Dalam kesederhanaan mewartakan pesan Injil

[Hari Minggu Biasa ke XV:  Am 7:12-15; Mzm 85:9-14; Ef 1:3-14; Mrk 6:7-13]

“Jadi, apa yang menurut Romo merupakan tantangan bagi para imam di zaman ini?” demikian pertanyaan kami kepada seorang Romo paroki yang sesaat lagi akan dipindahtugaskan. Tadinya kami menduga, mungkin jawabannya adalah hidup selibat,  atau mungkin terlalu banyak tugas dan tuntutan dari umat, atau sejenisnya. Namun jawab Romo tersebut demikian, “Menurut saya, tantangan terbesar adalah bagaimana para imam zaman ini dapat hidup miskin…” Jawaban ini membuat kami merenung. Hidup miskin. Mungkin karena tak terdengar menarik maka dianggap tidak terlalu penting. Padahal bagi kehidupan rohani, kemiskinan merupakan salah satu sikap dasar yang diperlukan, agar kita dapat menempatkan Tuhan di atas segalanya. Walaupun kemiskinan yang dimaksud pertama-tama adalah kemiskinan rohani—ketidakterikatan kita dengan benda-benda duniawi— namun harus diakui, dunia sekarang ini menarik kita semua ke arah sebaliknya. Dewasa ini ada banyak sekali kemudahan, kecanggihan teknologi dan barang-barang yang mutakhir, yang berusaha memikat kita. Kendaraan, hp, laptop, berbagai peralatan, dan barang lainnya, yang seolah menjadi kebutuhan. Tak ada yang luput dari godaan ini, termasuk para imam dan para religius. Walaupun betul bahwa benda-benda tersebut dapat dipergunakan untuk menunjang tugas-tugas panggilan kita, namun pertanyaannya adalah, apakah kita menjadi begitu terikat dengan benda-benda itu? Sehingga membuat kita menginginkannya, yang lebih canggih, lebih baik, tanpa henti?

Bacaan-bacaan Kitab Suci hari ini mengingatkan panggilan kita untuk tugas menjadi seorang nabi. Seperti Nabi Amos, kita dipanggil untuk mewartakan kebenaran kepada orang-orang di sekeliling kita. Tidak saja mewartakan dengan kata-kata, tetapi terlebih dengan perbuatan, sebab hanya dengan demikianlah, kita dapat semakin dekat dengan tujuan Allah menciptakan kita.  Sebab kata Rasul Paulus, “Allah telah memilih kita, sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya…  Sebab Ia telah menyatakan rahasia kehendak-Nya kepada kita…. untuk mempersatukan di dalam Kristus sebagai Kepala segala sesuatu… ” (Ef 1:4,10). Di dalam Kristus, apakah maksudnya? Rasul Yohanes menjelaskannya demikian, “Barangsiapa mengatakan, bahwa ia ada di dalam Dia [Kristus], ia wajib hidup sama seperti Kristus telah hidup” (1Yoh 2:6). Itulah sebabnya, cara hidup dalam kasih dan kesederhanaan, atau “miskin” di hadapan Allah, menjadi penting. Sebab cara hidup seperti itulah yang dipilih oleh Kristus, ketika Ia mengambil rupa sebagai manusia. Ia hidup miskin dan sederhana untuk memberikan diri seutuhnya kepada Allah dan sesama, dan Ia mengajarkan hal serupa kepada para rasul-Nya. Hal inilah yang nampak jelas dalam diri para imam dalam Gereja Katolik. Mereka mengambil cara hidup Yesus sebagai cara hidup mereka sendiri, dan dengan demikian memberikan teladan yang lebih sempurna, tentang bagaimanakah arti hidup di dalam Kristus. Para imam itulah “in persona Christi”, yang bertindak sebagai Kristus secara khusus pada saat memberikan sakramen-sakramen Gereja. Saat mereka mempersembahkan Ekaristi, memberikan absolusi dalam sakramen Pengakuan dosa, mengurapi dalam sakramen Pengurapan orang sakit, dst, Tuhan Yesus sendirilah yang bertindak dalam diri mereka. Betapa kita perlu mendoakan dan mendukung para imam, agar mereka sungguh dapat hidup sesuai dengan tugas panggilan suci yang mereka terima! Tidak saja pada saat menerimakan sakramen-sakramen, tetapi juga dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Namun bukan berarti Injil hari ini hanya berkenaan dengan para imam. Sebab pesan pewartaan Injil juga diberikan kepada kita semua yang telah dibaptis. Injil hari ini mengatakan bahwa setelah mengutus para Rasul berdua-dua, Tuhan Yesus berpesan kepada mereka, agar jangan membawa apa-apa dalam perjalanan mereka kecuali tongkat, jangan pula membawa bekal, uang, dan dua baju (lih. Mrk 6:7-8). St. Gregorius menjelaskan alasan para Rasul diutus berdua-dua, yaitu karena hal yang mereka wartakan, yaitu perintah untuk mengasihi, itu ada dua macam, yaitu kasih kepada Tuhan dan kasih kepada sesama; dan cinta kasih tidak dapat diterapkan pada kurang dari dua orang. Dengan demikian, Kristus mau mengajarkan kepada kita, bahwa orang yang tidak mengasihi sesamanya, tidak dapat mengambil bagian dalam tugas mengajar (St. Gregory, Hom. in Evan., 17). Ini mengingatkan agar kita mengasihi dengan perbuatan, dan bukan semata dengan perkataan. Akan sulitlah orang untuk menerima pengajaran tentang kasih, kalau pengajarnya sendiri tidak mampu mengasihi, atau bahkan berseteru dengan orang-orang terdekatnya. Betapa kita perlu berdoa bagi para pengajar kita, dan juga memeriksa diri sendiri—jika kita adalah pengajar atau orangtua dalam keluarga—agar perkataan yang kita sampaikan sesuai dengan apa yang kita lakukan.

