuan dosa, karena telah menikah di luar Gereja Katolik, sehingga artinya ia tidak mengindahkan aturan Gereja Katolik tentang perkawinan umat Katolik. Juga ia perlu mengaku dosa, karena umumnya menikah di KUA juga melibatkan pengucapan syahadat, yang artinya orang itu rela… Read more »

siska
siska
12 years ago

Terimakasih sebelumnya… ◦°˚˚˚°◦G☺D♡BLΕ§§♡U◦°˚˚˚◦ always… Saya ingin menanyakan masalah duda Ɣªήğ menikah secara Katolik,tp duda tsb sudah bercerai, dan isterinya sudah menikah lagi , tp tidak bs lg menikah secara Katolik di gereja, hanya menikah secara catatan sipil. Isteri tsb sekarang sudah bercerai lg dgn suami ke 2 nya. Ɣªήğ ingin saya tanyakan, bagaimana status secara Katolik hubungan suami isteri dgn suami pertama, apakah mereka hrs bersama lg, krna mereka msh suami isteri secara Katolik tdk bs bercerai, atau suaminy Ɣªήğ pertama boleh menikah lg walaupun tidak bs menikah di gereja secara Katolik, karena isterinya sudah menikah duluan. Apakah mrka msh… Read more »

Romo Wanta, Pr.
Reply to  Ingrid Listiati
12 years ago

Siska yth Menambahkan yang sudah dijelaskan Ibu Ingrid, prinsipnya adalah: perkawinan yang sah apalagi Katolik dengan Katolik lalu ada keturunan, disebut ratum et consumatum et sacramentum, tidak dapat diputus oleh kuasa manapun (bdk kan. 1057 #1). Lalu perkawinan itu tetap eksis meskipun terjadi perpisahan atau perceraian sipil dan perkawinan kedua beberapa kali. Selama tidak ada pernyataan dari Gereja bahwa perkawinan pertama batal, maka perkawinan pertama tetap eksis dan dihormati. Oleh karena itu, perkawinan kedua disebut sebagai konkubinat yang dilakukan secara publik, dan oleh Gereja hal itu dianggap sebagai hidup dalam dosa karena berzinah dengan pasangan yang tidak sah secara kanonik.… Read more »

Jacob
Jacob
Reply to  Romo Wanta, Pr.
12 years ago

gampang untuk mengatakan dengan dogma2 antik, tapi sangat susah bagi yang menjalankan karena menyangkut hati dan perasaan dua pribadi manusia.
Salam

[dari Katolisitas: ajaran-ajaran yang diberikan Gereja semuanya dibuat demi kesejahteraan umat manusia seutuhnya sebagaimana dikehendaki oleh Allah Bapa di Surga yang sangat mengasihi manusia ciptaan-Nya. Ajaran dan dogma Gereja adalah salah satu wujud cinta sejati Allah untuk menunjukkan jalan yang benar kepada manusia agar meraih kebahagiaan lahir dan batin, dan semuanya itu memang juga memerlukan usaha dan pengorbanan dari manusia untuk bisa meraih kebahagiaan yang dicita-citakan Allah bagi kita, karena hidup memang adalah perjuangan]

Richard
Richard
12 years ago

Shalom, Apakah perpecahan gereja bisa disangkutkan menyangkut Sakramen Perkawinan. Gereja adalah mempelai Kristus ya kalau tidak salah? dan Gereja yang “bercerai” dengan Gereja Katolik itu sebenarnya di mata Tuhan masih menikah dengan Katolik tetapi karena ketegaran hati kita manusia sehingga Tuhan mengijinkannya tetapi sejak semula tidaklah demikian. Saya mengutip dari Mat 19:8 dan agak mengubahnya sedikit. Tetapi di mata Tuhan sebenarnya Gereja yang “bercerai” dengan GK adalah tetap umat GerejaNya tetapi tidak mendapat kasih yang sempurna (Kepenuhan Kebenaran & Ekaristi yang asli) dari Allah karena perceraiannya ini. Apakah bisa dikatakan begitu? Tq [dari katolisitas: Argumentasi yang sama kami berikan di… Read more »

