Jumat lalu, aku baru saja mengikuti visualisasi kreatif Jalan Salib bersama komunitas Katolik. Di antara 14 Pemberhentian, ada satu Pemberhentian yang sangat berkesan untukku, Pemberhentian IV : Yesus bertemu dengan ibu-Nya.
Dalam visualisasi tersebut, diputarkan video klip dari film “Passion of The Christ”. Di sana, digambarkan bagaimana Bunda Maria merawat Yesus dari kecil, bagaimana ia selalu menemani Yesus ketika Yesus ditahan dan ditanyai di rumah Imam Agung Yahudi, bagaimana ia mengikuti Yesus dengan setia selama Jalan Salib-Nya ke Golgota, dan akhirnya ia berdiri tegar di bawah salib Yesus di Golgota hingga Yesus wafat dan dimakamkan. Lagu yang mengiringi ibarat lagu Pastor yang mengisi renungan Jalan Salib, menjelaskan betapa besar cinta Bunda Maria pada Yesus, dan menghubungkan betapa Bunda Maria dan ibuku mencintai aku. Aku bersyukur Allah memberikan wanita-wanita sebagai figur ibu dalam hidupku.
1) Ibu kandungku adalah pejuang yang tangguh. Empat tahun yang lalu, ayahku terkena stroke sehingga kemampuan fisiknya tidak lagi sempurna. Sejak saat itu, ibuku yang mengerjakan sebagian besar pekerjaan di toko. Walau ayahku masih bisa ikut membantu di toko, stroke menyebabkan temperamennya kurang bisa dikendalikan. Oleh sebab itu, kami empat bersaudara bergantian ikut membantu di toko untuk menolong meredam amarah yang terkadang tidak perlu.
Ibuku adalah pejuang salib. Di tengah tekanan pekerjaan dan tekanan dari ayahku, beliau masih harus berjuang untuk memahami rencana Allah dalam panggilan-Nya kepadaku untuk menjadi seorang imam. Salib ibuku tidaklah mudah. Yang aku bisa lakukan untuk membantunya adalah menghidupi panggilanku sebaik mungkin. Seperti Abraham yang mempersembahkan Ishak, Hanna yang mempersembahkan Samuel, dan Bunda Maria yang mempersembahkan Yesus di Bait Allah, ibuku berjuang memanggul salibnya untuk mempersembahkan aku. Semoga suatu hari nanti, ibuku bisa berbahagia karena ia telah memberikan persembahan pada Allah yang lebih dari kebanyakan orang.
2) Ibu rohaniku juga adalah seorang pejuang tangguh. Beliau berjasa memberikan pupuk untuk pertumbuhan iman Katolikku hingga saat ini. Bertahun-tahun menikah dengan pasangannya, ia tidak kunjung memiliki anak. Betapa sedihnya beliau ketika tahu bahwa ternyata mereka berdua tidak memiliki kesempatan menggendong anak kandung karena keterbatasan biologis. Namun, ibuku ini tidak menjadi kecewa pada Allah maupun pada ayah rohaniku. Dengan penuh iman, beliau melangkah keluar dari kesedihan dan bersama dengan ayah rohaniku mencari rencana Allah untuk mereka. Akhirnya mereka bersama memutuskan untuk melayani Allah seumur hidup melalui pelayanan katekese.
Hari ini, aku yakin bahwa mereka memiliki anak rohani yang dikuatkan imannya berkat pelayanan mereka. Salah satunya adalah aku. Bahkan, anak rohani mereka lebih banyak dari anak kandung yang bisa dimiliki pasangan lain. Ibu rohaniku juga masih sedang berjuang dalam pelayanan, yang tentu saja tidak pernah surut akan tantangan. Ia juga memanggul salibnya bersama Kristus dengan bahagia. Semoga suatu hari nanti, aku bisa menunjukkan melalui panggilanku bahwa ibu rohaniku tidak sia-sia merawat iman biji sesawi yang kecil ini.
3) Ibu Surgawiku adalah pejuang paling tangguh. Persembahan hidupnya pada Allah sungguh luar biasa. Kasihnya pada Kristus dan Allah adalah inspirasi. Ketegarannya menanggung derita adalah semangat. Ketaatannya pada rencana Allah adalah teladan. Kemuliaan yang ia terima dari Putranya adalah harapan. Ia menjadi contoh bagi semua umat Kristiani dalam hal hidup menurut Roh Kudus dan mencintai Yesus demi Allah Bapa. Sedari usia dini Gereja, ia selalu menjadi tokoh yang dihormati secara khusus. Walaupun saat ini tidak semua orang melihat perannya sebagai ibu, ia tetap sabar mengasihi dan mendoakan semua orang pada Putranya. Ia menuntun mereka yang dengan tulus meminta,”Tolong tunjukkan Yesus, Putramu, padaku”.
Perjalanan panggilanku juga tidak lepas dari doa dan penghiburannya sebagai seorang ibu. Ia memberikan penghiburan ketika aku sedih, mendoakanku ketika imanku goyah, dan memintakan petunjuk dari Yesus ketika aku ragu. Oleh sebab itu, sama seperti pesannya, ”Apa yang dikatakanNya padamu, perbuatlah itu”(Yoh 2:5), menjadi pelayan Putranya adalah satu-satunya cara terbaik untuk membalas jasanya. Seperti doa ibu kandungku dan ibu rohaniku yang akan selalu menyertaiku, doa ibu Surgawiku akan selalu menolongku di saat sulit dan berat. Ia telah menjadi pejuang unggul dalam memanggul salib bersama Kristus. Sekarang, ia menolong semua orang, termasuk aku, dalam perjuangan memanggul salib Kristus.