Selain itu, Injil hari ini mengingatkan kita untuk tidak menyusahkan diri dengan berbagai keterikatan dengan benda-benda ataupun harta milik. Singkatnya, hidup sederhana. Atau, hidup sederhana itu sendiri merupakan bagian dari pewartaan kita. Sebab dengan hidup sederhana, kita melatih diri untuk tidak mengarahkan hati kepada hal-hal yang ada di dunia ini, namun terlebih kepada hal-hal yang ada di atas (lih. Kol 3:1,2), yang merupakan tujuan akhir hidup kita. Dengan hidup sederhana kita menanggalkan keinginan kita sendiri, supaya dapat mengenakan kehendak Tuhan. Mungkin sulit, dan menjadi perjuangan seumur hidup, namun di sanalah sesungguhnya terletak kebahagiaan kita yang sejati. Untuk itu, marilah kita berdoa bersama St. Katharina dari Siena, “Ya, Allah, kehendak-Mu yang mulia dan kekal adalah agar kami menjadi kudus. Oleh karena itu, jiwa yang ingin menjadi kudus akan menanggalkan keinginannya sendiri dan mengenakan kehendak-Mu. Ya Tuhan, Kekasih jiwaku, kupikir inilah tanda sejati bagi orang-orang yang yang telah dipersatukan dengan Engkau: Mereka melaksanakan kehendak-Mu, seturut apa yang menyenangkan hati-Mu, dan tidak menurut kehendak mereka sendiri, sehingga mereka sungguh diselubungi oleh kehendak-Mu.…. Bantulah aku untuk berjuang, ya Tuhan, agar tanda sejati ini juga ada pada diriku. Amin.”

19/12/2018
Romo pembimbing: Rm. Prof. DR. B.S. Mardiatmadja SJ. | Bidang Hukum Gereja dan Perkawinan : RD. Dr. D. Gusti Bagus Kusumawanta, Pr. | Bidang Sakramen dan Liturgi: Rm. Dr. Bernardus Boli Ujan, SVD | Bidang OMK: Rm. Yohanes Dwi Harsanto, Pr. | Bidang Keluarga : Rm. Dr. Bernardinus Realino Agung Prihartana, MSF, Maria Brownell, M.T.S. | Pembimbing teologis: Dr. Lawrence Feingold, S.T.D. | Pembimbing bidang Kitab Suci: Dr. David J. Twellman, D.Min.,Th.M.| Bidang Spiritualitas: Romo Alfonsus Widhiwiryawan, SX. STL | Bidang Pelayanan: Romo Felix Supranto, SS.CC |Staf Tetap dan Penulis: Caecilia Triastuti | Bidang Sistematik Teologi & Penanggung jawab: Stefanus Tay, M.T.S dan Ingrid Listiati Tay, M.T.S.
top
@Copyright katolisitas - 2008-2018 All rights reserved. Silakan memakai material yang ada di website ini, tapi harus mencantumkan "www.katolisitas.org", kecuali pemakaian dokumen Gereja. Tidak diperkenankan untuk memperbanyak sebagian atau seluruh tulisan dari website ini untuk kepentingan komersial Katolisitas.org adalah karya kerasulan yang berfokus dalam bidang evangelisasi dan katekese, yang memaparkan ajaran Gereja Katolik berdasarkan Kitab Suci, Tradisi Suci dan Magisterium Gereja. Situs ini dimulai tanggal 31 Mei 2008, pesta Bunda Maria mengunjungi Elizabeth. Semoga situs katolisitas dapat menyampaikan kabar gembira Kristus.Â