R_Egidius
R_Egidius
12 years ago

Dear Romo, Setelah saya baca injil tentang perzinahan, saya menikah sebelumnya secara Katholik dan isteri saya berzinah menikah lagi dengan pria lain yang lebih ganteng n kaya tidak seperti saya. Setelah 10 tahun kemudian saya menikah dan diberkati secara Kristen namun isteri saya Katholik, dan kami selalu berangkat ke Gereja Katholik karena isteri saya tidak mau beribadah di luar Katholik. Kadang saya menangis atas semua kesalahan yang telah saya lakukan sebelumnya, dan sekarang dikarunia 2 anak yang ganteng dan pintar dan sekolah di Katholik dan suster maupun gurunya sangat memperhatikan putra saya di sekolah. Suatu ketika saat melakukan Misa sekolah… Read more »

Rm Agung, MSF
Rm Agung, MSF
Reply to  R_Egidius
12 years ago

Sdr. Egidius, Salah satu syarat untuk membaptis anak-anak adalah orangtua memberi jaminan bahwa anak yang akan dibaptis itu akan bertumbuh dalam iman Katolik. Jadi suasana hidup iman dalam keluarga tentu sangat diharapkan untuk perkembangan iman sang anak. Permintaan surat perkawinan Katolik orangtua anak yang mau dibaptis kiranya untuk menjadi salah satu pertanda bahwa keluarga ini menghayati iman Katolik. Berkaitan dengan persoalan yang anda hadapi, baik kalau anda datang ke pastor paroki supaya anda dapat berdiskusi dan mendapatkan penjelasan yang lebih terperinci dan disampaikan secara pastoral. Tanggapan ini hanya sekedar merupakan jawaban awal dari persoalan anda, yang bisa diperjelas dengan perbincangan… Read more »

andreas alsandriata
andreas alsandriata
12 years ago

langsung saja
mau tanya mengapa dalam gereja Katolik disebut Sakramen Perkawinan bukan sakramen pernikahan? Mohon penjelasan!

Yohanes Dwi Harsanto Pr
Yohanes Dwi Harsanto Pr
Reply to  andreas alsandriata
12 years ago

Salam Andreas Alsandriata, Bahasa apapun termasuk Bahasa Indonesia berkembang mengikuti peradaban. Mari kita lihat KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) di http://kamusbahasaindonesia.org/ Di situ, arti “pernikahan” adalah: 1. Hal (perbuatan) nikah; 2. Upacara nikah, mis. “Dia akan menghadiri pernikahan saudaranya”. Sedangkan arti “perkawinan” adalah 1. Perihal urusan kawin’ 2. Pertemuan hewan jantan dan betina secara seksual. Tentu saja para ahli liturgi akan memilih arti yang paling tepat. Ternyata pilihan jatuh pada istilah “perkawinan”. Tentu saja bukan hewan yang melangsungkan perkawinan, melainkan manusia. Namun bisa ditarik perkiraan bahwa dalam kamus bahasa Indonesia, “pernikahan”, sepertinya mengacu kepada pengertian hanya “raja sehari” sedangkan “perkawinan”… Read more »

Antony
Antony
12 years ago

syalom,
saya ingin bertanya, tentang problem teman saya,
teman saya yang seorang Katolik ingin mengadakan Misa syukur di rumah untuk ultah orang tua yang tidak Katolik, syukuran atas menikahnya anaknya (tetapi di gereja lain) apakah tidak diperbolehkan ?
mohon penjelasan..

terima kasih

Antony – GBU

Yohanes Dwi Harsanto Pr
Yohanes Dwi Harsanto Pr
Reply to  Antony
12 years ago

Salam Antony,

Misa ujub khusus selalu boleh. Namun yang menyangkut hukum kanonik, dalam hal ini perkawinan anak tersebut di gereja non-Katolik, harus dicek, apakah ia sudah mendapatkan surat izin tertulis dari uskup atau imam yang didelegasi oleh uskup untuk menikah di gereja non-Katolik itu. Jika tidak, maka sebenarnya Misa tidak relevan, karena dia sendiri secara kanonik terhalang untuk menerima komuni.

Silahkan hubungi pastor paroki. Jika mau meminta imam selain imam paroki, maka imam itu wajib diberitahu mengenai posisi perkawinan anak itu secara hukum kanonik.