Di balik seorang pria yang sukses, ada wanita yang mendukungnya. Memintal gulali hidupku memang tidak mudah. Namun, aku percaya Allah menempatkan orang-orang yang selalu mau mendukungku. Seperti Yesus yang diikuti oleh para wanita kudus, aku percaya bahwa panggilanku ini tidak lepas dari dukungan doa para wanita kudus ini. Terutama, Bunda Maria yang selalu menyertai aku dalam perjalanan salibku mengikuti Yesus. Di doa ibuku, namaku disebut. Para ibuku, mohon doakanlah aku!
“Sungguh membahagiakan saat ingat bahwa Bunda Maria adalah ibu kita! Karena ia mencintai kita dan tahu kelemahan kita, apa yang perlu kita takutkan?” – St. Theresa dari Lisieux.
Dear Katolisitas,
Mohon penjelasan tentang penulisan keempat Injil.
Karena keempat injil ditulis dalam kurun waktu yang berbeda dan oleh 4 penulis yang berbeda, maka apakah ada kemungkinan, misalnya, Yohanes sudah membaca Injil Markus baru menuliskan Injilnya; atau Markus sudah membaca Injil Matius lalu menuliskan injilnya, dan seterusnya?
Ataukah ada pernyataan dari Gereja bahwa keempat penulis Injil menuliskan injilnya tanpa pernah membaca ketiga Injil yang lain?
terima kasih
Salam, Yusup Sumarno Terima kasih atas pertanyaan anda. Maaf agak lama menjawab karena saya masih berusaha mencari jawaban untuk pertanyaan anda. Sejauh yang saya cari, saya belum menemukan pernyataan Gereja yang menyatakan pembaca Injil pernah atau tidak membaca penulis Injil lainnya. Namun, dari pernyataan St. Clemens yang pernah saya kutip untuk jawaban sebelumnya, kita bisa mellihat bahwa Gereja mengenal Injil yang dituliskan. Jadi, setelah Injil Matius atau Injil Markus ditulis, Injil tersebut digunakan untuk pewartaan sehingga menyebar luas di kalangan umat. Selain itu, penulisan Injil tersebut juga diketahui oleh St. Petrus selaku penjaga iman. Oleh sebab itu, kita dapat menduga… Read more »
Pak Ioannes,
Banyak terima kasih. Saya bisa memahami kalau tidak ada referensi yang lengkap.
Shalom Yusup, Dari tulisan para Bapa Gereja, kita mengetahui bahwa Rasul Yohanes kemungkinan telah membaca ketiga Injil Sinoptik, atau setidaknya mengetahui secara garis besar apakah yang dituliskan oleh ketiga Injil Sinoptik yang telah ditulis sebelum ia menuliskan Injilnya. Itulah antara lain sebabnya, mengapa Injil Yohanes ditulis dengan cara penyampaian yang berbeda dari ketiga Injil Sinoptik, dengan menyampaikan detail-detail maupun ajaran-ajaran yang belum dituliskan dalam ketiga Injil Sinoptik yang telah ditulis lebih dahulu daripada Injil Yohanes. Dengan demikian keberadaan Injil Yohanes melengkapi ketiga Injil yang sudah ada. Berikut ini adalah tulisan para Bapa Gereja yang memberikan kesaksian tentang hal ini: 1.… Read more »
Bu Ingrid,
Banyak terima kasih atas tambahan penjelasan yang sangat lengkap ini.
Saya sangat menghargai totalitas Ibu dalam mencari jawaban atas pertanyaan pembaca, termasuk saya.
Jalan Salib, Perhentian ke 4: Yesus berjumpa dengan Ibu-Nya.
Namu dalam ke empat Injil tidak pernah disebutkan, hanya dalam Yoh 19:25 diceritakan Ibu-Nya berdiri didekat salib. Dan di ketiga Injil lain nama Maria, Ibu-Nya tidak disebutkan sama sekali, lebih banyak disebutkan Maria yang lain. bahkan dalam Mk 15:47 Maria Magdalena dan Maria ibu Yoset yang melihat tempat dimana Yesus akan dimakamkan.
Dari manakah Gereja Katolik mengutip perikop diatas?
Salam, Adhi Sukmono Terima kasih atas pertanyaan anda dan syukur pada Allah atas rasa ingin tahu anda terhadap Jalan Salib. Semoga melalui salib Kristus, kita turut mati bersamaNya terhadap dosa dan turut bangkit bersama –Nya dalam kehidupan yang baru di dalam Dia. Sebelum menjawab pertanyaan Adhi, ada beberapa hal yang perlu dipahami: Pertama, kita semua tahu bahwa Kitab Suci memang mengandung nilai sejarah. Namun, Kitab Suci bukanlah kitab sejarah. Artinya, penulisan kitab suci tidak pernah dimaksudkan untuk memberikan catatan sejarah lengkap. Penulisan kitab suci dituliskan sejauh “supaya kita kita percaya bahwa Yesuslah Mesias, anak Allah, dan supaya kita oleh iman… Read more »