Salam
Yohanes Dwi Harsanto Pr

Wellem
Wellem
12 years ago

Selamat siang Pastor dan Pengasuh Katolisitas : ada yang mau saya tanyakan jika dalam melaksanakan Sakramen pernikahan , kemudian kedua mempelai diperbolehkan saling menyuapkan Hosti yang sudah di konsejkrasi apakah diperbolehkan ? jika boleh atau tidak , kenapa mohon penjelasan serta dokumen dokumen gereja nya .

terima kasih atas bantuannya

mohon email tidak dipublikasikan :)

Stefanus Tay
Admin
Reply to  Wellem
12 years ago

Shalom Wellem, Terima kasih atas pertanyaannya tentang menerima Sakramen Ekaristi. Secara prinsip, pasangan tidak boleh saling menyuapkan hosti. Kita dapat melihatnya di Redemptionis Sacramentum, 94: Umat tidak diizinkan mengambil sendiri – apalagi meneruskan kepada orang lain – Hosti kudus atau Piala kudus. Dalam konteks ini harus ditinggalkan juga penyimpangan di mana kedua mempelai saling menerimakan komuni dalam Misa Perkawinan. Jadi, dari dokumen di atas, sebenarnya dengan jelas dan tegas tidak diperbolehkan bagi kedua mempelai saling menerimakan komuni. Komuni secara prinsip hanya diberikan oleh klerus (uskup, imam tertahbis atau diakon tetap) maupun dalam kondisi khusus oleh prodiakon. Hal ini dikarenakan kehormatan… Read more »

Lily
Lily
12 years ago

Syalom..

Saya mau menanyakan:
1. Apakah dalam gereja Katholik mengakui adanya perjanjian pra-nikah?
2. Jikalau pernikahan dilakukan secara Katholik di mana salah satunya beragama Kristen, mengajukan perjanjian pra-nikah (pihak Kristen) di mana tidak ada maksud untuk cerai sama sekali (karena menikah berarti satu dan tidak akan terceraikan), hanya untuk mengatur masalah keuangan?

Terima kasih

Salam
GBU

Lily
Lily
Reply to  Ingrid Listiati
12 years ago

Shalom,

Terimakasih bu Ingrid atas masukannya.

Maksud dan tujuan perjanjian pranikah, dalam kasus ini yaitu pemisahan harta/hutang baik pihak laki maupun perempuan, permisalan jika di kemudian hari suami meminjam uang ke bank/pihak lain kemudian tidak mampu membayar, maka harta yang bisa diambil oleh negara hanyalah harta milik pihak tersebut (siapa yang meminjam) atau harta suami bukan dari harta isteri, serta melindungi anak dan istri termasuk harta warisan/hibah dari orang tua. Jadi dalam kasus ini pernikahan tidak ada kata berpisah/cerai, tidak ada maksud untuk merugikan, menipu atau memanfaatkan.

Demikian bu, saya tunggu saran dan masukan. Terimakasih

Tuhan memberkati

yanuar
yanuar
12 years ago

Salam,

1.Saya ingin bertanya kepada Romo dapatkah seorang katholik yang bercerai hidup dapat mengajukan permohinan pemberkatan perkawinan ke-2 di gereja katolik?
2.jika diijinkan bagaimana prosedurnya dan jika tidak diijinkan adakan jalan keluarnya?

EVIN
EVIN
12 years ago

Mau menanyakan..saya Katolik berhubungan dengan duda beragama Kristen..saat ini saya sedang dilema apakah bisa hubungan ini dilanjutkan? Karena memang saya tahu dalam ajaran kita tidak dikenal perceraian…Mohon petunjuknya, karena kami saling cocok..

Romo Wanta, Pr.
Reply to  EVIN
12 years ago

Evin yth Perkawinan itu seluruh hidup dalam berkomunikasi cinta. Tidak cukup cocok, perlu banyak hal dalam mengatasi konflik memahami pasangan, percaya dan resiko dalam dialog sebagai pasangan. Hidup beriman kalau beda agama rupanya jadi halangan, apalagi duda sudah menjadi halangan. Mengapa tidak mencari yang single status bebas lebih baik. Pikirkan masak masak kalau sudah sekali menikah tidak bisa diulangi lagi apalagi mendapat dispensasi/izin. Renungkan dan berdoalah semoga ada jawaban. salam, Rm Wanta Tambahan dari Ingrid: Shalom Evin, Anda benar, bahwa Gereja Katolik tidak mengenal istilah perceraian ataupun pernikahan kedua, jika masih ada ikatan sah dengan suami atau istri dari perkawinan… Read more »

sympony
sympony
12 years ago

shallom,…:)

Saya terlebih dahulu minta maaf ya sekiranya saya silap mengisi pesan sebab saya tidak pasti mahu meninggalkan pesan di ruangan mana mengenai pertanyaan saya ini.

Saya mahu menanya mengenai persediaan-persediaan yang perlu bagi seseorang Katolik sebelum pernikahan. Maksudnya apa perkara yang saya kena buat dan bagaimana perjalanan perkahwinan Katolik di gereja. Harap pihak Katolitas dapat membantu saya dan saya sangat berterima kasih kerana dengan maklumat yang saya terima nanti dapat membantu saya dalam persiapan perkahwinan saya pada November ini…

sekian… (^_^)

Dave
Dave
12 years ago

Dear team Katolisitas, Saya ingin berdiskusi mengenai Mat 9:9 1. Dalam hal ini menurut tafsiran St Clemens dari Alexandria, perkawinan yang kedua yang disebut perzinahan dan itu dapat diceraikan dengan harapan seseorang kembali pada pasangan yang pertama dan hal inilah yang diperbolehkan oleh Yesus. Pertanyaannya berarti pada dasarnya Yesus memperbolehkan perceraian dengan syarat berzinah (dalam hal ini zinah mengacu pada pengertian St.Clement)? 2. Jika mengikuti ajaran St. Clement, bukankah pada dasarnya Gereja tidak merestui adanya perkawinan kedua karena istri pertama belum meninggal, sehingga walaupun dalam praktek seseorang menikah lagi dengan istri baru, namun secara de jure Gereja tidak merestui perkawinan… Read more »

Emmanuel
Emmanuel
12 years ago

Saya masih belum banyak tahu tentang gereja Katolik. Sekarang saya mau membantu teman yang akan melangsungkan Pernikahan, ia minta saya carikan tentang syarat2 untuk mendapatkan surat Kanonik Perkawinan di Gereja dan Ia minta carikan susunan liturgi Perkawinan yang baik. Terima kasih.

[Dari Katolisitas: Silakan anda menghubungi pastor paroki untuk memperoleh informasi syarat- syaratnya, dan untuk teks misa silakan anda mencarinya di internet, atau lihatlah banyak contohnya yang ada di paroki anda, dan lalu silakan diskusikan dengan pastor paroki]

Adihanapi
Adihanapi
12 years ago

Shalom.. :-) Mohon untuk penjelasan Matius 19:9. Apakah ini berarti bahwa kita dapat menceraikan istri yang telah berbuat Zinah atau kita tetap tidak boleh menceraikan istri tapi boleh menikahi dengan perempuan lain lagi. Terima kasih. GBU Adi [dari katolisitas: St. Clemens dari Alexandria (150-216), mengajarkan maksud ajaran Yesus pada ayat Mat 5:32, 19:9, “Setiap orang yang menceraikan istrinya kecuali karena zinah…” Zinah di sini artinya adalah perkawinan antara mereka yang sudah pernah menikah namun bercerai, padahal pasangannya yang terdahulu itu belum meninggal.[15] (Jadi, dalam hal ini, Yesus mengakui perkawinan yang pertama sebagai yang sah, dan perkawinan kedua itulah yang harusnya… Read more »

daisy
daisy
12 years ago

Syalom, Romo dan umat katolik lainnya, Saya ingin menanyakan mengenai tata perayaan ekaristi saat Sakramen Perkawinan, terutama untuk bacaan liturgi; mazmur tanggapan, bacaan Injil. Kebetulan saya dan pasangan akans aling menerimakan Sakramen pernikahan. Dan saat ini, saya sedikit bingung dalam menyusun buku misa untuk sakramen pernikahan saya. Dari yang saya ketahui berdasarkan PUMR terakhir, ada beberapa pengaturan pada beberapa bagian (seperti lagu antar bacaan, mazmur tanggapan, dll). Kebetulan misa saya diadakan pada hari minggu dan termasuk hari minggu biasa. Apakah semua bacaan” (bacaan I hingga Injil) harus mengikuti bacaan kalender liturgi pada hari tersebut? atau hanya Injil saja? Dari manakah… Read more »

Rm Gusti Kusumawanta
Reply to  daisy
12 years ago

Daisy Yth. Misa Pernikahan di Gereja Katolik intinya adalah setelah selesai homili diadakan upacara pernikahan diawali dengan: pernyataan kedua calon, janji pernikahan, doa untuk mempelai, dan pemberkatan dan pemasangan cincin. Yang lain itu tambahan yang bisa dihilangkan. Kalau misa pernikahan tepat pada hari Minggu maka liturgi harus mengambil bacaan dan doa hari Minggu tidak boleh yang lain. Tingkatan misa hari Minggu lebih tinggi dari pernikahan. Jika pemberkatan perkawinan dilakukan di luar hari Minggu, maka bacaan diserahkan kepada calon pengantin mau yang mana menurut dia mengesan dan memberi makna pernikahan. Suasana gembira harus mewarnai upacara maka lagu terpilih disesuaikan dan tidak… Read more »

Romo Bernardus Boli Ujan SVD
Reply to  daisy
12 years ago

Salam Daisy,

Bacaan ke-2 bisa diganti dengan bacaan yang berkaitan dengan tema perkawinan. Tetapi seandainya bacaan kedua itu juga menyinggung hidup perkawinan, tidak perlu diganti. Hendaknya bacaan pertama dan Injil diambil dari hari Minggu bersangkutan. Pembukaan kerudung itu simbol yang bisa dipilih, jadi tidak wajib. Maknanya adalah pembukaan dan penyerahan diri satu sama lain sebagai suami istri karena kasih sayang sejati. Tata Perayaan Perkawinan baku, suatu terjemahan baru yg sedang diperjuangkan untuk mendapat aprobasi dari KWI, bisa ditanyakan ke Sekretarian Komi Liturgi KWI, tolong hubungi: maxi@kawali.org.

Salam dan doa. Gbu.
Rm Boli.

Romo pembimbing: Rm. Prof. DR. B.S. Mardiatmadja SJ. | Bidang Hukum Gereja dan Perkawinan : RD. Dr. D. Gusti Bagus Kusumawanta, Pr. | Bidang Sakramen dan Liturgi: Rm. Dr. Bernardus Boli Ujan, SVD | Bidang OMK: Rm. Yohanes Dwi Harsanto, Pr. | Bidang Keluarga : Rm. Dr. Bernardinus Realino Agung Prihartana, MSF, Maria Brownell, M.T.S. | Pembimbing teologis: Dr. Lawrence Feingold, S.T.D. | Pembimbing bidang Kitab Suci: Dr. David J. Twellman, D.Min.,Th.M.| Bidang Spiritualitas: Romo Alfonsus Widhiwiryawan, SX. STL | Bidang Pelayanan: Romo Felix Supranto, SS.CC |Staf Tetap dan Penulis: Caecilia Triastuti | Bidang Sistematik Teologi & Penanggung jawab: Stefanus Tay, M.T.S dan Ingrid Listiati Tay, M.T.S.
top
@Copyright katolisitas - 2008-2018 All rights reserved. Silakan memakai material yang ada di website ini, tapi harus mencantumkan "www.katolisitas.org", kecuali pemakaian dokumen Gereja. Tidak diperkenankan untuk memperbanyak sebagian atau seluruh tulisan dari website ini untuk kepentingan komersial Katolisitas.org adalah karya kerasulan yang berfokus dalam bidang evangelisasi dan katekese, yang memaparkan ajaran Gereja Katolik berdasarkan Kitab Suci, Tradisi Suci dan Magisterium Gereja. Situs ini dimulai tanggal 31 Mei 2008, pesta Bunda Maria mengunjungi Elizabeth. Semoga situs katolisitas dapat menyampaikan kabar gembira Kristus.